Tuesday, 5 March 2019

Kreasi Usaha: Manfaat Tanaman Gamal (Gliricidia sepium) sebagai Pestisida Nabati


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...

Manfaat Tanaman Gamal (Gliricidia sepium) sebagai Pestisida Nabati

Indonesia merupakan negara yang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan fauna dapat ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis yang sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia juga memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.

Indonesia sebagai negara yang kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara makmur. Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber Daya Alam yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya belum layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia yang tidak memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang penyakit. Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk Indonesia belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan sekitarnya.

Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810 nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).


Masalah pangan yang mencukupi dan bebas dari penyakit sudah menjadi pemikiran manusia sejak dahulu. Sebab, peningkatan derajat kesehatan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi bahan pangan yang berkualitas, bernilai gizi tinggi dan aman, yakni tidak terdapatnya benda asing yang dapat merusak kesehatan. Semakin meningkatnya kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan mendorong konsumen untuk selektif memilih bahan pangan (Naria, 1994).

Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan dampak negatif.

Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah keberadaan hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau merusak hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya dibedakan menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan penyakit tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman budidaya sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika tanaman tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua herbivora memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga yang pada kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada tanaman budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.

Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan kerusakan adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat beragam tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak dan tidak mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara permanen/keseluruhan pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen, misalnya kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak produktif lagi. Sedangkan kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan yang terjadi pada sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang, dan batang.


Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur, bakteri atau virus.

Pengendalian hama secara kimia sintetis memang sering dilakukan oleh petani, karena dianggap memberikan hasil yang cepat terlihat. Namun, tanpa disadari penggunaannya mengakibatkan efek samping yang sangat membahyakan dalam jangka waktu yang lama.

Intensifikasi penggunaan pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).

Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan konsentrasi tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat menimbulkan efek residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana antara lain adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama sasaran dan residu pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan merusak lingkungan atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada sayuran menjadi sangat tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.

Penggunaan insektisida sintetis yang tidak sesuai dengan fungsi dan ukurannya menimbulkan masalah berupa kandungan residu insektisida pada komoditi bahan pangan, yang pada akhir dapat membahayakan kesehatan masyarakat (Naria, 1994). Residu insektisida yang terdapat dalam rantai makanan dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia yakni menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pestisida dapat memberikan efek jangka panjang yakni menyebabkan kanker, gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, kelainan syaraf, merusak sistem kekebalan tubuh, dan Parkinson (Emmy L.S, 1995).


Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit maupun predator, dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.

Awalnya, manusia menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya dikloro difenil trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang cepat dan efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap pestisida sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan efek negatif terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat mengakibatkan akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya akan berdampak pada organisme non target.

Penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan insektisida di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus keracunan, 3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.

Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17 nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris eliptica (Ware,1983).

Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller. Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas. Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun 1950 dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo, 1987).

Petani selama ini tergantung pada pengendalian secara kimiawi untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Untung (1996) mengemukakan bahwa aplikasi insektisida kimia sintetik yang kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi hama, resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran, adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan, dan bahaya pada pemakai (Gapoktan, 2009).


Pestisida nabati merupakan pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Bahan aktif pestisida nabati berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak yang merupakan hasil pengambilan cairan dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida. Karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah hilang, maka relatif aman bagi manusia (Samsudin, 2008). Pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
Repelant, yaitu menolak kehadiran serangga, misalnya dengan bau yang menyengat.
Antifidant, mencegah serangga makan tanaman yang disemprot, merusak perkembangan telur, larva, pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan sistem syaraf di dalam tubuh serangga.
Atraktan, yaitu pemikat serangga, yang dapat dipakai sebagai perangkap serangga, mengendalian jamur atau bakteri (Gapoktan, 2009).

Pestisida nabati juga memiliki berbagai macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti insektisisda, bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida nabati dilakukan sebagai alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia (Tohir, 2010).

Penggunaan rodentisida, moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati (Regnault-Roger 2005).

Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan pestisida sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan seminimal mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal tersebut telah dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan salah satu komponen adalah pengendalian hayati. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah penggunaan pestisida nabati. Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya lebih murah dibandingkan penggunaan pestisida sintetis atau kimia (Murtidjo, 2003).

