Loading...
Indonesia merupakan negara yang
memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan fauna dapat
ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis yang
sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara
paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia juga
memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.
Indonesia sebagai negara yang
kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara makmur.
Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber Daya Alam
yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya belum
layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia yang tidak
memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang penyakit.
Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk Indonesia
belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan sekitarnya.
Sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan
potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu
input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang
sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang
terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810
nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Masalah pangan yang mencukupi
dan bebas dari penyakit sudah menjadi pemikiran manusia sejak dahulu. Sebab,
peningkatan derajat kesehatan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi bahan
pangan yang berkualitas, bernilai gizi tinggi dan aman, yakni tidak terdapatnya
benda asing yang dapat merusak kesehatan. Semakin meningkatnya kesadaran
konsumen terhadap keamanan pangan mendorong konsumen untuk selektif memilih
bahan pangan (Naria, 1994).
Pestisida merupakan bahan
kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada
dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun
itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena
itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan
dampak negatif.
Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah keberadaan
hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman
holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau merusak
hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya dibedakan
menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan penyakit
tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman budidaya
sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika tanaman
tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua herbivora
memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga yang pada
kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada tanaman
budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan
penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan
iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.
Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan kerusakan
adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi
fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat beragam
tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak dan tidak
mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara permanen/keseluruhan
pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen, misalnya kematian seluruh
jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya sebagian jaringan
tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak produktif lagi. Sedangkan
kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan yang terjadi pada sebagian
tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang, dan batang.
Pestisida berasal dari kata
pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh.
Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut
peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia
yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan
mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk
serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan
kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat
pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik,
yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati,
yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi,
yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur,
bakteri atau virus.
Intensifikasi penggunaan
pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang
tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian
akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).
Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan konsentrasi
tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat menimbulkan efek
residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor. Dampak negatif
yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana antara lain
adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama sasaran dan residu
pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan merusak lingkungan
atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada sayuran menjadi sangat
tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.
Penggunaan insektisida sintetis
yang tidak sesuai dengan fungsi dan ukurannya menimbulkan masalah berupa
kandungan residu insektisida pada komoditi bahan pangan, yang pada akhir dapat
membahayakan kesehatan masyarakat (Naria, 1994). Residu insektisida yang
terdapat dalam rantai makanan dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia
yakni menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain itu, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pestisida dapat memberikan efek jangka panjang yakni
menyebabkan kanker, gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, kelainan
syaraf, merusak sistem kekebalan tubuh, dan Parkinson (Emmy L.S, 1995).
Meningkatnya kesadaran
masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong
para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis
dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan
residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan
resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit
maupun predator, dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada
akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Awalnya, manusia menggunakan
pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya dikloro difenil
trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang cepat dan
efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap pestisida
sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan efek negatif
terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat mengakibatkan
akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya akan berdampak
pada organisme non target.
Penggunaan pestisida sintetis
dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah
pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi
mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini
diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan
insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah
dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan
residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan
insektisida di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus
keracunan, 3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.
Penggunaan pestisida kimia
pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu
pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan
kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai
digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17
nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai
insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu,
pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar
tuba Derris eliptica (Ware,1983).
Pada tahun 1874 Othmar Zeidler
adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl
Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli
kimia Swiss, Paul Hermann Muller. Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan
produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas.
Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun
1950 dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo,
1987).
Pestisida nabati merupakan
pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki
fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Bahan aktif
pestisida nabati berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun,
batang atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk, antara
lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak yang merupakan hasil pengambilan
cairan dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya
dan digunakan sebagai pestisida.
Pestisida nabati juga memiliki berbagai
macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti insektisisda,
bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida nabati dilakukan
sebagai alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia (Tohir, 2010).
Penggunaan rodentisida,
moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana
disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh
karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya
setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun
lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi
yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu
mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan
aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati (Regnault-Roger
2005).
Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan pestisida
sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan
alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan seminimal
mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal tersebut telah
dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan
salah satu komponen adalah pengendalian hayati.
Pemanfaatan pestisida nabati
diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa
tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies
tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama
dan penyakit tanaman.
