Loading...
Indonesia merupakan
negara yang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan
fauna dapat ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis
yang sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu
negara paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia
juga memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.
Indonesia sebagai negara
yang kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara
makmur. Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber
Daya Alam yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang
hidupnya belum layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia
yang tidak memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang
penyakit. Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk
Indonesia belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan
sekitarnya.
Peningkatan produksi tanaman juga merupakan
salah tujuan dalam program pertanian. Agar tanaman tidak dirusak oleh hama dan
penyakit salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan pestisida. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan sandang,
pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan potensi lahannya
dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu input penting
adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat
pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang terdaftar
untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810 nama
dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Sebagian besar
masyarakat indonesia berprofesi sebagai patani, tidak bisa dipungkiri bahwa
hampir 44,3% masyarakat berprofesi sebagai petani. Sejarah Indonesia sejak masa
kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan
perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam
menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di
berbagai wilayah Indonesia. bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan
kerja bagi sekitar 44,3% penduduk, meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari
total pendapatan domestik bruto. ( M Ali, dkk, 2010).
Di indonesia terdiri
dari dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan, siklus musim ini yang
digunakan sebagai patokan penanaman tanaman. Petani akan menanam padi waktu
musim hujan datang, akan menanam palawija waktu musim kemarau datang. tanaman
tidak lepas terhadap gangguan hama-hama penyakit. Tanaman di katakan sakit
apabila terjadi perubahan seluruh atau sebagian organ-organ dari tanaman, yang
menyebabkan terganggunya kegiatan fisiologisnya. Kerusakan yang disebabkan oleh
hama biasanya menyebabkan terganggunya hidup dari tanaman tersebut. Ada
beberapa serangga yang merugikan petani, beberapa golongan insecta menyerang
tanaman dapat dilakukan pengendalian dengan penyemprotan pestisida. (M Ali,
dkk, 2010).
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang
terdiri dari hama, penyakit dan gulma,
merupakan kendala utama dalam budidaya tanaman. Organisme pengganggu tanaman
ini pada suatu lahan pertanian sangat mengganggu laju pertumbuhan tanaman yang
dibudidayakan, ini dikarenakan antara tanaman yang dibudidayakan dengan OPT saling
bersaing untuk mendapatkan makanan, serat dan tempat perlindungan, karena
itulah untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan upaya pengendalian demi
menjaga kualitas tanaman.
Rendahnya produksi dan produktivitas yang
dicapai petani dalam pengembangan budidaya pangan juga disebabkan oleh teknik
budidaya yang belum optimal, pemupukan dan persediaan air yang kurang memadai,
adanya serangan hama dan penyakit, serta adanya gangguan gulma yang merupakan
pesaing dari tanaman budidaya. Pengaruh yang merugikan dari gulma terhadap
tanaman budidaya dapat berupa persaingan dalam pemanfaatan unsur hara, air,
cahaya serta ruang tempat tumbuh. Kemampuan persaingan antara tanaman dengan
gulma dipengaruhi oleh jenis gulma, kerapatan gulma, saat dan lamanya
persaingan, cara budidaya, dan varietas yang ditanam serta tingkat kesuburan
tanah (Fitrina, 2005).
Salah satu kebutuhan primer manusia adalah
kebutuhan akan pangan. Ketersediaan pangan harus sesuai dengan kebutuhan,
sehingga peningkatan produksi pertanian menjadi suatu hal yang mutlak untuk
dilakukan. Apalagi mengingat pertambahan penduduk yang cenderung semakin
meningkat (Harjadi, 1999) sementara usaha pertanian di Indonesia mengalami
keterpurukan produksi akibat serangan hama.
Pertanian merupakan sumber mata pecaharian penting
bagi masyarakat di Indonesia pada umumnya, terlebih Indonesia beriklimkan
tropis. Hal tersebut menjadikan tanah di Indonesia cocok digunakan untuk
bertani maupun bercocok tanam. Menjadi petani bukanlah hal yang mudah,
disamping harus sabar mengurus lahan persawahan ataupu ladang, para petani juga
harus berjuang mengusir hama-hama yang mengganggu ladang mereka.
Peran tanaman sangat penting bagi perekonomian
indonesia. Karena itulah, kesuburan tanaman sangat penting untuk diperhatikan
oleh masyarakat Indonesia. Produktivitas pertanian dapat terganggu oleh adanya
OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Organisme pengganggu tanaman inilah yang
dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis terhadap petani maupun masyarakat.
Banyak sekali petani mengeluhkan hama tanaman yang mengganggu proses
pertumbuhan tanaman.
Hama adalah binatang yang keberadaannya di
ekosistem budidaya tanaman tidak dikehendaki karena menyebabkan kerusakan pada
tanaman hingga menurunkan hasil produksi dan pada tingkat populasi tinggi dapat
menyebabkan kematian tanaman hingga kegagalan panen (Untung 1996).
Pengendalian terhadap organisme pengganggu
tanaman atau pun hasil produksi tanaman, dapat dikendalikan dengan berbagai
cara. Salah satu cara yang banyak digunakan oleh petani adalah pengendalian OPT
tersebut dengan pegendalian secara kimiawi.Pengendalian secara kimiawi
merupakan pengendalian dengan menggunakan pestisida untuk mengendaliakan hama
penyakit dan gulma agar tidak menimbulkan kerusakan atau kerugian bagi tanaman
yang diusahakan maupun hasil produksi pertanian. Pengendalian secara kimiawi ini
dapat dilakukan dengan menggunakan zat pemikat (attactants), zat penolak
(repellents), insektisida, zat pemandul, dan zat penghambat pertumbuhan.
Peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap hasil
pertanian pangan berupa beras, buah dan sayur semakin tinggi sejalan dengan
pertambahan penduduk. Hal ini menyebabkan meningkatnya penggunaan pestisida.
Pestisida merupakan salah satu hasil teknologi modern telah terbukti mempunyai
peranan yang penting dalam peningkatan produksi pertanian. Penggunaan bahan-bahan
beracun itu pada awalnya dianggap sebagai cara yang ampuh untuk mematikan
unsur-unsur penganggu tanaman pertanian, kemudian penyebaran racun ke tanaman
pangan justru menimbulkan masalah baru yang lebih berat. Penggunaan pestisida
yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia terutama bagi petani yang terus
menerus menggunakannya juga akan memberikan banyak dampak buruk.
Untuk menghadapi berbagai tantangan pembangunan
pertanian, pemerintah bersama masyarakat harus mampu membuat terobosan-
terobosan dengan berbagai alternatif yang dapat memberikan jalan keluar dari
permasalahan dengan tidak melupakan kepedulian terhadap lingkungan dan
mengutamakan keberpihakan pada petani.
Memasuki abad ke-21 banyak keluhan-keluhan
masyarakat terutama masyarakat menengah ke atas tentang berbagai penyakit
seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran, dan lain-lain yang
diduga terkait dengan pola dan bahan makan. Banyak sekali makanan yang diolah
dengan berbagai bahan kimia tambahan.
Banyaknya kegiatan budaya yang menggunakan
pestisida kimia dengan frekuensi dan dosis yang berlebihan dalam rangka
meningkatkan hasil panen, akan menghasilkan bahan pangan yang meracuni tubuh
manusia karena mengandung logam-logam berat. Bahkan, makan sayur yang dulu
selalu dianggap menyehatkan, kini harus diwaspadai karena sayuran telah
terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia beracun yang berasal dari pestisida
kimia yang digunakan.
Suatu alternatif pengendalian hama dan penyakit
yang murah, praktis dan relatif aman pada lingkungan sangat diperlukan oleh
negara berkembang seperti indonesia dangan kondisi pertaniannya yang memiliki
modal terbatas untuk membeli pestisida sintesis. Oleh sebab itu, sudah tiba
saatnya untuk memasyarakatkan pestisida nabati ramah lingkungan.
Masalah pangan yang
mencukupi dan bebas dari penyakit sudah menjadi pemikiran manusia sejak dahulu.
Sebab, peningkatan derajat kesehatan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi
bahan pangan yang berkualitas, bernilai gizi tinggi dan aman, yakni tidak
terdapatnya benda asing yang dapat merusak kesehatan. Semakin meningkatnya
kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan mendorong konsumen untuk selektif
memilih bahan pangan (Naria, 1994).
Revolusi hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai
untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya
pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an dibanyak negara
berkembang, terutama di asia.
Revolusi hijau hijau mendasarkan dari empat
pilar penting, penyadian air melalui irigasi, pemakaian pupuk kimia secara
optimal, tanaman pangan, dan penerapan pestisida sesuai dengan tingkat
organisme pengganggu.
Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan
meningkatnya kesadaran akan kelestarian
lingkungan karena karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh
para pendukungnya kerusakan dipandang bukan karena revolusi hijau tetapi karena
akses dalam penggunaan teknologi yang tidak memadai kaidah-kaidah yang sudah
ditentukan.
Menurut Kardinan, (2000) diantaranya kasus
keracunan, polusi lingkungan yaitu kontaminasi terhadap manusia dan kehidupan
lainnya perkembangan serangga menjadi reisten, resurgen atau toleran terhadap
pestisida.
Pemakaian pestisida sintesis berawal dari
pelaksanaan program intensifikasi pertanian yang berorientasi pada peningkatan
hasil panen yang sebesar- besarnya. Berkembangnya penggunaan pestisida sintesis
yang dinilai praktis oleh para petani dan pecinta tanaman untuk mencegah
tanamannya dari serangan hama, ternyata membawa dampak negatif yang cukup besar
bagi manusia dan lingkungan. Penelitian terbaru mengenai bahaya pestisida
terhadap keselamatan nyawa dan kesehatan manusia sangat mencengangkan. WHO
(World Health Organization) dan Program Lingkungan PBB memperkirakan ada 3 juta
orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena
racun pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya
(Miller, 2004). Di Cina diperkirakan setiap tahunnya ada setengah juta orang
keracunan pestisida dan 500 orang diantaranya meninggal (Lawrence, 2007). Adanya
dampak negatif dari penggunaan pestisida sintetis termasuk juga dapat
meningkatkan daya tahan hama terhadap pestisida (resistansi hama itu sendiri),
membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida dan penggunaan
yang kurang tepat dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia dan ekosistem
lingkungan menjadi tidak stabil / tidak seimbang. Bahkan wadah bekas pestisida
sering dibuang disembarang tempat. Pemakaian pestisida sering tidak bijaksana,
dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang- kadang ditingkatkan hingga melampaui
batas yang disarankan, dengan asumsi dosis yang rendah sudah tidak mampu lagi
mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Berbagai jenis pestisida terakumulasi tanah dan
air yang berdampak buruk terhadap keseluruhan ekosistem. Dampak yang sangat
berbahaya seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan, dan hepatitis dapat terjadi
akibat pengggunaan pestisida. WHO memperkirakan pada tahun 2009 kematian akibat
keracunan pestisida ada 5.000 kasus. Sebuah penelitian di India memperkirakan
lebih dari 1.000 orang pekerja di perkebunan telah terpapar pestisida dalam
kurun waktu antara Agustus hingga Desember tahun 2001 dengan CFR 50% sedangkan
di Kamboja setidaknya 88% petani mengalami dampak akut keracunan pestisida. Di
China, antara 53.000 sampai 123.000 orang keracunan pestisida setiap tahun.
