Friday 6 March 2020

Penjelasan Tentang Sistem Olah Tanah Konversi


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...

Penjelasan Tentang Sistem Olah Tanah Konversi

Utomo dkk (1992) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com (2012) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Menurut Kustiawan (1997) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com, konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasinya lahan secara umum menyangkut trnsformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu pengunaan ke pengunaan lainnya.

Menurut Agus (2004) konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh manusia (anthropogenic), bukan suatu proses alami. Kita ketahui bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya konversi lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah system produksi pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif.

Menurut Irawan (2005) Konnversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan non pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : a) keterbatasan sumberdaya lahan, b) pertumbuhan penduduk, dan c) pertumbuhan ekonomi.

Sihaloho (2004) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com, membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:
-Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
-Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
-Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
-Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
-Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.
-Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
-Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk ; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.

Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konversi lahan adalah berubahnya pengunaan lahan dari pengunaan semula, misalnya dari lahan pertanian dikonversikan menjadi permukiman, dari hutan dikonversikan menjadi lahan pertanian, perkebunan atau yang lainnya.

Pengolahan tanah dapat diartikan sebagai kegiatan manipulasi mekanik terhadap tanah. Tujuannya adalah untuk mencampur dan menggemburkan tanah, mengontrol tanaman pengganggu, dan menciptakan kondisi kegemburan tanah yang baik untuk pertumbuhan akar tanaman. Sedangkan pengolahan tanah secara konvesional  yang biasa dilakukan oeh masyarakat adalah sistem pengolahan tanah yang melakukan penggarapan tanah secara maksimal, membalik-balikkan tanah hingga kedalaman + 20 cm, serta tanpa adanya pemanfaatan residu tanaman dan gulma sebagai tutupan lahan yang melindungi tanah dari erosi dan tingginya aliran permukaan tanah. Pengolahan tanah seperti ini ditujukan untuk mendapatkan kondisi tanah yang baik yang mendukung pertumbuhan akar tanaman, sehingga diperoleh hasil produksi yang diinginkan. Namun tanpa disadari dalam jangka  panjang pengolahan tanah seperi ini akan menurunkan kualitas tanah, seperti hilangnya bahan organik tanah, degradasi tanah, dan penurunan produktivitas lahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu sistem pengolahan tanah yang dapat mempertahankan bahkan meningkatkan produktivitas suatu lahan. Sistem pengolahan tanah yang dapat diterapkan adalah sistem pengolahan tanah konservasi (Sinukaban, 1990).

Selanjutnya Sinukaban (1990), juga menjelaskan  bahwa pengolahan tanah konservasi (conservation tillage) adalah setiap cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk mengurangi besarnya erosi, aliran permukaan, dan dapat mempertahankan atau meningkatkan produksi. Untuk memenuhi kriteria tersebut, pengolahan tanah harus dapat menghasilkan permukaan tanah yang kasar sehingga simpanan aerasi dan infiltrasi meningkat, serta dapat menghasilkan sisa-sisa tanaman dan gulma pada permukaan tanah agar dapat menekan energi butir hujan yang jatuh.

Utomo (1995), mendefinisikan pengolahan tanah konservasi sebagai suatu pengolahan tanah yang bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimum, namun tetap memperhatikan aspek konservasi tanah dan air.  Pengolahan tanah seperti ini dicirikan oeh berkurangnya pembongkaran/pembalikan tanah, penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa, dan kadang-kadang disertai dengan penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya. Utomo (1995), juga menambahkan  bahwa kelebihan dari penerapan sistem pengolahan tanah seperti ini dalam penyiapan lahan adalah sebagai berikut : 1) menghemat tenaga dan waktu, 2) meningkatkan kandungan BO tanah, 3) meningkatkan ketersediaan air di dalam tanah, 4) memperbaiki kegemburan dan meningkatkan porositas tanah, 5) mengurangi erosi tanah, 6) memperbaiki kualitas air, 7) meningkatkan kandungan fauna tanah, 8)  mengurangi penggunaan alsintan seperti traktor, 9) menghematpenggunaan bahan bakar dan memperbaiki kualitas udara.

