Loading...
Indonesia merupakan negara yang
memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan fauna dapat
ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis yang
sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara
paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia juga
memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.
Indonesia sebagai negara yang
kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara makmur.
Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber Daya Alam
yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya belum
layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia yang tidak
memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang penyakit.
Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk Indonesia
belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan sekitarnya.
Sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan
potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu
input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang
sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang
terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810
nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Masalah pangan yang mencukupi
dan bebas dari penyakit sudah menjadi pemikiran manusia sejak dahulu. Sebab,
peningkatan derajat kesehatan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi bahan
pangan yang berkualitas, bernilai gizi tinggi dan aman, yakni tidak terdapatnya
benda asing yang dapat merusak kesehatan. Semakin meningkatnya kesadaran
konsumen terhadap keamanan pangan mendorong konsumen untuk selektif memilih
bahan pangan (Naria, 1994).
Pestisida merupakan bahan
kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada
dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun
itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena
itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan
dampak negatif.
Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah keberadaan
hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman
holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau merusak
hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya dibedakan
menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan penyakit
tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman budidaya
sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika tanaman
tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua herbivora
memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga yang pada
kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada tanaman
budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan
penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan
iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.
Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan kerusakan
adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi
fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat beragam
tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak dan tidak
mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara
permanen/keseluruhan pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen,
misalnya kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya
sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak
produktif lagi. Sedangkan kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan
yang terjadi pada sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang,
dan batang.
Pestisida berasal dari kata
pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh.
Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut
peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia
yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan
mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk
serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan
kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat
pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik,
yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati,
yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi,
yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur,
bakteri atau virus.
Pengendalian hama secara kimia
sintetis memang sering dilakukan oleh petani, karena dianggap memberikan hasil
yang cepat terlihat. Namun, tanpa disadari penggunaannya mengakibatkan efek
samping yang sangat membahyakan dalam jangka waktu yang lama.
Intensifikasi penggunaan
pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang
tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian
akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).
Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan konsentrasi
tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat menimbulkan efek
residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor. Dampak negatif
yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana antara lain
adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama sasaran dan residu
pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan merusak lingkungan
atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada sayuran menjadi sangat
tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.
Penggunaan insektisida sintetis
yang tidak sesuai dengan fungsi dan ukurannya menimbulkan masalah berupa
kandungan residu insektisida pada komoditi bahan pangan, yang pada akhir dapat
membahayakan kesehatan masyarakat (Naria, 1994). Residu insektisida yang
terdapat dalam rantai makanan dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia
yakni menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain itu, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pestisida dapat memberikan efek jangka panjang yakni
menyebabkan kanker, gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, kelainan
syaraf, merusak sistem kekebalan tubuh, dan Parkinson (Emmy L.S, 1995).
Meningkatnya kesadaran
masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong
para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis
dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan
residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan
resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit
maupun predator, dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada
akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Awalnya, manusia menggunakan
pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya dikloro difenil
trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang cepat dan
efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap pestisida
sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan efek negatif
terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat mengakibatkan
akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya akan berdampak
pada organisme non target.
Penggunaan pestisida sintetis
dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah
pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi
mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini
diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan
insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah
dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan
residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan
insektisida di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus
keracunan, 3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.
Penggunaan pestisida kimia
pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu
pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan
kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai
digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17
nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai
insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu,
pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar
tuba Derris eliptica (Ware,1983).
Pada tahun 1874 Othmar Zeidler
adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl
Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli
kimia Swiss, Paul Hermann Muller. Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan
produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas.
Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun
1950 dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo,
1987).
Petani selama ini tergantung
pada pengendalian secara kimiawi untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Untung (1996) mengemukakan bahwa aplikasi insektisida kimia sintetik yang
kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat
memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi hama,
resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran,
adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan, dan bahaya
pada pemakai (Gapoktan, 2009).