Kasus keracunan pestisida juga banyak terjadi di Indonesia antara lain di Kulon
Progo, Jawa Tengah pada tahun 2008 ada 210 kasus keracunan dengan pemeriksaan
fisik dan klinis, 50 orang diantaranya diperiksa laboratorium dengan hasil 15
orang (30%) mengalami keracunan.
Pestisida merupakan
bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat
bioaktif. Pada dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya
sebagai racun itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT
(Organisme Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh
karena itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa
menimbulkan dampak negatif.
Di beberapa negara maju, penjualan dan
penggunaan pestisida diatur oleh pemerintah. Sebagai contoh pada tahun 1972 di
Amerika Serikat dibentuk Environmental Protection Agency (EPA) yang bertanggung
jawab atas regulasi pestisida (Willson, 1996). Akan tetapi dalam
implementasinya penggunaan pestisida sulit untuk dikontrol, maka pada tahun
1979 Presiden Carter mendirikan Interagency Integrated Pest Management
Coordinating Committe untuk memberi jaminan pengembangan dan penerapan
pengendalian hama terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM). PHT
merupakan sistem yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan
menggunakan taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang dikoordinasi
secara harmonis dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisa biaya dan
keuntungan yang berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan lingkungan
(Kogan, 1998).
Sistem pengendalian hama terpadu (PHT) telah
ditetapkan sebagai landasan nasional perlindungan tanaman dengan Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 1995. Tindakan PHT menekankan cara-cara pengendalian nonkimia
seperti penanaman varietas tahan, pengendalian secara kultur teknis,
pengendalian fisik-mekanis, dan pemanfaatan musuh alami, sedangkan insektisida
digunakan sebagai alternatif terakhir jika cara-cara nonkimia tidak memberikan
hasil yang optimal (Oka, 1995). Insektisida yang dapat digunakan dalam PHT,
selain efektif terhadap hama sasaran, harus memenuhi persyaratan keamanan
terhadap organisme bukan sasaran, kesehatan dan lingkungan (Sastrosiswojo,
1996). Salah satu golongan insektisida yang memenuhi persyaratan tersebut ialah
insektisida botani, yang bersifat mudah terurai di alam, relatif aman terhadap
organisme bukan sasaran termasuk musuh alami, dapat dipadukan dengan komponen
lain PHT, dan dapat memperlambat laju resistensi (Dadang dan Prijono, 2008).
Menurut Munarso et al., (2006), Penggunaan
pestisida pada tanaman sayuran di dataran tinggi tergolong sangat intensif, hal
ini terutama disebabkan kondisi iklim yang sejuk dengan kelembaban udara dan
curah hujan yang tinggi menciptakan kondisi yang baik untuk perkembangbiakan
hama dan penyakit tanaman. Namun apabila penggunaan pestisida yang tidak tepat
baik secara jenis, waktu, dosis, cara, dan sasaran akan menimbulkan pencemaran
dan berdampak pada kesehatan.
Menurut Sastrodihardjo
(1999), penggunaan pestisida kimia di Indonesia telah memusnahkan sekitar 55%
jenis hama dan 72% agen pengendali hayati. Penggunaan pestisida kimia yang
tidak bijaksana akan mengakibatkan dampak negatif, seperti timbulnya hama yang
resisten, resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami dan organisme bukan sasaran,
masalah residu serta pencemaran lingkungan (Untung, 1993).
Matinya musuh alami akan mengakibatkan
menurunnya potensi dan peran pengendalian alami sehingga keturunan serangga
hama yang tidak mati oleh insektisida akan mempunyai laju kehidupan (survival
rute) yang tinggi sehingga populasi dapat meningkat dalam jangka waktu yang
pendek (Trisyono, 2014).
Penggunaan pestisida kimiawi yang tidak tepat
akan membawa dampak yang buruk, lebih merugikan dibanding manfaat yang
dihasilkan. Selain masalah residu yang dapat melebihi ambang batas toleransi, penggunaan
pestisida kimiawi secara intensif, juga memberikan berbagai dampak yang tidak
diinginkan, terkait dengan kerusakan ekosistem lahan pertanian, terganggunya
eksistensi flora dan fauna di sekitar lahan pertanian dan kesehatan petani
pekerja (Regnault, 2005).
Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah
keberadaan hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu
tanaman holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau
merusak hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya
dibedakan menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan
penyakit tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman
budidaya sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika
tanaman tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua
herbivora memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga
yang pada kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada
tanaman budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan
penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan
iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.
Petani benar-benar dirangsang untuk menggunakan
pestisida secara besar-besaran. Pada saat pelaksanaan program intensifikasi
pertanian digiatkan, subsidi pemerintah terhadap pestisida mencapai 80%,
sehingga harga pestisida menjadi sangat murah, terlebih lagi dengan adanya
kemudahan memperoleh kredit. Program penyuluhan pertanian pun selalu
merekomendasikan penyemprotan pestisida secara berkala tanpa melihat ada
tidaknya hama yang menyerang tanaman, sehingga penyemprotan bisa dilakukan
setiap minggu sepanjang musim tanam.
Pestisida yang terdapat pada tanaman dapat
terserap bersama hasil panen berupa residu yang dapat terkonsumsi oleh konsumen.
Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian
bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup juga senyawa turunan
pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi dan
zat pengotor yang dapat bersifat toksik (Sakung, 2004). Residu pestisida
sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis
pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun.
Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan
kerusakan adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau
dari segi fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat
beragam tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak
dan tidak mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara
permanen/keseluruhan pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen, misalnya
kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya
sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak
produktif lagi. Sedangkan kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan
yang terjadi pada sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang,
dan batang.
Pestisida adalah sebutan untuk semua jenis obat
(zat/bahan kimia) pembasmi hama yang ditunjukkan untuk melindungi tanaman dari
serangga-serangga, bakteri, virus, dan hama lainnya seperti tikus, bekicot, dan
nematode (cacing) serta zat pengatur tumbuh pada tumbuhan di luar pupuk. Pestisida
juga merupakan racun untuk memberantas atau untuk mencegah fungi, ulat dan hama
penghisap yang menyerang tanaman, juga digunakan untuk memberantas tanaman
pengganggu dan sebagainya. Pestisida tersusun dan unsur kimia yang jumlahnya
tidak kurang dari 105 unsur. Namun yang sering digunakan sebagai unsur
pestisida adalah 21 unsur. Unsur atau atom yang lebih sering dipakai adalah
carbon, hydrogen, oxigen, nitrogen, phosphor, chlorine dan sulfur. Sedangkan
yang berasal dari logam atau semi logam adalah ferum, cuprum, mercury, zinc dan
arsenic. Setiap pestisida mempunyai sifat yang berbeda. Sifat pestisida yang
sering ditemukan adalah daya, toksisitas, rumus empiris, rumus bangun,
formulasi, berat molekul dan titik didih.
Secarah harfiah, pestisida berarti pembunuh hama
(pest:hama dan cide: membunuh). Dan pengendalian pestisida secara kimiawi
sangat identik dengan pengendalian menggunakan pestisida kimiawi namun
pengendalian secara kimiawi dapat juga digantikan dengan bahan aktif yang
dihasilkan oleh tumbuhan. Pengendalian dengan pestisida ini tidak bisa disebut
sebagai bahan pembunuh karena pada kenyataan praktiknya, pestisida berkerja
tidak hanya digunakan untuk membunuh organisme pengganggu tanaman seperti dapat
dijadikan plant growth regulator (zat pengatur tumbuh atau ZPT)
(Djojosumarto,2008).
Pestisida tidak hanya berperan dalam
mengendalikan jasad-jasad pengganggu dalam bidang pertanian saja, namun juga diperlukan
dalam bidang kehutanan terutama untuk pengawetan kayu dan hasil hutan yang
lainnya, dalam bidang kesehatan dan rumah tangga untuk mengendalikan vektor
(penular) penyakit manusia dan binatang pengganggu kenyamanan lingkungan, dalam
bidang perumahan terutama untuk pengendalian rayap atau gangguan serangga yang
lain.
Gangguan pada tanaman dapat disebabkan oleh
faktor biotik ataupun abiotik. Faktor pengganggu biotic adalah semua penyebab
gangguan yang terdiri atas organisme atau makhluk hidup yang secara umum disebut
organisme pengganggu tanaman/tumbuhan (OPT). Faktor abiotik adalah penyebab
gangguan yang bukan disebabkan oleh OPT, tetapi disebabkan oleh faktor lain
misalnya faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim,
kesalahan cara bercocok tanam, kekeringan dan factor lingkungan lainnya
(Djojosunarto, 2000: 67-68).
Pestisida berasal dari
kata pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh.
Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut
peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia
yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan
mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk
serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan
kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat
pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu:
Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati,
yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Secara umum, pestisida nabati diartikan sebagai
suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan, oleh karena terbuat
dari bahan alami/nabati maka jenis pestisa ini bersifat mudah terurai
(biodegradable) di alam semasta sehingga tidak mencemari lingkungan dan relati
aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya udah hilang. Pestisida
nabati bersifat “pukul dan lari” (hit and run) yaitu apabila diaplikasikan akan
membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan
cepat menghilang di alam. Dengan demikian, tanaman akan terbebas dari residu
pestisida dan aman untuk di komsusi.
Pestisida Biologi,
yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur,
bakteri atau virus.
Pestisida
Elemen (Elemental pesticide), yaitu pestisida yang bahan
aktifnya berasal dari alam, seperti; sulfur.
Dengan melihat besarnya kehilangan hasil yang
dapat diselamatkan berkat penggunaan pestisida, maka dapat dikatakan bahwa
peranan pestisida sangat besar dan merupakan sarana penting yang sangat
diperlukan dalam bidang pertanian. Usaha intensifikasi pertanian yang dilakukan
dengan menerapkan berbagai teknologi maju seperti penggunaan pupuk, varietas
unggul, perbaikan pengairan dan pola tanam akan menyebabkan perubahan ekosistem
yang sering diikuti oleh meningkatnya problema serangan jasad pengganggu.
Demikian pula usaha ekstensifikasi pertanian dengan membuka lahan pertanian
baru, yang berarti melakukan perombakan ekosistem, sering kali diikuti dengan
timbulnya masalah serangan jasad pengganggu. Dan tampaknya saat ini yang dapat
diandalkan untuk melawan jasad pengganggu tersebut yang paling manjur hanya
pestisida. Memang tersedia cara lainnya, namun tidak mudah untuk dilakukan,
kadang-kadang memerlukan tenaga yang banyak, waktu dan biaya yang besar, hanya
dapat dilakukan dalam kondisi tertentu yang tidak dapat diharapkan
efektifitasnya. Pestisida saat ini masih berperan besar dalam menyelamatkan
kehilangan hasil yang disebabkan oleh jasad pengganggu.
Pengendalian hama secara
kimia sintetis memang sering dilakukan oleh petani, karena dianggap memberikan
hasil yang cepat terlihat. Namun, tanpa disadari penggunaannya mengakibatkan
efek samping yang sangat membahyakan dalam jangka waktu yang lama.
Intensifikasi penggunaan
pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang
tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian
akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).
Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat
penggunaan pestisida kimia, maka telah dibuat kesepakatan internasional untuk
memberlakukan pembatasan penggunaan bahan-bahan kimia pada proses produksi
pestisida kimia sintetik. Berdasarkan kebijakan internasional, pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijakan ditingkat nasional dalam perlindungan tanaman
dengan menggalakkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan
konsentrasi tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat
menimbulkan efek residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor.
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak
bijaksana antara lain adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama
sasaran dan residu pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan
merusak lingkungan atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada
sayuran menjadi sangat tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.
