Loading...
Indonesia merupakan negara yang
memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan fauna dapat
ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis yang
sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara
paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia juga
memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.
Indonesia sebagai negara yang
kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara makmur.
Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber Daya Alam
yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya belum
layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia yang tidak
memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang penyakit.
Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk Indonesia
belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan sekitarnya.
Sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan
potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu
input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang
sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang
terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810
nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Pestisida merupakan bahan
kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada
dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun
itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena
itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan
dampak negatif.
Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah keberadaan
hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman
holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau merusak
hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya dibedakan
menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan penyakit
tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman budidaya
sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika tanaman
tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua herbivora
memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga yang pada
kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada tanaman
budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan
penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan
iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.
Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan kerusakan
adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi
fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat beragam
tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak dan tidak
mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara
permanen/keseluruhan pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen,
misalnya kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya
sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak
produktif lagi. Sedangkan kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan
yang terjadi pada sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang,
dan batang.
Pestisida berasal dari kata
pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh.
Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut
peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia
yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan
mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk
serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan
kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat
pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik,
yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati,
yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi,
yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur,
bakteri atau virus.
Intensifikasi penggunaan
pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang
tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian
akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).
Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan konsentrasi
tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat menimbulkan efek
residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor. Dampak negatif
yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana antara lain
adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama sasaran dan residu
pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan merusak lingkungan
atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada sayuran menjadi sangat
tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.
Meningkatnya kesadaran
masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong
para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis
dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan
residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan
resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit
maupun predator, dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada
akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Awalnya, manusia menggunakan
pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya dikloro difenil
trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang cepat dan
efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap pestisida
sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan efek negatif
terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat mengakibatkan
akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya akan berdampak
pada organisme non target.
Penggunaan pestisida sintetis dilaporkan
meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga
mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi mikro-organisme
pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini diperparah dengan
meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan insektisida yang
berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah dosis insektisida
yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan residu insektisida pada
tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan insektisida di Indonesia pada
tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus keracunan, 3.789 orang
dilaporkan meninggal dunia.
Penggunaan pestisida kimia
pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu
pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan
kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai
digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17
nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai
insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu,
pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar
tuba Derris eliptica (Ware,1983).
Pada tahun 1874 Othmar Zeidler
adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl
Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli
kimia Swiss, Paul Hermann Muller. Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan
produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas.
Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun
1950 dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo,
1987).
Pestisida nabati merupakan
pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki
fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Pestisida
nabati juga memiliki berbagai macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama
seperti insektisisda, bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan
insektisida nabati dilakukan sebagai alternatif untuk mengendalikan hama
tanaman sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti penggunaan
pestisida kimia (Tohir, 2010).
Penggunaan rodentisida,
moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana
disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh
karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya
setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun
lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi
yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu
mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan
aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati
(Regnault-Roger 2005).
Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan pestisida
sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan
alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan seminimal
mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal tersebut telah
dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan
salah satu komponen adalah pengendalian hayati.
Pemanfaatan pestisida nabati
diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa tanaman
yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies tanaman
yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan
penyakit tanaman.
Pengguanaan pestisida
nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganyapun
relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan pestisida sintetis/kimia.
Berdasarkan studi dari berbagai pustaka, ada beberapa jenis tanaman yang dapat
dimanfaatkan sebagai pestisida nabati melalui teknologi sederahana.
Secara umum, cabai digunakan sebagai bumbu kecuali cabai
paprika yang dapat pula digunakan sebagai salad atau lalap. Selain sebagai
bumbu, buah cabai juga dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati. Menurut
Suyono dkk, buah cabai kecil (Capsicum frutescens) dapat digunakan untuk
mengendalikan semut, apids dan Sitophilus oryzae dan anti virus. Hal ini dikarenakan
adanya kandungan Capsicin dari cabai tersebut.
Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia.
Sun et al. (2007) melaporkan cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk
menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini
adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang
berperan sebagai zat anti kanker. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan
Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker (Kilham 2006; Bano dan
Sivaramakrishnan 1980). Kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat
memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus di konsumsi secukupnya
untuk menghindari nyeri lambung. Anggota genus Capsicum itu mengandung zat
bernama kapsaisin. Zat itu merampok atom hidrogen dari jaringan makhluk hidup.
Jaringan bereaksi dengan mengeluarkan air agar tidak rusak karena dehidrasi.