Pestisida nabati merupakan
pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki
fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Bahan aktif
pestisida nabati berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun,
batang atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk, antara
lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak yang merupakan hasil pengambilan
cairan dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya
dan digunakan sebagai pestisida. Karena terbuat dari bahan-bahan alami maka
jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah hilang, maka
relatif aman bagi manusia (Samsudin, 2008). Pestisida nabati memiliki beberapa
fungsi, antara lain:
Repelant,
yaitu menolak kehadiran serangga, misalnya dengan bau yang menyengat.
Antifidant,
mencegah serangga makan tanaman yang disemprot, merusak perkembangan telur,
larva, pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan
sistem syaraf di dalam tubuh serangga.
Atraktan,
yaitu pemikat serangga, yang dapat dipakai sebagai perangkap serangga,
mengendalian jamur atau bakteri (Gapoktan, 2009).
Pestisida nabati juga memiliki berbagai
macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti insektisisda, bakterisida,
akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida nabati dilakukan sebagai
alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia (Tohir, 2010).
Penggunaan rodentisida,
moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana
disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh
karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya
setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun
lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi
yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu
mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan
aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati
(Regnault-Roger 2005).
Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan pestisida
sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan
alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan seminimal
mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal tersebut telah
dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan
salah satu komponen adalah pengendalian hayati.
Pemanfaatan pestisida nabati
diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa
tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies
tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama
dan penyakit tanaman.
Srikaya (Annona squamosa )
merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai peluang untuk digunakan
sebagai insektisida nabati. Menurut Kardinan (2002), biji A. squamosa
mengandung senyawa kimia annonain yang terdiri atas squamosin dan asimisin yang
bersifat racun terhadap serangga. Maryani (1995) mengemukakan bahwa biji A.
squamosa mengandung bioaktif asetogenin yang
bersifat insektisidal dan penghambat makan (anti-feedant). Buah mentah, biji,
daun, dan akar A. squamosa mengandung senyawa kimia annonain yang dapat
berperan sebagai insektisida, larvasida, penolak serangga (repellent), dan
anti-feedant dengan cara kerja sebagai racun kontak dan racun perut (Kardinan
2002).
Akar tanaman sirkaya memiliki rasa
pahit serta sifat dingin. Berkhasiat sebagai antiradang ataupun antidepresi.
Daun sirkaya juga memiliki rasa pahit, kelat, serta dengan sifat sedikit
dingin. Berkhasiat juga sebagai astringen, antiradang, peluruh cacing usus
(antheimintik), serta mempercepat pemasakan bisul dan abses. Biji tanaman
sirkaya berkhasiat memacu enzim pencernaan, abortivum, anthelmintik, dan
pembunuh serangga (insektisida). Kulit kayu berkhasiat sebagai astringen dan
tonikum. Buah muda dan biji juga berkhasiat sebagai antiparasit. Bagian-bagian
tumbuhan srikaya (Annona squamosa L.) telah teruji berkhasiat untuk
obat-obatan, bahkan bisa bersifat pembunuh serangga (Dalimartha 2003).
Srikaya atau buah nona (Annona
squamosa), adalah tanaman yang tergolong ke dalam genus Annanonatropis yang
berasal dari daerah tropis. Srikaya merupakan perdu tahunan atau berupa pohon
kecil dengan tinggi 2-7 meter. Tanaman ini akan tumbuh baik di daerah tropis
dan subtropis di tanah berbatu, kering dan terkena cahaya sinar matahari
langsung. Srikaya dapat tumbuh pada ketinggian 1- 800 meter dpl. Daun tunggal,
kaku, bertangkai, letak berselingan, bentuk elips memanjang, ujung tumpul, tepi
rata, panjang 6-17 cm, lebar 2,5-7,5 cm, dan berwarna hijau. Buah majemuk
berbentuk bola dengan garis tengah 5-10 cm, permukaannya berbenjol-benjol,
berwarna hijau, dan daging buahnya berwarna putih. Diantara daging buahnya
terdapat biji berwarna hitam mengkilap jika sudah masak. Akar tunggang, perbanyakannya
dengan biji. Termasuk semak semi-hijau abadi atau pohon yang meranggas mencapai
8 m tingginya. Bagian tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan OPT adalah biji buah sirkaya.