Akibat lebih parah lagi, hama sasaran tersebut
tidak bisa lagi dikendalikan secara efektif dengan insektisida tersebut. Dan salah
satu hama yang cepat sebagai kebal terhadap insektisida sintetik adalah ulat
daun kubis (Plutella xylostella). Saat ini hama tersebut telah resisten
terhadap hampir seluruh golongan insektisida sintetik yang terdapat di pasaran.
Penggunaan insektisida
sintetis yang tidak sesuai dengan fungsi dan ukurannya menimbulkan masalah
berupa kandungan residu insektisida pada komoditi bahan pangan, yang pada akhir
dapat membahayakan kesehatan masyarakat (Naria, 1994). Residu insektisida yang
terdapat dalam rantai makanan dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia
yakni menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain itu, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pestisida dapat memberikan efek jangka panjang yakni
menyebabkan kanker, gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, kelainan
syaraf, merusak sistem kekebalan tubuh, dan Parkinson (Emmy L.S, 1995).
Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian
pestisida sintesis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi
peningkatan produksi pertanian, tersembunyi bahaya yang mengerikan. Para
ilmuwan telah menyadari bahwa dibalik kemudahan dan keunggulan pestisida
sintesis, tersembunyi biaya mahal yang harus ditanggung oleh manusia di
berbagai belahan bumi. Bahaya yang dimaksud adalah pencemaran lingkungan dan
keracunan. Menurut WHO sekitar 5.000-10.000 orang per-tahun mengalami dampak
yang sangat fatal, seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan, dan penyakit liver.
Berbagai jenis pestisida terakumulasi di tanah dan air yang berdampak buruk
terhadap keseluruhan ekosistem, beberapa spesies katak jantan di Amerika Serikat
dilaporkan mengalami perubahan genetic menjadi berkelamin ganda (hermaprodit)
akibat keracunan Atrazin (bahan aktif herbisida yang sangat banyak dipakai di
AS) dan telah terakumulasi pada tanah dan air (Intisari, Juli 2002). Tragedi
Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk
produksi pestisida sintesis.Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor
dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi
itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang
dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah
produksi insektisida sintesis.
Meningkatnya kesadaran
masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong
para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis
dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan
residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan
resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit
maupun predator, meningkatnya residu pada hasil, mencemari
lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna (Oka 1995; Schumutterer, 1995), mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara
yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, bahkan
beberapa pestisida disinyalir memiliki kontribusi pada fenomena pemanasan
global (global warming) dan penipisan lapisan ozon (Reynolds,1997).
Kesadaran masyarakat akan dampak negatif
pestisida kimia terus berkembang. Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak
negatif penggunaan pestisida kimia, seperti pencemaran lingkungan (tanah dan
air), imunitas hama, dan terjadinya ledakan hama maka diperlukan kebijakan
perlindungan tanaman/pengendalian organisme penggangu tanaman (OPT) yang
mengacu pada konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep ini memadukan satu
atau lebih teknik pengendalian yang harus memenuhi persyaratan keamanan/ramah
lingkungan dan efektif tanpa adanya efek samping serta dapat menjamin pertanian
berkelanjutan.
Pestisida nabati merupakan bahan aktif tunggal
atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang bias digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan. Pestisida nabati bisa berfungsi sebagai penolak,
penarik, anti-fertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk lainnya. Secara umum,
pestisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya dari
tumbuhan yang relative mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas.
Karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis pestisida ini bersifat mudah
terurai (bio-degradable) di alam, sehingga
tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan,
karena residu (sisa-sisa zat) mudah hilang (Syakir, 2011).
Pestisida nabati sudah dipraktekkan sejak 3 abad
yang lalu. Pada tahun 1690, petani di Perancis telah menggunakan perasaan daun
tembakau untuk mengendalikan hama kepik pada tanaman buah persik. Tahun 1800,
bubuk tanaman pirethrum digunakan untuk mengendalikan kutu. Penggunaan
pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya
relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan pestisida kimia (Sudarmo,2005).
Sejak tahun 1950 penggunaan insektisida nabati
tergeser oleh insektisida sintetik. Alasan yang mendasari antara lain insektisida
sintetis lebih efektif dan biaya produksinya
lebih rendah dibandingkan dengan insektisida alami. Faktor yang lain yaitu
insektisida sintetis mudah didapat, praktis aplikasiannya, tidak perlu membuat
sediaan sendiri, tersedia dalam jumlah banyak dan tidak perlu membudidayakan
sendiri tanaman penghasil insektisida (Kardinan 2002).
Awalnya, manusia
menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya
dikloro difenil trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang
cepat dan efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap
pestisida sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan
efek negatif terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat
mengakibatkan akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya
akan berdampak pada organisme non target.
Hidrokarbon berklor adalah kelompok insektisida
yang mengandung klor, hidrogen dan karbon, kadang-kadang juga oksigen dan
belerang (S). Golongan insektisida ini adalah yang paling tua dan yang paling
banyak digunakan. Walaupun sangat efektif, insektisida ini sekarang telah
dilarang digunakan karena bertahan lama dalam lingkungan dan membahayakan
manusia. Yang tergolong hidrokarbon berklor antara lain DDT, lindane, klordan,
aldrin, dieldrin, endrin dan endosulfan.
Organofosfat dibuat dari asam fosfat dan
merupakan insektisida yang paling beracun. Berbeda dengan hidrokarbon berklor,
organofosfat tidak stabil bila terkena cahaya dan cepat terurai menjadi senyawa
tidak beracun. Karena cepat terurai dan sangat efektif organofosfat digunakan
untuk menggantikan hidrokarbon berklor. Organofosfat dicirikan oleh adanya
berbagai alkohol yang terikat pada atom fosfor (P). Yang tergolong organofosfat
antara lain adalah dimethoat, dicrothophos, paration, fenthion, diazinon dan
chlorpyrifos.
Karbamat dibuat dari asam karbamat yang
persistensinya sama dengan organofosfat. Salah satu hambatan penggunaan
karbamat dalam pengendalian hama adalah daya racunnya yang agak tinggi terhadap
Hymenoptera, termasuk penyerbuk dan parasitoid. Dua jenis karbamat yang banyak
digunakan dalam bidang pertanian adalah karbaril dan karbofuran.
Piretroid adalah insektisida yang menyerupai
piretrum. Piretroid adalah kelompok insektisida modern yang paling cepat
berkembang karena sangat efektif dan pemakaiannya cukup aman. Keuntungan
peretroid dari piretrum adalah sangat beracun pada pemakaian dengan dosis
rendah. Selain itu, serangga yang terkena racun ini jarang sembuh kembali
dibandingkan dengan yang tidak terkena piretrum. Contoh piretroid adalah
fenvalerate, permethrin dan cypermethrin.
Pestisida sebelum digunakan harus diformulasi
terlebih dahulu. Pestisida dalam bentuk murni biasanya diproduksi oleh pabrik
bahan dasar, kemudian dapat diformulasi sendiri atau dikirim ke formulator
lain. Oleh formulator baru diberi nama. Berikut ini beberapa formulasi
pestisida yang sering dijumpai:
Cairan
Pestisida yang berformulasi cairan emulsi
meliputi pestisida yang di belakang nama dagang diikuti oleb singkatan ES
(emulsifiable solution), WSC (water soluble concentrate). B (emulsifiable) dan
S (solution). Biasanya di depan singkatan tersebut tercantum angka yang
menunjukkan besarnya persentase bahan aktif. Bila angka tersebut lebih dari 90%
berarti pestisida tersebut tergolong murni. Komposisi pestisida cair biasanya
terdiri dari tiga komponen, yaitu bahan aktif, pelarut serta bahan perata.
Pestisida golongan ini disebut bentuk cairan emulsi karena berupa cairan pekat
yang dapat dicampur dengan air.
Butiran
Formulasi butiran biasanya hanya digunakan pada
bidang pertanian sebagai insektisida sistemik. Dapat digunakan bersamaan waktu
tanam untuk melindungi tanaman pada umur awal. Komposisi pestisida butiran
biasanya terdiri atas bahan aktif, bahan pembawa yang terdiri atas talek dan
kuarsa serta bahan perekat. Komposisi bahan aktif biasanya berkisar 2-25%,
dengan ukuran butiran 20-80 mesh. Aplikasi pestisida butiran lebih mudah bila
dibanding dengan formulasi lain. Pestisida formulasi butiran di belakang nama
dagang biasanya tercantum singkatan G atauWDG (waterdispersiblegranule).
Debu
Komposisi pestisida formulasi debu ini biasanya
terdiri atas bahan aktif dan zat pembawa seperti talek. Dalam bidang pertanian
pestisida formulasi debu ini kurang banyak digunakan, karena kurang efisien.
Hanya berkisar 10-40% saja apabila pestisida formulasi debu ini diaplikasikan
dapat mengenai sasaran (tanaman).
Tepung
Komposisi pestisida formulasi tepung pada
umumnya terdiri atas bahan aktif dan bahan pembawa seperti tanah hat atau talek
(biasanya 50-75%). Untuk mengenal pestisida formulasi tepung, biasanya di
belakang nama dagang singkatanWP (wettablepowder) atau WSP
(watersolublepowder).
Oli
Pestisida formulasi oli biasanya dapat dikenal
dengan singkatan SCO (solluble concentrate in oil). Biasanya dicampur dengan
larutan minyak seperti xilen, karosen atau aminoester. Dapat digunakan seperti
penyemprotan ULV (ultra low volume) dengan menggunakan atomizer. Formulasi ini
sering digunakan pada tanaman kapas.
Fumigansia
Pestisida ini berupa zat kimia yang dapat
menghasilkan uap, gas, bau, asap yang berfungsi untuk membunuh hama. Biasanya
digunakan di gudang penyimpanan.
Penggunaan pestisida
sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun
setelah pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya
populasi mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah.
Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan
insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah
dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan
residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan
insektisida di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus keracunan,
3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.
Risiko bagi keselamatan pengguna yang berupa
kontak langsung terhadap pestisida, yang dapat mengakibatkan keracunan, baik
akut maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejalan sakit kepala,
mual, muntah dan sebagainya, bahkan beberapa pestisida dapat menimbulkan
iritasi kulit dan kebutaan. Keracunan kronis tidak selalu mudah diprediksi dan
dideteksi karena efeknya tidak segera dirasakan, walaupun akhirnya juga
menimbulkan gangguan kesehatan.
Penggunaan pestisida
kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu
pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan
kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai digunakan
untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17 nikotin
sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai insektisida. Pada
abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum yang
diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris
eliptica (Ware,1983).
Pada tahun 1874 Othmar
Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl
Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli
kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939 yang dengan
penemuannya ini dia dianugrahi hadiah nobel dalam bidang Physiology atau
Medicine pada tahun 1948 (NobelPrize.org).
Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam
jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Daly
et al., 1998). Beberapa literatur
menyebutkan bahwa tahun 1940an dan 1950an sebagai “era pestisida”
(Murphy, 2005). Penggunaan pestisida
terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun 1950 dan sekarang sekitar
2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo, 1987).
Dari seluruh pestisida yang diproduksi di seluruh dunia saat ini, 75% digunakan
di negara-negara berkembang (Miller, 2004). Pestisida kimia yang mengandung DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) sangat
membahayakan karena mengandung sifat apolar dan sifat DDT yang stabil dan
persisten.
