Morfologi Cacing Tanah serta Fungsinya
Ada banyak orang yang merasa jijik dengan hewan yang satu
ini. Padahal cacing tanah adalah hewan yang memiliki segudang manfaat,
khususnya untuk dunia pertanian. Cacing tanah juga sering dijadikan bahan
pembuatan obat karena banyaknya khasiat yang dimilikinya.
Cacing tanah memanglah salah satu hewan yang sangat
bermanfaat bagi manusia dan perlu kita memiliki pengetahuan mengenai morfologi
cacing tanah.
Morfologi dalam ilmu biologi memiliki arti studi biologis
tentang bentuk serta struktur dari makhluk hidup. Baik struktur eksternal
maupun internal organisme.
Cacing tanah termasuk dalam hewan tingkat rendah. Hal ini
karena cacing tanah tidak mempunyai tulang belakang atau yang disebut juga
dengan invertebrata dan digolongkan dalam filum Annelida dan klas Clitellata,
Ordo Oligochaeta. Pengolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi, karena
tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (chaeta), yaitu
struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak.
Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya
terdapat mulut dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium
(Edward and Lofty, 1977).
Cacing tanah tidak memiliki mata tetapi ditubuhnya terdapat
prostomium yang merupakan organ syaraf perasa dan berbentuk seperti bibir.
Itulah sebabnya cacing tanah dapat menemukan bahan organik sebagai makanannya
walaupun tidak memiliki mata. (Palungkun dan Budiarti 1990).
Tubuh cacing tanah terbagi menjadi lima bagian, yakni bagian
depan (anterior), bagian tengah, bagian belakang (posterior), bagian punggung
(dorsal), dan bagian bawah atau perut (ventral).
Di bagian luar tubuh cacing tanah, terdiri atas
segmen-segmen dengan jumlah juga lebar berbeda bergantung spesies. Tiap segmen
pada tubuh hewan ini terdapat empat pasang setae, kecuali di segmen pertama
juga terakhir.
Cacing tanah mempunyai rambut yang keras serta pendek di
tiap segmennya. Rambut keras serta pendek ini disebut dengan seta.
Seta memiliki sel-sel yang fungsinya seperti sel folikel
yang berada di bagian eksterior tubuh. Seta bisa dipanjangkan dan dipendekkan.
Fungsi seta seperti otot protraktor dan retraktor. Seta biasanya digunakan
untuk menggenggam dan memegang subtrat. Fungsi utama seta sebagai lokomosi
tubuh.
Spesies dari ordo olighochaeta memiliki seta dalam berbagai
bentuk, ada yang berbentuk seperti jarum dan rambut. Variasi bentuk seta
dipengaruhi oleh letak seta ditubuh cacing tanah. Biasanya bentuk seta genus
Lumbricus sigmoid, dan memiliki panjang sekitar 1 mm. Seta pada organ genital
(klitelum) panjangnya bisa mencapai 7 mm.
Secara fisiologis seta membantu kopulasi, menerima stimulus
fisik pasangannya. Seta juga membantu cacing tanah saat kopulasi dengan cara
menggenggam, memegang, dan mempenetrasi kulitnya.
Seta tersusun di dalam sebuah cincin tunggal yang melingkari
segmen tubuhnya. Berdasarkan jumlah dan penyebarannya, bentuk seta dibagi dua yaitu lumbricine dan
perichaetine.
Lumbricine memiliki seta berjumlah 8 per segmen, seta ada di
bagian ventral dan latero ventral. Jarak antara seta penting untuk diketahui di
dalam mengidentifikasi karakter sistemik cacing tanah.
Perichaetine memiliki ciri seta tersusun di cincin yang
berputar di kanan segmen, biasanya ukurannya bervariasi dari besar dan kecil.
Seta berada di daerah pertengahan dorsal dan pertengahan ventral. Seta
berjumlah 8 pasang per segmen, biasanya jumlahnya 50-100 pasang/segmen.
Pada bagian bawah (ventral) terdapat pori-pori yang letaknya
tersusun atas setiap segmen dan berhubungan dengan alat ekskresi (nephredia)
yang ada dalam tubuh. Nephredia ini mengeluarkan zat-zat sisa yang telah
berkumpul di dalam rongga tubuh (rongga selomik) berupa cairan. Fungsi pori-pori
adalah untuk menjaga kelembapan kulit cacing tanah agar selalu basah karena
cacing bernapas melalui kulit yang basah tersebut.