Hal sama dirasakan hama yang terkena atau memakan tanaman yang terkena
semprotan air cabai. Ia kepedasan hebat sampai mati mengering dengan membran
sel rusak kehabisan cairan. Karena itulah cabai menjadi pestisida nabati yang
ampuh menghalau kutu, tungau, ulat, sampai cacing perusak akar. Bahan golongan
fenilpropanoid itu juga merusak system metabolisme dan koordinasi serangga. Zat
ini terdapat dalam semua jenis cabai, mulai dari cabai merah, keriting, rawit,
sampai paprika.
Capsicin yaitu zat kimia yang menimbulkan rasa pedas yang
ada dalam buah cabai akan menciptakan isyarat yang sama bagi otak seperti saat
kulit terkena panas. Capsicin merupakan kapsaisinoid yang utama didalam cabai dan
diikuti oleh dihidrokapsaisin. Capsicin dengan rumus kimia C18H27O3N memiliki
banyak manfaat selain dikenal sebagai salah satu bahan penyedap makanan yaitu
sebagai bahan dasar pestisida nabati. Hal ini dikarenakan kandungan capsicin
(rasa pedas) dan kandungan capsicol (rasa panas) dari buah cabai tersebut
apabila terkontaminasi dengan kulit atau bagian tubuh akan menimbulkan rasa
pedas atau panas.
Sebagai bumbu, buah cabai yang
pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Bagi seni
masakan Padang, cabai bahkan dianggap sebagai "bahan makanan pokok"
kesepuluh. Sangat sulit bagi masakan Padang dibuat tanpa cabai.
Tanaman cabai memiliki jenis
daun yang bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang berbentuk
oval, lonjong. Warna permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau,
hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan permukaan daun pada bagian bawah
umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau hijau. Permukaan daun cabai ada
yang halus adapula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3 — 11
cm, dengan lebar antara 1 — 5 cm.
Tanaman cabai merupakan tanaman
perdu dengan batang tidak berkayu. Biasanya, batang akan tumbuh sampai
ketinggian tertentu, kemudian membentuk banyak percabangan. Untuk jenis-jenis
cabai rawit, panjang batang biasanya tidak melebihi 100 cm. Batang tanaman
cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda. Pada batang-batang yang telah
tua (biasanya batang paling bawah), akan muncul wama coklat seperti kayu. Ini
merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim.
Tanaman cabai memiliki
perakaran yang cukup rumit dan hanya terdiri dari akar serabut saja. Biasanya
di akar terdapat bintil-bintil yang merupakan hasil simbiosis dengan beberapa
mikroorganisme. Meskipun tidak memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar
tumbuh ke arah bawah yang berfungsi sebagai akar tunggang semu.
Bunga tanaman cabai juga
bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama, yaitu berbentuk bintang. Ini
menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas Ateridae (berbunga bintang).
Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau bergerombol
dalam tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2 — 3 bunga saja. Mahkota
bunga tanaman cabai warnanya bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan,
dan ungu. Diameter bunga antara 5 — 20 mm. Bunga tanaman cabai merupakan bunga
sempuma, artinya dalam satu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina.
Pemasakan bunga jantan dan bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir
sama), sehingga tanaman dapat melakukan penyerbukan sendiri. Namun untuk
mendapatkan hasil buah yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan.
Karena itu, tanaman cabai yang ditanam di lahan dalam jumlah yang banyak,
hasilnya lebih baik dibandingkan tanaman cabai yang ditanam sendirian.
Pernyerbukan tanaman cabai biasanya dibantu angin atau lebah. Kecepatan angin
yang dibutuhkan untuk penyerbukan antara 10 — 20 km/jam (angin sepoi-sepoi).
Angin yang ter lalu kencang justru akan merusak tanaman. Sedangkan penyerbukan
yang dibantu oleh lebah dilakukan saat lebah tertarik mendekati bunga tanaman
cabai yang menarik penampilannya dan terdapat madu di dalamnya.
Buah cabai merupakan bagian
tanaman cabai yang paling banyak dikenal dan memiliki banyak variasi. Buah
cabai terbagi dalam 11 tipe bentuk, yaitu serrano, cubanelle, cayenne, pimento,
anaheim chile, cherry, jalapeno, elongate bell, ancho, banana, dan blocky bell.
Hanya ada 10 tipe bentuk buah cabai, di mana tipe elongate bell dan blocky bell
dianggap sama.
