Monday 16 December 2019

Penjelasan tentang Penyakit Skizofrenia, Penyebab serta Cara Menanganinya


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...

Penjelasan tentang Penyakit Skizofrenia, Penyebab serta Cara Menanganinya

Ada banyak penyakit mental, salah satu nama penyakitnya ialah Skizofrenia. Penyakit ini merupakan gangguan mental di mana kondisi penderitanya susah membedakan antara realita dengan apa yang mereka imajinasikan.

Pada umumnya orang yang kerap disebut “gila” di jalanan atau yang dirawat di rumah sakit jiwa kemungkinan besar didiagnosis menderita skizofrenia. Dalam bahasa percakapan sehari-hari, kata “gila” seringkali merujuk ke kondisi skizofrenia. Penjelasan awam untuk fenomena ini seringkali berbau spiritual dan magis. Berdasarkan pengalaman saya menemui ODS sebagai klien, mereka semua sudah pernah dibawa oleh orang tuanya atau saudaranya untuk bertemu ke “orang pintar” yang memberikan pelayanan tanpa bukti ilmiah.

Pengalaman para ODS juga beragam. Ada yang menganggap skizofrenia itu disebabkan oleh roh jahat, sehingga ada yang ditangani dengan teknik penyiraman air untuk mengusir roh jahat. Ada juga yang mungkin sama-sama menganggap skizofrenia disebabkan oleh mekanisme roh jahat, tapi penanganannya dengan ritual pemotongan hewan tertentu. Tapi sains punya penjelasan yang berbeda.

Orang dengan skizofrenia (ODS) seringkali didiagnosis skizofrenia karena menderita gejala-gejala mengganggu seperti mendengar bisikan-bisikan atau merasa dikejar-kejar oleh agen tertentu, misalnya Badan Intelijen Negara (BIN). Diagnosis skizofrenia dapat diberikan oleh dokter dengan spesialis kesehatan jiwa (psikiater) atau psikolog klinis dewasa.

Penderita sering hidup dengan penuh imajinasi di kepalanya. Hal tersebut membuat penderitanya kadang tersenyum sendiri bahkan tertekan sendiri, tanpa didasari oleh suatu kejadian. Efek dari penyakit ini bisa sangat fatal, karena penderita bisa saja mengalami kematian di usia yang muda. Penyakit skizofrenia bisa dibilang sangat berbahaya, karena bisa saja penderita akan lari ke obat-obatan terlarang seperti narkoba.

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan perubahan tingkah laku yang aneh, mengalami halusinasi panca indera (mendengar, melihat, meraba, mengecap, mencium sesuatu yang tidak ada) dan waham (merasa menjadi sesuatu yang tidak nyata seperti diikuti, diawasi, dibicarakan).

Skizofrenia sering disamakan dengan psikosis, padahal keduanya berbeda. Psikosis hanya salah satu gejala dari beberapa gangguan mental, di antaranya skizofrenia. Penderita skizofrenia juga berisiko 2-3 kali lebih tinggi mengalami kematian di usia muda. Di samping itu, setengah penderita skizofrenia diketahui juga menderita gangguan mental lain, seperti penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan.

Gangguan skizofrenia pertama kali teridentifikasi oleh Emil Kraeplin (1856-1926) dan menggunakan istilah Dementia praecox, karena dianggap sebagai degenerasi otak (dementia) yang dimulai di usia muda (praecox) dan menyebabkan disintegrasi keseluruhan kepribadian (Halgin dan Whitbourne, 2011). Pasien dengan Dementia praecox digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan waham. Namun oleh Bleuler (1857-1938) menganjurkan lebih baik dipakai istilah “skizofrenia”, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berpikir, perasaan, dan perbuatan (schizos = pecah-belah atau bercabang, phren = jiwa). Dementia praecox tidak dapat disamakan dengan demensia pada gangguan otak organik atau intelegensi pada retardasi mental, pada skizofrenia terdapat keinginan dan pikiran berlawanan, terdapat suatu disharmoni serta tidak harus memiliki perjalanan penyakit yang memburuk seperti Dementia praecox (Maramis dan Maramis, 2009).

Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi atau terpecah dan phrenia yang berarti pikiran. Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu.(Videbeck, 2008 dalam Nuraenah, 2012). Stuart (2007) menjelaskan bahwa skizofrenia merupakan penyakit otak yang persisten dan juga serius yang bisa mengakibatkan perilaku psikotik, kesulitan dalam memproses informasi yang masuk, kesulitan dalam hubungan interpersonal, kesulitan dalam memecahkan suatu masalah.


Orang dengan skizofrenia tidak bisa membedakan mana khayalan dan kenyataan. Itu sebabnya masyarakat Indonesia sering menyebut skizofrenia dengan “gila”. Penyakit ini juga menyebabkan pengidapnya tidak memiliki kemampuan untuk berpikir, mengingat, ataupun memahami masalah tertentu.

Perilaku skizofrenia disebabkan oleh perubahan kimia (neurotransmitter) di otak yang dipicu oleh berbagai macam masalah seperti stress, masalah ekonomi, keluarga, dan sebagainya. Skizofrenia diketahui pula bisa menjadi penyebab depresi, suasana hati menjadi tidak tenang, dan neurotisisme (mengalami kecemasan, kemurungan, kekhawatiran yang tinggi, mudah iri, frustasi, cemburuan, dan merasa kesepian).

Pada awal abad ke-20, seorang psikiatrik yang bernama Kurt Schneider membuat daftar gejala psikotik yang menurutnya dapat membedakan skizofrenia dari gangguan psikotik lainnya. Daftar ini disebut first-rank symptoms (gejala peringkat pertama) atau Schneider's first-rank symptoms. Gejala ini termasuk waham berada dalam kontrol suatu kekuatan eksternal; kepercayaan bahwa pikiran dimasukkan atau keluar dari bawah sadar; kepercayaan bahwa pikiran seseorang dipancarkan kepada orang lain; dan mendengar suara halusinasi yang berkomentar tentang pikiran atau sikap seseorang atau bercakap-cakap dengan suara halusinasi. Walaupun telah menyumbang pada kriteria diagnostik secara signifikan, kespesifikan gejala peringkat pertama masih dipertanyakan. Suatu tinjauan tentang penelitian diagnosis yang dilakukan antara tahun 1970 dan 2005 menemukan bahwa mereka memperbolehkan untuk tidak adanya konfirmasi ataupun menolak klaim Schneider, dan menyarankan bahwa gejala tingkat pertama tidak harus mendapatkan penekanan untuk sistem diagnosis pada masa mendatang.

Skizofrenia bisa menyerang siapa saja. Penyakit mental yang mengganggu pikiran dan persepsi ini kerap menyerang individu berusia 16-30 tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala awal saat masih berusia muda, namun penyakit ini bisa terjadi pada semua tingkatan usia dan mempengaruhi baik laki-laki maupun perempuan dengan tingkat risiko yang sama. Banyak orang salah paham terhadap pasien skizofrenia. Mereka dianggap memiliki kepribadian ganda, padahal sebenarnya penyakit ini mempengaruhi emosi, persepsi, dan pemikiran mereka, yang menyebabkan perilaku abnormal dengan tetap satu kepribadian tunggal.

Catatan sejarah mengenai sindrom yang mirip seperti skizofrenia jarang ditemukan sebelum abad 19, walaupun laporan mengenai tingkah laku yang tidak rasional, tidak bisa dimengerti atau tidak terkendali biasa ditemukan. Sebuah laporan kasus mendetail dalam tahun 1797 mengenai James Tilly Matthews, dan catatan oleh Phillipe Pinel yang dipublikasikan tahun 1809, sering dianggap sebagai kasus-kasus terawal dari penyakit ini dalam literatur medis dan psikiatrik. Skizofrenia pertama kali dideskripsikan sebagai sindrom berbeda yang mempengaruhi remaja dan kaum muda dewasa oleh Bénédict Morel pada tahun 1853, yang disebut démence précoce (secara harafiah berarti 'demensia awal'). Istilah demensia praekoks digunakan pada tahun 1891 oleh Arnold Pick dalam sebuah laporan kasus mengenai gangguan psikotik. Pada tahun 1893 Emil Kraepelin memperkenalkan perbedaan baru yang luas dalam klasifikasi gangguan jiwa antara demensia praekoks dan gangguan suasana hati (yang disebut depresi manik dan termasuk juga depresi unipolar dan bipolar). Kraepelin percaya bahwa pada mulanya demensia praekoks adalah penyakit otak, dan sejenis demensia yang khusus, yang dibedakan dari jenis demensia lain seperti penyakit Alzheimer yang biasanya muncul di kemudian hari dalam hidup.

Berdasarkan data yang dirilis WHO diperkirakan terdapat 21 juta orang di dunia yang menderita skizofrenia. Menurut DSM-IV-TR, insiden tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik (insiden lebih tinggi di daerah perkotaan di negara maju) (Sadock dan Sadock, 2014). Prevalensi seumur hidup skizofrenia di Amerika serikat sekitar 1 persen, yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama hidupnya. Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 permil sampai dengan 1,4 persen (Kementrian kesehatan, 2013). Studi Epidemiologic Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,6 sampai 1,9 persen (Sadock dan Sadock, 2014).

Sementara di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, bahwa dari 1.000 penduduk Indonesia  ada 1 hingga 2 orang yang mengalami ganggunan jiwa. Gangguan jiwa tersebut termasuk penyakit skizofrenia. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas) menyatakan dari seluruh Rumah Tangga (RT) yang dianalisis sebesar 294.959 yang terdiri dari 1.027.763 Anggota Rumah Tangga (ART) yang berasal dari semua umur, Rumah Tangga yang menjawab memiliki ART dengan gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) sebanyak 1.655, terdiri dari 1.588 RT dengan 1 orang ART, 62 RT memiliki 2 orang ART, 4 RT memiliki 3 ART, dan 1 RT dengan 4 orang ART yang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riskesdas 2013 adalah sebanyak 1.728 orang (Kementrian Kesehatan RI, 2013).