Cacing tanah sering juga disebut sebagai cacing
tersegmentasi. Hal ini karena cacing ini mempunyai segmentasi sejati pada tubuh
mereka, dengan fitur morfologi berulang pada tiap segmen tubuh.
Cacing tanah banyak ditemukan di daratan maupun lautan.
Kelas polychaeta lebih banyak hidup pada lautan. Sedangkan kelas oligochaeta
lebih banyak hidup di darat.
PH tanah bisa memberikan gambaran penyebaran dari suatu
jenis cacing tanah. Cacing tanah ternyata tidak toleran terhadap kadar keasaman
tanah yang tinggi.
Cacing tanah memiliki tubuh yang panjang dan silindris. Lalu
memipih secara dorsoventral pada 2/3 bagian posteriornya.
Hewan ini memiliki warna merah hingga biru kehijauan di sisi
dorsal. Sedangkan pada sisi ventral, akan berwarna lebih pucat, biasanya
berwarna merah jambu atau putih.
Mulut dan anus cacing tanah tidak merupakan segmen tubuh,
melainkan bagian dari tubuh tersendiri. Pada cacing tanah dewasa terdapat alat
untuk menyiapkan proses perkembangbiakan yang disebut “klitelum“. Klitelum
merupakan bagaian tubuh cacing tanah yang menebal yang terletak di antara
anterior dan posterio. Cacing tanah telah mempunyai saluran pencernaan makanan
yang lengkap dan sistem peredaran darah yang sudah menggunakan
pembuluh-pembuluh darah. Saluran pencernaan makanan terdiri atas : mulut pada
segmen pertama, pharynx, kerongkongan, crop yang merupakan pelebaran dari
kerongkongan, perut otot, usus, dan anus pada segmen yang terakhir.
Mulut cacing tanah terletak di bagian ujung anterior. Di
segmen 32 hingga 37 terlihat penebalan kulit yang disebut dengan Clitelium. Sherman
(2003) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak mempunyai kepala, tetapi mempunyai
mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut prostomium. Bagian belakang mulut
terdapat bagian badan yang sedikit segmennya dinamakan klitelium yang merupakan
pengembangan segmen- segmen, biasanya mempunyai warna yang sedikit menonjol atau
tidak dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Cacing tanah tidak mempunyai alat
pendengar dan mata, tetapi peka sekali terhadap sentuhan dan getaran, sehingga
dapat mengetahui kecenderungan untuk menghindari cahaya, cacing juga tidak
mempunyai gigi.
Peristomium cacing tanah berada di permukaan dorsal
prostomium, ukurannya bervariasi. Prostomium memiliki sel-sel sensor yang berfungsi
sebagai lensa menggantikan fungsi mata. Selain itu prostomium juga mampu
membedakan material berbahaya selama proses makan (Khairuman dan Amri 1998) dan
menggenggam tanah (Edward and Lofty 1972).
Clitellum memiliki fungsi memperbesar lubang tanah serta
sangat berkaitan erat dengan pembentukan telur cacing.
Cacing tanah dapat mempunyai bentuk jantan ataupun bentuk
betina. Bisa juga memiliki dua organ reproduksi yang disebut dengan
hermaprodit. Rukmana (1999) menyatakan bahwa cacing tanah bersifat hermaprodit
atau biseksual. Artinya, pada tubuhnya terdapat dua alat kelamin, yaitu jantan
dan betina. Namun, untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya
sendiri, tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah. Dari perkawinan
tersebut, masing-masing cacing tanah dapat menghasilkan satu kokon yang
didalamnya terdapat beberapa butir telur. Subowo (2008) menyatakan bahwa
kopulasi dan produksi kokon biasanya dilakukan pada bulan panas.
Cacing tanah mempunyai sistem peredaran darah tertutup dan
tidak mempunyai sistem pernapasan dengan berkembang baik, namun sistem sarafnya
berkembang dengan baik. Berbagai hasil penelitian didapatkan lama siklus hidup
cacing tanah hingga mati mencapai 1-10 tahun. Palungkun (1999), menjelaskan
siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenil), cacing
produktif dan cacing tua. Lama siklus hidup tergantung pada kesesuaian kondisi
lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah. Kokon yang dihasilkan
dari cacing tanah akan menetas setelah berumur 14 - 21 hari. Setelah menetas,
cacing tanah muda ini akan hidup dan dapat mencapai dewasa kelamin dalam waktu
2,5 - 3 bulan. Saat dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari
perkawinannya yang berlangsung selama 6 - 10 hari dan masa produktifnya
berlangsung selama 4-10 bulan.