Tanaman cabai banyak mengandung
vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin, yang
menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk
rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa
dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar ( Harpenas,
2010). Buah cabai dapat bermanfaat untuk membantu kerja pencernaan tubuh
manusia. Kandungan minyak atsiri dari buah cabai ini dapat pula dimanfaatkan
untuk mengganti fungsi minyak kayu putih. Minyak ini diketahui dapat mengurangi
rasa pegal, rematik, sesak nafas dan gatal-gatal.
Tanaman cabai akan cocok
ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur dan jarang serta tidak tergenang air
dengan pH tanah yang ideal sekitar 5 - 6. Tanaman cabai diperbanyak melalui
biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Cabai
dapat beradaptasi dengan baik pada temperatur 24-27 ºC, dengan kedudukan yang
tidak terlalu tinggi. Sinar matahari yang banyak, baik intensitas maupun lama
penyinaran akan sangat menguntungkan pertumbuhan tanaman cabai. Selain itu,
banyaknya sinar matahari akan menekan perkembangan hama/pathogen.
Menurut Suyono dkk (1999), buah cabai rawit (Capsicum
frutescens) dapat digunakan untuk mengendalikan semut, apids dan Sitophilus
oryzae dan anti virus. Hal ini diakibatkan karena adanya kandungan Capsicin
dari cabai tersebut. Pracaya (2010) mengemukakan bahwa buah cabai rawit
(Capsicum frutescens L.) juga dapat digunakan untuk membasmi ulat tritip
(Plutella xylostella L.).
Pembuatan Pestisida Nabati dari Cabai Rawit
Proses pengolahan pestisida
nabati dari cabai sangat mudah dengan metode tradisional, hanya dengan
menggunakan alat dan bahan yang sederhana serta tidak memerlukan waktu yang
lama, apalagi mengeluarkan banyak uang. Masyarakat bisa mencoba membuat
pestisida nabati dari cabai dengan alat-alat dapur yang biasa digunakan untuk
memasak.
Cara membuat pestisida nabati Cabai merah dengan metode
tradisional:
-Pemilihan cabai
Pilihlah segenggam cabai yang
sebagian masih segar, dan sebagian lagi sudah mulai busuk.
-Penumbukan
Tumbuklah cabai dengan
menggunakan lumpang, atau alat tumbuk yang biasa digunakan untuk membuat
sambal. Tumbuk sampai halus untuk memudahkan saat penyaringan.
-Perebusan
Masaklah air ± 200 ml dengan
panci, tunggu sampai mendidih, lalu masukkan cabai yang sudah ditumbuk sampai
halus, tunggu sampai air berubah warna merah tua dan air sudah dalam keadaan mendidih
utnuk waktu yang agak lama. Masukkan 1 sendok teh sabun colek kedalam rebusan
tersebut. Sampai aroma benar-benar menyengat, kemudian matikan kompor.
-Pendiaman
Proses pendiaman dibutuhhkan
waktu ±15 jam. Diamkan sampai 15 jam, setelah itu barulah dapat memulai tahap
selanjutnya.
-Penyaringan
Setelah didiamkan selama ±15
jam, air kemudian disaring dengan menggunakan saringan teh, untuk memisahkan
antara ampas cabai dengan airnya. Setelah disaring, air tersebut dimasukkan
kedalam botol semprot, dan pestisida nabati bisa langsung digunakan dengan
menyemprotkan pada hama yang dihendaki.
Pestisida yang terbuat dari
cabai memiliki bekas berwarna merah, dan baunya tidak sedap, tetapi bekas
tersebut setelah di bersihkan bekasnya/ warnanya akan hilang, begitu juga dengan
bau yang dihasilkanpun sudah tidak terasa. Walaupun baunya kurang sedap karena
bercampur sabun, tetapi baunya tidak mengganggu hidung, selain itu juga lebih
ramah lingkungan dibanding pestisida kimia.
Cabai mengandung minyak atsiri,
piperin dan piperidin yang berfungsi sebagai repellent dan mengganggu
preferensi makan hama (Harysaksono, 2008).
Pestisida nabati memiliki
spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah
resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap
mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Jenis pestisida nabati
berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis
pestisida nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida,
fungisida (Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002),
moluskisida (Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena
Rodriguez 2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)
sedang mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak
mengganggu tanaman budi daya.
Formulasi bahan aktif tanaman
hasil ekstraksi melalui proses pelarutan dapat dilakukan dengan mencampurkan bahan
aktif dengan minyak bumi, dan sabun cair dengan komposisi 6 : 3 : 1. Untuk
mendapatkan hasil terbaik, guna keperluan aplikasi, formula tersebut dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 100 cc/liter air.
