Loading...
Sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan
potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu
input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang
sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang
terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810
nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Intensifikasi penggunaan
pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang
tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian
akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).
Meningkatnya kesadaran
masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong
para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis
dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan
residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan
resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit
maupun predator, dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada
akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Penggunaan pestisida sintetis
dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah
pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi
mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini
diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan
insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah
dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan
residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan insektisida
di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus keracunan,
3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.
Penggunaan rodentisida,
moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana
disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh
karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya
setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun
lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi
yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu
mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan
aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati
(Regnault-Roger 2005).
Pemanfaatan pestisida nabati
diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa
tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies
tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama
dan penyakit tanaman.
Jenis pestisida nabati
berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis
pestisida nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida,
fungisida (Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002),
moluskisida (Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena
Rodriguez 2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)
sedang mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak
mengganggu tanaman budi daya.
Kemampuan bahan aktif tanaman
dalam mengendalikan OPT bervariasi, dari yang berspektrum sempit hingga
berspektrum luas. Sebagai contoh senyawa piretrin yang diekstrak dari tanaman
pyrethrum, diketahui bersifat racun yang sangat kuat bagi serangga (Vayias et
al. 2006) sehingga banyak diformulasi sebagai insektisida nabati.
Tanaman piretrum ini lebih
dikenal sebagai bunga chrysan, banyak ditanam dipekarangan (taman) dan juga dimanfaatkan
sebagai obat mata. Tanaman ini kini mulai banyak digunakan sebagai pestisida
nabati menggantikan pestisida kimia. Piretrum dapat berfungsi sebagai insektisida,
fungisida, dan nematisida. Piretrum merupakan tumbuhan sejenis terna yang
memiliki bunga dan tanaman ini tumbuh subur di lingkungan yang memiliki iklim serta
cuaca dan topografi yang ekstrem/menantang.
Sepanjang sejarahnya, Piretrum
telah dibudidayakan dan telah tumbuh liar didaerah lintang tinggi mulai dari
pegunungan Alphen di Eropa sampai ke dekat Semenanjung Korea di timur. Senyawa
aktif dari tanaman piretrum ini terdapat pada bunga dan bersifat racun kontak
yang dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat serangga, menghambat perkembangan serangga
dengan penetasan telur.
Potensi senyawa sekunder
tanaman sebagai pestisida nabati telah banyak dikaji. Sebagai insektisida
nabati, bahan aktif tanaman diuji efektivitasnya terhadap toksisitas, daya tolak,
daya tarik, daya hambat makan, dan daya hambat reproduksi serangga hama.
Sebagai fungisida nabati, bahan aktif tanaman diuji kemampuannya menghambat
pertumbuhan jamur patogen baik pada skala laboratorium, rumah kaca maupun skala
lapangan. Sebagai moluskisida dan nematisida nabati, pengujian masih terbatas
pada skala laboratorium dan rumah kaca.
Beberapa waktu ini, Piretrum telah
banyak dibudidayakan di Brazil, Australia, Afrika Timur terutama Kenya dan
Meksiko. Aplikasi dari tanaman piretrum sebagai pestisida dapat digunakan untuk
mengendalikan Aphis fabae, Aphis gossypii, Helopeltis sp,; Cricula
trifenestrata, Plutella xylostella, Hyalopterus pruni, Macrosephum rosea,
Drosophilla spp.; Empoasca fabae, ulat jengkal, Thrips Choristoneuro pinus,
Doleschallia polibete, Agrotis ipsilon, Callosobruchus chinensis, Carpophilus
hemipterus, kecoa Crysptolestes pussillus, Corcyra cephalonica, Crocidolomia
binotalis, Dysdercus cingulatus, Earias insulana, Epilachna varivestis,
Fusarium sp; Locusta migratoria, Musca domestica, Nephotettix virescens,
Nilaparvata lugens, Ophiomya reticulipennis, Planococcus citri, Rhizoctonia
solani, Sclerotium rolfsii, Sitophilus sp.; Spodoptera litura, Tribolium sp,
Helycotylenchus sp.; Meloidogyne sp.; Pratylenchus sp.; Tylenchus filiformis.
Bunga piretrum dengan kandungan
bahan aktif utama piretrin, jasmolin dan cinerin merupakan bahan insektisida
nabati yang bersifat menyerang sistem syaraf serangga, sehingga efeknya cepat
terlihat (rapid in action) dengan gejala kejang-kejang lalu lumpuh dan akhirnya
mati. Namun demikian piretrum aman bagi manusia dan hewan peliharaan (Kardinan
dan Karmawati 2013).