Biji sirkaya memiliki sifat antifeedan
serta insektisida terhadap OPT karena mengandung asimisin. Sirkaya (Annona
squamosa L) adalah tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi
insektisida botanis. Senyawa aktif utama dalam biji srikaya adalah annonain dan
skuamosin yang tergolong sebagai senyawa asetogenin ( Leatemia dan Isman 2001).
Tumbuhan sirkaya merupakan golongan dari keluarga annonaceae ini mengandung
alkaloid, karbohidrat, lemak (42-45%), asam amino, protein, polifenol, minyak
atsiri, terpen, dan senyawa-senyawa aromatik seperti tumbuhan lain pada
umumnya. Senyawa-senyawa yang bersifat bioaktif dari kelompok tumbuhan
annonaceae dikenal dengan nama acetogenin. Selain bijinya, bagian tanaman sirkaya
yang mengandung bahan aktif serta efektif sebagai pestisida nabati adalah buah
mentah, daun, dan akar. Senyawa aktif bekerja sebagai racun kontak, racun
perut, repellent, dan antifeedan.
Secara umum biji dan buah srikaya
mengandung senyawa golongan asetogenin termasuk squamosin, yang bersifat
sebagai racun perut, racun kontak, serta antifeedant. Senyawa asetogenin
bekerja sebagai racun metabolisme respirasi di dalam sel. Ekstrak srikaya aktif
terhadap berbagai jenis serangga penggigit- pengunyah dan penusuk-pengisap
(Prijono, 2005).
Penggunaan pestisida nabati
berbahan dasar Annona squamosa merupakan suatu alternatif pengendalian hama
yang ramah lingkungan, dengan metode ektraksi yang cukup sederhana sampai kompleks
mampu memberikan hasil pengendalian yang memuaskan.
Cara pembuatan pestisida nabati dari tanaman sirkaya:
Anda dapat melakukan ekstraksi kompleks
dengan mengikuti langkah dibawah ini:
-Biji dikeringkan, dikupas/dikuliti
kemudian ditumbuk. Dan, untuk memudahkan pengupasan kulit biji srikarya,
masukkan biji srikaya ke dalam blender dan aktifkan blender dengan singkat pada
putaran kejut.
-Pisahkan bagian dalam biji
dari kulitnya lalu giling hingga menjadi serbuk dengan menggunakan blender.
-Serbuk biji diayak dengan
menggunakna ayakan bermata 1 mm, kemudian serbuk ayakan diekstrak dengan
menggunakan pelarut metanol dengan perbandingan bahan: pelarut 1:10 (bobot atau
volume) dalam botol penakar 100 ml.
-Aduk campuran bahan pestisida
dan pelarut tersebut dengan pengaduk magnetik ( magnetic stirrer) ataupun
dilakukan secara manual dan biarkan selama 24 jam.
-Saring akstrak dan bilas ampas
yang diperoleh dengan pelarut baru. Ulangi langkah ini sampai cairan hasil
saringan tidak berwarna.
-Anda dapat memisahkan ekstrak biji
sirkaya dari pelarut metanol dengan menggunakan vacuum rotary evaporator
(rotavapor) pada suhu 50O C dan tekanan 0,7 mmHg (untuk proses ekstrasi yang
lebih kompleks).
-Untuk mendapatkan hasil
ekstraksi yang lebih sempurna, larutkan kembali ekstrak yang diperoleh ke dalam
metanol dengan perbandingan 1:20 (bobot atau volume), aduk secara merata,
saring larutan ekstrak dan uapkan pelarutnya dengan rotavapor seperti langkah sebelumnya.
ekstrak yang diperoleh pada penguapan terakhir ini digunakan sebagai bahan
aktif formulasi srikaya.
