Loading...
Indonesia merupakan negara yang
memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan fauna dapat
ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis yang
sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara
paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia juga
memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.
Indonesia sebagai negara yang
kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara makmur.
Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber Daya Alam
yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya belum
layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia yang tidak
memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang penyakit.
Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk Indonesia
belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan sekitarnya.
Sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan
potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu
input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang
sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang
terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810
nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Masalah pangan yang mencukupi
dan bebas dari penyakit sudah menjadi pemikiran manusia sejak dahulu. Sebab,
peningkatan derajat kesehatan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi bahan
pangan yang berkualitas, bernilai gizi tinggi dan aman, yakni tidak terdapatnya
benda asing yang dapat merusak kesehatan. Semakin meningkatnya kesadaran
konsumen terhadap keamanan pangan mendorong konsumen untuk selektif memilih
bahan pangan (Naria, 1994).
Pestisida merupakan bahan
kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada
dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun
itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena
itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan
dampak negatif.
Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah keberadaan
hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman
holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau merusak
hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya dibedakan
menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan penyakit
tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman budidaya
sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika tanaman
tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua herbivora
memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga yang pada
kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada tanaman
budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan
penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan
iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.
Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan kerusakan
adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi
fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat beragam
tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak dan tidak
mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara
permanen/keseluruhan pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen,
misalnya kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya
sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak
produktif lagi. Sedangkan kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan
yang terjadi pada sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang,
dan batang.
Pestisida berasal dari kata
pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh.
Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut
peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia
yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan mengendalikan
hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk serangga bentuk
hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan kesejahteraan
manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka
pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik,
yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati,
yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi,
yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur,
bakteri atau virus.
Pengendalian hama secara kimia
sintetis memang sering dilakukan oleh petani, karena dianggap memberikan hasil
yang cepat terlihat. Namun, tanpa disadari penggunaannya mengakibatkan efek
samping yang sangat membahyakan dalam jangka waktu yang lama.
Intensifikasi penggunaan
pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang
tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian
akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).
Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan konsentrasi
tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat menimbulkan efek
residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor. Dampak negatif
yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana antara lain
adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama sasaran dan residu
pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan merusak lingkungan
atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada sayuran menjadi sangat
tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.
Penggunaan insektisida sintetis
yang tidak sesuai dengan fungsi dan ukurannya menimbulkan masalah berupa
kandungan residu insektisida pada komoditi bahan pangan, yang pada akhir dapat
membahayakan kesehatan masyarakat (Naria, 1994). Residu insektisida yang
terdapat dalam rantai makanan dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia
yakni menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain itu, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pestisida dapat memberikan efek jangka panjang yakni
menyebabkan kanker, gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, kelainan
syaraf, merusak sistem kekebalan tubuh, dan Parkinson (Emmy L.S, 1995).
Meningkatnya kesadaran masyarakat
dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong para ahli
mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis dengan
pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan residu yang
berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan resistensi dan
resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit maupun predator,
dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada akhirnya dapat
mengganggu keseimbangan ekosistem.
Awalnya, manusia menggunakan
pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya dikloro difenil
trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang cepat dan
efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap pestisida sintetik
yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan efek negatif terhadap
kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat mengakibatkan
akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya akan berdampak
pada organisme non target.
Penggunaan pestisida sintetis
dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah
pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi
mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini
diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan
insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah
dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan
residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan
insektisida di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus
keracunan, 3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.
Penggunaan pestisida kimia
pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu
pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan
kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai
digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17
nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai
insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu,
pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar
tuba Derris eliptica (Ware,1983).
Pada tahun 1874 Othmar Zeidler
adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl
Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli
kimia Swiss, Paul Hermann Muller. Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan
produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas.
Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun
1950 dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo,
1987).