Beberapa pestisida yang memiliki sifat
karsinogenik dapat memicu terjadinya kanker. Berdasarkan penelitian terbaru
dalam Environmental Health Perspctive menemukan adanya kaitan kuat antara
pencemaran DDT pada masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa tuanya
(Barbara and Mary, 2007). Menurut NRDC (Natural Resources Defense Council)
tahun 1998, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan penderita kanker
otak, leukemia dan cacat pada anak-anak awalnya disebabkan tercemar pestisida
kimia.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Harvard
School of Public Health di Boston, menemukan bahwa resiko terkena penyakit
parkinson meningkat sampai 70% pada orang yang terekspose pestisida meski dalam
konsentrasi sangat rendah (Ascherioetal.,2006).
Memilih
pestisida
Di pasaran banyak dijual formulasi pestisida
yang satu sama lain dapat berbeda nama dagangnya, walaupun mempunyai bahan
aktif yang sama. Untuk memilih pestisida, pertama yang harus diingat adalah
jenis jasad pengganggu yang akan dikendahikan. Hal tersebut penting karena
masing-masing formulasi pestisida hanya manjur untuk jenis jasad pengganggu
tertentu. Maka formulasi pestisida yang dipilih harus sesuai dengan jasad
pengganggu yang akan dikendalikan. Untuk mempermudah dalam memilih pestisida
dapat dibaca pada masing-masing label yang tercantum dalam setiap pestisida.
Dalam label tersebut tercantumjenis-jenis jasad pengganggu yang dapat
dikendahikan. Juga tercantum cara penggunaan dan bahaya-bahaya yang mungkin
ditimbulkan.
Untuk menjaga kemanjuran pestisida, maka
sebaiknya belilah pestisida yang telah terdaftar dan diizinkan oleb Departemen
Pertanian yang dilengkapi dengan wadah atau pembungkus asli dan label resmi.
Pestisida yang tidak diwadah dan tidak berlabel tidak dijamin kemanjurannya.
Menyimpan
pestisida
Pestisida senantiasa harus disimpan dalam
keadaan baik, dengan wadah atau pembungkus asli, tertutup rapat, tidak bocor
atau rusak. Sertakan pula label asli beserta keterangan yang jelas dan lengkap.
Dapat disimpan dalam tempat yang khusus yang dapat dikunci, sehingga anak-anak
tidak mungkin menjangkaunya, demikian pula hewan piaraan atau ternak. Jauhkan
dari tempat minuman, makanan dan sumber api. Buatlah ruang yang terkunci
tersebut dengan ventilasi yang baik. Tidak terkena langsung sinar matahari dan
ruangan tidak bocor karena air hujan. Hal tersebut kesemuanya dapat menyebabkan
penurunan kemanjuran pestisida.
Untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu
pestisida tumpah, maka harus disediakan air dan sabun detergen, beserta pasir,
kapur, serbuk gergaji atau tanah sebagai penyerap pestisida. Sediakan pula
wadah yang kosong, sewaktu-waktu untuk mengganti wadah pestisida yang bocor.
Menggunakan
pestisida
Untuk menggunakan pestisida harus diingat
beberapa hal yang harus diperhatikan:
-Pestisida digunakan apabila diperlukan.
-Sebaiknya makan dan minum secukupnya sebelum
bekerja dengan pestisida.
-Harus mengikuti petunjuk yang tercantum dalam
label.
-Anak-anak tidak diperkenankan menggunakan
pestisida, demikian pula wanita hamil dan orang yang tidak baik kesehatannya.
-Apabila terjadi luka, tutuplah luka tersebut,
karena pestisida dapat terserap melalui luka.
-Gunakan perlengkapan khusus, pakaian lengan
panjang dan kaki, sarung tangan, sepatu kebun, kacamata, penutup hidung dan
rambut dan atribut lain yang diperlukan.
-Hati-hati bekerja dengan pestisida, lebih-lebih
pestisida yang konsentrasinya pekat. Tidak boleh sambil makan dan minum.
-Jangan mencium pestisida, karena pestisida sangat
berbahaya apabila tercium.
-Sebaiknya pada waktu pengenceran atau
pencampuran pestisida dilakukan di tempat terbuka. Gunakan selalu alat-alat
yang bersih dan alat khusus.
-Dalam mencampur pestisida sesuaikan dengan
takaran yang dianjurkan. Jangan berlebih atau kurang.
-Tidak diperkenankan mencampur pestisida lebih
dari satu macam, kecuali dianjurkan.
-Jangan menyemprot atau menabur pestisida pada
waktu akan turun hujan, cuaca panas, angin kencang dan arah semprotan atau
sebaran berlawanan arah angin. Bila tidak enak badan berhentilah bekerja dan
istirahat secukupnya.
-Wadah bekas pestisida harus dirusak atau
dibenamkan, dibakar supaya tidak digunakan oleh orang lain untuk tempat makanan
maupun minuman.
-Pasanglah tanda peringatan di tempat yang baru
diperlakukan dengan pestisida.
-Setelah bekerja dengan pestisida, semua
peralatan harus dibersihkan, demikian pula pakaian-pakaian, dan mandilah dengan
sabun sebersih mungkin.
Reaksi terhadap bahaya penggunaan pestisida
kimia terutama DDT mulai nampak setelah Rachel Carson menulis buku paling laris
yang berjudul “Silent Spring” tentang pembengkakan biologi (biological
magnification) tahun 1962. Sehingga minimal ada 86 negara melarang penggunaan
DDT, meskipun masih digunakan di beberapa negara berkembang untuk memberantas
nyamuk malaria (Willson and Harold, 1996).
Petani selama ini
tergantung pada pengendalian secara kimiawi untuk mengendalikan hama dan
penyakit tanaman. Untung (1996) mengemukakan bahwa aplikasi insektisida kimia
sintetik yang kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) dapat memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya
resistensi hama, resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme
bukan sasaran, adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran
lingkungan, dan bahaya pada pemakai (Gapoktan, 2009). Untuk
mengoptimalkan dampak tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan alam
yang ramah lingkungan sebagai alternatif, salah satunya penggunaan insektisida
alami sebagai altrnatif (Listiyati dkk., 2012).
Pestisida nabati
merupakan pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan
memiliki fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman.
Bahan aktif pestisida nabati berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti
akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi berbagai
bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak yang merupakan hasil
pengambilan cairan dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk
diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida. Karena terbuat dari bahan-bahan
alami maka jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah
hilang, maka relatif aman bagi manusia (Samsudin, 2008).
Grainge et al., 1984 dalam Sastrosiswojo (2002),
melaporkan ada 1800 jenis tanaman yang mengandung pestisida nabati yang dapat
digunakan untuk pengendalian hama. Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis
tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar 2400 jenis
tanaman yang termasuk ke dalam 235 famili (Kardinan, 1999). Menurut
Morallo-Rijesus (1986) dalam Sastrosiswojo (2002), jenis tanaman dari famili
Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling banyak mengandung
bahan insektisida nabati.
Pestisida nabati lebih
bersifat mudah terurai (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan
relatif aman bagi manusia dan ternak karena residu cepat hilang. Oleh karena
itu dikatakan pestisida nabati bersifat pukul dan lari, yaitu apabila dipakai
akan membunuh hama secara bertahap dan setelah mati residunya akan cepat
menghilang (Kardinan, 1999 dalam Darwiati, 2012). Jadi
tanaman akan terbebas dari residu sehingga tanaman aman untuk dikonsumsi. Sudarmo
(2005) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat membunuh atau menganggu serangga
hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan
berbagai cara atau secara tunggal. Pestisida
nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
Repelant,
yaitu menolak kehadiran serangga, misalnya dengan bau yang menyengat.
Antifidant,
mencegah serangga makan tanaman yang disemprot, merusak perkembangan telur,
larva, pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan
sistem syaraf di dalam tubuh serangga.
Atraktan,
yaitu pemikat serangga, yang dapat dipakai sebagai perangkap serangga,
mengendalian jamur atau bakteri (Gapoktan, 2009).
Cara kerja pestisida:
-Pestisida
kontak (Contact pesticide), berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh jasad terkena sasran, baik ketika makan
ataupun sedang berjalan. Jika tanaman telah diserang oleh hama, lebih baik menggunakan
jenis pestisida ini.
-Pestisida
fumigan, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran
terkena uap atau gas.
-Pestisida
sistemik, berarti dapat ditranslokasikan ke berbagai
bagian tanaman melalui jaringan. Hama akan mati jika mengisap cairan tanaman. Pestisida
sistemik (Systemic Pesticide) merupakan pestisida yang diserap dan dialirkan
keseluruh bagian tanaman sehingga akan menjadi racun bagi hama yang memakannya.
Keunggulan pestisida jenis ini yaitu tidak
hilang karena disiram.
Kelemahannya, ada bagian tanaman yang dimakan
hama supaya pestisida ini bekerja.
Pestisida jenis ini digunakan untuk mencegah
tanaman dari serangan hama.
-Pestisida
lambung, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan
pestisida.
Pestisida nabati juga memiliki
berbagai macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti
insektisisda, bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida
nabati dilakukan sebagai alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga
tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia
(Tohir, 2010).
Salah satu sarana pengendalian hama ramah
lingkungan yang bias kita manfaatkan untuk mengatasi resistensi terhadap hama
insektisida sintetik adalah insektisida dari tanaman (insektisida botani). Jika
menelisik jenis tumbuhan yang terdapat di Indonesia, potensi membuatkan insektisida
nabati sangat besar.
Banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat
sebagai insektisida nabati mendasari upaya penggalian potensi tumbuhan guna
mencari alternatif pengendalian hama. Keunggulan insektisida nabati adalah
murah dan mudah dibuat, relatif aman terhadap lingkungan, tidak menyebabkan
keracunan pada tanaman, sulit menimbulkan sifat kebal pada hama, kompatibel
dengan cara pengendalian yang lain, menghasilkan produk pertanian yang sehat
karena bebas residu insektisida kimia.
Beberapa tanaman telah diketahui mengandung
bahan- bahan kimia yang dapat membunuh, menarik, atau menolak serangga.
Beberapa tumbuhan menghasilkan racun, ada juga yang mengandung senyawa-senyawa
kompleks yang dapat mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan,
atau mengubah perilaku serangga (Supriyatin dan Marwoto, 2000).
Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan
ke tanaman yang terinfeksi organisme pengganggu tidak berpengaruh terhadap
fotisintesa, pertumbuhan atau aspek fisiologis tanama lainnya, namun
berpengaruh terhadap sistem saraf otog, keseimbangan hormon, reproduksi,
perilaku berupa penolak, penarik, “anti makan” dan sistem pernafasan OPT (Hidayat,
2001).
Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995 menyatakan
bahwa pemanfaatan agens pengendali hayati atau biopestisida termasuk pestisida
nabati sebagai komponen utama dalam sistem PHT. Pestisida nabati merupakan
pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Tumbuhan banyak mengandung
bahan kimia yang dapat digunakan sebagai alat pertahanan dari serangan
organisme pengganggu.
Penggunaan rodentisida,
moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana
disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh
karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya
setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun
lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi
yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu
mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan
aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati
(Regnault-Roger 2005).
Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan
pestisida sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
merupakan alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan
seminimal mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal
tersebut telah dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu
(PHT) dengan salah satu komponen adalah pengendalian hayati. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah tersebut adalah penggunaan pestisida nabati. Penggunaan
pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya lebih
murah dibandingkan penggunaan pestisida sintetis atau kimia (Murtidjo, 2003).
Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang
tidak essensial bagi pertumbuhan organisme, yang ditemukan dalam bentuk unik
atau berbeda-beda antara spesies satu dengan spesies lainnya. Dan dimungkinkan
juga bahwa dalam satu jenis senyawa metabolit sekunder hanya ditemukan pada
satu spesies dalam suatu kingdom. Senyawa ini juga tidak selalu dihasilkan,
tetapi hanya pada saat dibutuhkan saja atau pada fase-fase tertentu. Fungsi
metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan, misalnya untuk mengatasi hama dan penyakit, menarik polinator,
dan sebagai molekul sinyal. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa metabolit
sekunder digunakan oleh suatu organisme untuk berinteraksi dengan
lingkungannya.
Metabolit sekunder merupakan senyawa kimia
pertahanan tumbuhan atau alelokimia yang dihasilkan pada jaringan tumbuhan, dan
dapat bersifat toksik, menurunkan kemampuan serangga dalam mencerna makanan,
dan pada akhirnya mengganggu pertumbuhan serangga. Senyawa kimia pertahanan
tumbuhan antara lain meliputi tanin, saponin, terpenoid, alkaloid, dan flavonoid
(Ishaaya, 1986; Howe and Westley, 1988).
Senyawa
metabolit sekunder diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama, yaitu:
-Terpenoid (Sebagian besar senyawa terpenoid
mengandung karbon dan hidrogen serta disintesis melalui jalur metabolisme asam mevalonat.)
Contohnya monoterpena, seskuiterepena, diterpena, triterpena, dan polimer
terpena.
-Fenolik (Senyawa ini terbuat dari gula
sederhana dan memiliki cincin benzena, hidrogen, dan oksigen dalam struktur
kimianya.) Contohnya asam fenolat, kumarina, lignin, flavonoid, dan tanin.
-Senyawa yang mengandung nitrogen. Contohnya
alkaloid dan glukosinolat.
Sebagian besar tanaman penghasil senyawa
metabolit sekunder memanfaatkan senyawa tersebut untuk mempertahankan diri dan
berkompetisi dengan makhluk hidup lain di sekitarnya. Tanaman dapat menghasilkan
metabolit sekunder yang membuat tanaman lain tidak dapat tumbuh di sekitarnya.
Hal ini disebut sebagai alelopati. Berbagai senyawa metabolit sekunder telah
digunakan sebagai obat atau model untuk membuat obat baru, contohnya adalah
aspirin yang dibuat berdasarkan asam salisilat yang secara alami terdapat pada
tumbuhan tertentu. Manfaat lain dari metabolit sekunder adalah sebagai
pestisida dan insektisida, contohnya adalah rotenon dan rotenoid. Beberapa
metabolit sekunder lainnya yang telah digunakan dalam memproduksi sabun,
parfum, minyak herbal, pewarna, permen karet, dan plastik alami adalah resin,
antosianin, tanin, saponin, dan minyak volatil.
Secara evolusi tumbuhan telah mengembangkan
bahan kimia yang merupakan bahan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan alami bioaktif. Lebih dari 2 400 jenis tumbuhan yang
termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida, oleh karena
itu apabila tumbuhan tersebut dapat diolah menjadi bahan pestisida, maka
masyarakat petani tersebut akan sangat terbantu dengan memanfaatkan sumberdaya
yang ada di sekitarnya.
Ada 4
kelompok insektisida nabati yang telah lama dikenal yaitu:
-Golongan nikotin dan alkaloid lainnya, bekerja
sebagai insektisida kontak, fumigan atau racun perut, terbatasnya pada serangga
yang kecil dan bertubuh lunak.
-Piretrin, berasal dari Chrysanthemum
cinerarifolium , bekerja menyerang urat syaraf pusat, dicampur dengan minyak
wijen, talk atau tanah lempung digunakan untuk lalat, minyak, kecoa, hama
gudang dan hama penyerang daun.
-Rotenone dan rotenoid, berasal dari tanaman
Derris sp dan bengkuang (Pachyrrzus eroses) aktif sebagai racun kontak dan
racun perut untuk berbagai serangga hama, tapi bekerja sangat lambat.
-Azadirachta indica, bekerja sebagai
“antifeedant” dan selektif untuk serangga pengisap sejenis wereng dan
penggulung daun, baru terurai setelah satu minggu. (Info Tek, 2008).
Senyawa bioaktif diatas dapat dimanfaatkan
seperti layaknya sintetik, perbedaannya bahan aktif pestisida nabati disintesa
oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu macam (campuran). Bagian
tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, batang dan sebagainya dapat
digunakan dalam bentuk utuh, bubuk ataupun ekstrak (air atau senyawa pelarut
organik). Bila senyawa (ekstrak) ini akan digunakan di alam, maka tidak boleh
mengganggu kehidupan hewan lain yang bukan sasarannya (Hidayat, 2001).
Senyawa -senyawa bioaktif yang terdapat tumbuhan
pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai hidrokarbon, asam-asam organik dan
aldehid, asam-asam aromatik, lakton-lakton tidak jenuh sederhana, kemarin,
kwinon, Flavonoid, Tanin, Alkaloid, Terpenoid dan steroid serta macam-macam
senyawa lain yang tidak dikenal.
Senyawa-senyawa kimia baru secara terus-menerus
diisolasi dari tumbuhan dan mikroorganisme dari hari ke hari. Swain (Putnam,
1985) akhir-akhir ini melaporkan bahwa lebih dari 10.000 produk berbobot
molekul rendah dan sudah diisolasi dari tumbuhan tinggi dan jamur-jamuran.
Ditambahkannya bahwa kemungkinan jumlah total mendekati 400.000 senyawa kimia.
Beberapa dari senyawa-senyawa kimia ini atau analoginya dapat menjadi sumber
baru senyawa kimia pertanian (agrochemicals) yang penting untuk masa yang akan
datang (Putnam, 1985).
Menurut Kardinan (2002),
pada pertanian organik saat ini mulai banyak dikembangkan pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan pestisida nabati yang
berasal dari tumbuhan yang banyak terdapat di alam. Teknik pengendalian ini
merupakan alternatif pemecahan terhadap
permasalahan pestisida sintetis yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan
ekosistem lingkungan. Selain relatif mudah dibuat dan tidak mahal, pestisida
nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan karena
selain bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, pestisida nabati juga
memiliki sifat mudah terurai di alam.
Alam sungguh memiliki
kekayaan yang sangat luar biasa dengan ditumbuhkannya aneka ragam tanaman
bermanfaat banyak. Tidak hanya untuk kebutuhan pangan tapi juga untuk
pengobatan manusia, sejarah mencatat nenek moyang kita sudah pandai mengolah
akar, kulit batang, daun, bunga, dan buah menjadi obat mujarab untuk
macam-macam penyakit. Dengan berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi
menyingkap rahasia keampuhan aneka tumbuhan. Serangkaian percobaan di balik
laboratorium dan uji klinis pada manusia semakin memperjelas khasiat dan
mekanisme kerja senyawa-senyawa aktif di dalam herbal. Sayangnya,
tanaman yang digunakan sebagai obat-obatan maupun pestisida ini belum begitu
dihargai dan sulit untuk mendokumentasikannya. Di sisi lain, laju degradasi
hutan Indonesia saat ini lebih dari 2 juta hektar per tahun. Tentu saja hal ini
mengancam entitas dan kelestarian plasma nutfah botani di Indonesia, utamanya
sebagai potensi penghasil pestisida nabati.
Keberadaan tanaman
sebagai obat sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, resep diwariskan turun
temurun yang tadinya hanya dikenal oleh kalangan tertentu kemudian menyebar ke
masayarakat luas. Dunia mencatat tradisi herbal berkembang pesat di dunia
Timur. Modernisasi mentautkan tanaman obat dengan dunia farmasi yang perlahan
keampuhannya diakui kalangan ilmiah dengan langkah dan cara pengolahan yang
benar, maka khasiat tanaman obat tidak akan berubah.
Tanaman atau tumbuhan yang berasal dari alam dan
potensial sebagai pestisida nabati umumnya mempunyai karakteristik rasa pahit
(mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk dan berasa agak pedas. Tanaman
atau tumbuhan ini jarang diserang oleh hama sehingga banyak digunakan sebagai
ekstrak pestisida nabati dalam pertanian organik (Hasyim, A. dkk, 2010). Di
Indonesia, sejak tahun 2001 Pemerintah telah mencanangkan gerakan “Go Organik
2010” dengan harapan Indonesia sebagai salah satu produsen utama pangan organik
di dunia. Oleh karena itu dalam SNI 01- 6729-2002 yang mengatur sistem pangan
organik telah melarang penggunaan pestisida kimia dan dianjurkan menggunakan
pestisida alami (termasuk pestisida nabati) dan pengendalian secara mekanis (
Rizal, 2009).
Banyak sekali bahan yang dapat dijadikan
pestisida alami yang tentunya tidak merusak lingkungan. Pemanfaatan pestisida nabati diyakini mampu menjawab
permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa tanaman yang mudah terurai.
Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies tanaman yang tumbuh di
Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Salah satu tumbuhan yang memiliki potensi untuk digunakan
sebagai pestisida nabati adalah tanaman kemangi. Kemangi merupakan sejenis
tumbuhan yang banyak digunakan dalam masakan terutamanya masakan Indonesia. Kemangi
adalah sejenis tumbuhan semak perdu beraroma khas
yang
biasa tumbuh liar dan baunya seakan-akan bau
serai. Aroma khasnya berasal dari kandungan sitral yang tinggi pada daun dan
bunganya ( Kurniasih, 2011). Kemangi tumbuh rimbun dan mempunyai
cabang yang banyak. Kemangi biasanya ditanam secara massal sebagai pemenuhan
kebutuhan akan sayuaran sejenis ini. Daunnya tersusun dalam bentuk pasangan
yang bertentangan, berwarna hijau muda dengan bentuk oval antara 3-4 cm (panjang), dan
tersusun dari arah atas dan bawah. Tangkai daun berwarna hijau dan panjangnya
antara 0,5 – 2 cm, helian daun berbentuk bulat telur, dengan ujung meruncing , tampak
menggelombang, pada sebelah daun terdapat 3 – 6 tulang. Tepi daun sedikit
berigi, terdapat bintik – bintik serupa kelenjar. Memiliki daun pelindung yang berbentuk elips atau bulat telur, dengan panjang antara 0,5 – 1 cm. Batangnya berbentuk empat segi
dan mempunyai bulu-bulu halus. Bunga kemangi berwarna putih tersusun pada
tangkai bunga yang berbentuk menegak. Bunganya dari jenis hermafrodit (dua
kelamin, memiliki putik/pistillum dan
benang sari / stamen), berwarna putih dan berbau sedikit wangi. Terdapat ovarium (bakal buah) dan
ovulum. Bunga ini akan menghasilkan
biji benih kemangi yang banyak dan kecil. Kelopak bunga (calyx) berwarna hijau
(mengandung pigmenklorofil), dapat sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis,
sifatnya gamosepalus (sepala berlekatan satu sama lain), mahkota bunga (corolla
) berwarna putih merah muda, siftnya polyopetalus (petala tidak berlekatan satu sama lain). Buah terdiri dari Epikarpium
(memiliki ketebalan pada lapisan paling luar dan bersisik) untuk tanaman yang
sudah tua, sedangkan pada buah yang masih muda belum terdapat sisik.