Menurut Kardinan (2002), pada pertanian organik saat ini mulai banyak dikembangkan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan pestisida nabati yang berasal dari tumbuhan yang banyak terdapat di alam. Teknik pengendalian ini merupakan alternatif  pemecahan terhadap permasalahan pestisida sintetis yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem lingkungan. Selain relatif mudah dibuat dan tidak mahal, pestisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan karena selain bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, pestisida nabati juga memiliki sifat mudah terurai di alam.

Pemanfaatan pestisida nabati diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.


Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah daun gamal (Gliricidia sepium), karena daun dan kulit batang gamal sejak lama sudah dikenal rodentisida di Central Amerika dan ekstrak gamal bersifat anti jamur (Elevitch and Francis, 2006).

Tanaman gamal merupakan tanaman dari genus Gliricidia dan sudah banyak manfaat dari tumbuhan ini yang diketahui oleh masyarakat, beberapa laporan menyebukan bahwa ekstrak tanaman gamal memiliki aktivitas biologi antara lain sebagai anti jamur, redontisida dan insektisida nabati. Hal ini membuka peluang untuk ditemukannya senyawa kimia bahan alam yang baru dari tanaman gamal (Siregar 2010). Gamal (Gliricidia sepium) merupakan salah satu tanaman yang mengandung senyawa flavonoid yang berpotensi sebagai insektisida nabati. Menurut Elevitch and Francis (2006), gamal sudah lama digunakan sebagai insektisida. Hasil penelitian terakhir diketahui daun gamal mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid.

Gamal (Gliricidia sepium) ada juga yang menyebutnya sebagai lirisida, kelor laut atau cebreng. Nama Gamal sendiri adalah akronim dari “Ganyang Mati Alang-alang”. Diberi julukan demikian karena tanaman yang awalnya dijadikan pelindung tanaman teh ini mampu mematikan alang-alang.  Tanaman Gamal akan mengeluarkan zat yang menyerang sistem akar alang-alang dan menghambat pertumbuhan alang-alang. Hal tersebut pula yang menjadikan tanaman Gamal mulai dikenal sebagai herbisida alami pembasmi alang-alang.

Tanaman gamal disebut juga Gliricidia maculata merupakan tumbuhan asli daerah tropis Pantai Pasifik di Amerika Tengah. Pada tahun 1600-an penyebaran tanaman ini terbatas pada hutan musim kering gugur daun, tetapi banyak tumbuh di dataran rendah yang tersebar di Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan bagian utara, Asia dan diperkirakan masuk ke Indonesia pertama kali sekitar tahun 1900 (Elevitch and John, 2006).


Tanaman gamal merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat. Tanaman ini sering digunakan sebagai tajar hidup dalam penanaman lada, vanili, dan ubi jalar. Daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan, rodentisida, pestisida, dan pakan ternak, sedangkan kayu tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai alat pertanian dan kayu bakar (Elevitch and John, 2006).

Rebusan daun dan akar Gamal juga bisa dipakai sebagai obat penyakit reumatik, epilepsi, diuretikum, dan gonorrhoea. Epilepsi penyakit yang terkait dengan syaraf, diuretikum adalah kesulitan kencing sehingga ramuan rebusan daun Gamal bermanfaat sebagai peluruh air seni, sedangkan gonorrhoea adalah penyakit kelamin. Air rebusan ini juga bisa sebagai peluruh dahak atau riak, penyakit batuk, peluru haid, pelancar ASI, pereda kejang.

Daun gamal juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia sebagai makanan tunggal atau campuran dengan rumput. Gamal merupakan tanaman sejenis perdu dari kerabat polong-polongan (suku Fabaceae alias Leguminosae). Selama ini ia dikenal sebagai tanaman yang baik untuk diberikan kepada ternak kambing karena mempunyai kandungan protein yang tinggi 23,5%. Tanaman ini tumbuh subur sepanjang tahun dan produksinya cukup tinggi. Pemberian daun gamal segar biasanya kurang disukai ternak (Daniel, dkk 1998).