Semua gerakan atau aktivitas cacing tanah diatur oleh
susunan saraf yang terdiri atas : simpul saraf bagian depan dan bagian perut
serta serabut-serabutnya. Cacing tanah bereaksi negatif terhadap sinar atau
menghindari sinar. Cacing tanah tidak tahan terhadap sinar ultraviolet dan bila
terkena sinar ultraviolet selama satu menit saja dapat langsung mematikan
cacing tersebut.
Anatomi Cacing Tanah
Sistem
Pencernaan
Pencernaan makanan pada cacing tanah terdiri atas rongga
mulut, esoffagus, faring berotot, tembolok, lambung otot usus serta anus.
Sistem
Sirkulasi
Cacaing tanah memiliki sistem sirkulasi yang terdiri atas
pembuluh darah dorsal dan pembuluh darah median. Pembuluh darah dorsal
berfungsi untuk mengalirkan darah ke arah anterior. Sedangkan pembuluh darah
median berfungsi mengalirkan darah ke arah posterior. Pada area esophagus
terdapat 5 pasang cabang aorta dorsalis yang membesar. Ini berfungsi seperti
cor di hewan tingkat tinggi. Ada pula dua pembuluh darah lateral serta satu
pembuluh darah pada sebelah ventral.
Sistem
Nervosum
Cacing tanah memiliki system saraf yang terdiri atas:
-Ganglion cerebrale, yang tersusun atas 2 kelompok sel saraf
beserta commisura.
-Berkas saraf sentralis beserta cabang-cabangnya.
Sistem
Ekskresi
Cacing tanah memiliki sistem ekskresi yang berupa nefridium.
Di setiap segmen terdapat 1 pasang nefridia, terkecuali 3 segmen pertama juga
terakhir. Setiap nefridium terdiri dari nefrostoma serta nefridiosphore.
Sistem
Respirasi
Sistem respirasi cacing tanah menggunkan kulitnya. Sebab
kulit cacing tanah tipis, selalu lembab serta banyak mengandung pembuluh darah
kapiler.
Sistem
Reproduksi
Hermafrodit merupakan sifat dari cacing tanah. Sepasang
ovarium akan menghasilkan ovum yang terletak di segmen ke-13. Sedangkan testis
terdapat di rongga yang terbentuk oleh dinding vesicular seminalis. Dari sisi
caudal testis akan keluat duktus spermaticus. Meskipun cacing tanah bersifat
hermafrodit, tapi tak bisa melakukan perkawinan sendiri sebab tidak ada saluran
yang menghubungkan antara organ reproduksi jantan dengan betina.
Peran
Cacing Tanah
Untuk melengkapi pemahaman tentang berbagai hal tentang
cacing tanah, maka perlu mengetahui apa peran cacing tanah bagi kesuburan
tanah, karena kesuburan tanah sangat penting, terutama bagi pertanian.
Paoletti (1999), menyatakan bahwa cacing tanah secara umum
dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna,
dan makanan kesukaannya sebagai berikut:
Epigaesis; cacing
yang aktif dipermukaan, warna gelap,
penyamaran efektif, tidak membuat
lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di permukaan tanah dan tidak mencerna tanah. Contohnya :
Lumbricus rubellus dan L. castaneus.
Anazesis;
berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan tanah; pemakan
serasah di permukaan tanah
dan membawanya ke
dalam tanah, mencerna sebagian tanah, warna sedang bagian punggung,
dengan penyamaran rendah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara
tanah. Contohnya : Eophila tellinii, Lumbricus terrestris, dan Allolobophora
longa.
Endogaesis; hidup
di dalam tanah dekat
permukaan tanah, sering
dalam dan meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa
penyamaran, pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya:
Allolobophora chlorotica, Allolobophora caliginosa, dan Allolobophora rosea.
Coprophagic; hidup
pada pupuk kandang, seperti: Eisenia foetida, Dendrobaena veneta, dan
Metaphire schmardae.
Arboricolous; hidup
di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, seperti : Androrrhinus spp.
Berdasarkan jenis makanannya cacing tanah dibagi menjadi
tiga, yaitu: (1) litter feeder (pemakan bahan organik sampah, kompos, pupuk
hijau), (2) limifagus (pemakan tanah subur/mud atau tanah basah), dan (3)
geofagus (pemakan tanah) (Lee 1985). Kelompok geofagus akan memakan masa tanah
dan litter feeder/limifagus biasanya dengan mendesak masa tanah. Hal ini
berhubungan dengan kegiatan membuat lubang yang berbeda pada tiap jenis cacing
tanah. Ada yang dilakukan dengan mendesak masa tanah dan ada juga yang
dilakukan dengan memakan masa tanah (Minnich 1977).