Mesokarpium (daging buah) dan Endokarpium terdapat sekat (septum). Terdapat biji (semen) pada ujung buah. Berkembang
biak melalui biji benih dan keratan batang (Savitri, 2008). Biji di peroleh dari buah
kemangi yang masak di batang, ciri biji yang telah matang berwarna hitam dan
kering. Biji kemangi bewarna hitam atau cokelat dengan bentuk bulat telur atau
bulat dengan ukuran biji relatif kecil (Ririn, 2012). Daun kemangi berfungsi sebagai
Insektisida, larvasida dan fungisida (Simon et al., 1990). Asal dan persebaran kemangi
bersal dari assia barat dan tersebar secara alami ke amerika, Afrika dan Asia.
Tanama ini sudah di budidayan kan di mesir 3000 tahun yang lalu dan terkenal dari timur tengah sampai
yunani, italia dan eropa (Danong, 2001). Kemangi adalah hibrida antar spesies
antara dua spesies selasih, Ocimum basilicum dan O. americanum. Ia juga dikenal
sebagai O. basilicum var. anisatum Benth.
Tumbuhan kemangi (ocimum sanctum) dapat
ditemukan di tempat lembab dan teduh di dataran rendah sampai ketinggian 450 m.
Tersebar di seluruh pulau di Indonesia (terutama Sumbawa), bahkan di Asia, Eropa,
dan Amerika Selatan (Backer and van den Brink, 1965; Wijayakusuma et al.,
1996). Kemangi dapat tumbuh di semua wilayah Indonesia, tumbuhan ini banyak
dijumpai di daerah dataran rendah hingga ketinggian 1.100 m dari permukaan
laut, kemangi dapat tumbuh pada tanah yang memiliki pH antara 5-7, pada kondisi
tanah yang masam kemangi masih
dapat tumbuh dengan baik.
Tanaman kemangi, berdasarkan senyawa utama
(bahan aktif) dalam minyak yang dimilikinya, dapat dibedakan menjadi 4 tipe,
yaitu; pertama, tipe Eropa (methyl chavicol, linalool), kedua tipe reunion
(methyl chavicol, camphor), ketiga tipe
methyl cinnamate, dan keempat tipe eugenol. Senyawa methyl eugenol tertinggi
terdapat pada tipe eugenol yang berfungsi sebagai penarik (atraktan) lalat buah
(B. dorsalis). Senyawa utama tersebut mampu menarik hama lalat buah jantan
masuk ke perangkap. Di Indonesia terdapat beberapa jenis kemangi yang mempunyai
nilai ekonomis penting dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai penghasil
minyak atsiri yang digunakan untuk obat-obatan, pengharum, bumbu, dan bahan
baku pestisida nabati dengan klasifikasi ilmiahnya. Kemangi di Indonesia
dikenal dengan berbagai nama, yaitu lampes di Sunda, Kemangi di Jawa dan
Madura, uku-uku di Bali, lufe-lufe di Ternate, selasi atau selaseh di Sumatra,
ampi di Sulawesi. Kemangi telah
ditanam hampir di seluruh Nusantara. Tumbuh pada tepi-tepi jalan dan tepi-tepi
ladang, pada sawah-sawah kering dan dalam hutan-hutan jati seringkali
disemaikan di kebun-kebun dan pekarangan rumah (Ririn, 2012).
Tanaman kemangi mengandung bermacam-macam
kandungan kimia seperti pada bunga mengandung anthocyanins, delphinidin,
pelargonidin, malvidin, kaempherol, dan quercetin yang berfungsi peluruh haid,
abortivum, dan membuyarkan bekuan darah. Pada akar mengandung cyanidin
mono-glycoside yang berfungsi sebagai anti radang dan peluruh haid. Pada biji
mengandung saponin dan fixed oil yang
berfungsi
sebagai penghenti perdarahan (hemostatis), meningkatkan fungsi pencernaan,
mempunyai efek melunakkan massa yang keras (tumor), anti kanker, peluruh haid,
dan mempermudah persalinan (parturifasien). Selain itu kemangi ini juga kaya
dengan berbagai kandungan kimia yang sudah diketahui, yaitu minyak atsiri:
Osimena, farnesena, sineol, felandrena, sedrena, bergamotena, amorfena,
burnesena, kadinena, kopaena, kubebena, pinena, terpinena, santalena, sitral,
dan kariofilena. Senyawa lain: Anetol, apigenin, asam askorbat, asam kafeat,
eskuletin,eriodiktiol, eskulin, estragol, faenesol, histidin,
magnesium,ß-carotene,ß-sitosterol (Ririn, 2012).
Daun kemangi mengandung minyak atsiri dengan
bahan aktif eugenol dan sineol yang mempunyai potensi sebagai larvasida dan
hormon juvenil yang menghambat perkembangan larva nyamuk (Anopheles aconitus). Abu
kemangi bisa digunakan untuk menghalau serangan nyamuk (Fatimah, 1997). Minyak kemangi berfungsi
sebagai larvasida dengan cara kerja sebagai racun kontak (contact poison)
melalui permukaan tubuh larva karena fenol (eugenol) mudah terserap melalui
kulit. Selain nyamuk, daun kemangi juga
dapat digunakan untuk membasmi lalat buah, kutu daun, laba-laba merah, dan
tungau (Simon et al., 1990; Panhwar, 2005).
Tumbuhan kemangi (Ocimum sanctum) memiliki rasa
agak manis, bersifat dingin, berbau harum, dan menyegarkan. Beberapa bahan
kimia yang terkandung pada seluruh bagian tanaman kemangi diantaranya 1,8
sineol, anethol, apigenin, dan boron. Sementara pada daunnya terkandung
arginine dan asam aspartat (Hariana, 2007). Menurut Savitri (2008),
senyawa-senyawa yang banyak ditemukan dalam minyak atsiri ini antara lain 1,8-
sineol, trans-beta-ocimen, kamfor, linalool, metil klavikol, geraniol, citra
eugenol, metil sinamat, metil eugenol, beta-bisabolen, beta-kariopilen.
Minyak atsiri / minyak eteris adalah istilah
yang digunakan untuk minyak yang mudah menguap
(volatile). Berdasarkan penelitian (Wasilah, dkk.,2010)
mengemukakan bahwa senyawa antifungi yang terkandung dalam minyak atsiri
mengandung senyawa metabolit sekunder yang termasuk ke dalam golongan
seskuiterpenoid yang diketahui mempunyai efek fisiologi yang nyata terhadap
tumbuhan dan hewan, seperti bekerja sebagai penolak serangga dan insektisida,
merangsang pertumbuhan tumbuhan, dan bekerja sebagai fungisida (Robinson,
1995).
Minyak atsiri bukan
merupakan senyawa murni tetapi tersusun atas beberapa komponen yang mayoritas
berasal dari golongan terpenoid (Guenther E, 2006). Minyak atsiri terdiri dari
campuran zat yang mudah menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda
beda. Minyak atsiri yang mudah menguap terdapat dalam kelenjar minyak khusus
didalam kantung minyak atau di dalam ruang antar sel dalam jaringan tanaman.
Minyak atrisi umumnya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang
terbentuk dari unsur carbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O) dan beberapa senyawa
kimia yang mengandung unsur Nitrogen (N) dan Belerang (S) (Guenther E, 2012).
Kandungan utama yang banyak terdapat dalam
minyak atsiri daun kemangi (ocimum sanctum) yang beredar di pasaran seperti
minyak sweet basil adalah linalool, metil klavikol. Kandungan lainnya yang juga
cukup tinggi adalah eugenol dan 1,8-sineol, selanjutnya dengan kadar yang lebih
rendah adalah citral (neral dan geranial) juga ocimen (Savitri, 2008).
Beberapa klaim tradisional telah dibuktikan
secara ilmiah dengan pengujian farmakologi, diantaranya telah dilakukan
pengujian terhadap aktivitas antibakteri, antifungi, larvasida, antiulcer, dan
antiseptik. Kebanyakan senyawa bioaktif (senyawa yang bertanggung jawab untuk
menghasilkan efek) merupakan senyawa penyusun minyak atsiri yang terkandung dalam
tanaman. Diantara senyawa bioaktif tersebut adalah kamfor, d-limonen, mirsen,
metil-kavikol, dan eugenol (Savitri, 2008).
Daun kemangi (ocimum sanctum) mengandung minyak
atsiri dengan bahan aktif eugenol dan sineol yang mempunyai potensi sebagai larvasida
dan hormon juvenil yang menghambat perkembangan larva nyamuk (Anopheles aconitus)
(Octavia, Andriani, Qirom, dan Azwar, 2008). Sedangkan menurut (Iffah,
Gunandini, dan Kardinan, 2008) senyawa bioaktif yang diduga berfungsi sebagai
larvasida dari kemangi adalah eugenol dan methyl clavical.
Minyak kemangi berfungsi sebagai larvasida
dengan cara kerja sebagai racun kontak (contact poison) melalui permukaan tubuh
larva karena fenol (eugenol) mudah terserap melalui kulit (Wilbraham dan Matta,
1992). Menurut (Prasodjo, 1984), racun kontak akan meresap ke dalam tubuh
binatang akan mati bila tersentuh kulit luarnya. Racun kontak akan masuk dalam
tubuh larva melalui kutikula sehingga apabila insektisida kontak langsung pada
kulit maka sedikit demi sedikit molekul insektisida akan masuk ke dalam tubuh
larva. Seiring bertambahnya waktu maka akumulasi dari insektisida yang masuk ke
tubuh larva dapat menyebabkan kematian (Wudianto, 1998). Fenol dapat
menyebabkan cacat bakar dan amat beracun (Wilbraham dan Matta, 1992). Eugenol
menyebabkan alergi jika terpapar pada kulit. Eugenol dosis tinggi bahkan dapat
mengakibatkan efek seperti terbakar. Hal ini yang mengakibatkan kematian larva
dan bentuk fisik larva terlihat seperti terbakar. Eugenol juga bekeja pada
sistem syaraf. Eugenol merupakan senyawa fenol yang memiliki gugus alkohol
sehingga dapat melemahkan dan mengganggu sistem syaraf (Iffah, Gunandini, dan
Kardinan, 2008). Methy clavical termasuk kelompok ether. Menurut (Wilbraham dan
Matta, 1992), methyl clavical juga memiliki efek anastetikum, diduga methyl
clavical bekerja mengganggu kerja susunan syaraf larva. Sebuah pengujian juga
telah membuktikan bahwa konsentrasi senyawa aktif ekstrak daun kemangi (ocimum
sanctum) 20% memiliki kemampuan larvasida terhadap lalat Musca domestica.
Zat bioaktif
methyl clavical dalam minyak kemangi juga memiliki peran sebagai
larvasida. Zat ini termasuk kelompok ether (Lowry 2007). Menurut Wilbraham dan
Matta (1992), methyl clavical juga memiliki efek anastetikum. Seperti halnya
kelompok ether yang lain, diduga methyl clavical bekerja mengganggu kerja
susunan syaraf larva. Semakin tinggi ekstrak kemangi yang digunakan maka
semakin tinggi zat bioaktif di dalam kemangi yang bekerja mempengaruhi proses
ekdisis larva.
Senyawa lain yang terkandung dalam kemangi (ocimum
sanctum) dan diduga memiliki pengaruh terhadap mortalitas larva adalah saponin.
Saponin dalam lerak dapat merusak dinding traktus digestivus. Saponin merupakan
surfaktan kuat, konsentrasi rendah dapat bersifat toksik pada mamalia karena
menyebabkan hemolisis sel darah merah (Iffah, Gunandini, dan Kardinan, 2008).