Skizofrenia terjadi pada 15-20/100.000 individu per tahun, dengan resiko morbiditas selama hidup 0,85% (laki-laki/perempuan) (Katona dkk.,2012). Prevalensi psikosis tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh (masing- masing 2,7‰), diikuti oleh Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7‰). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil (Kementrian Kesehatan RI, 2013).


Laki-laki dan perempuan memiliki prevalensi yang sama, namun berbeda onset dan perjalanan penyakitnya. Laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar menggembangkan gangguan tersebut pada usia di antara 18 dan 25 tahun. Sedangkan perempuan paling banyak mengembangkan di usia 25 tahun dan pertengahan 30 tahun. Pada 3 sampai dengan 10 persen perempuan yang mengalami gangguan tersebut, onsetnya terjadi setelah usia 40 tahun dimana pada onset tersebut kurang umum pada laki-laki (Halgin dan Whitbourne, 2011). Hampir 90 persen yang menjalani pengobatan skizofrenia berusia antara 15 dan 55 tahun. (Sadock dan Sadock, 2014).

Skizofrenia merupakan penyakit mental serius yang disebabkan oleh gangguan konsentrasi neurotransmiter otak, perubahan reseptor sel-sel otak, dan kelainan otak struktural, dan bukan karena alasan psikologis. Pasien akan memiliki pemikiran, perasaan, emosi, ucapan, dan perilaku yang tidak normal, yang mempengaruhi kehidupan, pekerjaan, kegiatan sosial, dan kemampuan untuk mengurus diri mereka sehari-hari. Beberapa pasien bersifat rentan dan mencoba atau melakukan tindakan bunuh diri.

Skizofrenia di Indonesia menjadi permasalahan yang semestinya segera dibenahi, baik dari segi medis maupun sosial. Dalam segi medis, pelayanan kesehatan penyakit skizofrenia masih minim. Ditambah lagi, di ranah sosial, penderita penyakit ini kerap mendapat stigma negatif hingga diskriminasi. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita skizofrenia menyebabkan mereka menjadi sasaran kekerasan psikologis dan fisik di masyarakat.


Ciri dan Gejala Skizofrenia

Tingkat keparahan penderita skizofrenia bervariasi. American Psychiatric Association menulis, ketika penyakit ini kambuh, pasien tidak dapat membedakan antara pengalaman nyata dan tidak nyata.

Ciri Fundamental dari gangguan berdasarkan identifikasi oleh Bleuler (1911), yaitu Empat A dari Bleuler (Halgin dan Whitbourne, 2011). :
-Asosisasi : gangguan berpikir, dapat dibuktikan dari ucapan yang melantur dan tidak koheren.
-Afek : gangguan pengalaman dan ekspresi emosi, misalnya tertawa secara tidak tepat dalam situasi sedih.
-Ambivalens : ketidakmampuan               untuk membuat atau mengikuti keputusan.
-Autisme : kecenderungan untuk mempertahankan gaya eksentrik dari pemikiran dan prilaku yang egosentris.
Kemudian oleh Kurt Schneider (1959) menerangkan harus ada gejala tingkat pertama (first rank symptom) (Halgin dan Whitbourne, 2011). Gejala itu meliputi halusinasi pendengaran yang spesifik (mendengar pikirannya sendiri dengan jelas (echo de la pensée); penyerapan pikiran, penyisipan pikiran dan penyiaran pikiran (merasa bahwa pikirannya dapat diserap oleh orang lain, dapat disisipi dengan pikiran orang lain atau dapat dihapus); kepasifan/passivity berupa kepasifan somatik (keyakinan bahwa tubuh pasien dibawah kendali orang lain (misalnya, orang lain membuat pasien merasa panas atau sakit) dan persepsi delusional (menganggap wahan sebagai persepsi yang nyata (misalnya, “ saat saya melihat bunga di tepi jalan, saya tahu kalau teroris sedang mengejar saya”). (Katona dkk.,2012).

Secara lebih rinci, ciri serta gejala skizofrenia adalah sebagai berikut:

Sulit konsentrasi
Penderita skizofrenia akan mengalami kesulitan konsentrasi, hal ini dikarenakan pikirannya penuh dengan hal-hal tidak nyata. Sulit konsentrasi yang dimaksud misalnya tidak nyambung diajak ngobrol, sering mengulang pertanyaan seperti, "bicara apa tadi".

Avolisi meliputi kurangnya inisiatif dan ketidakmampuan untuk bertindak (Halgin dan Whitbourne, 2011). Hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport) sehingga sulit untuk mengetahui perasaan penderita. Karena terpecah-belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin timbul bersamaan, misalnya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis dan tertawa dengan hal yang sama (ambivalensi afektif) (Maramis dan Maramis, 2009).

Perilaku yang terganggu
Penderita skizofrenia paranoid umumnya mengalami sebuah perilaku yang kacau atau biasa disebut dengan disorganized behavior. Untuk penderitanya tersebut memang tidak bisa mengontrol dirinya maupun lingkungan yang ada di sekitarnya sehingga hal tersebut membuat seseorang menjadi berperilaku yang aneh, diantara perilaku yang sering terlihat adalah:
-Sulit untuk mengontrol hasrat dan juga keinginan.
-Sulit untuk melakukan aktivitas rutin sehari- hari.
-Melakukan sesuatu yang tidak normal dan juga tidak pantas.
-Tidak bisa menjaga kestabilan emosinya.

Terkadang pasien skizofrenia bergerak dengan cara yang aneh dan mengganggu, seperti gerakan memutar yang aneh dari tangan (Halgin dan Whitbourne, 2011). Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh gelisah (excitement) (Maramis dan Maramis, 2009). Stupor katatonik adalah kondisi tidak merespons terhadap stimulus eksternal sampai titik tidak menyadari keadaan  sekitarnya, dapat berupa tidak bergerak, tidak bicara, dan tidak berespon. Pada stupor katatonik dapat di dapati fleksibilitas serea (bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin) dan kataplesi (suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang lama). Katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik yang tidak terkendali atau gerakan tubuh tanpa tujuan dan berulang-ulang (Halgin dan Whitbourne, 2011; Maramis dan Maramis, 2009).

Perilaku yang terganggu lain adalah stereotipi (berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan tertentu) misalnya sebelum menyuap nasi mengetuk piring dulu beberapa kali, dapat ditemukan verbigerasi (stereotipi pembicaraan) yaitu kalimat diulang-ulangi, hal ini sering juga terdapat pada gangguan mental organik. Sedangkan manerisme adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia yang bisa dilihat dalam bentuk grimas pada wajah atau keanehan gaya berjalan (Maramis dan Maramis, 2009).

Gerakan atau ekspresi tertentu dapat diamati sejak tahap awal penyakit skizofrenia. Ekspresi wajah kosong, ujung mulut yang kerap bergerak, dan jarang berkedip bisa menjadi tanda awal penyakit skizofrenia. Selain itu, gerakan lain seperti kerap mondar-mandir dan seolah bergetar ketakutan juga bisa jadi penanda awal skizofrenia.

Perilaku aneh merupakan “gejala positif”, juga disebut sebagai “gejala akut” yang meliputi tindakan menangis atau tertawa secara tidak terduga atau bahkan berpakaian dengan cara yang aneh.

Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan, misalanya setelah membunuh anaknya, penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya tertawa. Kemudian ditemukan parathimi yaitu apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah. Sedangkan paramimi yaitu penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi dia menangis, parathimi dan paramimi bersama-sama dinamakan incongruity of affect (Maramis dan Maramis, 2009).

Bahasa dan komunikasi yang terganggu
Penyakit skizofrenia hebefrenik, jenis gangguan penyakit ini biasa dikenal dengan sebutan skozofrenia tidak teratur atau disorganized skizofrenia. Jenis gangguanya sebenarnya hampir sama dengan skizofrenia paranoid pada umumnya, salah satunya adanya gangguan psikotik pada pasien dan juga adanya gangguan psikosomatis. Jenis penyakit mental ini memang cukup kronis dan juga sangat komplek. Hal ini terjadi karena akan mempengaruhi keseimbangan pada otak dan juga membuat seseorang yang mengidap gangguan ini memiliki perilaku yang aneh dan memang tidak normal. Istilah penyakit skizofrenia hebefrenik ini memang sudah cukup lama ada yang memang lebih mengacu kepada sebuah kelainan kejiwaan yang terjadi pada seseorang. Jenis penyakit ini muncul ketika seseorang sudah mulai memasuki usia 15 sampai dengan 25 tahun.

Penyakit skizofrenia hebefrenik ini muncul dikarenakan adanya sebuah sindrom heterogen yang mulai ditandai dengan pola pikir yang memang tidak teratur. Untuk gejalanya sendiri memang cukup mencolok dan juga akan sangat mengganggu cara ataupun proses berpikir seseorang, dimana yang namanya halusinasi dan juga delusi memang cukup sering terjadi pada seseorang yang mengalami penyakit skizofrenia ini.

Gejala yang muncul saat seseorang terkena penyakit skizofrenia hebefrenik adalah; selalu berucap tidak teratur. Seseorang yang mengalami gangguan jenis penyakit skizofrenia hebefrenik ini selalu berucap yang tidak teratur dan juga tidak ada relevansinya dengan apa yang sedang ditanyakannya. Bahkan ketika ditanya pun biasanya tidak akan nyambung dan juga akan melompat dari satu topik ke topik yang lainnya, dan terkadang apa yang dikatakannya selalu ada unsur delusi ataupun khayalan.