Cacing tanah dapat menghancurkan bahan organik, sehingga
dapat memperbaiki aerasi serta struktur tanah. Dengan begitu, lahan pun menjadi
subur dan membuat penyerapan nutrisi tanaman menjadi baik.
Cacing tanah bisa mengeluarkan lendir yang menjadi makanan
mikro organisme. Cacing tanah ini tidak memakan vegetasi hidup, namun hanya
memakan bahan organik mati.
Cacing tanah membuat liang-liang yang menyebabkan sistem
aerasi serta drainase tanah lebih baik. Aktivitas hidup cacing tanah dalam
suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: iklim
(curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia
tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah),
nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta
pemanfaatan dan pengelolaan tanah (Buckman and Brady, 1982). Selanjutnya
Wallwork (1970) menjelaskan bahwa keberadaan dan kepadatan fauna tanah,
khusunya cacing tanah sangat ditentukan oleh faktor abiotik dan biotik.
Disamping itu faktor lingkungan lain dan sumber bahan makanan, cara pengolahan
tanah, seperti di daerah perkebunan dan pertanian turut mempengaruhi keberadaan
dan distribusi cacing tanah tersebut.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi keberadaan cacing tanah sebagai berikut:
Kelembaban
tanah
Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan
cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari
berat tubuhnya. Itulah sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan
masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup
dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke
tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris misalnya, dapat
hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama dan
berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah (Wallwork, 1970; Edward and
Lofty, 1977).
Rukmana (1999) menjelaskan bahwa kelembaban tanah yang
terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat
dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing
tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati.
Suhu
(temperatur) tanah
Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah.
Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Di samping
itu suhu tanah pada
Umumnya mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme
hewan tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum,
1996).
Suhu tanah pada umumnya dapat mempengaruhi pertumbuhan,
reproduksi dan metabolisme. Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu
optimum tertentu, contohnya L. rubellus kisaran suhu optimumnya 15 – 18 0C, L. Terrestris
± 10 0C, sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di permukaan
tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 0C (Wallwork,
1970).
pH
tanah
Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas
cacing tanah sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya.
Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 4,5- 6,6, tetapi dengan bahan
organik tanah yang tinggi mampu berkembang pada pH 3 (Fender dan Fender, 1990).
Tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah karena
pH-nya asam. Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya
berkembangbiak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara
(pakan) cacing tanah relatif terbatas (Rukmana, 1999). Di samping itu, tanah
dengan pH asam kurang mendukung percepatan proses pembusukan (fermentasi)
bahan-bahan organik. Oleh karena itu, tanah pertanian yang mendapatkan
perlakuan pengapuran sering banyak dihuni cacing tanah. Pengapuran berfungsi
menaikkan (meningkatkan) pH tanah sampai mendekati pH netral (Brata, 2006).
Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena
itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat
hidup pada tanah tertentu. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum
didapatkan cacing tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi
ini bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan
pembusukan. Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi
oleh pH tanah (Edwards and Lofty, 1970).
Kadar
Organik
Suin (1997) mengatakan materi organik tanah sangat
menentukan kepadatan organisme tanah. Materi organik tanah merupakan sisa-sisa
tumbuhan, hewan organisme tanah, baik yang telah terdekomposisi maupun yang
sedang terdekomposisi. Selanjutnya Buckman and Brady (1982) mengatakan bahwa
materi organik dalam tanah tidaklah statis tetapi selalu ada perubahan dengan
penambahan sisa-sisa tumbuhan tingkat tinggi dan penguraian materi organik oleh
jasad pengurai. Materi organik mempunyai pengaruh besar pada sifat tanah karena
dapat menyebabkan tanah menjadi gembur, meningkatkan kemampuan mengikat air,
meningkatkan absorpsi kation dan juga sebagai ketersediaan unsur hara.
Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah
sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya. Bahan organik juga
mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber
pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah
(Anwar, 2007).
Vegetasi
Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi
dasarnya rapat, cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih
baik dan sumber makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards
and Lofty (1977) faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang
tersedia di suatu habitat sangat menentukan keanekaragaman spesies dan
kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut. Pada umumnya cacing tanah
lebih menyenangi serasah herba dan kurang menyenangi serasah pohon gugur dan
daun yang berbentuk jarum. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah lebih menyenangi daun
yang tidak mengandung tanin.