Daun gamal pun bermanfaat dalam dunia kesehatan, contohnya ekstrak daun gamal mampu mengobati scabies pada kambing, pemberian ekstrak dilakukan dengan cara mengoleskan ekstrak dengan menggunakan kuas atau sabut kelapa pada seluruh permukaan kulit kambing yang mengidap scabies (Litbang, 2011).

Sebagai jenis leguminoceae, gamal mempunyai kandungan nitrogen yang cukup tinggi, menyebabkan biomasa tanaman ini mudah mengalami dekomposisi, oleh karena itu baik digunakan sebagai pupuk organik. Tanaman ini lebih mudah diperoleh dan berpeluang untuk tersedia lebih banyak dalam lingkungan maupun lahan usaha tani umumnya, khususnya tanaman semusim dengan penataan lahan yang lebih baik dan teratur.

Mol (Mikroorganisme lokal) daun gamal juga digunakan sebagai penyubur tanaman karena dalam mol daun gamal ternyata juga mengandung unsur N. Mol daun gamal umumnya digunakan sebagai langkah awal pencegahan dan pengendalian hama serta penyakit pada tanaman, akan tetapi jika masih terjadi serangan hama maupun penyakit sebaiknya segera dilakukan pengendalian yang lain. Mol daun gamal bisa juga dikombinasikan dengan pestisida nabati yang lain.

Jika Anda tertarik membuat mol dari daun gamal, berikut ini adalah langkah pembuatannya :

Bahan :
2 kg daun gamal
400 gr gula merah
4 liter air beras

Cara membuat :
Daun gamal dipotong-potong lalu ditumbuk sampai hancur.
Masukkan dalam jerigen.
Masukkan gula merah yang sebelumnya diiris-iris halus.
Masukkan air beras dalam jerigen.
Kocok-kocok supaya tercampur merata.
Fermentasikan selama minimal 21 hari.

Cara aplikasi:
Sebagai pupuk daun dan pestisida nabati, campurkan 1-4 liter mol daun gamal dalam tangki semprot 14-17 liter air.
Semprotkan secara merata ke tanaman saat pagi atau sore hari.

Tanaman gamal merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati. Daun gamal banyak mengandung senyawa yang bersifat toksik seperti dikumarol, asam sianida (HCN), tanin, dan nitrat (NO3). Dikumarol merupakan hasil konversi dari kumarin yang disebabkan oleh bakteri ketika fermentasi. Kumarin merupakan senyawa golongan flavonoid yang diduga dapat mengiritasi kulit dan menghambat transportasi asam amino leusin (Robinson, 1995).

Sebagai pestisida nabati, gamal diyakini ampuh mengendalikan hama ulat dan hama penghisap (kutu), sebagai akarisida (pengendali tungau), juga sebagai fungisida dan insektisida karena ia mengandung tanin yang bisa digunakan sebagai racun berbagai serangga.

Cara Membuat Pestisida dari Daun Gamal
-Pembuatan serbuk daun gamal
Daun gamal dipetik dan diseleksi yang masih segar, selanjutnya dikering anginkan selama 7-10 hari sampai benar-benar kering kemudian digiling sampai menjadi serbuk dan dibungkus plastik dalam keadaan vacum lalu disimpan sampai saat digunakan.

-Isolasi dan pemurnian senyawa golongan flavonoid
a. Ekstrak metanol
Sebanyak 500 gram serbuk daun gamal diekstraksi menggunakan metoda maserasi bertingkat, diawali dari pelarut non polar Hexana, DCM, pelarut semi polar metanol dan diakhiri dengan pelarut polar air (aquades). Filtrat metanol hasil ekstrasi dievaporasi sampai kandungan metanolnya habis.

Sebanyak 500 ml hasil evaporasi filtrat metanol dipekatkan menggunakan metode rekristalisasi dengan freezedryer selama 72 jam hingga membentuk ekstrak kasar dalam bentuk pasta.

Ekstrak kasar metanol di analisis KLT menggunakan plat KLT selulose (5x2 cm), dengan larutan identifikasi CeSO4 10% dan H2SO4 15% dengan perbandingan 1 : 1. Eluen yang digunakan yaitu DCM dan metanol dengan perbandingan 4 : 1, dengan metoda landaian.