Bahasa pada pasien skizofrenia terdistrosi parah sampai pada titik yang tidak dapat dipahami (Halgin dan Whitbourne, 2011). Adanya gangguan pada asosiasi berupa asosiasi longgar yang berarti tidak adanya hubungan antar ide. Kalimat-kalimatnya tidak saling berhubungan. Terkadang satu ide belum selesai diutarakan, sudah dikemukakan ide lain. Pada bentuk yang lebih parah adalah inkoherensi (Maramis dan Maramis, 2009) dapat ditemukan juga kata-kata yang bercampur aduk “word salad” (Katona dkk.,2012) Atau terdapat asosiasi bunyi (clang association) oleh karena pikiran sering tidak mempunyai tujuan tertentu (Maramis dan Maramis, 2009).

Neologisme (kata-kata baru untuk menyatakan arti yang hanya dipahami oleh dirinya sendiri. Terkadang juga terdapat blocking dimana pikiran seakan- akan berhenti, tidak timbul ide lagi dapat berlangsung beberapa detik hingga beberapa hari (Maramis dan Maramis, 2009). Contoh komunikasi yang terganggu pada pasien dengan skizofrenia, misalnya saat ditanya tentang cuaca, ia berkata, “ Ini adalah hari yang baik untuk pesta di rumput, namun awan kumulus berarakan diatas kita dan oh, sangat tidak menyenangkan.” (Halgin dan Whitbourne, 2011).

Penderita Skizofrenia juga akan mengalami bicara yang ngelantur tidak tentu arah. Hal ini dikarenakan apa yang mereka rasakan akan mengacaukan pikirannya perihal imajinasi yang tidak real. Banyak pikiran tersebut membuat carut marut pikiran penderita. Alhasil, terkadang menjadikan penderita bicara sendiri dan bicara ngelantur. Hal ini mengindikasikan hal yang tidak real sedang menguasai pikirannya.

Hal ini merupakan “gejala positif”, juga disebut sebagai “gejala akut”, yang meliputi gangguan pikiran; pikiran tidak jelas, kurangnya kontinuitas dan logika, bicara dengan tidak teratur, berbicara dengan dirinya sendiri atau berhenti berbicara secara tiba-tiba.

Seseorang yang mengalami jenis penyakit atau gangguan skizofrenia hebefrenik ini memang akan terlalu aktif dan juga tidak pernah fokus dengan apa yang sedang dilakukan serta dibicarakannya. Pada sebagian orang yang menderita penyakit atau gangguan skizofrenia hebefrenik juga bisa kita lihat dari raut wajah di penderita. Terkadang mereka akan tertawa, diam, dan juga menunjukan berbagai raut wajah yang sebenarnya tidak pantas dilakukannya, bahkan ekspresi yang dimunculkannya pun akan terlihat aneh dan juga sangat konyol.

Diam terlalu lama bahkan sampai gelisah
Apabila pikiran sedang banyak dikelilingi oleh imajinasi, akan membuat orang tersebut bingung. Efeknya orang dengan penyakit skizofrenia, bisa saja diam di suatu tempat dan merenungi apa yang telah ia alami.

Namun bisa saja orang tersebut akan gelisah sekali, karena pikiran mereka carut marut sekali. Kegelisahan ini sangat berbahaya, kadang melakukan hal diluar nalar, seperti memecahkan piring, bahkan bisa saja sampai marah-marah tidak jelas kepada orang yang belum ia kenal.

Halusinasi dan delusi
Literatur media telah menunjukkan kaitan antara kepercayaan akan kekuatan supranatural dengan berbagai aspek skizofrenia. "Penderita skizofrenia kerap mengalami delusi dan halusinasi yang bersifat supranatural. Ada sebuah bukti yang membuktikan bahwa tingkat kepercayaan memengaruhi level gangguan kejiwaan seseorang," tulis Indian J Psychol Med dalam literaturnya. Gejala itu berbentuk paranoia dan semakin menjauhkan penderita dengan kenyataan. Pada tahap awal, seseorang akan memperlihatkan delusinya seperti merasa dihantui oleh kekuatan roh jahat.

Penderita skizofrenia akan sangat akrab dengan mendengar hal-hal yang tidak real, melihat hal-hal tabu, mencium aroma yang aneh hingga seperti berada di dimensi yang berbeda. Hal tersebut sebenarnya hanyalah perihal apa yang sedang mereka pikirkan saja. Mereka memikirkan hal yang bersifat fantasi, menyebabkan halusinasi dan delusi. Efeknya bisa membuat penderita tidak nyaman. Hal terburuk yang sering terjadi ialah penderita bisa bunuh diri.

Jenis gejala pada penderita skizofrenia ini biasa dikategorikan “gejala positif”, juga disebut sebagai “gejala akut”, merupakan pikiran dan indera yang tidak biasa, bersifat surreal, yang mengarah ke perilaku pasien yang tidak normal, termasuk;
Delusi: memiliki keyakinan yang kuat terhadap suatu hal tanpa dasar yang jelas, tetap teguh walaupun bukti menyatakan sebaliknya dan tidak bisa dikoreksi dengan logika dan akal sehat, misalnya berpikir bahwa dirinya dianiaya, seseorang sedang mengendalikan pikiran dan perilakunya, atau berpikir bahwa orang lain sedang membicarakannya.
Delusi atau Waham adalah keyakinan yang salah, merupakan gangguan pikiran yang paling umum berhubungan dengan skizofrenia (Halgin dan Whitbourne, 2011). Waham pada skizofrenia sering tidak logis sama sekali dan sangat bizar. Penderita tidak menyadari hal ini dan baginya wahamnya merupakan fakta yang tidak dapat diubah oleh siapa pun (Maramis dan Maramis, 2009).
Mayer dan Gross membagi waham menjadi 2 kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder. Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebabnya, misalnya waham seorang penderita yang meyakini dunia akan kiamat setelah melihat seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohon untuk kencing. Waham primer agak jarang terjadi dan lebih sulit ditentukan dengan pasti (Maramis dan Maramis, 2009). Waham sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara bagi penderita menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham dinamakan menurut isinya; waham kebesaran (delusion of grandeur) misalnya, penderita yakin bahwa ia adalah raja atau nabi, waham kejar (delusion of persecutory) yaitu penederita yakin bahwa orang lain mencoba melukainya atau mencegahnya memenuhi misinya. Waham referensi (delusion of reference) misalnya, penderita yakin bahwa iklan ditelevisi ditunjukan kepadanya. (Halgin dan Whitbourne, 2011). Penting untuk membedakannya dengan paranoid (Katona dkk.,2012).
Halusinasi: pasien merasakan sesuatu yang sangat nyata, yang sebenarnya tidak ada, misalnya melihat beberapa gambar yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, mendengar suara atau sentuhan yang tidak ada.
Halusinasi yang timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain (Maramis dan Maramis, 2009). Halusinasi adalah persepsi yang salah pada salah satu dari lima indera. Meskipun halusinasi tidak sesuai dengan stimulus aktualnya, halusinasi tersebut nyata bagi orang skizofrenia (Halgin dan Whitbourne, 2011). Paling sering pada skizofrenia adalah halusinasi pendengaran (audiotorik atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan. Sedangkan halusinasi penciuman (olfaktorik) atau halusinasi rabaan (taktil) jarang dijumpai. Untuk halusinasi penglihatan (optik) agak jarang pada skizofrenia, lebih sering pada psikosis akut akibat gangguan mental organik. Bila ada, maka biasanya pada stadium awal, misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan.(Maramis dan Maramis, 2009).
Halusinasi pada penderita skizofrenia akan terjadi pada kelima indera manusia. Namun, indera pendengaran adalah yang paling sering terganggu. Lebih dari 70 persen penderita skizofrenia dilaporkan mendengarkan suara-suara 'gaib' yang tak jelas asalnya. Suara-suara itu bisa berujung pada gangguan pikiran, menghilangnya konsentrasi, dan melemahnya daya ingat seseorang.

Skizofrenia umumnya memiliki dua jenis, yang pertama adalah skizofenia paranoid dan yang berikutnya adalah skizofrenia hebefrenik. Untuk kedua jenis penyakit skizofrenia ini umumnya memiliki persamaan yang hampir sama, namun bisa dikatakan cukup berbeda juga. Untuk jenis penyakit skizofrenia paranoid merupakan sebuah penyakit yang memang paling umum dan juga paling sering ditemukan di tengah masayarakat. Untuk gejalanya sendiri hampir sama dengan jenis penyakit skizofrenia pada umumnya dimana seseorang yang mengidap penyakit ini mengalami delusi dan juga khayalan serta selalu mempersepsikan sebuah sesuatu dengan lingkungan di sekitarnya. Untuk gejala umum penyakit skizofrenia paranoid ini adalah rasa halusinasi dan juga delusi atau waham yang merupakan sebuah keyakinan kuat pada sesuatu yang salah. Adapun hal- hal yang tidak bisa dibantah dan juga tidak bisa dibuktikan oleh apapun. Adapun beberapa waham atau delusi yang bisa muncul pada si penderita skizofrenia paranoid adalah.
-Waham kejar
Yang dimaksud disini adalah sebuah kepercayaan dimana si penderita merasa dikejar- kejar oleh seseorang ataupun banyak orang.
-Waham kendali
Dimana seseorang yang mengalami hal ini lebih percaya pada sesuatu yang dikendalikannya.
-Waham rujukan
Adanya sebuah kepercayaan bahwa si penderita memiliki sebuah benda yang penting yang menjadi ditujukan khusus untuk dirinya sendiri.
-Waham kebesaran
Dimana yang dimaksud disini adalah sebuah kemampuan yang memang luar biasa dan juga memiliki posisi penting atau adanya sebuah kekayaan yang tidak terbatas.
Untuk mereka yang menderita skizofrenia paranoid umumnya memiliki rasa yang lebih dominan untuk muncul, misalnya saja dengan adanya sebuah cerminan dari rasa takut dan juga kecemasan yang ada dan juga jauh lebih besar, serta adanya kemampuan yang bisa membedakan dari hal nyata dengan sebuah hal yang tidak nyata. Dimana untuk gejala yang dialami oleh penderita skizofrenia ini adalah:
Dia selalu merasa bahwa ada seseorang yang sedang mematai- matainya dimanapun dia berada. Merasa bahwa orang- orang di sekitarnya sedang mencelakakan dirinya dan ingin membuat dirinya celaka, merasa ada yang ingin membunuh dirinya dan juga mencoba mencelakakan, seperti salah satunya dengan merasa ada yang sedang meracuninya dirinya melalui makanan, selalu merasa bahwa pasangannya tersebut sedang berselingkuh dengan orang lain.
Sebenarnya mereka yang sedang menderita penyakit skizofrenia paranoid ini memang tidak ada potensi yang ingin bersikap kasar dan juga ingin melukai lingkungan yang ada di sekitarnya, namun dengan adanya sikap delusi dan juga sisi paranoid tersebutlah yang membuatnya merasa ada ancaman di dekatnya, padahal sebenarnya tidaklah seperti itu. Meskipun termasuk ke dalam macam- macam gangguan jiwa, penyakit skozofrenia ini memang bisa diatasi dengan pengobatan yang tepat.