Peran Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan organisme tanah yang memiliki peranan
penting pada pertumbuhan tanaman yang telah diketahui lebih dari seabad yang
lalu, sejak terbit publikasi buku dari Charles Darwin berjudul The formation of
vegetable mould through the action of worms pada tahun 1881. Peranan utama
cacing tanah adalah untuk mengubah bahan organik, baik yang masih segar maupun
setengah segar atau sedang melapuk, sehingga menjadi bentuk senyawa lain yang
bermanfaat bagi kesuburan tanah (Buckman dan Brady, 1982). Selanjutnya Suin
(1982) mengatakan bahwa cacing tanah juga berperan memperbaiki aerasi tanah
dengan cara menerobos tanah sedemikian
rupa sehingga pengudaraan tanah menjadi lebih baik, disamping itu cacing
tanah juga menyumbangkan unsur hara pada tanah melalui eksresi yang
dikeluarkannya, maupun dari tubuhnya yang telah mati.
Makrofauna tanah, khususnya cacing tanah merupakan bagian
dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam perbaikan sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah melalui proses imobilisasi dan humifikasi. Dalam
dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses
fragmentasi (comminusi) serta memberikan fasilitas lingkungan mikrohabitat yang
lebih baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok
mesofauna dan mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi (Lavelle
et al., 1994).
Secara umum peranan cacing tanah adalah sebagai bioamelioran
(jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam
memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan
organik, pelapukan mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah
(Hanafiah et al., 2005).
Hegner and Engeman (1978) menyatakan bahwa pembentukan
pori-pori tanah dilakukan oleh cacing tanah sehingga campuran bahan organik dan
anorganik membentuk bahan-bahan lain yang tersedia bagi tanah. Cacing tanah
juga dapat meningkatkan daya serap tanah dalam menyerap air pada waktu hujan
karena cacing tanah memiliki kemampuan membuat liang-liang dalam tanah. Oleh
sebab itu persediaan air dalam tanah akan lebih teratur, sehingga menjamin
pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang baik akan menyebabkan daun- daun
tumbuhan lebih baik. Apabila daun-daun yang telah tua jatuh akan menjadi humus
sehingga secara langsung cacing tanah mengurangi banjir pada saat hujan dan
menjaga persedian air pada musim kering.
Suin (1982) menyatakan bahwa tanah dengan kepadatan populasi
cacing tanahnya tinggi akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah (kasting)
yang bercampur dengan tanah merupakan pupuk yang kaya akan nitrat organik,
posfat, dan kalium, yang membuat tanaman mudah menerima pupuk yang diberikan ke
tanah, disamping formasi bahan organik tanah dan mendistribusikan kembali bahan
organik di dalam tanah.
Wallwork (1976) menyatakan bahwa cacing tanah dan organisme
tanah lainnya merupakan variabel biotis penyusun suatu komunitas yang memiliki
beberapa peranan, diantaranya adalah sebagai pengurai dalam rantai makanan,
jembatan transfer energi kepada organisme yang memiliki tingkat tropik yang
lebih tinggi, membantu
kegiatan metabolisme tumbuhan dengan
menguraikan serasah daun-daunan dan ranting. Disamping itu cacing tanah dapat
digunakan untuk mengestimasi kondisi ekologis suatu ekosistem tanah. Selanjutnya
dijelaskan bahwa cacing tanah juga dapat mengubah kondisi tanah yang didiaminya
melalui keunikan aktivitas dan perilakunya. Hewan ini memakan tanah berikut
bahan organik yang terdapat di tanah dan kemudian dikeluarkan sebagai kotoran
di permukaan tanah. Aktivitas ini menyebabkan lebih banyak udara yang masuk ke
dalam tanah, tanah menjadi teraduk dan terbentuk agregasi- agregasi sehingga
tanah dapat menahan air lebih banyak dan menaikkan kapasitas air tanah. Cacing
tanah sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah.
Kegiatan cacing tanah menerowongi tanah dapat membentuk pori
mikro yang mantap dan sambung menyambung melancarkan daya antar air, memudahkan
proses pertukaran gas, menyediakan medium yang baik bagi pertumbuhan akar (Notohadiprawiro, 1998).
Dengan banyaknya manfaat yang diberikan oleh cacing tanah
maka pada saat ini cacing tanah telah di komersialkan dan memiliki nilai jual
yang cukup tinggi. Cacing tanah yang banyak manfaatnya ini bahkan tidak
memerlukan perlakuan ekstra dalam kehidupannya sehingga dapat sangat mudah
untuk dibudidayakan baik di lahan yang sempit sekalipun.