Petani selama ini tergantung
pada pengendalian secara kimiawi untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Untung (1996) mengemukakan bahwa aplikasi insektisida kimia sintetik yang
kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat
memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi hama,
resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran,
adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan, dan bahaya
pada pemakai (Gapoktan, 2009). Untuk mengoptimalkan dampak tersebut dapat
dilakukan dengan memanfaatkan bahan alam yang ramah lingkungan sebagai
alternatif, salah satunya penggunaan insektisida alami sebagai altrnatif
(Listiyati dkk., 2012).
Pestisida nabati merupakan
pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki
fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Bahan aktif
pestisida nabati berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun,
batang atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk, antara
lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak yang merupakan hasil pengambilan
cairan dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya
dan digunakan sebagai pestisida. Karena terbuat dari bahan-bahan alami maka
jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah hilang, maka
relatif aman bagi manusia (Samsudin, 2008). Pestisida nabati memiliki beberapa
fungsi, antara lain:
Repelant,
yaitu menolak kehadiran serangga, misalnya dengan bau yang menyengat.
Antifidant,
mencegah serangga makan tanaman yang disemprot, merusak perkembangan telur,
larva, pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan
sistem syaraf di dalam tubuh serangga.
Atraktan,
yaitu pemikat serangga, yang dapat dipakai sebagai perangkap serangga,
mengendalian jamur atau bakteri (Gapoktan, 2009).
Pestisida nabati juga memiliki berbagai
macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti insektisisda,
bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida nabati dilakukan
sebagai alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia (Tohir, 2010).
Penggunaan rodentisida,
moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana
disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh
karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya
setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun
lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi
yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu
mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan
aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati
(Regnault-Roger 2005).
Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan pestisida
sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan
alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan seminimal
mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal tersebut telah
dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan
salah satu komponen adalah pengendalian hayati.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
adalah penggunaan pestisida nabati. Penggunaan pestisida nabati selain dapat
mengurangi pencemaran lingkungan, harganya lebih murah dibandingkan penggunaan
pestisida sintetis atau kimia (Murtidjo, 2003).
Menurut Kardinan (2002), pada
pertanian organik saat ini mulai banyak dikembangkan pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan pestisida nabati yang berasal dari
tumbuhan yang banyak terdapat di alam. Teknik pengendalian ini merupakan
alternatif pemecahan terhadap permasalahan
pestisida sintetis yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem
lingkungan. Selain relatif mudah dibuat dan tidak mahal, pestisida nabati
merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan karena
selain bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, pestisida nabati juga
memiliki sifat mudah terurai di alam.
Pemanfaatan pestisida nabati
diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa
tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies
tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama
dan penyakit tanaman.
Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai insektisida alami
adalah ekstrak kulit duku (Lansium domesticum Corr.). Buah duku, selain buahnya
yang manis dan mengandung gizi cukup tinggi. Kulit buah duku jika tidak
dimanfaatkan akan manjadi limbah yang hanya dibuang begitu saja, padahal kulit
buah duku dapat pula digunakan sebagai pakan ternak. Kulit buah duku mengandung
terpenoid, flavonoid, alkaloid dan saponin. Flavonoid memiliki efek larvasida
karena menghambat sintesa asam nukleat (DNA) dan sebagai inhibitor kuat
pernafasan. DNA diperlukan dalam sintesa atau pembentukan protein, yang sangat
diperlukan oleh larva untuk proses perkembangan dan pertumbuhannya. Jika
sintesa DNA terhambat maka sintesa protein akan terhambat pula sehingga
perkembangan dan pertumbuhan larva tidak optimal bahkan bisa menyebabkan larva
tersebut mati. Karena itulah, diharapkan kandungan aktif yang terdapat dalam
kulit buah duku dapat berfungsi sebagai insektisida (Fidiana dkk., 2013).
Tanaman duku (Lansium domesticum) merupakan tanaman musiman
yang tumbuh di wilayah tropis terutama Asia Tenggara, seperti Filipina,
Malaysia, Thailand dan Indonesia. Di Indonesia, duku dapat ditemukan di banyak daerah.
Tiap wilayah memiliki varietas duku unggulan, seperti Provinsi Sumatera Selatan
yang terkenal dengan nama Duku Rasuan atau Duku Komering dan Provinsi Jambi
yang terkenal dengan nama Duku Kumpeh.