Ketakutan pada tempat yang ramai
Terdapat kedangkalan respon emosi (emotional blunting), misalnya penderita menjadi acuh tidak acuh terhadap dirinya sendiri maupun keluarga. Perasaan halus sudah hilang, juga sering didapati anhedonia (hilangnya ketertarikan atau kemampuan untuk merasakan kesenangan dari aktivitas yang bagi banyak orang sangat menarik) (Maramis dan Maramis, 2009). Banyak orang dengan skizofrenia memiliki gejala negatif (negative symptom), yang paling umum adalah kedataran afek, alogia, avolisi. Kedataran afek (affective flattening) individu terlihat tidak responsif dengan bahasa tubuh yang relative tanpa gerak, reaksi wajah dan kontak mata yang minimal (Halgin dan Whitbourne, 2011).

Seseorang yang menolak interaksi dengan keluarga atau teman biasanya lebih senang untuk mengisolasi diri. Kebiasaan ini bisa memengaruhi rutinitas harian mereka seperti bolos sekolah atau kerja serta absen dari berbagai agenda sosial lainnya. Orang-orang jenis ini merasa tidak tertarik dengan situasi-situasi ramai yang ujung-ujungnya 'melenyapkan' gairah hidup mereka.

Gejala negatif”, juga disebut sebagai “gejala kronis”, lebih sulit untuk dikenali dan biasanya menjadi lebih jelas setelah berkembang menjadi gejala positif. Jika kondisinya memburuk, kemampuan kerja dan perawatan diri pasien akan terpengaruh. Penarikan sosial; menjadi tertutup, dingin, egois, terasing dari orang lain, dll. Merupakan kategori dari gejala kronis dari penderita skizofrenia.

Penderita skizofrenia akan sangat takut dengan keramaian. Karena penderita akan merasa pikirannya penuh dengan apa yang mereka lihat. Imajinasi saja sudah penuh apalagi ditambah dikerumuni orang-orang di keramaian.

Hal ini bisa menyebabkan penderita stres. Gejala ketakutan di tempat ramai akan menyebabkan penderita menarik diri dari lingkungan sosial serta tidak responsif terhadap lingkungan sekitar.

Penampilan diri tidak terurus dan minat terhadap hobi berkurang
Tidak ada penampilan atau prilaku yang khas pada skizofrenia, penampilan pasien skizofrenia berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit dan teragitasi hingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan imobil. Pada pasien skizofrenia kronis cenderung menelantarkan penampilannya dimana kerapian dan higiene pribadi juga terabaikan (Maramis dan Maramis, 2009).

Kondisi kebersihan pribadi yang memburuk bisa menjadi tanda awal penyakit skizofrenia. Perlahan mereka akan meninggalkan kebiasaan harian seperti mandi, menyikat gigi, atau mengganti pakaian yang digunakan. Memburuknya kebersihan diri merupakan akar dari sikap apatis, emosi datar, dan pengabaian diri. Dalam beberapa kasus, penderita skizofrenia sama sekali tak peduli dengan kebersihan dan penampilan mereka.

Skizofrenia akan membuat penderita acuh terhadap sekitar, bahkan sama dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan pikirannya penuh dengan hal-hal aneh yang tidak real. Sehingga penampilan penderita sangat tidak terawat. Selain itu penderita akan kurang meminati hobinya dulu. Apa yang dihobikan akan secara pelan-pelan terlupakan dan digantikan imajinasi yang tiada henti.

Kurangnya motivasi, semisal; hilangnya minat terhadap hal-hal di sekitarnya, bahkan kebersihan pribadi dan perawatan diri, berpikir dan bergerak secara lambat, ekspresi wajah yang datar, juga merupakan “gejala kronis” penyakit skizofrenia.

Diagnosis Skizofrenia

Jika Anda merasa bahwa teman-teman atau keluarga Anda mengalami gejala di atas, Anda wajib mendorong mereka untuk berkonsultasi kepada dokter keluarga, yang akan merujuk mereka ke psikiater, bila diperlukan. Selain pemeriksaan tubuh secara normal, dokter mungkin akan melakukan tes kesehatan untuk keperluan diagnosis skizofrenia, tergantung pada kondisi pasien. Tes kesehatan ini dapat meliputi :
Evaluasi psikologis: melalui percakapan, kuesioner, dll, dokter bisa memahami dan menganalisis gejala-gejala pasien, untuk mendiagnosis apakah pasien menderita skizofrenia atau penyakit mental lainnya. Skizofrenia bisa dibagi lagi menjadi jenis Paranoid, Katatonik, Tidak Terorganisir, dan Residual. Dokter juga akan menanyakan apakah pasien mengonsumsi minuman beralkohol atau narkoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi diri pasien.
Analisis sampel darah, pemindaian tomografi terkomputerisasi atau MRI (pencitraan resonansi magnetik - magnetic resonance imaging) bisa membantu menyingkirkan diagnosis gangguan fisik lain yang bisa menyebabkan gejala yang menyerupai penyakit skizofrenia.

Pada awal tahun 1970-an, kriteria diagnostik untuk skizofrenia menimbulkan sejumlah kontroversi yang akhirnya menghasilkan kriteria operasional yang digunakan sekarang. Setelah dilakukannya Studi Diagnostik AS-Inggris 1971, menjadi jelas bahwa skizofrenia didiagnosis jauh lebih banyak di Amerika dibandingkan di Eropa. Hal ini sebagian disebabkan karena kriteria diagnostik yang lebih longgar di AS, yang menggunakan manual DSM-II, berbeda dengan Eropa dan ICD-9 -nya. Penelitian 1972 oleh David Rosenhan's, yang dipublikasikan dalam jurnal Science dengan judul " Menjadi waras di tempat tidak waras ", menyimpulkan bahwa diagnosis skizofrenia di AS sering bersifat subyektif dan tidak bisa diandalkan. Hal-hal tersebut merupakan beberapa faktor yang menyebabkan revisi pada tidak hanya diagnosis skizofrenia, tetapi juga revisi keseluruhan buku petunjuk DSM, yang menghasilkan publikasi DSM-III dalam tahun 1980. Istilah skizofrenia biasanya disalahpahami sebagaia penderita yang memiliki “kepribadian terbelah”. Walaupun beberapa orang yang didiagnosis dengan skizofrenia mungkin mendengar suara-suara dan mungkin mengalami suara-suara sebagai kepribadian yang berbeda, skizofrenia tidak melibatkan seseorang berubah menjadi kepribadian majemuk yang berbeda. Kebingungan muncul, sebagian karena interpretasi literal dari istilah skizofrenia menurut Bleuler (Bleuler semula mengasosiasikan Skizofrenia dengan disosiasi dan memasukkan kepribadian terbelah dalam kategori Skizofrenia-nya). Gangguan identitas disosiatif (memiliki “kepribadian terbelah”) juga sering salah didiagnosis sebagai Skizofrenia berdasarkan kriteria yang longgar dalam DSM-II. Penggunaan salah yang diketahui pertama kali dari arti skizofrenia sebagai “kepribadian terbelah” adalah dalam sebuah artikel oleh penyair T. S. Eliot pada tahun 1933.


Hal yang penting untuk mendiagnosis skizofrenia adalah gangguan tersebut berlangsung minimal 6 bulan. Selama periode 6 bulan tersebut, terdapat fase aktif (active phase) dari gejala-gejala seperti delusi, halusinasi, bahasa yang tidak teratur, pikrian terganggu, dan gejala negatif (ketidakmampuan berbicara atau kurangya inisiatif) (Halgin dan Whitbourne, 2011).

Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM-IV-TR
Kriteria DSM-IV-TR digunakan di Amerika Serikat dan seluruh dunia, dan sering digunakan dalam studi-studi riset. Kriteria diagnosis ini meliputi :
-Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) poin berikut, masing-masing terjadi dalam porsi waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati) : Waham, Halusinasi, Bicara kacau (contoh: sering melantur atau inkoherensi), Perilaku yang sangat kacau atau katatonik, Gejala negatif yaitu; afek mendatar, alogia atau kehilangan minat.
Catatan: Hanya dibutuhkan satu gejala bila wahamnya bizar atau halusinasinya terdiri atas suara yang terus-menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap.
-Disfungsi sosial/okupasional: selama suatu porsi waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkatan yang telah dicapai sebelum awitan (atau apabila awitan terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja, kegagalan mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau okupasional yang diharapkan).
-Durasi: tanda berkelanjutan gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria fase aktif dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria gejala karakteristik yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (contoh: keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang tidak lazim).
-Ekslusi gangguan mood dan skizoafektif: gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik karena tidak ada episode depresif, manik atau campuran mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif. Maupun jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat dibanding durasi periode aktif dan residual.
-Ekslusi kondisi medis umum/zat : gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis suatu zat (contoh: obat yang disalahgunakan, obat medis) atau kondisi medis umum.
-Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: jika terdapat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis ditambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).