Pembuatan insektisida nabati tanaman sirkaya dari bahan
mentah selain biji:
-Pembuatan ekstrak A. squamosa
dengan pelarut metanol. Bagian A. squamosa segar sebanyak 25 g dicincang
kemudian diekstrak dengan pelarut metanol p.a sebanyak 100 ml selama 15 menit.
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan blender. Hasil ekstraksi disentrifusi
selama 20 menit dengan kecepatan 3.000 rpm, kemudian diuapkan menggunakan
freezer dryer hingga volume ± 1 ml. Larutan tersebut kemudian diencerkan
menggunakan akuades menjadi konsentrasi 5% dan selanjutnya larutan siap
digunakan untuk perlakuan.
Pembuatan insektisida nabati tanaman sirkaya dengan pelarut
air:
-Bagian A. squamosa segar
sebanyak 100 g dicincang kemudian diekstrak dengan pelarut air dengan
perbandingan 1:3. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan homogenizer/ blender
selama 15 menit. Hasil ekstraksi dibiarkan selama 24 jam kemudian disaring
menggunakan kain halus dan selanjutnya larutan siap digunakan (Tohir, 2010).
Ekstraksi dengan metode ini merupakan cara yang banyak diterapkan karena
dianggap sangat efisien.
-Secara konvensional, untuk
memperoleh ekstrak 4,5 liter diperlukan 7,5 kg biji.
-Ekstrak biji srikaya yang
dibuat dengan eter atau petroleum eter akan dapat meningkatkan tingkat toksisitas
pestisida sampai 50-100 kali lipat.
Serbuk daun srikaya diketahui
dapat digunakan untuk mengendalikan hama gudang. Di Cina dan Filipina, tepung
biji srikaya digunakan sebagai bahan insektisida. Laporan lain menyatakan bahwa
1% tepung srikaya yang dicampurkan dalam biji kacang hijau dapat mengendalikan
hama gudang Callosobruchus analis dan dapat menghambat proses peletakan telur
serangga hama pada biji kacang hijau.
Extrak biji sirkaya mampu
mengendalikan OPT antara lain Ulat daun kubis, Aphis gosypii, Epilachna
varivestris, Aedes aegypti, Acalimma vittatum, dan Drosophila melanogaster. Khasiat
ekstrak heksan biji srikaya juga telah dilaporkan mempunyai efek racun perut
pada larva C. bezziana (Wardhana et al, 2004). Efek racun kontaknya juga telah
diteliti pada larva caplak Boophilus microplus (Wardhana et al ; 2005). Menurut
Rukmana dan Yuyun (2002) biji srikaya mengandung zat annonain yang berperan
sebagai pestisida nabati racun kontak terhadap serangga hama, misalnya Aphis
fabal, Macrosiphoniella zanborry, M. Satonifolli, Sitophilus zeamais, S.
Orizal, dan Tribolium costanum.
Hasil penelitian Sujanto et al.
(1999) menunjukkan bahwa ekstrak biji A. squamosa cukup efektif mengendalikan
hama kumbang kedelai Phaedonia inclusa. Hal ini juga sesuai dengan hasil
penelitian Herminanto, et al (2004) yang menyatakan bahwa Ekstrak biji A.
squamosa (Konsentrasi 15 cc/l) sangat nyata mempengaruhi pembentukan pupa dan
imago hama krop kubis Crocidolomia Pavonana F. Peningkatan konsentrasi ekstrak
menyebabkan berkurangnya pembentukan pupa dan imago, Perlakuan terhadap larva
menyebabkan larva yang hidup menjadi lemah pada instar akhir dan fase prapupa
sehingga ada yang gagal mengalami pupasi, demikian juga dengan imagonya. Larva
yang mendapat perlakuan ekstrak biji A. squamosa menunjukkan gerakan lamban,
tubuh berubah warna dari hijau menjadi kekuningan. Akibat lanjut, ukuran tubuh
semakin menyusut, warna berubah menjadi coklat kehitaman dan akhirnya mati, dan
menurut Sinaga (2010) kematian Callosobruchus chinensis dapat mencapai 100 %
pada hari kedua pada konsentrasi 0,5 ml/100 g bahan uji. Ini berarti bahwa
semakin tinggi konsentrasi ekstrak menyebabkan kondisi tubuh larva semakin
lemah dan berakibat turunnya nafsu makan sampai 97, 87 %. Londer dan Shanshen
(1991) dalam Manuwoto et al., 1994) juga mengemukakan bahwa biji A. squamosa
mengandung squamosin yang mempengaruhi perilaku serangga dan dapat menghambat
aktivitas makan serangga pada konsentrasi tinggi. Mekanisme kerja annonain dan
skuamosin yang terkandung dalam biji sirkaya telah dideteksi sampai taraf
molekuler dan terbukti bersifat sitotoksik sehingga menimbulkan kematian sel.