Piretrum ekstrak bunganya
dilaporkan efektif mengendalikan hama gudang, diantaranya Tribolium castaneum
(Shawkat et al. 2011). Piretrin memiliki efek yang cepat dalam membunuh (knock
down effect) terhadap nyamuk malaria (Anopheles gambiae), hasil penelitian
Duchon et al. (2009) menyatakan bahwa bahan aktif piretrum, yaitu piretrin
menunjukkan efek yang cepat dalam membunuh (knock down effect) terhadap
serangga, namun memiliki persistensi yang rendah di alam, sehingga mudah
terdegradasi.
Piretrum (Chysanthemum
cinerariaefolium) mempunyai tinggi 20–70 cm dan tumbuh baik pada ketinggian +
200 m dpl dengan curah hujan sekitar 1200 mm. Tanaman ini dapat tumbuh pula di
daerah beriklim dingin atau pegunungan. Piretrum tampil dengan daun majemuk,
menyirip berwarna hijau dengan tangkai berbentuk segitiga yang panjangnya 6–15
cm dengan pangkal yang berpelapah pendek serta berwarna ungu. Bunga piretrum berwarna
putih bersih dan disangga oleh tangkai yang memiliki panjang sekita 15 cm yang beralur
serta berambur. Bunga tersebut berbongkol dengan diameter sampai 1 cm. Sementara
buahnya berbentuk jarum yang panjangnya 0,3–4 mm. Biji tersebut berukuran kecil
dan berwarna kuning serta mengandung minyak atsiri (parafin,piretrosin, chrisantemin,
piretrin, piretrolun dan sinerin).
Tanaman piretrum memiliki nama
latin Phyretrum cinerariaefolium kini telah dikembangkan manfaatnya sebagai
pestisida alami dan konon manfaat ini telah dikenalkan oleh bangsa Parsi atau
orang-orang Persia (Iran) untuk mengendalikan kutu dan ulat sejak tahun 800-an
masehi. Serbuk bunga piretrum mengandung bahan aktif piretrin yang efektif mengendalikan
ulat serta membunuh banyak jenis serangga dan kutu.
Piretrum di Australia pertama
kali ditanam di pulau Tasmania dalam jumlah yang kecil. Sejak saat itu,
piretrum ditanam diberbagai tempat di Australia. DI Queensland, tercatat terdapat
beberapa pabrik sabun piretrum. Saat ini telah banyak produk-produk pestisida
hasil olahan piretrum dan Kenya tercatat sebagai salah satu negara utama yang
menghasilkan produk-produk Piretrum.
Piretrum (Chysanthemum
cinerariaefolium) di Afrika Timur diperkenalkan oleh Inggris dan Amerika
Serikat sekitar tahun 1920-an. Hal itu dilakukan karena Inggris dan Amerika
Serikat melihat peluang/potensi besar penanaman piretrum didaerah Arika Timur.
Sejak saat itulah Piretrum dibudidayakan oleh banyak petani-petani kecil di
wilayah Kenya, Zanzibar dan Tanzania. Bahkan sejak tahun 1978, Kenya telah
menjadi produsen piretrum nomor satu dengan presentase 70 % piretrum dihasilkan
di Kenya.
Selain di Kenya, piretrum juga
berkembang di Tanzania. Tanzania menghasilkan setidaknya 20 % piretrum dunia.
Penanaman piretrum dinegara Tanzania terpusat di wilayah utara sekitar Pegunungan
Kilimanjaro. Dan sejak tahun 1986, Negara tersebut memiliki Tanzania Pyrethrum
Board ("TPB")/dewan piretrum Tanzania.
Cara pembuatan piretrum sebagai pestisida nabati:
Cara ekstraksi yang paling
sederhana murah, efisien, dan mudah dilaksanakan adalah dengan menggunakan
pelarut air. Cara ini paling tepat dilaksanakan di tingkat petani karena tidak
memerlukan alat dan pengetahuan yang spesifik serta mendalam.
-Mahkota bunga dikeringkan kemudian
ditumbuk, dirajang atau dihancurkan.
-Hasil penumbukan direndam
dalam air dengan konsentrasi 20 gram/l selama 24 jam.
-Hasil endapan kemudian
disaring supaya didapatkan larutan yang siap untuk diaplikasikan.