Pemurnian ekstrak metanol dilakukan dengan cara fraksinasi menggunakan kromatografi kolom (KK) Amberlite XAD-4. Fraksi- fraksi yang didapat dianalisis KLT dan dikelompokkan berdasarkan warna, dan hasil KLT yang didapat lalu dievaporasi. Hasil evaporasi dianalisis KLT kembali hingga didapatkan fraksi aktif kaya flavonoid yang dapat digunakan untuk Bioassay.

Kandungan senyawa flavonoid pada ekstrak daun gamal dapat dilihat dari analisis KLT dengan pelarut visualisasi yaitu SeSO4 10 % dalam aquades, AlCl3 5 % dalam metanol 95 %, 1 % NaOH 2M dalam metanol dan H3BO3 jenuh dalam metanol dan untuk menentukan struktur digunakan analisis spektroskopis.

b. Ekstrak Air
Maserasi terakhir mengunakan pelarut polar air (aquades). Endapan sisa penyaringan ekstrak metanol direndam menggunakan aquades sebanyak 1,200 ml selama 1x24 jam dengan 6 kali pengulangan hingga didapatkan filtrat air  yang mengandung senyawa-senyawa polar. Sebanyak 500 ml filtrat air serbuk daun gamal dipekatkan dengan metode rekristalisasi menggunakan freezedryer selama 72 jam hingga didapat ekstrak kasar air dalam bentuk pasta. Ekstrak kasar air di analisis KLT menggunakan plat KLT selulose (5 x 2 cm) dengan larutan identifikasi CeSO4 10% dan H2SO4 15% dengan perbandingan 1 : 1. Eluen yang digunakan yaitu DCM dan metanol dengan perbandingan 4 : 1. Ekstrak kasar air selanjutnya dihidrolisis. Hasil hidrolisis dipantau dengan KLT. Kandungan senyawa flavonoid pada ekstrak daun gamal dapat dilihat dari analisis KLT dengan pelarut visualisasi yaitu SeSO4 10% dalam aquades, AlCl3 5% dalam metanol 95%, 1% NaOH 2M dalam metanol dan H3BO3 jenuh dalam metanol.

-Membuat pestisida daun gamal dengan tambahan EM4:
Bahan:
-Siapkan daun leguminosa (daun gamal), terutama yang masih muda.
-EM4 sebanyak 20 ml/l air
Cara pembuatan:
Daun gamal dicincang halus kemudian ditambahkan larutan EM4. Tempatkan formulasi bahan tersebut dalam wadah yang tidak bocor, lalu ditutup dengan plastik hitam. Selanjutnya diamkan formula selama 3-5 hari. Setelah lima hari larutan dapat digunakan sebagai pestisida.
Dosis:
Dosis pemakaian adalah 5 ml/l air.

-Anda juga dapat membuat pestisida dari daun gamal dengan cara yang paling sederhana yaitu:
Siapkan 100 – 200 gr daun gamal kemudian ditumbuk halus, masukan ke dalam kantong plastik lalu diperas. Tambahkan 10 liter air, 250 ml minyak tanah dan 50 gr detergen kemudian aduk rata. Aplikasikan dengan menyemprotkan larutan yang telah dibuat pada tanaman dan hama sasaran.

Komposisi tersebut dapat disesuaikan dengan OPT sasaran dan berdasarkan pengalaman petani di lapangan. Makin kecil OPT sasaran, porsi bahan aktif nabati dapat dikurangi. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan efektivitas formula dalam mengendalikan OPT adalah komposisi detergen di dalam formula harus sedemikian rupa, sehingga formula dapat teremulsi sempurna di dalam air.

Peran penting minyak tanah dalam formulasi pestisida nabati adalah untuk meningkatkan daya racun pestisida karena minyak bumi juga bersifat insektisidal. Pada konsentrasi yang tepat, minyak tanah dapat meningkatkan efektivitas formula pestisida nabati, namun apabila digunakan terlalu banyak dapat mengakibatkan fitotoksisitas. Dengan demikian, pemakaian minyak tanah di dalam formulasi pestisida nabati sebaiknya dibatasi secukupnya.