Teknik konversi adalah cara mengolah tanah yang mungkin kurang begitu diminati petani. Hal ini dikarenakan pelaksanaannya hanya bisa dilakukan satu tahun sekali untuk tanah dengan kepadatan tinggi dan dua tahun untuk tanah berkepadatan sedang.

Menurut Suwardjo et al. (1989), olah tanah konservasi merupakan alternatif penyiapan lahan yang dilaporkan dapat mempertahankan produktivitas tanah tetap tinggi. Beberapa cara pengolahan tanah yang memenuhi kriteria sebagai olah tanah konservasi diantaranya adalah tanpa olah tanah (zero tillage), olah tanah seperlunya (reduced tillage), dan olah tanah strip (strip tillage). Hal yang menentukan keberhasilan olah tanah konservasi adalah pemberian bahan organik dalam bentuk mulsa yang cukup (Rachman et al., 2004). Dimana mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma dan mengurangi laju pemadatan tanah.
Cara yang dimaksud adalah :
-Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal. Gulma diberantas dengan menggunakan herbisida
-Pengolahan tanah minimal (Minimum Tillage), tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
-Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti, dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.


Sifat kimia tanah yang kurang menguntungkan bagi usaha pertanian dapat dikarenakan kemasaman tanah yang sangat tinggi. Lahan sulfat masam di mana kandungan besinya cukup tinggi dan ditemukan pada lapisan tanah yang tidak terlalu dalam (Pirit tidak berbahaya apabila tidak terekspos ke permukaan tanah dan tidak memgalami oksidasi, oleh karena itu pirit di dalam tanah di upayakan tetap stabil dengan cara penerapan teknologi olah lahan konservasi. Terjadinya oksidasi pirit akan memasamkan tanah sehingga pH tanah turun sampai di bawah 3,0 dan menghasilkan besi ferro (Fe 2+) yang bersifat racun bagi tanaman padi.

Penyiapan lahan sistem olah tanah konservasi merupakan teknologi untuk dapat mengendalikan dan mengkonservasi pirit yang terdapat pada lapisan tanah. Olah tanah konservasi merupakan salah satu teknologi yang dapat menjawab atau mengatasi masalah yang berpeluang muncul dalam pengembangan kawasan semisal lahan eks-PLG di Kalteng sebagai lahan produksi pangan (Simatupang, 2006).

Olah tanah konservasi merupakan teknologi penyiapan lahan yang menganut kepada prinsip konservasi tanah dan air. Bertujuan untuk mengatasi dan mengendalikan terjadinya degradasi kesuburan tanah terutama pada lahan-lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan dan berkelanjutan (Simatupang, 2006).

Sistem olah tanah konservasi dapat diterapkan sebagai pengganti sistem olah tanah yang mengguanakan banyak tenaga kerja, dilain pihak tenaga kerja sulit diperoleh (langka) dan upahnya relatif mahal. Di kawasan lahan rawa pasang surut, tenaga kerja merupakan salah satu kendala dalam sistem usaha tani sehingga untukk mengatasi masalah tersebut sistem penyiapan lahan tanpa olah tanah merupakan cara yang lebih tepat (Simatupang, 2006).