Penyaringan sebaiknya
menggunakan kain atau bahan lain yang halus sehingga ampas tidak terbawa ke
dalam formula karena akan dapat menyumbat nozel saat penyemprotan.
-Aplikasi dilakukan dengan cara
penyemprotan.
-Aplikasi dapat dilakukan dalam
bentuk tepung yang dicampur dengan bahan pembawa seperti kapur dan bedak ataupun
menggunakan alkohol, aceton atau minyak tanah sebagai pelarut.
Insektisida nabati dari ekstrak
bunga piretrum sudah umum diaplikasikan untuk mengendalikan hama pada tanaman
lada, sudah terdegradasi dalam waktu 24 jam (Wiratno et al. 2008). Insektisida
nabati ini juga memiliki pengaruh cepat dalam menghambat nafsu makan serangga
sehingga dapat menekan kerusakan tanaman.
Pestisida nabati memiliki
spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah
resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap
mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Formulasi bahan aktif tanaman
hasil ekstraksi melalui proses pelarutan dapat dilakukan dengan mencampurkan
bahan aktif dengan minyak bumi, dan sabun cair dengan komposisi 6 : 3 : 1.
Untuk mendapatkan hasil terbaik, guna keperluan aplikasi, formula tersebut
dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 100
cc/liter air.
Komposisi tersebut dapat
disesuaikan dengan OPT sasaran dan berdasarkan pengalaman petani di lapangan.
Makin kecil OPT sasaran, porsi minyak nabati dapat dikurangi. Hal penting
lainnya yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan efektivitas formula dalam
mengendalikan OPT adalah komposisi sabun cair di dalam formula harus sedemikian
rupa, sehingga formula dapat teremulsi sempurna di dalam air.
Peran penting minyak bumi dalam
formulasi pestisida nabati adalah untuk meningkatkan daya racun pestisida
karena minyak bumi juga bersifat insektisidal. Pada konsentrasi yang tepat,
minyak bumi dapat meningkatkan efektivitas formula pestisida nabati, namun
apabila digunakan terlalu banyak dapat mengakibatkan fitotoksisitas. Dengan
demikian, pemakaian minyak bumi di dalam formulasi pestisida nabati sebaiknya
dibatasi secukupnya.
Sabun cair bermanfaat
mengemulsikan komponen minyak dalam formula sehingga saat pestisida dicampur dengan
air, seluruh bahan yang terkandung dalam formula dapat teremulsi dengan
sempurna dan saat diaplikasikan dapat menyebar merata ke seluruh permukaan
tanaman. Sabun cair juga dapat mencuci lapisan lilin yang menyelimuti kulit
serangga, sehingga meningkatkan efektivitas formula karena bahan aktif
pestisida nabati lebih mudah menembus tubuh OPT sasaran.
Untuk meningkatkan efektivitas
pengendalian dan mempermudah penggunaan, Piretrum kini diformulasi menjadi
pestisida yang siap pakai. Untuk memperoleh manfaat yang optimal, penggunaan pestisida
nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya serangan, bukan untuk
tindakan pengendalian.
Kelebihan maupun keunggulan pestisida
nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap
pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar.
Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga
telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin
canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya
sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih
maju.
Pestisida nabati juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah
terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka
waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga
aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan
hama sasaran.
Pemanfaatan pestisida nabati di
Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya
melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup
dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya
berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga
relatif aman bagi kehidupan.
Cara pengendalian OPT yang
ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan
pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu
mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Upaya jangka pendek dilakukan
dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan
pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan
pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara
perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar
kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah
bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida
nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida
nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat
keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.
Upaya jangka panjang memerlukan
dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis
yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru
perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang
terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang
menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan
kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari
penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih
tinggi.
Upaya yang tidak kalah penting
adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan
memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan
menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat
penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh
petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian
ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.
Saat ini teknik atau cara
pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati
dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan
terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT
sasaran, dan uji persintensi formula dimaksudkan untuk meningkatkan keefektifannya
terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan ketersediaan
teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan beberapa
produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan memudahkan
petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati sesuai
dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal maka
penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya
serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.
Penggunaan pestisida nabati harus
merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti
musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Indonesia merupakan negara yang
memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil
(Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di
dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi
menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia. Kesadaran
dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat menekan kasus
keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran serta menghasilkan
produk pertanian yang bebas residu pestisida.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...