Ekstrak kulit duku (Lansium domesticum Corr.) dapat
dimanfaatkan sebagai insektisida alami disebabkan adanya senyawa metabolit
sekunder aktif . Berdasarkan hasil sebuah penelitian, esktrak kulit duku
mengandung senyawa triterpenoid. Selain itu buah duku juga mengandung alkaloid,
saponin, flavonoid dan polifenol. (Astawan, 2009). Penelitian oleh Mirnawaty.,
dkk (2012), menyatakan kulit buah duku juga mengandung senyawa saponin dan
flavonoid yang dapat membunuh nyamuk Aedes aegipty. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Fidiana., dkk (2013), kulit buah duku banyak mengandung senyawa
aktif saponin, flavonoid, alkaloid dan terpenoid yang dapat membunuh larva
Aedes aegipty. Terpenoid merupakan kandungan utama tanaman duku yang ditemukan
pada bagian batang, daun dan buah. Cara kerja alkaloid sebagai insektisida
bervariasi tergantung dari struktur molekulnya tetapi banyak dilaporkan dalam
menghambat enzim asetilkolinesterase atau jembatan natrium yang sangat berperan
penting dalam sistem saraf. Selain itu alkaloid juga bertindak sebagai stomach
poisoning atau racun perut. Bila senyawa tersebut masuk dalam tubuh larva maka
alat pencernaannya akan menjadi rusak sehingga larva dapat mengalami kematian. Penelitian
yang telah dilakukan oleh Ni’mah dkk., (2015), menyatakan bahwa ekstrak biji
buah duku juga berpotensi sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegipty. Di Jawa, aroma asap kulit buah duku
yang masak dan kering digunakan sebagai penghalau nyamuk (repellent).
Buah duku mengandung 60% daging, sisanya merupakan biji dan
kulit. Pada daging buah duku banyak mengandung sukrosa, fruktosa, dan glukosa.
Duku merupakan salah satu tanaman berkayu yang hidup selama menahun, saat ini
buah duku juga sudah menyebar luas ke berbagai belahan benua Asia terutama Asia
Tenggara (Nur’aini dkk., 2015). Duku (Lansium domesticum Corr.) juga banyak
memberi manfaat bagi masyarakat, selain buahnya yang manis dan memiliki nilai
gizi yang tinggi, duku juga dipercaya bagi masyarakat sebagai obat-obatan
tradisional seperti penyakit disentri, diare dan malaria (Subandrate
dkk.,2016).
Duku merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk suku
(famili) Meliaceae yang dikenal sebagai penghasil senyawa pahit yang bermanfaat
sebagai substansi antimakan (antifeedant) bagi serangga dan penghambat
pertumbuhan. Pohon duku dapat tumbuh hingga ketinggian 30-40 meter. Daunnya
elips panjang, berpinggir rata, pangkal runcing dan ujungnya meruncing. Bunga
merupakan majemuk tandan, berwarna hijau kekuningan atau kuning muda. Buah
berbentuk bulat atau bulat memanjang dengan diameter 2-4 cm. Buahnya yang
berasa manis atau keasaman umumnya telah terbiasa dikonsumsi masyarakat.
Pembuatan ekstrak kulit duku:
Kulit duku yang telah disiapkan dicuci dan dikeringan dengan
cara diangin-anginkan, proses pengeringan dapat dilakukan di bawah sinar
matahari tak langsung selama ±10 hari. Kulit duku yang telah kering kemudian dirajang
kecil-kecil selanjutnya diblender hingga menjadi serbuk. Kulit duku yang telah
dihaluskan diekstraksi dengan cara maserasi yaitu merendam sampel dalam pelarut
metanol pada tabung atau toples selama 3 kali 24 jam. Kemudian ekstrak tersebut
disaring untuk dipisahkan antara residu dan filtratnya. Lalu filtrat yang
diperoleh dari perlakuan sebelumnya dimasukkan ke dalam alat evaporator untuk
memisahkan ekstrak duku dengan pelarutnya. Selanjutnya ekstrak kental yang diperoleh
ditampung pada erlenmeyer atau wadah khusus. Ekstrak kental kulit duku yang
telah di dapat, kemudian diencerkan untuk mendapatkan beberapa konsentrasi
(Minarwaty dkk., 2012). Jika dibiarkan diudara terbuka tanpa pemanasan, ekstrak
akan mengeras dan lengket pada wadah ataupun material lain yang terkena
ekstrak. Ekstrak juga sulit larut dalam air, namun bisa sedikit mencair bila
dipanaskan di atas waterbath (40°C).