Pengolahan tanah secara konservasi memberikan manfaat, antara lain:
 -Mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran pemukaan.
-Mengamankan dan memelihara produktifitas tanah agar tercapai produksi yang setinggi tingginya dalam waktu yang tidak terbatas.
-Meningkatkan produksi lahan usahatani.
-Menghemat biaya pengolahan tanah, waktu dan tenaga kerja.
Pada pertanian lahan kering dengan jenis tanah podsolik yang lapisan olahnya tipis dan peka akan erosi, bahan organik sangat berperan untuk meningkatkan kesuburan dan produktifitas lahan. Hilangnya bahan organik, antara lain karena pengolahan tanah yang terlalu sering, tanah menjadi terbuka sehingga terjadi kenaikan suhu yang mempercepat hilangnya unsur hara dalam tanah. Pada tanah yang tidak diolah biasanya akar tanaman hanya mampu menembus sampai kedalaman 30 – 40 cm. Untuk mengatasi hal itu maka diperlukan pengolahan tanah seperlunya saja yaitu disekitar lobang tanaman diikuti dengan pemberian mulsa.
Mulsa adalah sisa-sisa tanaman (serasah) yang susah lapuk. Penggunaan mulsa ini bermanfaat sebagai pengendali gulma, meningkatkan aktivitas organisme tanah, mengurangi penguapan air tanah dan dapat menambah bahan organik setelah mulsa tersebut mulai lapuk. Cara pemberiannya dengan menghempaskan mulsa tersebut di atas permukaan lahan secara merata dengan tebal 3 – 5 cm sebanyak 5 ton/Ha. Namun, saat ini sudah tersedia mulsa buatan yang terbuat dari plastik.

Sistem olah tanah konservasi di lahan sulfat masam sangat erat hubungannya dengan terdapatnya lapisan sulfidik (pirit) di dalam tanah hendaknya dipertahankan tetap dalam keadaan stabil, tadak terekspos (terangkat ke permukaan tanah) sehingga pirit tidak mengalami oksidasi (Simatupang, 2006).

Teknologi olah tanah konservasi erat kaitannya dengan pengelolaan gulma, dilain pihak gulma tumbuh cepat dan subur di lahan pasang surut, oleh karenannya dalam penerapannya berkaitan dengan penggunaan herbisida sebagai komponen utama untuk untuk mengendalikan gulma sehingga lahan menjadi siap untuk ditanami. Herbisida digunakan bertujuan untuk lahan menjadi siap untuk ditanam dan sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan gulma di areal pertanaman sebagai lahan ditanami (Simatupang, 2006).

Tahapan kegiatan dalam penerapan sistem penyiapan tanpa olah tanah: vegetasi (gulma dan sisa tanaman sebelumnya) disemprot dengan herbisida (glyfostat, paraquat, dan sulfo sat). Selanjutnya, setelah gulma mati kemudian direbabkan menggunakan alat bantu (seperti drum, batang pisang atau kelapa, digilas dengan roda traktortanagn) sampai rata dengan permukaan tanah untuk memudahkan pelaksanaan tanam padi (Simatupang, 2006).

Berdasarkan penelitian berlokasi SP-I Palingkau di kawasan lahan eks-PLG, ternyata penerapan teknologi tanpa olah tanah menggunakan herbisida dapat meningkatkan hasil padi 30-47% dibanding hasil padi yang didapat dengan teknologi yang diterapkan oleh petani umumnya. R/C-ratio 1,24-1,28, meningkat pendapatan petani, mengurangi penggunaan tenaga kerja sampai 28% dan teknologi tanpa olah tanah mampu mengendalikan keracunan besi pada tanaman padi. Selain itu, teknologi TOT ini juga dapat mendukung sistem usahatani yang berkelanjutan (Simatupang, 2006).

Maka untuk memacu usaha peningkatan produksi dan untuk mengendalikan kegagalan usahatani padi karena timbulnya keracunan besi, penerapan teknologi tanpa olah tanah merupakan langkah yang strategis. Melalui penerapan teknologi ini revitalisasi pembangunan pertanian di kawasan lahan eks-PLG diharapkan memberikan hasil yang optimal, dan memberikan kontribusi yang besar dalam usaha peningkatan produksi dan penyediaan pangan nasional (Simatupang, 2006).