Detergen bermanfaat mengemulsikan komponen minyak dalam formula sehingga saat pestisida dicampur dengan air, seluruh bahan yang terkandung dalam formula dapat teremulsi dengan sempurna dan saat diaplikasikan dapat menyebar merata ke seluruh permukaan tanaman. Detergen juga dapat mencuci lapisan lilin yang menyelimuti kulit serangga, sehingga meningkatkan efektivitas formula karena bahan aktif pestisida nabati lebih mudah menembus tubuh OPT sasaran.


Kemampuan daya bunuh ekstrak metanol dan ekstrak air daun gamal disebabkan kareda adanya kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik. Salah satunya adalah senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid. Dosis yang rendah akan memberikan efek toksisitas yang rendah. Sedangkan dosis yang tinggi pada saat pemaparan awal akan memaksa tubuh untuk terus mempertahankan diri dari zat yang bersifat toksik, akan tetapi dengan lamanya waktu pemaparan akan membuat zat toksik tersebut terakumulasi dalam tubuh sehingga berakibat keracunan kronik dan kematian (Raini, 2007).

Afryorawan (2013) telah membuktikan bahwa ekstrak metanol daun gamal mengandung senyawa flavonoid yang mampu mematikan hama kutu putih pada tanaman pepaya. Hasil penelitian Nukmal dkk., (2009) juga membuktikan bahwa ekstrak polar (air dan etanol) daun gamal dapat menyebabkan kematian 100% pada imago hama bisul dadap (Quadrastichus erythrinae) setelah 72 jam perlakuan pada skala laboratorium. Ekstrak air daun gamal hasil maserasi bertingkat dengan konsentrasi terendah 2,19% dapat mematikan 50% hama penghisap buah lada (Dasynus Piperis) setelah perlakuan uji bioassay pada skala laboratorium (Nukmal dkk., 2010). Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam daun gamal memang berpotensi sebagai zat racun bagi serangga hama sehingga layak untuk dijadikan sebagai pestisida nabati.

Menurut Neldawati dkk, (2013) ekstrak polar (metanol dan air) dari serbuk daun gamal mengandung senyawa flavonoid jenis flavon. Tapas dkk, (2008) menjelaskan bahwa karakteristik senyawa flavon memiliki kerangka struktural dasar hampir sama seperti senyawa flavonoid. Diduga senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun gamal kering memberikan sifat insektisida nabati dari ekstrak tersebut. Isolasi senyawa flavonoid dari ekstrak metanol daun gamal pun pernah dilakukan Utami dan Nismah, (2011) serta uji insektisida nabati terhadap hama kutu putih tanaman pepaya.

Sebuah penelitian juga menghasilkan kesimpulan bahwa pemberian ekstrak daun gamal (Gliricidia sepium) pada tanaman kubis putih dapat mengurangi intensitas serangan serangga hama pada tanaman tersebut dan semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun gamal yang diberikan pada tanaman kubis putih maka semakin rendah pula serangan hama pada tanaman kubis putih.

Daun Gamal selain dimanfaatkan sebagai pestisida juga telah banyak difungsikan untuk rodentisida alami sebagai racun tikus. Daun (bersama akar) ditumbuk dengan lumpang, haluskan kemudian dicampurkan dengan air. Air bisa disiramkan ke tanah di setiap sudut tertentu. Ekstrak (daun, kulit batang, serta biji) Gamal bila dicampur dengan umpan akan mampu membunuh tikus.


Jenis pestisida nabati berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis pestisida nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida, fungisida (Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002), moluskisida (Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena Rodriguez 2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) sedang mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak mengganggu tanaman budi daya.

Pestisida nabati memiliki spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.

Insektisida nabati kembali mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik karena relatif aman, murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak mencemari lingkungan, residunya relatif pendek (Oka, 1994), aman terhadap hewan bukan sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping (Kardinan 2002).

Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus disesuaikan dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan pestisida haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga hama masih enggan bergerak.


Kelebihan maupun keunggulan pestisida nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar. Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih maju.

Kelebihan pestisida alami :
-Murah dan mudah dibuat sendiri oleh petani.
-Relatif aman terhadap lingkungan.
-Tidak menyebabkan keracunan pada tanaman.
-Sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama.
-Kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.