Kriteria diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ-III
Persyaratan normal untuk diagnosis skizofrenia adalah: dari gejala-gejala dibawah ini harus ada paling sedikit satu atau gejala yang sangat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang jelas) dari salah satu kelompok (1) sampai (4), atau paling sedikit dua dari kelompok (5) sampai (8), yang harus selalu ada secara jelas pada sebagian besar waktu selama satu bulan atau lebih.
1.       Thought echo, thought insertion atau thought withdrawal, dan thought broadcasting.
2.       Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence), atau waham pasivitas (delusion of passivity) yang jelas merujuk pada gerakan tubuh atau gerakan ekstremitas, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensasi) khusus; delusion of perception
3.       Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap prilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
4.       Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
5.       Halusinasi yang yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang mengembang atau melayang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun ide-ide yang berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus- menerus.
6.       Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
7.       Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea (waxy flexibility), negativisme, mutisme, dan stupor.
8.      Gejala negatif, seperti bersikap masa bodoh (apatis), pembicaraan terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas, bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik.
9.       Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tidak bertujuan, bersikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Apabila didapati kondisi yang memenuhi kriteria gejala diatas tetapi baru dialami kurang dari satu bulan. Maka harus dibuat diagnosis Gangguan Psikotik Lir-skizofrenia Akut (F23.2). Apabila gejala-gejala berlanjut lebih dari satu bulan dapat dilakukan klasifikasi ulang (Maramis dan Maramis, 2009).

Penyebab Penyakit Skizofrenia

Sampai saat ini para ahli belum mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan seseorang mengalami penyakit kejiwaan. Meski begitu, para peneliti percaya terhadap beberapa hal yang dapat memicu penyakit skizofrenia.

Umumnya skizofrenia dianggap terkait dengan lesi pada otak serta masalah genetika dan psikologis. Beberapa studi menemukan bahwa struktur otak dan sistem saraf pusat dari pasien skizofrenia, seperti yang ditunjukkan pada gambar hasil pemindaian, berbeda dengan orang normal pada umumnya. Selain itu, sekresi dopamin, neurotransmitter di otak, dari pasien skizofrenia lebih tinggi daripada orang normal pada umumnya.

Dibawah ini merupakan diagnosa tentang beberapa penyebab penyakit skizofrenia secara lebih terperinci :

Faktor keturunan
Penyakit skizofrenia ternyata disebabkan karena faktor genetik atau keturunan. Maksudnya penyakit ini dapat diwariskan, misalnya orang tua mengalami gangguan mental, maka bisa jadi anaknya mewarisi penyakit gangguan mental juga.

Bukti-bukti ilmiah sering merujuk pada faktor genetik sebagai penyebab utamanya. Penelitian-penelitian yang menggunakan anak kembar menunjukkan bahwa risiko seseorang mengalami skizofrenia bila saudara kembarnya mengalami skizofrenia adalah sekitar 50 kali lipat. Tetapi penelitian yang lebih mendalam dapat melihat beragam ekspresi gen setiap individu dan menghitung hubungannya dengan diagnosis skizofrenia, tetapi ekspresi gen terkuat hanya berkontribusi sekitar 1% untuk skizofrenia. Selain itu, sebuah penelitian yang melibatkan seluruh populasi sebanyak 1,75 juta orang di Kota Kopenhagen Denmark menunjukkan bahwa lebih dari 80% penderita skizofrenia tidak memiliki saudara yang menderita skizofrenia.

Lingkungan
Hubungan antara faktor lingkungan dan skizofrenia belum banyak diteliti. Bukti-bukti ilmiah  yang sudah banyak direplikasi baru mengenai perbedaan urban-rural, yaitu orang yang tinggal dan tumbuh besar di kota besar itu lebih tinggi 2-3 kali risikonya mengalami skizofrenia dibandingkan dengan orang yang tinggal di desa. Bukti-bukti lain masih belum banyak direplikasi. Misalnya, ada banyak penelitian menunjukkan kalau pengalaman traumatik masa kecil (seperti pernah mengalami kekerasan seksual) meningkatkan risiko skizofrenia. Ada juga penelitian yang menunjukkan kalau mengalami perundungan (bully) pada masa kecil dapat meningkatkan risiko skizofrenia. Akan tetapi, bukti-bukti ilmiah untuk perundungan masih belum sekuat pengalaman traumatik.

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan timbulnya skizofrenia di antaranya adalah lingkungan tempat tinggal, penggunaan obat dan stres masa kehamilan. Gaya pengasuhan tampaknya tidak memberikan pengaruh besar, walaupun penderita yang mendapat dukungan dari orang tua keadaannya lebih baik daripada penderita dengan orang tua yang suka mengkritik dan kasar. Tinggal di lingkungan urban pada waktu masa kanak-kanak atau masa dewasa secara konsisten tampaknya menaikkan risiko skizofrenia dua kali lipat, bahkan setelah memperhitungkan faktor penggunaan obat, kelompok etnis, dan ukuran dari kelompok sosial. Faktor lain yang memainkan peranan penting termasuk isolasi sosial dan imigrasi yang berhubungan dengan kesulitan sosial, diskriminasi rasial, disfungsi keluarga, pengangguran, dan kondisi perumahan yang buruk.

Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat” (Maramis, 2008).

Penyalahgunaan obat
Sejumlah obat dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia, termasuk kanabis, kokain, dan amfetamin. Sekitar sebagian dari penderita skizofrenia merupakan pengguna obat-obatan dan/atau alkohol secara berlebihan. Peran kanabis dapat merupakan penyebab, tetapi obat lainnya dapat digunakan hanya sebagai cara untuk mengatasi depresi, kecemasan, kebosanan, dan rasa kesepian.

Ketergantungan dalam penggunaan ganja dengan dosis tinggi berisiko berkembangnya gangguan psikotik yang penggunaannya sering berkorelasi dengan dua kali peningkatan risiko psikosis dan skizofrenia. Walaupun penggunaan ganja diterima sebagai sebab yang berkontribusi terhadap skizofrenia oleh banyak pihak, hal itu tetaplah sebuah kontroversial. Amfetamin, kokain, dan pada derajat tertentu yang lebih rendah, alkohol, dapat menyebabkan psikosis yang bergejala sangat serupa dengan skizofrenia. Meskipun tidak secara umum dipercaya sebagai satu-satunya sebab penyakit, penderita skizofrenia yang menggunakan nikotin memiliki rata-rata yang jauh lebih besar dibandingkan populasi pada umumnya.

Faktor perlakuan saat hamil dan di saat persalinan
Penyakit skizofrenia bisa terjadi apabila saat ibu hamil kurang memberi nutrisi untuk kandungannya, terinfeksi virus, preeklamsia, diabetes dan pendarahan saat masa kehamilan.

Sementara pada proses persalinan yang kekurangan oksigen, berat badan sang bayi rendah, dan lahir prematur bisa menjadi penyebab skizofrenia.

Neurologis, cidera otak, serta kurangnya sistem kekebalan tubuh
Penderita skizofrenia bisa dikarenakan cedera pada otak yang membuat struktur pada otak bergeser. Cidera otak yang dimaksud bisa seperti akibat jatuh ataupun kecelakaan.

Kadar seratonin dan dopamine di dalam otak yang tidak seimbang diyakini apara hli bisa menyebabkan penyakit skizofrenia. Studi pemindai saraf otak juga menunjukkan perbedaan dalam struktur otak dan sistem saraf pusat orang dengan penyakit skizofrenia. Para peneliti pun tidak yakin mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Hipotesis dopamin menjelaskan bahwa skizofrenia muncul karena masalah ketidakseimbangan dopamin, yaitu senyawa kimia pengirim informasi yang ada di otak. Bukti-bukti teori ini dapat dilihat dari obat-obatan skizofrenia yang intinya mengurangi absorpsi dopamin ke sinaps-sinaps. Selain itu, penemuan dalam ranah genetik juga menunjukkan bahwa gen yang terkait dengan fungsi dopamin memang berhubungan dengan skizofrenia.

Pengidap skizofrenia juga memiliki perbedaan struktur dan fungsi otak, bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki gangguan mental. Ventrikel otak pengidap skizofrenia memiliki ukuran yang lebih besar. Ventrikel sendiri adalah bagian dalam otak yang berisi cairan. Pengidap skizofrenia memiliki ukuran Lobus temporalis yang lebih kecil. Ingatan dalam otak manusia berkaitan dengan lobus temporalis. Dan, sel-sel pada otak memiliki koneksi yang lebih sedikit.

Selain itu penderita skizofrenia bisa disebabkan kekurangan sistem kekebalan tubuh, seperti penyakit autoimun atau peradangan. Karena itulah, tindakan pemberian vaksin dan juga obat kekebalan tubuh merupakan sebuah upaya penting.

Functional magnetic resonance imaging (fMRI) dan teknologi pencitraan otak lainnya memungkinkan studi perbedaan aktivitas otak pada orang-orang yang didiagnosis menderita skizofrenia. Gambar terkait menunjukkan dua tingkat otak dengan daerah otak yang lebih aktif pada responden kontrol yang sehat dibandingkan dengan pasien skizofrenia yang ditunjukkan dengan warna merah, dalam satu studi fMRI tentang kerja memori.

