Monday, 18 February 2019

Kreasi Usaha: Manfaat Tanaman Cabai merah Besar (Capsicum Annuum L.) sebagai Pestisida Nabati


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...

Manfaat Tanaman Cabai merah Besar (Capsicum Annuum L.) sebagai Pestisida Nabati

Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan dampak negatif.

Indonesia merupakan negara yang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan fauna dapat ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis yang sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia juga memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.

Indonesia sebagai negara yang kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara makmur. Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber Daya Alam yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya belum layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia yang tidak memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang penyakit. Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk Indonesia belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan sekitarnya.

Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810 nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).

Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan dampak negatif.


Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur, bakteri atau virus.

Intensifikasi penggunaan pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).

Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit maupun predator, dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.

Awalnya, manusia menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya dikloro difenil trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang cepat dan efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap pestisida sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan efek negatif terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat mengakibatkan akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya akan berdampak pada organisme non target.

Penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan insektisida di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus keracunan, 3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.

Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17 nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris eliptica (Ware,1983).

Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller. Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas. Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun 1950 dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo, 1987).

Pestisida nabati merupakan pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Pestisida nabati juga memiliki berbagai macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti insektisisda, bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida nabati dilakukan sebagai alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia (Tohir, 2010).

Pestisida nabati didapatkan dari ekstrak daun, bunga, buah, biji, kulit dan batang tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit sekunder atau senyawa bioaktif. Beberapa tumbuhan dilaporkan mampu menghasilkan racun, serta ada juga yang mengandung senyawa-senyawa kompleks yang dapat mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan atau mengubah perilaku serangga. Pemakaian pestisida nabati dengan penggunaan dan dosis yang benar dapat  mengurangi hama, mengurangi biaya produksi karena bahan dasar pestisida nabati dapat dibudidayakan dan dibuat setiap saat sesuai kebutuhan dan yang penting adalah tidak mencemari lingkungan.

Penggunaan rodentisida, moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati (Regnault-Roger 2005).

Pemanfaatan pestisida nabati diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Jenis pestisida nabati berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis pestisida nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida, fungisida (Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002), moluskisida (Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena Rodriguez 2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) sedang mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak mengganggu tanaman budi daya.


Cabai atau cabe merah atau lombok (bahasa Jawa) adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Bagi seni masakan Padang, cabai bahkan dianggap sebagai "bahan makanan pokok" kesepuluh. Sangat sulit bagi masakan Padang dibuat tanpa cabai.

Cabai merah Besar (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang memilki nilai ekonomi yang tinggi. Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia. Sun et al. (2007) melaporkan cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker (Kilham 2006; Bano dan Sivaramakrishnan 1980). Kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus di konsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung. Anggota genus Capsicum itu mengandung zat bernama kapsaisin. Zat itu merampok atom hidrogen dari jaringan makhluk hidup. Jaringan bereaksi dengan mengeluarkan air agar tidak rusak karena dehidrasi. Hal sama dirasakan hama yang terkena atau memakan tanaman yang terkena semprotan air cabai. Ia kepedasan hebat sampai mati mengering dengan membran sel rusak kehabisan cairan. Karena itulah cabai menjadi pestisida nabati yang ampuh menghalau kutu, tungau, ulat, sampai cacing perusak akar. Bahan golongan fenilpropanoid itu juga merusak system metabolisme dan koordinasi serangga. Zat ini terdapat dalam semua jenis cabai, mulai dari cabai merah, keriting, rawit, sampai paprika.


Tanaman cabai memiliki jenis daun yang bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang berbentuk oval ataupun lonjong. Dengan warna permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus adapula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3 — 11 cm, dengan lebar antara 1 — 5 cm.

Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan batang tidak berkayu. Biasanya, batang akan tumbuh sampai ketinggian tertentu, kemudian membentuk banyak percabangan. Untuk jenis-jenis cabai rawit, panjang batang biasanya tidak melebihi 100 cm. Namun untuk jenis cabai besar, panjang batang (ketinggian) dapat mencapai 2 meter bahkan lebih. Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda. Pada batang-batang yang telah tua (biasanya batang paling bawah), akan muncul wama coklat seperti kayu. Ini merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim.