Saponin merupakan
senyawa glikosida triterpenoida atau glikosida Steroida yang merupakan senyawa
aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah (Harborne JB, 1996
dalam Lumowa, Sonja, 2012). Keberadaan saponin sangat dapat ditandai dengan
pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang
stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan
bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya
digunakan sebagai racun ikan (Gunawan D dan Mulyani S, 2004). Menurut Nio
(1989). Sifat-sifat saponin adalah sebagai berikut:
-Mempunyai rasa pahit.
-Dalam larutan air
membentuk busa yang stabil.
-Menghemolisa eritrosit.
-Merupakan racun kuat
untuk ikan dan amfibi.
-Membentuk persenyawaan
dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya.
-Sulit untuk dimurnikan
dan diidentifikasi.
-Berat molekul
relatif tinggi, dan
analisis hanya menghasilkan
formula empiris yang mendekati.
Berdasarkan struktur
aglikonnya, saponin dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe steroida dan tipe
triterpenoida.
-Steroida
Saponin steroida
terdapat pada tumbuhan monokotil maupun dikotil, contohnya diosgenin yang
terdapat pada Dioscorea hispida dan hecogenin yang terdapat pada Agave
Americana (Gunawan dan Mulyani, 2004).
-Triterpenoida
Saponin triterpenoida
banyak terdapat pada tumbuhan dikotil seperti: gipsogenin terdapat pada
Gypsophylla sp. dan asam glisiretat terdapat pada Glycyrrhiza glabra (Sonja,
2012).
Saponin memiliki aksi
sebagai insektida dan larvasida. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan
selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga dinding traktus digetivus larva
menjadi korosif (Aminah dkk, 2001). Saponin yang terdapat dalam makanan yang
dikonsumsi serangga dapat menurunkan aktivitasenzim pencernaan dan penyerapan
makanan (Dinata A, 2012).
Menurut Nunik et al.
(1999) bahwa senyawa saponin berpengaruh terhadap kerusakan dinding sel pada
kulit serangga yaitu pada dinding traktus digestivus, Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan
selaput mukosa traktus digestivus, sehingga dinding tractus digestivus menjadi
korosi. Berdasarkan fakta ini, saponin dapat digolongkan sebagai racun
sistemik, karena dapat menembus ke seluruh jaringan tubuh serangga, sehingga mematikan serangga secara dermal
maupun secara oral. Sifat insektisida nabati dari biji mahoni ini juga dapat
digunakan untuk mengendalikan hama gudang maupun hama tanaman, terutama serangga dari ordo Lepidoptera dan Coleoptera dan dapat
juga sebagai pengatur tumbuh serangga (Marollo dan Rejasus, 1987 dalam Bedjo,
1997).
Dari bermacam-macam senyawa yang terdapat dalam kemangi
(ocimum sanctum), minyak atsiri merupakan salah satu komponen yang mendapat
perhatian secara komersial. Minyak atsiri ini banyak digunakan sebagai aroma
pada makanan, minuman, dan juga digunakan dalam industri parfum. Walaupun
termasuk dalam marga yang sama, tetapi kandungan minyak atsiri dari
masing-masing jenis berbeda satu sama lain, baik komposisi senyawa penyusun
minyak atsiri ataupun kadarnya, karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi
produksi minyak atsiri tanaman yang salah satunya adalah tempat tumbuh
(Savitri, 2008).
Menurut Dubey et al. (2008), Dubey et al.
(2010), Isman (2000), dan Koul et al. (2008), aktivitas biologi minyak atsiri
terhadap serangga dapat bersifat menolak (repellent), menarik (attractant),
racun kontak (toxic), racun pernafasan (fumigant), mengurangi nafsu makan
(antifeedant), menghambat peletakan telur (ovipotion deterrent), menghambat
pertumbuhan, menurunkan fertilitas, serta sebagai anti-serangga vektor
(Hartati, 2012).
Pestisida berbahan minyak atsiri sangat aman
bagi lingkungan, karena bersifat tidak persisten. Hal ini karena minyak atsiri
mudah diurai secara alami, sehingga tidak tahan lama di air, udara, di dalam
tanah, dan tubuh mamalia (Hartati, 2012). Minyak atsiri juga dilaporkan efektif
terhadap organisme sasaran, kompatibel dengan cara pengendalian lain, aman dan
tidak toksik terhadap organism bukan sasaran serta lingkungan dan kesehatan
manusia, sehingga minyak atsiri mempunyai potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan sebagai pestisida nabati secara komersial (Hartati, 2012).
Cara membuat pestisida nabati dari bahan kemangi:
Bahan
dan alat:
-Daun kemangi segar ± 750 gr.
-Pisau / Blender.
-Baskom.
-Kompor.
-Wajan.
-Saringan.
-Air ±
500 ml.
Cara
pembuatan:
-Siapkan
alat dan bahan pembuatan pestisda nabati daun kemangi.
-Kumpulkan daun kemangi segar, dipotong dan
dicacah kecil (bisa juga dilakukan dengan
menggunakan blender), cuci dengan air bersih yang mengalir kemudian dikering
anginkan.
-Letakkan
cacahan daun kemangi pada baskom.
-Nyalakan
kompor dan letakkan wajan perebusan, lalu panaskan air hingga mendidih.
-Masukkan bahan (cacahan) daun kemangi ke wajan
perebusan.
-Rebus hingga volume air sedikit (selama ± 60
menit) lalu matikan kompor.
-Dinginkan larutan
ekstrak daun kemangi (selama ± 30 menit) lalu saring dan simpan dalam sebuah wadah (botol), tutup dengan
rapat.
-Hasil saringan siap diaplikasikan sebagai
pestisida nabati.
Sebuah pengujian telah melaporkan ekstrak
pestisida dari daun kemangi efektif mematikan hama belalang. Pestisida nabati
dari ekstrak daun kemangi berperan dalam mengendalikan serangga hama terutama
hama yang berukuran kecil seperti belalang hijau dan ulat pada tanaman sawi ataupun
sejenisnya.
Tanaman kemangi dapat dijadikan sebagai atraktan
karena kemangi memiliki kandungan senyawa minyak atsiri untuk menarik lalat
buah datang, menurut (Kardinan, 2003) pada biji kemangi akan menghasilkan
minyak atsiri, sedangkan pada daunnya mengandung senyawa diantaranya adalah
metil eugenol. Adanya kandungan metil eugenol pada kemangi ini dapat dijadikan
sebagai atraktan alami untuk pengendalian hama lalat buah, spesies Bactrocera sp., yang
merupakan hama penyerang buah, sehingga buah mengalami kerusakan dan
menyebabkan cepat membusuk. Menurut (Sholehah, 2016), eugenol dapat
dimanfaatkan sebagai pestisida yang dapat membunuh jamur, nematoda, bakteri,
dan serangga yang menyerang suatu tanaman.
Jenis pestisida nabati
berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis pestisida
nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida, fungisida
(Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002), moluskisida
(Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena Rodriguez
2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) sedang
mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak mengganggu
tanaman budidaya.
Efektivitas
tumbuhan sebagai pestisida
nabati sangat tergantung dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu
jenis tumbuhan yang sama tetapi berasal dari daerah yang berbeda dapat
menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau sifat
racunnya tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tumbuhan tersebut. Pestisida
botani atau pestisida nabati merupakan pestisida alami yang bahannya diambil
langsung dari tanaman atau hasil tanaman.
Insektisida nabati dapat digunakan secara
tunggal atau dalam bentuk campuran. Pemanfaatan insektisida nabati berbahan
baku dua jenis atau lebih ekstrak tumbuhan dapat mengurangi ketergantungan pada
satu jenis tumbuhan sebagai bahan baku sehingga dapat mengatasi keterbatasan
bahan baku insektisida nabati di tingkat petani (Dadang dan Prijono, 2008).
Selain itu, insektisida dalam bentuk campuran dapat digunakan untuk
mengendalikan beberapa jenis hama sekaligus, meningkatkan efisiensi aplikasi
karena insektisida dalam campuran digunakan pada dosis yang lebih rendah
dibandingkan dengan dosis masing-masing komponennya secara terpisah, terutama
bila campuran bersifat sinergis (Stone et al., 1988), menunda timbulnya
resistensi hama terhadap insektisida (Georghiou, 1983), dan dapat mengurangi
pengaruh samping terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan (Prijono,
2002).
Penggunaan campuran insektisida botani yang
bersifat sinergistik dapat meningkatkan efisiensi aplikasi karena insektisida
campuran digunakan pada dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan dosis
komponen masing-masing secara terpisah. Dengan kata lain, penggunaan campuran
insektisida botani yang bersifat sinergistik dapat mengurangi jumlah pemakaian
bahan baku dibandingkan dengan insektisida botani yang mengandung ekstrak
tunggal, sehingga dapat mengatasi keterbatasan bahan baku insektisida botani di
tingkat petani karena tumbuhan sumber insektisida botani tidak selalu terdapat
melimpah di suatu daerah. Penggunaan campuran insektisida botani pada dosis
yang lebih rendah juga dapat mengurangi dampak samping terhadap organisme bukan
sasaran dan lingkungan. Selain itu, penggunaan campura n insektisida botani
yang komponennya memiliki cara kerja berbeda dapat menunda terjadinya
resistensi hama (Georghiou, 1983).
Dadang dan Prijono
(2008) menyatakan bahwa kandungan bahan aktif dalam tumbuhan sering beragam,
bergantung pada keragaman genetika tumbuhan, keadaan geografi daerah asal
tumbuhan tersebut, fase pertumbuhan, dan musim saat pemanenan.
Pestisida nabati
memiliki spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang
telah resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya
terhadap mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Cara penggunaan pestisida yang tepat merupakan
salah satu faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan pengendalian hama.
Walaupun jenis obatnya manjur, namun karena penggunaannya tidak benar, maka
menyebabkan sia-sianya penyemprotan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan pestisida, di antaranya adalah keadaan angin, suhu udara, kelembapan
dan curah hujan. Angin yang tenang dan stabil akan mengurangi pelayangan
partikel pestisida di udara. Apabila suhu di bagian bawah lebih panas,
pestisida akan naik bergerak ke atas. Demikian pula kelembapan yang tinggi akan
mempermudah terjadinya hidrolisis partikel pestisida yang menyebabkan kurangnya
daya racun. Sedang curah hujan dapat menyebabkan pencucian pestisida,
selanjutnya daya kerja pestisida berkurang. Hal-hal teknis yang juga perlu
diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah ketepatan penentuan dosis. Dosis
yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemborosan pestisida, di samping merusak
lingkungan. Dosis yang terlalu rendah menyebabkan hama sasaran tidak mati. Di
samping berakibat mempercepat timbulnya resistensi.
Insektisida nabati
kembali mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik karena
relatif aman, murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak
mencemari lingkungan, residunya relatif pendek (Oka, 1994), aman terhadap hewan
bukan sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh
samping (Kardinan 2002).
Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus
disesuaikan dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan
pestisida haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan
mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta
cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang
digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis
OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan
dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta
mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya
dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat
tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga
hama masih enggan bergerak.
Kelebihan maupun
keunggulan pestisida nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan
minat terhadap pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan
semakin besar. Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang
bahan kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi
biokimia juga telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana
yang semakin canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida
tidak hanya sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah
teknologi yang lebih maju.
Kelebihan pestisida alami :
-Bahan
baku murah, ekonomis dan mudah didapat serta dibuat sendiri oleh petani.
-Relatif aman terhadap
lingkungan, manusia dan ternak karena residunya mudah
hilang.
-Mudah terurai di alam dan ramah lingkungan.