Pertanian Organik
Pertanian organik dibanyak tempat dikenal dengan istilah
yang berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian ramah
lingkungan, sistem pertanian berkelanjutan dan pertanian organik itu sendiri.
Penggunaan istilah pertanian organik/Organic Farming pertama kali oleh
Northbourne pada tahun 1940 dalam bukunya yang berjudul Look to the Land.
Northbourne menggunakan istilah tersebut tidak hanya berhubungan dengan
penggunaan bahan organik untuk kesuburan lahan, tetapi juga kepada konsep
merancang dan mengelola sistem pertanian sebagai suatu sistem utuh atau
organik, mengintegrasikan lahan, tanaman panenan, binatang dan masyarakat
(Lotter, 2003).
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang bertujuan
untuk tetap menjaga keselarasan sistem alami dengan memanfaatkan dan mengembangkan
semaksimal mungkin proses-proses alami dalam pengelolaan usah tani.
Mutiarawati (2001) menyatakan bahwa, sistem pertanian organik
mempunyai konsep antara lain:
-Suatu budidaya pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia
(buatan).
-Mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang menghargai alam.
-Berkeyakinan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan, harus
dilestarikan.
Suwantoro (2008) mendefinisikan pertanian organik sebagai
suatu sistem produksi pertanian yang berasaskan daur ulang secara hayati. Daur
ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak, serta limbah lainnya
yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Pertanian organik
menurut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movements), 2005
didefinisikan sebagai sistem produksi pertanian yang holistic dan terpadu,
dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara
alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan
berkelanjutan. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang
mendukung dan mempercepat biodiversity, siklus biologi dan aktivitas biologi
tanah.
Salah satu alasan pentingnya pengembangan pertanian organik
adalah persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk
kimia secara terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila
tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati (Ansyori,
2004).
Sistem pertanian konvensional selain menghasilkan produksi
yang meningkat dan terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem
pertanian itu sendiri dan lingkungan lainnya. Keberhasilan yang dicapai dalam
sistem pertanian konvensional hanya bersifat sementara, karena lambat laun
ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu
sendiri. Oleh karena itu perlu upaya untuk memperbaiki sistem pertanian
konvensional dengan mengedepankan kaidah-kaidah ekosistem yang berkelanjutan
(Aryantha, 2003).
Kemajuan teknologi dalam bidang pertanian sebagai dampak
dari revolusi industri, revolusi kimia dan revolusi hijau, mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara global, namun juga membawa dampak negatif.
Mutiarawati (2001) menyatakan bahwa, penggunaan sarana produksi pertanian yang
tak terbarukan (not renewable) seperti pupuk buatan dan pestisida secara terus
menerus pada sistem pertanian konvensional dan dengan takaran yang berlebihan
dapat menyebabkan:
-Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia
pertanian.
-Membahayakan kesehatan manusia dan hewan.
-Menurunkan keanekaragaman hayati.
-Meningkatkan resistensi organisme pengganggu.
-Menurunkan produktivitas lahan karena erosi dan pemadatan
tanah.
Keberlanjutan produksi pertanian membutuhkan pemeliharaan
kualitas tanah. Istilah kualitas tanah (soil quality) yang diaplikasikan pada
ekosistem menunjukkan kemampuan tanah untuk mendukung secara terus menerus
pertumbuhan tanaman pada kualitas lingkungan yang terjaga. U ntuk aplikasi di
bidang pertanian, yang dimaksud kualitas tanah adalah kemampuan tanah yang
berfungsi dalam batas-batas ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis,
mampu memelihara kualitas lingkungan dan mendorong tanaman dan hewan menjadi
sehat (Magdoff, 2001).
Penilaian kualitas tanah melalui pengukuran sifat fisik dan
kimia, seperti kelembaban tanah, kemantapan agregat, kepadatan tanah, jumlah
air tersimpan, hara tersedia, sifat
meracun alumunium dan
lainnya sering kali
memiliki kelemahan, karena diukur oleh peralatan dan ekstraktan kimia
yang diasumsikan memiliki kemampuan yang sama dengan kemampuan kerja akar
tanaman dan hanya menggambarkan kondisi pada saat tersebut saja. Oleh karena
itu pemanfaatan organisme tanah sebagai indikator sudah seharusnya dikembangkan
sebagai salah satu alternatif.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.