Komposisi tersebut dapat
disesuaikan dengan OPT sasaran dan berdasarkan pengalaman petani di lapangan.
Makin kecil OPT sasaran, porsi minyak nabati dapat dikurangi. Hal penting
lainnya yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan efektivitas formula dalam
mengendalikan OPT adalah komposisi sabun cair di dalam formula harus sedemikian
rupa, sehingga formula dapat teremulsi sempurna di dalam air.
Peran penting minyak bumi dalam
formulasi pestisida nabati adalah untuk meningkatkan daya racun pestisida
karena minyak bumi juga bersifat insektisidal. Pada konsentrasi yang tepat,
minyak bumi dapat meningkatkan efektivitas formula pestisida nabati, namun
apabila digunakan terlalu banyak dapat mengakibatkan fitotoksisitas. Dengan
demikian, pemakaian minyak bumi di dalam formulasi pestisida nabati sebaiknya
dibatasi secukupnya.
Sabun colek bermanfaat
mengemulsikan komponen minyak dalam formula sehingga saat pestisida dicampur dengan
air, seluruh bahan yang terkandung dalam formula dapat teremulsi dengan
sempurna dan saat diaplikasikan dapat menyebar merata ke seluruh permukaan
tanaman. Sabun colek juga dapat mencuci lapisan lilin yang menyelimuti kulit
serangga, sehingga meningkatkan efektivitas formula karena bahan aktif
pestisida nabati lebih mudah menembus tubuh OPT sasaran.
Tanaman cabai menjadi pestisida
nabati yang ampuh dalam mengendalikan kutu, tungau, ulat, sampai cacing perusak
akar. Aplikasi ekstrak cabai dengan konsentrasi 100% berpengaruh terhadap tingkat
mematikan larva Culex sp. sebesar 31,25% dari seluruh jumlah sampel dalam waktu
24 jam setelah aplikasi. Dengan demikian
tingkat konsentrasi insektisida dianggap memiliki tingkat kematian yang baik
dan tidak berbahaya bagi lingkungan hidup (Sujiprihatiet.al., 2007).
Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus disesuaikan
dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan pestisida
haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan
mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta
cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang
digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis
OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan
dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta
mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya
dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat
tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga
hama masih enggan bergerak.
Kelebihan maupun keunggulan pestisida
nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap
pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar.
Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga
telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin
canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya
sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih
maju.
Kelebihan pestisida alami :
-Murah dan mudah dibuat sendiri
oleh petani.
-Relatif aman terhadap
lingkungan.
-Tidak menyebabkan keracunan
pada tanaman.
-Sulit menimbulkan kekebalan
terhadap hama.
-Kompatibel digabung dengan cara
pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian
yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
Pestisida nabati juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah
terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka
waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga
aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan
hama sasaran.
Pemanfaatan pestisida nabati di
Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya
melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup
dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya
berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga
relatif aman bagi kehidupan.
Cara pengendalian OPT yang
ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan
pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu
mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Upaya jangka pendek dilakukan
dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan
pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan
pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara
perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar
kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah
bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida
nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida
nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat
keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.
Upaya jangka panjang memerlukan
dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis
yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru
perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang
terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang
menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan
kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari
penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih
tinggi.
Upaya yang tidak kalah penting
adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan
memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan
menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat
penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh
petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian
ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.
Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan pengendalian hama
dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan evaluasi fisik.
Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian pestisida populasi OPT
menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau tanaman tidak lagi diserang
OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang tidak diaplikasi, sedangkan
evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat keberhasilan penyemprotan yang telah
dilakukan misalnya evaluasi parameter penyemprotan seperti penutupan
(coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.
Pestisida memang bukan pilihan
utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, jika
pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara legal, benar,
dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan menjadi pedang
bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa membahayakan
pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas staf
argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat
informasi yang jujur dan seimbang.
Saat ini teknik atau cara
pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati
dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan
terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT
sasaran, dan uji persintensi formula dimaksudkan untuk meningkatkan
keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan
ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan
beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan
memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati
sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal
maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya
serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.
Penggunaan pestisida nabati harus
merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti
musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Indonesia merupakan negara yang
memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil
(Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di
dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi
menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia.
Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat
menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran
serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...