-Tidak menyebabkan
keracunan pada tanaman.
-Dapat membunuh hama/penyakit tanaman.
-Sebagai pengumpul/perangkap hama tanaman.
-Dosis yang digunakan tidak mengikat dan
beresiko dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintetis.
-Sulit menimbulkan
kekebalan terhadap hama.
-Kompatibel digabung
dengan cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk
pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
-Merupakan pemecahan masalah hama jangka
pendek/cepat.
Untuk menghasilkan makan yang sehat dan bergizi
antara lain dapat melalui gerakan pertanian organik, yang melarang penggunaan
pestisida kimia sintetis menggantinya dengan pestisida nabati dan cara
pengendalian alami lainnya. Hal ini merupakan peluang bagi pengembangan
penggunaan pestisida nabati yang bersahabat dengan lingkungan dan aman bagi
kesehatan manusia.
Kebutuhan pestisida nabati saat ini tidak
terbatas kepada bidang pertanian, tetapi sudah meluas kepada ke arah hama rumah
tangga, seperti pengendalian nyamuk. Hal ini ditunjang oleh beberapa hasil
penelitian yang menyatakan bahwa pestisida nabati dapat digunakan untuk
mengendalikan hama pemukiman. Saat ini anti nyamuk demam berdarah dengan bahan
aktif dari tanaman (pestisida nabati) melalui kerja sama dengan perusahaan
nasional yang bergerak di bidang ini. Pestisida nabati juga akan digunakan
sebagai bahan pembersih lantai, kaca, antiseptik dan lainnya untuk kebersihan
di rumah tangga, rumah sakit, gedung perkantoran mulai menarik perhatian swasta
lingkungan.
Pestisida alami dapat membunuh atau mencegah serangan
hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu dapat melalui perpaduan
berbagai cara atau secara tunggal.
Cara
kerja pestisida alami sangat spesifik, yaitu :
-Merusak perkembangan telur, larva dan pupa.
-Menghambat pergantian kulit.
-Mengganggu komunikasi serangga.
-Menyebabkan serangga menolak makan.
-Menghambat reproduksi serangga betina.
-Mengurangi nafsu makan.
-Memblokir kemampuan makan serangga.
-Mengusir serangga.
-Menghambat perkembangan patogen penyakit.
Pestisida nabati juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah
terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka
waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga
aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan
hama sasaran.
Pemanfaatan pestisida
nabati di Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan
bakunya melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi
tinggi, cukup dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena
bahan aktifnya berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai
(bio-degradable) sehingga relatif aman bagi kehidupan.
Cara pengendalian OPT
yang ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi
percepatan pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka
panjang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Upaya jangka pendek
dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan
kekurangan pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa
penggunaan pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan
OPT secara perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di
sekitar kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan
mengolah bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida
nabati.
-Cara memformulasi
pestisida nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh
petani.
-Cara memanfaatkan
pestisida nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya
tingkat keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.
Pestisida kimia memiliki kandungan racun yang berbahaya bagi kesehatan
dan lingkungan sedangkan pestisida
nabati tidak mengandung zat racun yang
berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan (Ardra, 2013). Upaya jangka panjang memerlukan dukungan serius dari pemangku
kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis yang beredar di pasaran.
Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru perlu dibatasi dan semua
pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang terkait dengan resistensinya
terhadap hama sasaran. Insektisida yang menunjukkan tingkat resistensi tinggi
sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan kembali untuk mengurangi kerusakan
lingkungan akibat efek domino dari penggunaan pestisida sintetis yang
diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Pemberlakuan ekolabeling dan ISO 14000 dalam era
perdagangan bebas membuat produk pertanian di Indonesia belum mampu bersaing di
pasar global, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat
pengendali hama. Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, seperti India dan Sri Lanka yang telah mulai memasuki
pasaran Negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dengan produk pertanian yang
bebas residu pestisida (Sutanto, 2000).
Para praktisi pertanian Indonesia mau tidak mau
harus mempelajari dan mencoba alternative pestisida alami, jika tidak ingin
tergilas oleh kecenderungan global yang menginginkan bahan-bahan hasil
pertanian yang bebas dari residu pestisida.
Penggunaan pestisida
alami yang kurang digunakan dikarenakan kurangnya sosialisasi kepada petani.
Penggunaan pestisida alami, jika disosialisasikan dengan baik akan memberikan
sugesti, agar petani beralih dari penggunaan pestisida sintesis ke pestisida
alami.
Upaya yang tidak kalah
penting adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi
dan memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan
menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat
penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh
petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian
ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.
Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan
pengendalian hama dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan
evaluasi fisik. Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian
pestisida populasi OPT menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau
tanaman tidak lagi diserang OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang
tidak diaplikasi, sedangkan evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat
keberhasilan penyemprotan yang telah dilakukan misalnya evaluasi parameter
penyemprotan seperti penutupan (coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.
Pestisida memang bukan
pilihan utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Namun, jika pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara
legal, benar, dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan
menjadi pedang bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa
membahayakan pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas
staf argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat
informasi yang jujur dan seimbang.
Perlindungan tanaman
terhadap serangan hama dengan cara preventif dapat dilakukan dengan menerapkan
tehnik bercocok tanam yang baik, seperti pengolahan tanah secara intensif,
jarak tanam sesuai, pemupukan yang berimbang, pergiliran penanaman tanaman,
penyiangan, sistem pengairan yang baik, sterelisasi tanah, desinfektan benih,
pemberian mulsa plastik, penanaman serempak dalam satu hamparan lahan yang
luas, menanam varietas yang resisten terhadap penyakit, dan menanam tanaman
sesuai dengan musim tanam.
Saat ini teknik atau
cara pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida
nabati dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang
dilakukan terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap
OPT sasaran. Toksisitas menurut Durham (1975) dalam Tandjung (1995) adalah
kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia menimbulkan perusakan pada bagian
yang peka didalam maupun diluar mahluk hidup. Organisme tersebut dapat
mengalami berbagai tingkat kerusakan alat dan sistem organ. Tingkat racun
(toksin) suatu bahan kimia diukur dengan besarnya kadar atau konsentrasi bahan
yang dapat menimbulkan efek pada organisme. Uji toksisitas dipakai untuk
menentukan tingkat racun tersebut. Setiap toksikan dalam tubuh dapat
menimbulkan suatu efek toksik. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ
sasaran maupun mekanisme kerjanya. Tidak terjadinya respon toksik tergantung
pada sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut, situasi pemaparan dan
kerentanan sistem biologis dari subyek. Faktor utama yang mempengaruhi
toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan tehadap bahan kimia
tertentu adalah jalur masuk kedalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan
(Ahmad 2004).
Efek toksik sangat
bervariasi dalam sifat, organ sasaran dan mekanisme kerjanya karena adanya beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Antara lain yaitu:
Fisiologis dari organismenya
Proses fisiologis yag
terjadi pada setiap organisme turut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida dalam
tubuh organisme. Ada organisme yang mempunyai kemampuan menetralisir pestisida
sampai pada konsentrasi tertentu. Sementara itu, ada pula organisme lain yang
tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir daya racun dari pestisida yang
masuk kedalam tubuhnya. Adanya perbedaan kemampuan dalam menetralisir daya
toksik tersebut, disebabkan masing- masing spesies memiliki batas kisaran
toleransi yang berbeda-beda antara satu spesies dengan lainnya.
Kondisi organismenya
Masing-masing individu
memiliki daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis
kelamin, status nutrient dan ada tidaknya stress. Faktor-faktor tersebut
berpengaruh terhadap daya toksik pestisida tergantung dari kondisi organisme
yang bersangkutan.
Kemampuan beraklimasi terhadap bahan
Kemampuan setiap
organisme dalam beraklimasi terhadap adanya perubahan lingkungan berbeda satu
dengan lainya. Ada organisme yang mampu menyesuaikan terhadap perubahan
lingkungan sehingga mampu bertahan hidup. Dan, organisme yang tidak mampu
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan akan mengalami kematian.
Uji persintensi formula aktif
pestisida nabati juga perlu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan
keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan
ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan
beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan
memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati
sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal
maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya
serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.
Penggunaan pestisida
nabati harus merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk
meminimalisir dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan
seperti musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Menggunakan musuh alami dari hama merupakan salah
satu cara pengendalian yang cukup bagus untuk diterapkan di Indonesia. Walaupun
butuh waktu yang lama supaya gulma mati/terkendali, tetapi musuh alami termasuk
pengendali yang ramah terhadap lingkungan. Secara alami tiap spesies memiliki
musuh alami (predator, parasit, dan patogen) yang dapat dimanfaatkan untuk
pengendalian hama tanaman.
Penggunaan pestisida
nabati harus merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk
meminimalisir dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan
seperti musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Potensi pestisida nabati
apabila dikembangkan akan memperoleh hasil pengendalian OPT yang murah dan
tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan baik bagi pekerja,
hewan, maupun lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan potensi pestisida
nabati tersebut diperlukan usaha keras dari semua pihak antara lain lembaga
penelitian dan perguruan tinggi yang berkewajiban untuk melakukan penelitian
dasar mulai aspek kimia sampai formulasinya dan komitmen dari industri bahan
perlindungan tanaman dalam membantu mengembangkan pestisida nabati.
Ketergantungan kita
terhadap bahan-bahan kimia (pupuk kimia) apalagi bahan yang bersifat sebagai
racun (insektisida, fungisida dan bakterisida) harus segera kita tinggalkan.
Kita harus menggali bahan-bahan disekitar kita yang bisa kita manfaatkan untuk
mengganti bahan-bahan kimia tersebut. Sudah saatnya kita kembali ke alam.
Banyak mikro-organisme yang dapat kita manfaatkan untuk proses kelestarian
lingkungan kita.
Indonesia merupakan salah satu negara tropika
yang mempunyai hutan alam yang sangat luas, disertai oleh keanekaragaman jenis
tanaman (flora) yang sangat tinggi. Seperti umumnya di daerah tropika, kekayaan
jenis tanaman yang tinggi ini disertai pula oleh kekayaan jenis faunanya. Indonesia merupakan tempat yang
sangat potensial bagi pengembangan dan pemanfaatan pestisida alami. Prospek
pengembangan pestisida alami di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Banyak
hal yang dapat dihemat dengan menggantikan pestisida sintesis dengan pestisida
alami yang di produksi sendiri. Contohnya di Thailand, International
Development Research Center yang berpusat di Kanada melaporkan bahwa pemakaian
pestisida botani di Thailand meningkat dengan mengesankan. Pada tahun 1988
dengan pestisida botani, Thailand telah mampu mengurangi import pestisida
sintesis, sehingga berhasil menghemat devisanya sebesar 70 juta dolar AS per
tahun. Pada tingkat petani produsen, biaya produksi dapat diturunkan secara
signifikan.
Selain ramah lingkungan, pestisida alami
merupakan pestisida yang relatif aman dalam penggunaannya dan ekonomis. Dalam
hal ini komitmen pemerintah untuk lebih memasyarakatkan pestisida alami sangat
diperlukan. Indonesia merupakan Negara agraris yang tidak dapat menghindari
kecenderungan global untuk secara bertahap menurunkan pemakaian pestisida
sintesis. Oleh karena itu, prospek yang sangat menjanjikan untuk pengembangan
dan pemanfaatan pestisida alami di Indonesia.
Indonesia merupakan
negara yang memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah
Brasil (Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal
di dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki
potensi menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia.
Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat
menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran
serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...