Skizofrenia diasosiasikan dengan perbedaan samar dalam struktur otak, ditemukan dalam 40 sampai 50% kasus, dan dalam kimiawi otak selama keadaan psikotik akut. Studi menggunakan tes neuropsikologi dan teknologi pencitraan otak seperti fMRI dan PET untuk memeriksa perbedaan fungsional aktivitas otak telah menunjukkan bahwa perbedaan sepertinya lebih sering terjadi pada bagian lobus frontal, hipokampus dan lobus temporal. Berkurangnya volume otak, lebih kecil daripada yang ditemukan pada penyakit Alzheimer, telah dilaporkan pada daerah korteks frontal dan lobus temporal. Belum jelas apakah perubahan volumetrik ini adalah progresif atau sudah ada sebelum menderita penyakit. Perbedaan ini dikaitkan dengan defisit neurokognitif yang sering diasosiasikan dengan skizofrenia. Karena sirkuit-sirkuit saraf berubah, sebagai alternatif telah diajukan bahwa skizofrenia seharusnya dianggap sebagai suatu gabungan dari gangguan-gangguan perkembangan saraf.

Perhatian khusus diberikan pada fungsi dopamin di dalam jalur mesolimbik otak. Hal ini berfokus sebagian besar pada penemuan secara tidak sengaja bahwa obat-obatan golongan fenotiazin, yang menghambat fungsi dopamin, dapat mengurangi gejala-gejala psikotik. Hal ini juga dikuatkan dengan fakta bahwa amfetamin, yang memicu pelepasan dopamin, dapat menguatkan gejala-gejala psikotik pada skizofrenia.

Hipotesis dopamin sekarang dianggap terlalu menyederhanakan, sebagian karena pengobatan antipsikotik yang lebih baru (pengobatan antipsikotik atipikal ) dapat sama efektifnya dengan pengobatan yang lebih lama (pengobatan antipsikotik tipikal ), tetapi juga mempengaruhi fungsi serotonin dan mungkin memiliki efek penghambatan dopamin yang sedikit lebih kecil. Perhatian juga difokuskan pada neurotransmiter glutamat dan berkurangnya fungsi reseptor glutamat NMDA dalam skizofrenia, sebagian besar karena tingkat reseptor glutamat yang sangat rendah secara tidak wajar yang ditemukan pada otak pascakematian pada orang-orang yang didiagnosis menderita skizofrenia, dan penemuan obat-obatan penghambat glutamat seperti fensiklidin dan ketamin dapat meniru gejala-gejala dan masalah kognitif yang diasosiasikan dengan kondisi tersebut. Fungsi glutamat yang berkurang terkait dengan buruknya performa pada tes-tes yang membutuhkan fungsi lobus frontal dan hipokampus, dan glutamat dapat mempengaruhi fungsi dopamin, keduanya berakibat dalam skizofrenia, menunjukkan suatu peran penting dalam menghubungkan (dan kemungkinan menyebabkan) jalur glutamat dalam kondisi tersebut.

Stres dan depresi
Banyak mekanisme psikologis yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan skizofrenia. Bias kognitif telah diidentifikasi pada orang-orang yang didiagnosis atau berisiko menderita skizofrenia, terutama ketika dalam keadaan stres atau situasi yang membingungkan. Beberapa fitur kognitif dapat mencerminkan defisit neurokognitif global seperti hilangnya memori, sementara beberapa fitur lain dapat berhubungan dengan masalah atau pengalaman tertentu.

Meskipun penampilan yang tampak adalah tumpulnya emosi, studi terbaru menunjukkan bahwa banyak individu yang didiagnosis menderita skizofrenia memiliki emosi yang responsif, khususnya terhadap stimulus stres atau negatif, dan bahwa sensitivitas tersebut dapat menimbulkan kerentanan terhadap gejala maupun gangguan tersebut. Beberapa bukti menunjukkan bahwa muatan waham dan pengalaman psikotik dapat mencerminkan penyebab emosional dari gangguan tersebut, dan bagaimana seseorang menafsirkan pengalaman tersebut dapat mempengaruhi simtomatologi. Penggunaan "perilaku aman" untuk menghindari ancaman imajinatif dapat berkontribusi terhadap kekronisan waham.

Stres bisa menjadi biang keladi seseorang menderita skizofrenia. Stres bisa disebakan oleh penceraian, pemerkosaan, dan kasus-kasus psikologis lainnya. Akibat stres tersebut bisa menjadikan orang lari ke obat-obatan terlarang seperti napza, kokain, amfetamin dan lain-lain.

Sebuah penelitian juga membuktikan depresi dapat mempengaruhi seseorang terserang skizofrenia atau pun sebaliknya, terlebih jika dia memiliki resiko skizofrenia secara genetik. Hasil penelitian itu dibuktikan oleh tim peneliti dari The University of Edinburgh dan diterbitkan dalam jurnal Translational Psychiatry.

Peneliti dari Edinburg menggunakan sampel yang disediakan oleh Generation Scotland, sebuah organisasi kemanusiaan yang memiliki sejumlah relawan dalam mencari tahu penyebab depresi. Lembaga tersebut memeriksa apakah seseorang memikiki gen yang menempatkan mereka pada resiko terserang skizofrenia sehingga menyebabkan seseorang mudah terserang depresi. Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa mungkin ada kelompok orang yang mengalami depresi dan berakibat pada peningkatan resiko terserang skizofrenia.

Cara Mengobati Skizofrenia

Skizofrenia bisa diobati, tetapi penyakit ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Semakin cepat dideteksi dan diobati, semakin baik prognosis untuk pemulihannya.

Jika tidak dilakukan pengobatan yang tepat, emosi, perilaku serta kehidupan sehari-hari pasien bisa sangat terpengaruh secara negatif. Pasien mungkin menjadi depresi, menyakiti diri sendiri atau bahkan melakukan upaya bunuh diri.

Deteksi dini skizofrenia amat diperlukan untuk menemukan pengobatan yang tepat. Deteksi dini ini biasanya bisa dilakukan bila ditemukan sejumlah gejala seperti seseorang tidak bisa menyampaikan ide secara runtut, konsentrasi terganggu, berhalusinasi atau memiliki persepsi inderawiah palsu dan pergolakan emosi.


Spesialis kesehatan jiwa mengungkapkan, penderita skizofrenia (ODS) berpeluang tidak perlu mengonsumsi obat dalam jangka panjang bila gejala penyakitnya terdeteksi di episode awal. "Orang dengan skizofrenia perlu mengonsumsi obat jangka panjang. Tetapi bila gangguan ditemukan pada episode awal, pengobatan bisa saja hanya dua tahun, lalu dievalusi apakah obat benar-benar dihentikan," ujar dr. A.A. A. Agung Kusumawardhani, SpKJ(K) (dilansir dari Antara). Lebih lanjut, bila penderita masih mengalami kekambuhan, maka dokter perlu mengevaluasi setelah lima tahun masa pengobatan penderita. Obat-obatan di sini dibutuhkan untuk mengatasi kelebihan dopamin tersebut. Selain obat, penderita juga memerlukan terapi psikososial misalnya pemberian bekal keterampilan agar ia siap kembali ke lingkungan sosialnya.

Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari, 2009). Dibawah ini merupakan penjelasan terperinci cara pengobatan penderita skizofrenia.

Merawat penderita di rumah sakit jiwa
Hidup serumah dengan orang yang memiliki penyakit ini memang bukan hal yang mudah. Anda membutuhkan sejumlah strategi untuk membimbing dan menghadapi pasien agar mempercepat proses pemulihannya.

Rumah sakit jiwa bisa menjadi opsi alternatif untuk mengobati penderita. Hal ini dikarena penderita akan dirawat dan diperhatikan secara khusus. Kebersihan, nutrisi dan keamanan penderita akan terjaga oleh rumah sakit jiwa.

Rehabilitasi akan bisa membantu dan melatih pasien untuk menghadapi dan mengelola kehidupan mereka sehari-hari. Tergantung pada kondisi tiap individu, para ahli medis profesional akan menetapkan program pengobatan yang sesuai bagi diri pasien, misalnya pelatihan perawatan diri (termasuk kebersihan diri, memasak, keselamatan rumah tangga, adaptasi terhadap masyarakat, dan penggunaan uang), pelatihan kemampuan kerja, manajemen stres, dan keterampilan interpersonal dengan anggota keluarga lainnya.

Antipsikotik
Obat bisa mengurangi atau menghilangkan gejala positif dari pasien secara efektif, misalnya delusi, halusinasi, dan pikiran yang tidak teratur. Obat juga bisa mengendalikan kecemasan dan membantu pasien untuk kembali ke kehidupan nyata. Namun terdapat efek samping dari obat yang dikonsumsi, misalnya kekakuan otot, gerakan yang lambat, tangan gemetar, mulut kering, sembelit, kelelahan, detak jantung yang cepat, dan peningkatan berat badan.

Sangat dianjurkan bagi penderita skizofrenia supaya mengkonsumsi obat antipsikotik. Obat antipsikotik ini akan membuat penderita lebih tenang dan mengurangi imajinasi. Obat antipsikotik sendiri terdapat dua macam yakni generasi pertama dan kedua.

Indikasi pemberian pada pasien skizofrenia karena antipsikotik efektif mengendalikan “gejala postitif” pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity) dan mencegah kekambuhan. Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah diagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (Katona dkk.,2012; Maramis dan Maramis, 2009). Pada pasien dengan serangan psikosis yang multiepisode, terapi pemeliharaan (maintenace) diberikan selama 5 tahun, dan dapat menurunkan derajat kekambuan 2,5 sampai dengan 5 kali (Maslim, 2007). Lama minimum pengobatan antipsikotik adalah 4 sampai dengan 6 minggu pada dosis adekuat. Bila terdapat reaksi yang buruk pada dosis pertama, berkorelasi kuat dengan respon yang buruk dan ketidakpatuhan dalam pengobatan (Sadock dan Sadock, 2014).