Kedua senyawa tersebut mampu menghambat transfer electron dengan cara
menghalangi ikatan enzim NADH dengan ubiquinon dalam rantai transfer elektron
pada proses respirasi sel. Penemuan ilmiah tersebut didukung juga dengan adanya
laporan Chaves et al (2001) yang menyatakan bahwa golongan asetogenin mampu
menghambat sintesis ATP di dalam mitokondria. Penyerapan insektisida yang mempunyai
efek racun perut sebagian besar berlangsung dalam mesenteron (saluran
pencernaan bagian tengah). Dinding mesenteron tersusun dari selsel epitelium
yang terdiri dari dua lapis, yaitu senyawa lipida dan protein yang tersebar
pada bagian-bagian tertentu dari lapisan lipida tersebut. Secara keseluruhan,
selaput sel ini bersifat lipofilik (Prijono 1988).
Hasil penelitian yang lain
melaporkan bahwa penggunaan eksrtak biji A. squamosa pada metode pencelupan dan
pemberian pakan dapat membunuh 50 % Tribolium castaneum dengan LC 50nya 724
mL/L (Un, 2007). Berdasarkan hasil sebuah penelitian juga menyimpulkan bahwa
pemberian ekstrak biji sirkaya berpengaruh terhadap viabilitas rayap kayu
kering(Cryptotermes cyanochepalus). Secara khusus ekstrak biji sirkaya (Annona
squamosa L.) kaya dengan senyawa poliketida yang merupakan turunan dari
anonain. Kelompok anonain ini diduga berperan aktif sebagai toksik terhadap
rayap (Sartono 2003). Efek toksik terbagi menjadi 2 yaitu efek lokal dan efek
sistemik. Efek lokal biasanya menyebabkan cedera pada tempat dimana bahan
tersebut menempel dengan tubuh rayap seperti gangguan kerusakan pada sel-sel
hidup, sedangkan efek sistemiknya yaitu setelah toksikan diserap dan tersebar
ketubuh akan mempengaruhi beberapa organ sasaran seperti hati dan ginjal
(Tandjung 1995). Untung (1996 dalam Titisari, 2000) menjelaskan, bahwa dalam
sistem syaraf serangga antara sel syaraf dan sel otot terdapat synaps.
Asetilkolin yang dibentuk oleh sistem syaraf pusat untuk menghantarkan impuls
dari sel syaraf ke sel otot. Setelah impuls dihantarkan, proses dihentikan oleh
enzim asetilkolinesterase yang memecah asetilkolin menjadi asetil ko-A dan
kolin. Terhambatnya kerja dari enzim asetilkolinesterase sehingga terjadi
penumpukan asetilkolin yang akan menyebabkan terjadinya kekacauan pada sistem
penghantar impuls ke otot yang dapat berakibat otot kejang, terjadi kelumpuhan
dan berakhir kematian.
Jenis pestisida nabati
berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis
pestisida nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida,
fungisida (Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002),
moluskisida (Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena
Rodriguez 2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)
sedang mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak
mengganggu tanaman budi daya.