Tanaman cengkeh adalah tanaman
rempah, dimana bagian utama tanaman cengkeh yang paling komersial adalah
bunga cengkeh yang sebagian besar
digunakan dalam industri rokok yaitu berkisar 80-90%. Sementara untuk daun
cengkeh belum termanfaatkan secara maksimal dan masih dianggap limbah yang
kurang berguna (Nurdjannah dalam Nuryoto, 2011).
Tanaman cengkeh memang telah
lama dikenal masyarakat, baik sebagai bumbu dapur maupun bahan baku industri
(rokok, kosmetik, obat). Namun dibalik itu, tanaman cengkeh juga dapat
digunakan sebagai pestisida nabati karena dapat digunakan sebagai insektisida,
fungisida, bakterisida, dan nematisida.
Cara pembuatan pestisida nabati dari daun cengkeh:
- Daun, bunga atau tangkai
bunga ditumbuk hingga menjadi tepung. Selain ditumbuk, bahan tersebut dapat
juga diekstak (melalui proses laboratorium),
- Sebarkan tepung/minyak
tersebut pada tanaman atau sekitar perakaran yang terserang dengan dosis 50
gram/pohon, jika menggunakan serasah daun cengkeh dosis yang digunakan 100
gram/pohon.
- Pada tanaman dengan serangan
ringan dapat dilakukan penyayatan pada akar kemudian diolesi dengan tepung/
minyak cengkeh.
Tanaman cengkeh juga diketahui
mengandung minyak atsiri jenis eugenol yang aromanya diduga tidak disenangi
lalat. Berdasarkan hasil penelitian di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
(Balittro), produk cengkeh daun, gagang dan bunga dapat menekan bahkan
mematikan pertumbuhan miselium jamur, koloni bakteri dan nematoda. Produk
cengkeh bisa digunakan sebagai fungisida, bakterisida, nematisida, dan
insektisida (Asman dkk, 1997). Daun cengkeh juga sangat efektif untuk
mengendalikan hama gudang, karena mengandung senyawa metil eugenol yang sangat
beracun bagi serangga dan bakteri.
Jenis pestisida nabati
berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis pestisida
nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida, fungisida
(Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002), moluskisida
(Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena Rodriguez
2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) sedang
mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak mengganggu
tanaman budi daya.
Pestisida nabati memiliki
spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah resisten
terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap mamalia
relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus disesuaikan
dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan pestisida
haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan
mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta
cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang
digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis
OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan
dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta
mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya
dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat
tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga
hama masih enggan bergerak.
Kelebihan maupun keunggulan pestisida
nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap
pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar.
Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga
telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin
canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya
sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih
maju.
Kelebihan pestisida alami :
-Murah dan mudah dibuat sendiri
oleh petani.
-Relatif aman terhadap
lingkungan.
-Tidak menyebabkan keracunan
pada tanaman.
-Sulit menimbulkan kekebalan
terhadap hama.
-Kompatibel digabung dengan
cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian
yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
Pestisida nabati juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah
terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka
waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga
aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan
hama sasaran.
Pemanfaatan pestisida nabati di
Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya
melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup
dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya
berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga
relatif aman bagi kehidupan.
Cara pengendalian OPT yang
ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan
pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu
mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Upaya jangka pendek dilakukan
dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan
pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan
pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara
perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar
kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah
bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida
nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida
nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat
keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.
Upaya jangka panjang memerlukan
dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis
yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru
perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang
terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang
menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan
kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari penggunaan
pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Upaya yang tidak kalah penting
adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan
memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan
menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat
penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh
petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian
ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.
Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan pengendalian hama
dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan evaluasi fisik.
Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian pestisida populasi OPT
menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau tanaman tidak lagi diserang
OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang tidak diaplikasi, sedangkan
evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat keberhasilan penyemprotan yang telah
dilakukan misalnya evaluasi parameter penyemprotan seperti penutupan
(coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.
Pestisida memang bukan pilihan
utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, jika
pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara legal, benar,
dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan menjadi pedang
bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa membahayakan
pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas staf
argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat
informasi yang jujur dan seimbang.
Saat ini teknik atau cara
pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati
dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan
terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT
sasaran, dan uji persintensi formula dimaksudkan untuk meningkatkan
keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan ketersediaan
teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan beberapa
produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan memudahkan
petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati sesuai
dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal maka
penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya
serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.
Penggunaan pestisida nabati harus
merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti
musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Indonesia merupakan negara yang
memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil
(Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di
dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi
menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia.
Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat
menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran
serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...