Dosis antipsikotik disesuaikan sehingga tercapai dosis terapeutik, dapat dimulai dengan dosis rendah lalu perlahan dinaikkan, dapat juga langsung diberi dosis tinggi tergantung keadaan pasien dan kemungkinan timbulnya efek samping (Maramis dan Maramis, 2009) Antipsikotik potensi rendah (dosis terapeutik tinggi) meliputi Chlorpromazine (Thorazin) dan Thioridazine (Mellaril) rupanya lebih baik pada pasien yang sangat terganggu seperti hiperaktivitas motorik, kegelisahan, kegaduhan, agitasi, agresif dan destruktif karena obat potensi rendah ini memiliki efek yang lebih menengangkan daripada obat antipsikotik potensi tinggi (Halgin dan Whitbourne, 2011). Antipsikotik potensi tinggi seperti Trifluoperazine (Stelazine), Fluphenazine (Proxilin), Haloperidol (Haldol) efektif untuk gangguan proses berpikir (non-realistik, waham dan sebagainya) dan gangguan persepsi (Maramis dan Maramis, 2009).

Obat antipsikotik tipikal (conventional) memberikan dampak pada “gejala positif” skizofrenia seperti halusinasi, merespon lebih baik dibandingkan “gejala negatif” seperti alogia dan afek tumpul (Oltmanns dan Emery, 2013). Obat yang sering digunakan saat ini adalah golongan fenotiazin (Chlorpromazin, Thioridazine, Fluphenazine dan Trifluoperazine), golongan butirofenon (Haloperidol), gologan thioxantin (Flupentiksol, Zuklopentiksol), golongan difenilbutilpiperidin (Pimozide), golongan subtitusi benzamid (Sulpiride) (Katona dkk.,2012). Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah menghambat reseptor dopamin postsinaps neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal, sehingga efektif untuk gejala postif.

Sedangkan kelompok obat yang termasuk antipsikotik atipikal yaitu; Risperidone (Risperdal), olanzapine (Zyprexa), Quetiapine (Seroquel), Clonzapine (Clozaril) dan Ziprasidone (Zeldox), yang terbaru Aripriprazole (Abilify) (Oltmanns dan Emery, 2013). Obat antipsikotik atipikal selain berafinitas terhadap reseptor dopamin juga terhadap 5-HT2 (serotonin) reseptor, sehingga efektif untuk gejala negatif. (Maslim, 2007) . Tidak hanya bekerja pada daerah tersebut namun antipsikotik bekerja pada daerah lain di otak, seperti striatum yang akan menyebabkan efek samping berupa extrapiramidal syndrome seperti parkinson, sedangkan apabila menghambat reseptor D2 pada sel lactotroph menyebabkan hiperprolaktinemia, akibat inhibitor utama yang bekerja pada sel lactotroph yaitu dopamin tidak tersedia (Chisea dkk., 2013).

Obat antipsikotik juga mempengaruhi sejumlah neurotransmiter lain, tidak hanya dopamin dan serotonin, termasuk norephineprin dan asetilkolin (Oltmanns dan Emery, 2013). Dengan kata lain, obat antipsikotik menimbulkan dua hasil, yaitu tercapainya hasil terapeutik dengan berkurangnya frekuensi dan intensitas gejala psikotik, namun juga memberikan konsekuensi negatif karena obat antipsikotik juga mempengaruhi fungsi endokrin pada individu yang menggunakannya (Halgin dan Whitbourne, 2011).

Obat antipsikotik menghasilkan efek samping yang tidak menyenangkan dan muncul dengan derajat yang beragam (Oltmanns dan Emery, 2013). Efek yang ditimbulkan sebagai antidopaminergik, antikolinergik, antiadrenergik, antihistaminergik, efek samping pada jantung dan bersifat toksik. Karena efek yang poten sebagai antidopaminergik, terutama golongan tipikal akan menyebabkan gangguan ekstrapiramidal (Katona dkk.,2012). Ekstrapyramidal syndrome (EPS) merupakan gangguan neurologis, berupa kaku otot, tremor, agitasi, postur yang tidak stabil, dan inersia motorik (Oltmanns dan Emery, 2013). akatisia (tidak dapat duduk lama di satu tempat atau restless leg syndrome) (Maramis dan Maramis, 2009). Suatu efek neurologis yang paling menimbulkan masalah akibat penggunaan jangka panjang adalah gangguan saraf yang tidak dapat diperbaiki yang disebut diskinesia tardif (tardive dyskinesia) ditandai dengan pergerakan yang tidak terkontrol pada mulut dan lidah (mastikator- bukolingual), bibir, jari-jari, lengan kaki dan tubuh hingga kesulitan menelan (Halgin dan Whitbourne, 2011).

Sedangkan antipsikotik golongan atipikal atau Second Generation Antipsychotic (SGA) memiliki efek yang kurang terhadap gangguan motorik bila dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Beberapa studi hasil melaporkan bahwa13 persen pasien yang menggunakan antipsikotik atipikal (Olanzapine, Risperidone) mengembangkan tardive dyskinesia bila dibandingkan dengan antipsikotik tipikal sebesar 32 persen. Namun antipsikotik atipikal tidak lebih efektif dibandingkan antipsikotik tipikal dalam menangani gangguan negatif (Oltmanns dan Emery, 2013).

Efek antikolinergik mencakup mulut kering, konfusi, retensi urin. Efek samping antiadrenergik mencangkup hipotensi postural terutama antipsikotik potensi rendah (Maramis dan Maramis, 2009). Apabila terjadi syok karena antipsikotik, tidak boleh diberikan adrenalin karena bersifat alfa and beta andrenergic stimulator sehingga dapat memperparah syok (adrenalin reversal) sehingga sebaiknya diberikan noradrenalin (Maslim, 2007). Efek antikolinergik lain akibat antipsikotik yang dilaporkan adalah impotensi (Katona dkk.,2012).

Antihistaminergik pada antipsikotik menimbulkan efek sedasi apabila setelah mengkonsumsinya (Katona dkk.,2012). Efek yang lain yang ditimbulkan selain sedasi adalah inhibisi psikomotor berupa kewaspadaan yang berkurang, kinerja psikomotor menurun dan kemampuan kognitif menurun (Maslim, 2007). Antipsikotik juga terkait gangguan jantung berupa pemanjangan interval QT pada EKG dan aritmia (Katona dkk.,2012). Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) merupakan salah satu efek samping antipsikotik yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi khususnya pada obat potensi tinggi. Kondisi dehidrasi, kelelahan, atau manultrisi menjadi resiko untuk tejadinya SNM (Maslim, 2007).

Gejala Sindrome Neuroleptik Maligna meliputi hiperpireksia, ketidakstabilan otonomik, konfusi dan peningkatan tonus otot, peningkatan serum kreatinin fosfokinase, dan dengan phenotiazine menyebabkan diskrasia darah, pigmentasi retina, fotosensitivitas dan ikterus kolestatik (Katona dkk.,2012).

Tidak hanya itu, antipsikotik menyebabkan gangguan endokrin dan metabolik terutama pada pemakaian jangka panjang (Maslim, 2007). Efek metabolisme yang dilaporkan adalah penambahan berat badan (terutama dengan Clozapine dan Olanzapine), hiperlipidemia, hiperglikemia hingga gangguan toleransi glukosa (Katona dkk.,2012; Halgin dan Whitbourne, 2011). sehingga masalah ini meningkatkan resiko untuk masalah medis tambahan seperti, diabetes, hipertensi, dan penyakit arteri koroner (Oltmanns dan Emery, 2013). Penggunaan antipsikotik tipikal maupun atipikal jangka panjang dapat menyebabkan diabetes tipe II (Sadock dan Sadock, 2014).

Efek endokrin mencakup hiperprolaktinemia dan sebagai akibatnya amenorea, galaktorea, dan disfungsi seksual (Katona dkk.,2012). Pada antipsikotik tipikal, hambatan reseptor dopamin pada jaras tuberoinfudibular mengakibatkan peningkatan prolaktin yang dapat menimbulkan pembesaran payudara, galaktorea dan impotensi pada laki-laki dan hambatan orgasme pada perempuan, sebaliknya antipsikotik atipikal sedikit hingga tidak disertai peningkatan kadar prolaktin, kecuali risperidone memiliki potensi menyebabkan hiperprolaktinemia (Sadock dan Sadock, 2014).

Para pasien melaporkan bahwa ganguan pergerakan, mengantuk, penambahan berat badan dan disfungsi seksual merupakan efek samping antipsikotik yang paling menyulitkan (Katona dkk.,2012). Penggunaan dua atau lebih antipsikotik (antipsychotic polypharmacy) dapat meningkatkan efek samping berupa parkinsonisme, efek antikolinergik serta peningkatan kadar prolaktin bila dibandingkan dengan antipsikotik tunggal. Hal tersebut dikarenakan meningkatnya dosis total dan hambatan pada reseptor dopamin (Gallego dkk., 2012).

Skizofrenia memiliki tingkat kekambuhan yang sangat tinggi, pasien harus berkonsultasi kepada dokter secara berkala dan minum obat dengan dosis dan interval waktu seperti yang ditetapkan oleh dokter. Bagi sebagian besar pasien, pengobatan jangka panjang bisa mengurangi kemungkinan kambuh secara signifikan dan menjaga diri pasien dalam keadaan rehabilitasi. Selain itu, pasien harus menjalani pelatihan rehabilitasi, kembali ke masyarakat secara bertahap untuk pemulihan yang lebih cepat.

Terapi kognitif
Teori kognitif yang menjadi landasan dari terapi kognitif perilaku untuk skizofrenia. Dalam teori ini, skizofrenia dianggap muncul karena adanya interpretasi yang salah pada pengalaman anomali. Pengalaman anomali tersebut bisa seperti salah dengar ada orang yang memanggil. Kesalahan interpretasi ini umumnya mudah terjadi bila orang tersebut memiliki konsep diri yang buruk dan sering mengalami perasaan negatif seperti depresi dan cemas.