Pembuatan ekstrak biji duku:
Biji dibersihkan dari daging buah lalu dikeringkan dan digiling
menjadi serbuk. Serbuk kering diekstraksi menggunakan etanol 70% dengan
perbandingan 1 bagian bahan dan 10 bagian pelarut. Metode yang digunakan yaitu
maserasi selama 3 x 24 jam dengan sesekali diaduk. Ekstrak kemudian dipekatkan
dengan rotary evaporator dan water bath.
Dari hasil suatu penelitian, adanya kandungan senyawa
metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak kulit duku memiliki kemampuan
dalam membunuh lalat rumah (Musca domestica), yang mempengaruhi sistem saraf,
keseimbangan hormon, menghambat sistem reproduksi, anti-makan dan kerusakan
pada sistem pernafasan serangga (Ridhwan dan Isharyanto., 2016). Senyawa
metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak kulit duku (Lansium domesticum
Corr.) merupakan racun kontak yang masuk ke dalam tubuh lalat rumah (Musca
domestica) secara langsung (Yuliana dkk., 2016).
Efek kandungan ekstrak kulit duku juga bisa mempengaruhi
syaraf pada nyamuk dan akibat yang ditimbulkannya adalah nyamuk mengalami
kelabilan dan akhirnya mati. Ekstrak kulit buah dan biji duku memiliki efek
racun terhadap ulat grayak (S. litura) dengan uji topikal dan residual serta
mengurangi jumlah larva yang menjadi pupa.
Saponin yang terkandung dalam biji duku memiliki aktivitas
anti makan (antifeedant) dan menghambat pertumbuhan serta akan berinteraksi
dengan membran kutikula larva yang kemudian akan merusak membran tersebut
sehingga dapat menyebabkan kematian.
Jenis pestisida nabati
berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis
pestisida nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida,
fungisida (Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002),
moluskisida (Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena
Rodriguez 2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)
sedang mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak
mengganggu tanaman budi daya.
Pestisida nabati memiliki
spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah
resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap
mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Insektisida nabati kembali
mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik karena relatif aman,
murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak mencemari
lingkungan, residunya relatif pendek (Oka, 1994), aman terhadap hewan bukan
sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping
(Kardinan 2002).
Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus disesuaikan
dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan pestisida
haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan
mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta
cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang
digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis
OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan
dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta
mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya
dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat
tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga
hama masih enggan bergerak.
Kelebihan maupun keunggulan pestisida
nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap
pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar.
Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga
telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin
canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya
sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih
maju.
Kelebihan pestisida alami :
-Murah dan mudah dibuat sendiri
oleh petani.
-Relatif aman terhadap
lingkungan.
-Tidak menyebabkan keracunan
pada tanaman.
-Sulit menimbulkan kekebalan
terhadap hama.
-Kompatibel digabung dengan
cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian
yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
Pestisida nabati juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah
terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka
waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga
aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan
hama sasaran.
Pemanfaatan pestisida nabati di
Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya
melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup
dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya
berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga
relatif aman bagi kehidupan.
Cara pengendalian OPT yang
ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan
pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu
mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Upaya jangka pendek dilakukan
dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan
pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan
pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara
perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar
kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah
bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida
nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida
nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat
keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.
Upaya jangka panjang memerlukan
dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis
yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru
perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang
terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang
menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan kembali
untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari penggunaan
pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Upaya yang tidak kalah penting
adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan
memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan
menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat
penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh
petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian
ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.
Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan pengendalian hama
dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan evaluasi fisik.
Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian pestisida populasi OPT
menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau tanaman tidak lagi diserang
OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang tidak diaplikasi, sedangkan
evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat keberhasilan penyemprotan yang telah
dilakukan misalnya evaluasi parameter penyemprotan seperti penutupan
(coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.
Pestisida memang bukan pilihan
utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, jika
pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara legal, benar,
dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan menjadi pedang
bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa membahayakan
pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas staf
argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat
informasi yang jujur dan seimbang.
Saat ini teknik atau cara
pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati
dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan
terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT
sasaran. Toksisitas menurut Durham (1975) dalam Tandjung (1995) adalah
kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia menimbulkan perusakan pada bagian
yang peka didalam maupun diluar mahluk hidup. Organisme tersebut dapat
mengalami berbagai tingkat kerusakan alat dan sistem organ. Tingkat racun
(toksin) suatu bahan kimia diukur dengan besarnya kadar atau konsentrasi bahan
yang dapat menimbulkan efek pada organisme. Uji toksisitas dipakai untuk
menentukan tingkat racun tersebut. Setiap toksikan dalam tubuh dapat
menimbulkan suatu efek toksik. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ
sasaran maupun mekanisme kerjanya. Tidak terjadinya respon toksik tergantung
pada sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut, situasi pemaparan dan
kerentanan sistem biologis dari subyek. Faktor utama yang mempengaruhi
toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan tehadap bahan kimia
tertentu adalah jalur masuk kedalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan
(Ahmad 2004).
Efek toksik sangat bervariasi
dalam sifat, organ sasaran dan mekanisme kerjanya karena adanya beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Antara lain yaitu:
Fisiologis dari organismenya
Proses fisiologis yag terjadi
pada setiap organisme turut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida dalam
tubuh organisme. Ada organisme yang mempunyai kemampuan menetralisir pestisida
sampai pada konsentrasi tertentu. Sementara itu, ada pula organisme lain yang
tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir daya racun dari pestisida yang
masuk kedalam tubuhnya. Adanya perbedaan kemampuan dalam menetralisir daya
toksik tersebut, disebabkan masing- masing spesies memiliki batas kisaran
toleransi yang berbeda-beda antara satu spesies dengan lainnya.
Kondisi organismenya
Masing-masing individu memiliki
daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin,
status nutrient dan ada tidaknya stress. Faktor-faktor tersebut berpengaruh
terhadap daya toksik pestisida tergantung dari kondisi organisme yang
bersangkutan.
Kemampuan beraklimasi terhadap bahan
Kemampuan setiap organisme
dalam beraklimasi terhadap adanya perubahan lingkungan berbeda satu dengan
lainya. Ada organisme yang mampu menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan
sehingga mampu bertahan hidup. Dan, organisme yang tidak mampu beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan akan mengalami kematian.
Uji persintensi formula aktif
pestisida nabati juga perlu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan
keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan
ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan
beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan
memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati
sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal
maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya
serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.
Penggunaan pestisida nabati harus
merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti
musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Penggunaan pestisida nabati harus
merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti
musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Potensi pestisida nabati
apabila dikembangkan akan memperoleh hasil pengendalian OPT yang murah dan
tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan baik bagi pekerja,
hewan, maupun lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan potensi pestisida
nabati tersebut diperlukan usaha keras dari semua pihak antara lain lembaga
penelitian dan perguruan tinggi yang berkewajiban untuk melakukan penelitian
dasar mulai aspek kimia sampai formulasinya dan komitmen dari industri bahan
perlindungan tanaman dalam membantu mengembangkan pestisida nabati.
Ketergantungan kita terhadap
bahan-bahan kimia (pupuk kimia) apalagi bahan yang bersifat sebagai racun
(insektisida, fungisida dan bakterisida) harus segera kita tinggalkan. Kita
harus menggali bahan-bahan disekitar kita yang bisa kita manfaatkan untuk
mengganti bahan-bahan kimia tersebut. Sudah saatnya kita kembali ke alam.
Banyak mikro-organisme yang dapat kita manfaatkan untuk proses kelestarian
lingkungan kita.
Indonesia merupakan negara yang
memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil
(Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di
dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi
menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia.
Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat
menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran
serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...