Pestisida nabati juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan hama sasaran.


Pemanfaatan pestisida nabati di Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga relatif aman bagi kehidupan.

Cara pengendalian OPT yang ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Upaya jangka pendek dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.

Upaya jangka panjang memerlukan dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih tinggi.

Upaya yang tidak kalah penting adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.


Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan pengendalian hama dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan evaluasi fisik. Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian pestisida populasi OPT menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau tanaman tidak lagi diserang OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang tidak diaplikasi, sedangkan evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat keberhasilan penyemprotan yang telah dilakukan misalnya evaluasi parameter penyemprotan seperti penutupan (coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.

Pestisida memang bukan pilihan utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, jika pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara legal, benar, dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan menjadi pedang bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa membahayakan pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas staf argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat informasi yang jujur dan seimbang.


Saat ini teknik atau cara pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT sasaran. Toksisitas menurut Durham (1975) dalam Tandjung (1995) adalah kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia menimbulkan perusakan pada bagian yang peka didalam maupun diluar mahluk hidup. Organisme tersebut dapat mengalami berbagai tingkat kerusakan alat dan sistem organ. Tingkat racun (toksin) suatu bahan kimia diukur dengan besarnya kadar atau konsentrasi bahan yang dapat menimbulkan efek pada organisme. Uji toksisitas dipakai untuk menentukan tingkat racun tersebut. Setiap toksikan dalam tubuh dapat menimbulkan suatu efek toksik. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran maupun mekanisme kerjanya. Tidak terjadinya respon toksik tergantung pada sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut, situasi pemaparan dan kerentanan sistem biologis dari subyek. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan tehadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk kedalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan (Ahmad 2004).

Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran dan mekanisme kerjanya karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya. Antara lain yaitu:
Fisiologis dari organismenya
Proses fisiologis yag terjadi pada setiap organisme turut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida dalam tubuh organisme. Ada organisme yang mempunyai kemampuan menetralisir pestisida sampai pada konsentrasi tertentu. Sementara itu, ada pula organisme lain yang tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir daya racun dari pestisida yang masuk kedalam tubuhnya. Adanya perbedaan kemampuan dalam menetralisir daya toksik tersebut, disebabkan masing- masing spesies memiliki batas kisaran toleransi yang berbeda-beda antara satu spesies dengan lainnya.

Kondisi organismenya
Masing-masing individu memiliki daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin, status nutrient dan ada tidaknya stress. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida tergantung dari kondisi organisme yang bersangkutan.

Kemampuan beraklimasi terhadap bahan
Kemampuan setiap organisme dalam beraklimasi terhadap adanya perubahan lingkungan berbeda satu dengan lainya. Ada organisme yang mampu menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan sehingga mampu bertahan hidup. Dan, organisme yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan akan mengalami kematian.

Uji persintensi formula aktif pestisida nabati juga perlu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.

Penggunaan pestisida nabati harus merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.

Penggunaan pestisida nabati harus merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.


Potensi pestisida nabati apabila dikembangkan akan memperoleh hasil pengendalian OPT yang murah dan tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan baik bagi pekerja, hewan, maupun lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan potensi pestisida nabati tersebut diperlukan usaha keras dari semua pihak antara lain lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang berkewajiban untuk melakukan penelitian dasar mulai aspek kimia sampai formulasinya dan komitmen dari industri bahan perlindungan tanaman dalam membantu mengembangkan pestisida nabati.

Ketergantungan kita terhadap bahan-bahan kimia (pupuk kimia) apalagi bahan yang bersifat sebagai racun (insektisida, fungisida dan bakterisida) harus segera kita tinggalkan. Kita harus menggali bahan-bahan disekitar kita yang bisa kita manfaatkan untuk mengganti bahan-bahan kimia tersebut. Sudah saatnya kita kembali ke alam. Banyak mikro-organisme yang dapat kita manfaatkan untuk proses kelestarian lingkungan kita.

Indonesia merupakan negara yang memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil (Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia. Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.



*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.

pasang iklan disini




loading...