Pikiran yang carut marut nyatanya bisa ditata dengan terapi kognitif. Terapi kognitif merupakan pengobatan yang dilakukan untuk merapikan konsep pemikiran penderita. Dengan terapi kognitif, penderita akan dituntun untuk menemukan kebiasaan alam bawah sadarnya, sehingga akan menyadari apa yang ia lakukan salah.

Apabila cara pikirnya sudah sesuai logika, maka akan dilakukan terapi perilaku untuk membiasakan berperilaku yang baik dan menghilangkan pemikiran negatif. Penderita pelan-pelan akan dikenalkan dengan aktivitas-aktivitas bermanfaat seperti membuat suatu kerajinan. Hal ini akan mendorong penderita menjadi normal seperti manusia lainnya.

Dukungan keluarga
Meski pasien sudah keluar dari rawat inap, mereka juga butuh didampingi agar teta berada di jalur pemulihan yang benar. Dorongan dan dukungan Anda serta orang-orang di sekitarnya adalah hal yang penting baginya untuk melanjutkan terapi.

Aspek dukungan keluarga juga memiliki peran penting pasien. Jika keluarganya menghadapi pasien skizofrenia dengan cara dan sikap yang benar, mendukung pasien dengan mengikuti program pengobatan dengan benar, dan mengawasi perubahan kondisi dan gejalanya, maka pasien akan mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, anggota keluarganya juga harus memperhatikan kesehatan fisik dan mental mereka sendiri, belajar bagaimana cara untuk bersantai, dan mencari bantuan jika diperlukan saat merawat pasien. Anggota keluarga harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan komentar secara kritis, membuat sikap bermusuhan, dan menumbuhkan perasaan ikut campur secara berlebihan kepada diri pasien. Menurut penelitian yang dilakukan, sikap-sikap yang tidak diinginkan ini (emosi yang dikeluarkan secara negatif) telah terbukti meningkatkan tingkat kekambuhan penyakit skizofrenia.

Dalam banyak kasus, orang yang memiliki penyakit ini sering diasingkan atau bahkan dipasung karena banyak orang menganggap mereka berbahaya. Ingat, seseorang dengan penyakit ini sering tidak menyadari bahwa mereka tidak sehat, sampai mereka mendapatkan perawatan. Oleh karena itu, memotivasinya untuk mendapatkan bantuan medis guna mengelola gejala adalah landasan perawatan yang tepat.

Belajar tentang penyebab, faktor pemicu, gejala, hingga pengobatannya akan membantu Anda dalam membuat keputusan bagaimana cara terbaik merawat pasien.

Tindakan Pencegahan

Saat ini belum disimpulkan adanya bukti efektivitas intervensi dini untuk mencegah skizofrenia. Meski terdapat bukti bahwa intervensi dini pada orang dengan episode psikotik dapat memperbaiki hasil jangka pendek, hanya sedikit manfaat upaya ini setelah lima tahun. Usaha untuk mencegah skizofrenia pada fase prodromal/awal belum jelas manfaatnya dan karena itu sejak tahun 2009 tidak disarankan. Pencegahan sulit dilakukan karena tidak ada petanda yang tepercaya untuk terjadinya penyakit di kemudian hari. Namun, beberapa kasus skizofrenia dapat ditunda atau mungkin dicegah dengan mencegah pemakaian ganja, khususnya pada remaja. Seorang dengan riwayat skizofrenia dalam keluarga mungkin lebih rentan terhadap psikosis yang dipicu ganja. Dan, satu studi menemukan bahwa gangguan psikotik yang dipicu ganja diikuti oleh terjadinya kondisi psikotik persisten pada sekitar setengah kasus.

Faktor risiko atas terjadinya skizofrenia bisa dilakukan dengan diagnosis sedari dini jika ada anggota keluarga yang memiliki indikasi akan adanya gejala skizofrenia. Keharmonisan keluarga juga menjadi hal yang penting untuk dijaga, serta melakukan kegiatan positif dan rutin berolahraga juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan mental seseorang. Jika seseorang terdiagnosis mengidap skizofrenia, penanganan medis dan pemberian resep dokter akan sangat berguna. Hal tersebut tentu saja bertujuan untuk menghindari gejala skizofrenia semakin parah.


Penelitian teoretis berlanjut pada strategi yang mungkin dapat menurunkan angka kejadian skizofrenia. Salah satu pendekatan berusaha memahami apa yang terjadi pada tingkat genetik dan neurologis yang dapat menyebabkan penyakit, sehingga dapat dikembangkan intervensi biomedis. Namun, efek genetik yang bermacam-macam dan bervariasi, masing-masing dalam skala kecil, yang berinteraksi dengan lingkungan, membuat hal ini menjadi sulit. Kemungkinan lain, strategi kesehatan masyarakat dapat secara selektif mengatasi faktor sosioekonomi yang dikaitkan dengan angka kejadian skizofrenia yang lebih tinggi pada beberapa kelompok, misalnya terkait imigrasi, etnisitas, atau kemiskinan. Strategi berskala populasi dapat menyediakan layanan untuk memastikan kehamilan yang aman dan pertumbuhan yang sehat, termasuk di area perkembangan psikologis seperti kecerdasan sosial. Namun, belum cukup bukti untuk menerapkan ide yang demikian untuk saat ini, dan sejumlah masalah yang lebih luas memang tidak spesifik pada skizofrenia.

Meskipun tidak ada tindakan pencegahan yang memiliki tingkat keberhasilan 100%, namun kemungkinan morbiditas dan kambuhnya penyakit ini bisa dikurangi dengan menghindari penyalahgunaan narkoba. Pilih metode yang sesuai untuk menghilangkan stres, menjaga pola pikir positif, dan luangkan waktu istirahat yang cukup untuk membantu menjaga kesehatan mental Anda.

Menurut Suryani dalam Hendriyana (2013), stigma terhadap penderita gangguan jiwa di Indonesia masih sangat kuat. Dengan adanya stigma ini, orang yang mengalami gangguan jiwa terkucilkan, dan dapat memperparah gangguan jiwa yang diderita. Pada umumnya penderita gangguan jiwa berat dirawat dan diberi pengobatan di rumah sakit. Setelah membaik dan dipulangkan dari rumah sakit, tidak ada penanganan khusus yang berkelanjutan bagi penderita. Pengobatan penderita gangguan jiwa merupakan sebuah journey of challenge atau perjalanan yang penuh tantangan yang harus berkelanjutan. Penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu kali perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan. Karena itu, dibutuhkan pendampingan yang terus menerus sampai pasien benar-benar sembuh dan bisa bersosialisasi dengan orang lain secara normal. Ketika di rumah, dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar sangat dibutuhkan agar penderita bisa menjalani proses penyembuhannya.


Penderita gangguan jiwa seringkali mendapat stigma dari lingkungan sekitarnya. Stigma tersebut melekat pada penderita sendiri maupun keluarganya. Hal ini karena penderita gangguan jiwa sendiri sudah dinamakan secara berbeda dari penderita penyakit fisik lainnya. Beberapa orang percaya bahwa gangguan jiwa merupakan hasil dari pilihan-pilihan yang buruk, dalam penelitian Tyas (2008), Wardhani, dkk (2011) dan Colucci (2013) disebutkan bahwa gangguan jiwa terjadi akibat sebab supranatural dan ada pula yang mempercayai akibat keturunan dari orang tua atau kerabat terdekatnya. Selain itu, orang dengan gangguan jiwa dipercaya sebagai orang yang berbahaya dan tidak bisa diprediksi, kurang kompeten, tidak dapat bekerja, harus dirawat di RSJ, dan tidak akan pernah sembuh. Stigma terhadap penderita gangguan jiwa akan semakin kompleks apabila penanganannya tidak berlanjutan. Sikap pasrah keluarga penderita gangguan jiwa, yang membiarkan penderita gangguan jiwa untuk dipasung karena tidak ada biaya untuk pengobatan lebih lanjut.

Selain itu rasa malu yang ditanggung oleh keluarga merupakan stigma yang dibuat sendiri oleh keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Sehingga bantuan dari lingkungan sekitar untuk mengobati penderita tidak diperhatikan lagi. Rasa malu tersebut menyebabkan keluarga penderita gangguan jiwa menutup diri dari lingkungan. Stigma pada penderita gangguan jiwa berat menyangkut pengabaian, prasangka dan diskriminasi. Pengabaian merupakan masalah pengetahuan dari masyarakat terkait gangguan jiwa itu sendiri. Prasangka merupakan masalah dari sikap, baik itu dari penderita yang mengarah pada stigma diri maupun dari masyarakat yang menimbulkan stigma terhadap penderita gangguan jiwa. Sedangkan diskriminasi merupakan masalah dari perilaku, baik itu dari penyedia layanan penanganan kesehatan jiwa maupun dari masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa berat (Thornicroft, et al, 2008).

Penanganan untuk skizofrenia yang paling sesuai dengan hasil penelitian mutakhir ada di Inggris. Di sana, Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan bahwa penanganan untuk skizofrenia pada dasarnya adalah terapi obat antipsikotik. Pada saat yang sama, pasien skizofrenia selalu diberikan tawaran untuk mendapatkan terapi kognitif perilaku untuk skizofrenia dari psikolog klinis dewasa.

Dari penjelasan di atas, Anda bisa memahami apa yang dirasakan oleh penderita skizofrenia. Dengan begitu, Anda bisa tahu cara terbaik untuk menanggapi mereka. Dan, jika Anda ternyata pernah mengalami gejala-gejala di atas, segeralah menghubungi psikiater untuk mendapatkan bantuan.


pasang iklan disini




loading...