Tanaman cabai memiliki perakaran yang cukup rumit dan hanya terdiri dari akar serabut saja. Biasanya di akar terdapat bintil-bintil yang merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Meskipun tidak memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah yang berfungsi sebagai akar tunggang semu.

Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama, yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas Ateridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau bergerombol dalam tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2 — 3 bunga saja. Mahkota bunga tanaman cabai warnanya bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan, dan ungu. Diameter bunga antara 5 — 20 mm. Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempuma, artinya dalam satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir sama), sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan sendiri. Namun untuk mendapatkan hasil buah yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan. Karena itu, tanaman cabai yang ditanam di lahan dalam jumlah yang banyak, hasilnya lebih baik dibandingkan tanaman cabai yang ditanam sendirian. Pernyerbukan tanaman cabai biasanya dibantu angin atau lebah. Kecepatan angin yang dibutuhkan untuk penyerbukan antara 10 — 20 km/jam (angin sepoi-sepoi). Angin yang ter lalu kencang justru akan merusak tanaman. Sedangkan penyerbukan yang dibantu oleh lebah dilakukan saat lebah tertarik mendekati bunga tanaman cabai yang menarik penampilannya dan terdapat madu di dalamnya.

Buah cabai merupakan bagian tanaman cabai yang paling banyak dikenal dan memiliki banyak variasi. Buah cabai terbagi dalam 11 tipe bentuk, yaitu serrano, cubanelle, cayenne, pimento, anaheim chile, cherry, jalapeno, elongate bell, ancho, banana, dan blocky bell. Hanya ada 10 tipe bentuk buah cabai, di mana tipe elongate bell dan blocky bell dianggap sama.


Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar ( Harpenas, 2010). Buah cabai dapat bermanfaat untuk membantu kerja pencernaan tubuh manusia. Kandungan minyak atsiri dari buah cabai ini dapat pula dimanfaatkan untuk mengganti fungsi minyak kayu putih. Minyak ini diketahui dapat mengurangi rasa pegal, rematik, sesak nafas dan gatal-gatal.

Tanaman cabai akan cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur dan jarang serta tidak tergenang air dengan pH tanah yang ideal sekitar 5 - 6. Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Cabai dapat beradaptasi dengan baik pada temperatur 24-27 ºC, dengan kedudukan yang tidak terlalu tinggi. Sinar matahari yang banyak, baik intensitas maupun lama penyinaran akan sangat menguntungkan pertumbuhan tanaman cabai. Selain itu, banyaknya sinar matahari akan menekan perkembangan hama/pathogen.

Pembuatan Pestisida Nabati dari Cabai Merah
Proses pengolahan pestisida nabati dari cabai sangat mudah dengan metode tradisional, hanya dengan menggunakan alat dan bahan yang sederhana serta tidak memerlukan waktu yang lama, apalagi mengeluarkan banyak uang. Masyarakat bisa mencoba membuat pestisida nabati dari cabai dengan alat-alat dapur yang biasa digunakan untuk memasak.
Cara membuat pestisida nabati Cabai merah dengan metode tradisional:
-Pemilihan cabai
Pilihlah segenggam cabai yang sebagian masih segar, dan sebagian lagi sudah mulai busuk.
-Penumbukan
Tumbuklah cabai dengan menggunakan lumpang, atau alat tumbuk yang biasa digunakan untuk membuat sambal. Tumbuk sampai halus untuk memudahkan saat penyaringan.
-Perebusan
Masaklah air ± 200 ml dengan panci, tunggu sampai mendidih, lalu masukkan cabai yang sudah ditumbuk sampai halus, tunggu sampai air berubah warna merah tua dan air sudah dalam keadaan mendidih utnuk waktu yang agak lama. Masukkan 1 sendok teh sabun colek kedalam rebusan tersebut. Sampai aroma benar-benar menyengat, kemudian matikan kompor.
-Pendiaman
Proses pendiaman dibutuhhkan waktu ±15 jam. Diamkan sampai 15 jam, setelah itu barulah dapat memulai tahap selanjutnya.
-Penyaringan
Setelah didiamkan selama ±15 jam, air kemudian disaring dengan menggunakan saringan teh, untuk memisahkan antara ampas cabai dengan airnya. Setelah disaring, air tersebut dimasukkan kedalam botol semprot, dan pestisida nabati bisa langsung digunakan dengan menyemprotkan pada hama yang dihendaki.