Sistem mekanisasi pada pengolahan tanah akan menyebabkan pengusikan tanah yang juga akan memperlancar difusi oksigen ke dalam tanah. Difusi oksigen akan memperbaiki aerasi tanah yang berdampak pada perubahan suasana tanah. Tata air yang berfungsi sebagai saluran pengatus tanpa keberadaan sistem pengatur muka air tanah dapat menyebabkan tanah rawa menjadi over drain sehingga status tanah yang semula reduktif berubah menjadi oksidatif. Proses perubahan suasana ini selalu menyebabkan pemasaman pada tanah, terlebih lagi bila dalam tanah tersebut terkandung bahan sulfidik. Untuk itu perlu dilakukanlah penelitian hubungan antara potensi kemasaman dengan laju pengeluaran asam pada berbagai ayunan kondisi air oleh Sutanto (2001), guna mengurangi kontak antara asam yang timbul dengan tanah, maka pembilasan perlu segera dilaksanakan. Pembilasan dapat dikerjakan dengan air biasa ataupun air yang mengandung ion.


Status hara pada tanah sulfat masam tergolong rendah bahkan sangat rendah. Gejala kekurangan hara N, P, K, dan terutama P dan B sering dialami tanaman budidaya (lahan kering) merana dan kerdil akibat kemasaman dan keracunan ion Al3+ dan Fe3+ yang tinggi. Pada kondisi tergenang tanaman (seperti padi) mengalami keracunan Fe2+, H2S, CO2, dan asam-asam organik. Hasil-hasil pertanian di tanah sulfat masam menunjukkan pemberian pupuk berpengaruh positif terhadap hasil tanaman. Keragaan tanaman yang diberi pupuk lengkap (N, P, dan K) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik. Pengaruh pupuk lebih signifikan apabila dikombinasikan dengan pemberian bahan amelioran seperti kapur, dolomit, batuan fosfat alam, atau sejenis lainnya.

Prinsip dasar pemberian kapur pada tanah sulfat masam adalah untuk menekan kemasaman tanah terutama akibat kelarutan Al3+ yang tinggi dan juga untuk memaksimalkan fungsi dari pemupukan. Pemberian kapur, dolomit, atau batuan fosfat alam banyak disarankan untuk menetralisir kondisi kemasaman dan keracunan oleh H+, Al3+, dan atau Fe3+. Pemberian dolomit atau kapur tidak harus untuk mencapai angka pH 5,5, karena apabila ditujukan untuk menaikkan pH mencapai 5,5 diperlukan jumlah kapur yang besar sekali antara 15-20 ton kapur/ha.

Berdasarkan kadar pirit, untuk menetralkan 1 % pirit yang apabila terdegradasi menghasilkan potensi kemasaman setara dengan 35 cmol (+)/kg, diperlukan sekitar 50 ton kapur/ha. Padahal kadar pirit tertinggi di tanah sulfat masam antara 5-7 % sehingga untuk menetralkannya diperlukan 200-400 ton kapur (Sutrisno, 1990; Maas, 2000).

Hasil Simposium internasional tanah sulfat masam kedua yang dilakukan di bangkok, Thailand (1982) merekomendasikan bahwa pemberian kapur cukup hanya beberapa ton saja untuk perbaikan kondisi kemasaman dan tahanan hara tanah yang rendah. Laporan penelitian tentang pengaruh kapur pun menunjukkan hasil yang beragam.

Rangkaian penelitian di lahan sulfat masam kalimantan tengah menunjukkan pemberian kapur 1,5 ton CaO/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 30 % berturut-turut hasil pada MH 89/90, MK 90, MK 90/91 mencapai 3,14; 2,00 dan 3,28 ton GKG/ha). Penelitian lain di lahan sulfat masam tipe C, Barambai, kalimantan Selatan dengan pemberian kapur 2 ton CaCO3/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 20 % (4,65 ton GKG/ha) yang apabila dipadukan dengan pelumpuran hasil padi meningkat 52 % (5,83 ton GKG/ha). Dalam rangkaian penelitian tersebut juga ditunjukkan bahwa pengaruh residu kapur dapat diperoleh sampai masa tanam ketiga. Dengan kata lain, pemberian kapur tidak diperlukan setiap musim tanam (Noor, 1996; Noor dan Saragih, 1997).