Daun Annona squamosa juga berpotensi
sebagai insektisida botani, ekstrak daun sirkaya terbukti efektif terhadap
Tenebrio molitor stadium dewasa. Tenebrio molitor adalah sejenis kumbang yang
banyak ditemui di bahan- bahan makanan berkarbohidrat tinggi, seperti tepung,
beras, jagung, gaplek dan lain-lain. Serangga ini dianggap hama penting tidak
hanya di dunia pertanian namun juga di dunia kesehatan. Selain merusak bahan-
bahan makanan berkarbohidrat, serangga ini berlaku sebagai hospes perantara
dalam siklus hidup Hymenolepis diminuta, sehingga serangga ini berperan dalam
penularan cacing pita pada manusia. Menurut laporan Jeebhay et al. pada tahun
2005 serangga ini juga sebagai penyebab alergi pada pekerja gudang yang
menunjukkan gejala asma. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun srikaya,
semakin cepat juga daya bunuhnya terhadap T. molitor. Hal ini dimungkinkan
karena semakin tingginya konsentrasi ekstrak daun A. Squamosa semakin tinggi
pula kadar zat aktif squamosin dan asetogenin.
Penelitian terhadap A. squamosa
pernah dilakukan oleh Amrita dan Singh pada tahun 2001 yang menguji efek
molluscidal sirkaya terhadap Lymnaea acuminata. Dalam penelitiannya, bagian
tumbuhan srikaya yang diuji yaitu bagian kulit kayu, biji, dan daun untuk
mengetahui keefektifannya sebagai moluscidal. Hasilnya adalah bahwa biji
srikaya lebih efektif dibandingkan daunnya, dan kulit kayu adalah yang paling
tidak efektif.
Ekstrak etanolik baik dari daun
maupun biji golongan Annonaceae telah banyak diteliti efikasinya terhadap
beberapa serangga yang penting dalam kedokteran, termasuk nyamuk vektor. Berdasarkan
laporan penelitian Leatemia and Isman pada tahun 2004, diantara ekstrak
etanolik spesies golongan Annonaceae, A. squamosa mempunyai efek insektisida
paling baik terhadap ulat dan larva nyamuk.
Pestisida nabati memiliki
spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah
resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap
mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Insektisida nabati kembali
mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik karena relatif aman,
murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak mencemari
lingkungan, residunya relatif pendek (Oka, 1994), aman terhadap hewan bukan
sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping
(Kardinan 2002).
Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus disesuaikan
dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan pestisida
haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan
mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta
cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang
digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis
OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan
dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta
mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya
dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat
tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga
hama masih enggan bergerak.
Kelebihan maupun keunggulan pestisida
nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap
pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar.
Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga
telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin
canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya
sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih
maju.
Kelebihan pestisida alami :
-Murah dan mudah dibuat sendiri
oleh petani.
-Relatif aman terhadap
lingkungan.
-Tidak menyebabkan keracunan
pada tanaman.
-Sulit menimbulkan kekebalan
terhadap hama.
-Kompatibel digabung dengan
cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian
yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
Pestisida nabati juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah
terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka
waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga
aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan
hama sasaran.
Pemanfaatan pestisida nabati di
Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya
melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup
dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya
berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga
relatif aman bagi kehidupan.
Cara pengendalian OPT yang
ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan
pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu
mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Upaya jangka pendek dilakukan
dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan
pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan
pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara
perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar
kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah
bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida
nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida
nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat
keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.
Upaya jangka panjang memerlukan
dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis
yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru
perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang
terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang
menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan
kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari
penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih
tinggi.
Upaya yang tidak kalah penting
adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan
memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan
menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat
penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh
petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian
ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.
Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan pengendalian hama
dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan evaluasi fisik.
Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian pestisida populasi OPT
menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau tanaman tidak lagi diserang
OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang tidak diaplikasi, sedangkan
evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat keberhasilan penyemprotan yang telah
dilakukan misalnya evaluasi parameter penyemprotan seperti penutupan
(coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.