Pestisida yang terbuat dari cabai memiliki bekas berwarna merah, dan baunya tidak sedap, tetapi bekas tersebut setelah di bersihkan bekasnya/ warnanya akan hilang, begitu juga dengan bau yang dihasilkanpun sudah tidak terasa. Walaupun baunya kurang sedap karena bercampur sabun, tetapi baunya tidak mengganggu hidung, selain itu juga lebih ramah lingkungan dibanding pestisida kimia.

Cabai mengandung minyak atsiri, piperin dan piperidin yang berfungsi sebagai repellent dan mengganggu preferensi makan hama (Harysaksono, 2008).

Pestisida nabati memiliki spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.

Komposisi dapat disesuaikan dengan OPT sasaran dan berdasarkan pengalaman petani di lapangan. Makin kecil OPT sasaran, porsi minyak nabati dapat dikurangi. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan efektivitas formula dalam mengendalikan OPT adalah komposisi sabun cair di dalam formula harus sedemikian rupa, sehingga formula dapat teremulsi sempurna di dalam air.

Sabun colek bermanfaat mengemulsikan komponen minyak dalam formula sehingga saat pestisida dicampur dengan air, seluruh bahan yang terkandung dalam formula dapat teremulsi dengan sempurna dan saat diaplikasikan dapat menyebar merata ke seluruh permukaan tanaman. Sabun colek juga dapat mencuci lapisan lilin yang menyelimuti kulit serangga, sehingga meningkatkan efektivitas formula karena bahan aktif pestisida nabati lebih mudah menembus tubuh OPT sasaran.


Tanaman cabai menjadi pestisida nabati yang ampuh dalam mengendalikan kutu, tungau, ulat, sampai cacing perusak akar. Aplikasi ekstrak cabai dengan konsentrasi 100% berpengaruh terhadap tingkat mematikan larva Culex sp. sebesar 31,25% dari seluruh jumlah sampel dalam waktu 24 jam setelah  aplikasi. Dengan demikian tingkat konsentrasi insektisida dianggap memiliki tingkat kematian yang baik dan tidak berbahaya bagi lingkungan hidup (Sujiprihatiet.al., 2007).

Kelebihan maupun keunggulan pestisida nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar. Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih maju.

Kelebihan pestisida alami :
-Murah dan mudah dibuat sendiri oleh petani.
-Relatif aman terhadap lingkungan.
-Tidak menyebabkan keracunan pada tanaman.
-Sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama.
-Kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.

Pestisida nabati juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan hama sasaran.

Pemanfaatan pestisida nabati di Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga relatif aman bagi kehidupan.

Cara pengendalian OPT yang ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Upaya jangka pendek dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.

Upaya jangka panjang memerlukan dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih tinggi.

Upaya yang tidak kalah penting adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.


Pestisida memang bukan pilihan utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, jika pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara legal, benar, dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan menjadi pedang bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa membahayakan pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas staf argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat informasi yang jujur dan seimbang.

Saat ini teknik atau cara pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT sasaran, dan uji persintensi formula dimaksudkan untuk meningkatkan keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.

Penggunaan pestisida nabati harus merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.


Indonesia merupakan negara yang memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil (Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia. Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.

Memanfaatkan kekayaan Indonesia demi kehidupan di masa depan bisa dimulai dari hal yang kecil. Hanya saja, pengelolaan SDA yang kita miliki belum semuanya dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Penelitian serta penggunaan pestisida alami yang ramah lingkungan haruslah terus dikembangkan. Jangan sampai, hanya karna kelalaian kita memikirkan masa depan, justru anak cucu kita yang tidak dapat menikmati semuanya.



*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.

pasang iklan disini




loading...