Penelitian di lahan sulfat masam, Vietnam menunjukkan pemberian kapur hingga sebesar 3 ton kapur/ha tidak berpengaruh terhadap pH tanah, Al dapat ditukar, serapan N, P dan Ca pada tanam ke 1, tetapi sebaliknya pada tanam ke 2 terjadi peningkatan pH, penurunan Al, peningkatan serapan serapan N, P, dan Ca dan penurunan serapan Fe. Pengaruh pemberian kapur hingga takaran 3 ton/ha berhasil meningkatkan hasil padi sampai tanam ke empat, tetapi pada takaran 6-10 ton/ha hanya dapat meningkatkan hasil sampai pada tanam kedua, selanjutnya menurun untuk tanam ketiga dan keempat. Tambahan kapur susulan/ulangan sampai takaran 10 ton/ha setiap musim tanam secara terus-menerus berhasil meningkatkan hasil padi hingga mencapai 4,8 ton gabah/ha. Pemberian kapur susulan/ulangan lebih efektif dibandingkan menggunakan cara tunggal dalam jumlah kapur yang sama.

Banyak laporan yang menyatakan munculnya gejala kekurangan unsur P pada tanaman yang dibudidayakan di lahan sulfat masam. Hal ini sebagaimana dikemukakan diatas, terkait dengan sifat kimia tanah sulfat masam yang tinggi dalam menyemat (fixation) P, terutama oleh Al3+, Fe3+.

Hasil penelitian di lahan sulfat masam pada sistem reklamasi Kalimantan Tengah menunjukkan tanggapan P muncul secara jelas pada pemberian bersama dengan kapur, teapi pada takaran >2 ton kapur/ha pengaruh pemberian P tidak muncul secara jelas. Pemberian 90 kg P2O5/ha yang dikombinasikan dengan 1,50 ton kapur/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 90 % (2,38 ton GKG/ha) dibandingkan dengan kontrol (1,22 ton GKG/ha). Pemberian P saja hanya meningkatkan hasil padi sebesar 25 % (1,50 ton GKG/ha) dan kapur saja hanya meningkatkan hasil padi sebesar 60 % (2,06 ton KG/ha). Hasil penelitia menunjukkan juga bahwa pengaruh residu P masih tampak sampai dengan tanam ketiga (Noor, 1996).

Hasil penelitian di lahan sulfat masam pada sistem jaringan tata air Samuda Kedah, Semenanjung Malaysia menunjukkan pemberian fosfat alam setara 100 kg P2O5/ha yang dikombinasikan dengan kapur 2 ton/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 15 % (4,09 GKG/ha) dan tanpa kapur meningkatkan hasil padi hanya sebesar 5 % (3,76 ton GKG/ha) (Arulando dan Pheng, 1982).

Pemberian P dalam bentuk fosfat alam menunjukkan lebih unggul dibandingkan dengan bentuk superfosfat (TSP atau SP-36). Pupuk fosfat alam adalah bahan galian yang sebagian besar mengandung kalsium fosfat yang disebut apatit (Ca10(PO4)6F2) berbentuk serbuk (prill) yang dapat digunakan langsung. Selain kandungan unsur ikutan yang tinggi seperti Ca, Mg, dan sebagainya, fosfat alam bersifat pelepas P lambat (slow release) sehingga cocok untuk tanah-tanah masam. Pengaruh fosfat alam selain tergantung pada mutu dan kadar P-nya, juga sifat reaksi yang ditimbulkannya. Berdasarkan kuat lemahnya reaksi, fosfat alam dapat dipilah antara yang bereaksi lemah (soft), sedang dan kuat (strong). Dalam simposium internasional tanah sulfat masam di Bangkok, Thailand (1982) banyak dikemukakan tentang pengaruh pemberian fosfat alam terhadap perubahan kimia dan hasil padi di lahan sulfat masam.



pasang iklan disini




loading...