Pestisida memang bukan pilihan
utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, jika
pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara legal, benar,
dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan menjadi pedang
bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa membahayakan
pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas staf
argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat
informasi yang jujur dan seimbang.
Saat ini teknik atau cara pengujian
juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati dan OPT
sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan terhadap
isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT sasaran. Toksisitas
menurut Durham (1975) dalam Tandjung (1995) adalah kemampuan suatu molekul atau
senyawa kimia menimbulkan perusakan pada bagian yang peka didalam maupun diluar
mahluk hidup. Organisme tersebut dapat mengalami berbagai tingkat kerusakan
alat dan sistem organ. Tingkat racun (toksin) suatu bahan kimia diukur dengan
besarnya kadar atau konsentrasi bahan yang dapat menimbulkan efek pada
organisme. Uji toksisitas dipakai untuk menentukan tingkat racun tersebut. Setiap
toksikan dalam tubuh dapat menimbulkan suatu efek toksik. Efek toksik sangat
bervariasi dalam sifat, organ sasaran maupun mekanisme kerjanya. Tidak
terjadinya respon toksik tergantung pada sifat kimia dan fisik dari bahan
tersebut, situasi pemaparan dan kerentanan sistem biologis dari subyek. Faktor
utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan
tehadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk kedalam tubuh, jangka waktu dan
frekuensi pemaparan (Ahmad 2004).
Efek toksik sangat bervariasi
dalam sifat, organ sasaran dan mekanisme kerjanya karena adanya beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Antara lain yaitu:
Fisiologis dari organismenya
Proses fisiologis yag terjadi
pada setiap organisme turut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida dalam
tubuh organisme. Ada organisme yang mempunyai kemampuan menetralisir pestisida
sampai pada konsentrasi tertentu. Sementara itu, ada pula organisme lain yang
tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir daya racun dari pestisida yang
masuk kedalam tubuhnya. Adanya perbedaan kemampuan dalam menetralisir daya
toksik tersebut, disebabkan masing- masing spesies memiliki batas kisaran
toleransi yang berbeda-beda antara satu spesies dengan lainnya.
Kondisi organismenya
Masing-masing individu memiliki
daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin,
status nutrient dan ada tidaknya stress. Faktor-faktor tersebut berpengaruh
terhadap daya toksik pestisida tergantung dari kondisi organisme yang
bersangkutan.
Kemampuan beraklimasi terhadap bahan
Kemampuan setiap organisme
dalam beraklimasi terhadap adanya perubahan lingkungan berbeda satu dengan
lainya. Ada organisme yang mampu menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan
sehingga mampu bertahan hidup. Dan, organisme yang tidak mampu beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan akan mengalami kematian.
Uji persintensi formula aktif
pestisida nabati juga perlu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan
keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan
ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan
beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan
memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati
sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal
maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya
serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.
Penggunaan pestisida nabati harus
merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti
musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Potensi pestisida nabati
apabila dikembangkan akan memperoleh hasil pengendalian OPT yang murah dan
tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan baik bagi pekerja,
hewan, maupun lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan potensi pestisida
nabati tersebut diperlukan usaha keras dari semua pihak antara lain lembaga
penelitian dan perguruan tinggi yang berkewajiban untuk melakukan penelitian
dasar mulai aspek kimia sampai formulasinya dan komitmen dari industri bahan
perlindungan tanaman dalam membantu mengembangkan. Pestisida nabati bisa dibuat
secara sederhana/tidak memerlukan teknologi tinggi yaitu dengan menggunakan
hasil perasan, ekstrak atau rendaman atau rebusan bagian tanaman atau tumbuhan
baik berupa daun, batang, akar, umbi, ataupun buah. Pestisida nabati ini dapat
dibuat secara besar-besaran jika dikerjakan dengan teknologi tinggi atau skala
industri. Apabila dibandingkan dengan pestisida kimia, penggunaan pestisida
nabati relatif lebih murah dan aman (Sartono 2003).
Indonesia merupakan negara yang
memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil
(Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di
dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi
menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia.
Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat
menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran
serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...