Loading...
Indonesia merupakan negara yang
memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan fauna dapat
ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis yang
sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara
paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia juga
memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.
Indonesia sebagai negara yang
kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara makmur.
Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber Daya Alam
yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya belum
layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia yang tidak
memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang penyakit.
Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk Indonesia
belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan sekitarnya.
Sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan
potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu
input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang
sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang
terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810
nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Masalah pangan yang mencukupi
dan bebas dari penyakit sudah menjadi pemikiran manusia sejak dahulu. Sebab,
peningkatan derajat kesehatan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi bahan
pangan yang berkualitas, bernilai gizi tinggi dan aman, yakni tidak terdapatnya
benda asing yang dapat merusak kesehatan. Semakin meningkatnya kesadaran
konsumen terhadap keamanan pangan mendorong konsumen untuk selektif memilih
bahan pangan (Naria, 1994).
Pestisida merupakan bahan
kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada
dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun
itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena
itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan
dampak negatif.
Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah keberadaan
hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman
holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau merusak
hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya dibedakan
menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan penyakit
tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman budidaya
sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika tanaman
tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua herbivora
memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga yang pada
kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada tanaman
budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan
penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan
iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.
Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan kerusakan
adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi
fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat beragam
tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak dan tidak
mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara
permanen/keseluruhan pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen,
misalnya kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya
sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak
produktif lagi. Sedangkan kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan
yang terjadi pada sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang,
dan batang.
Pestisida berasal dari kata
pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh.
Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut
peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia
yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan
mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk
serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan
kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat
pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik,
yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati,
yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi,
yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur,
bakteri atau virus.
Pengendalian hama secara kimia
sintetis memang sering dilakukan oleh petani, karena dianggap memberikan hasil
yang cepat terlihat. Namun, tanpa disadari penggunaannya mengakibatkan efek
samping yang sangat membahyakan dalam jangka waktu yang lama.
Intensifikasi penggunaan
pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang
tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian
akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).
Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan konsentrasi
tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat menimbulkan efek
residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor. Dampak negatif
yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana antara lain
adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama sasaran dan residu
pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan merusak lingkungan
atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada sayuran menjadi sangat
tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.
Penggunaan insektisida sintetis
yang tidak sesuai dengan fungsi dan ukurannya menimbulkan masalah berupa
kandungan residu insektisida pada komoditi bahan pangan, yang pada akhir dapat
membahayakan kesehatan masyarakat (Naria, 1994). Residu insektisida yang
terdapat dalam rantai makanan dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia
yakni menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan
bahwa pestisida dapat memberikan efek jangka panjang yakni menyebabkan kanker,
gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, kelainan syaraf, merusak sistem
kekebalan tubuh, dan Parkinson (Emmy L.S, 1995).
Meningkatnya kesadaran
masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong
para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis
dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan
residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan
resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit
maupun predator, dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada
akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Awalnya, manusia menggunakan
pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya dikloro difenil
trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang cepat dan
efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap pestisida
sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan efek negatif
terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat mengakibatkan
akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya akan berdampak
pada organisme non target.
Penggunaan pestisida sintetis
dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah
pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi
mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini diperparah
dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan insektisida yang
berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah dosis insektisida
yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan residu insektisida pada
tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan insektisida di Indonesia pada
tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus keracunan, 3.789 orang
dilaporkan meninggal dunia.
Penggunaan pestisida kimia
pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu
pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan
kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai
digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17
nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai
insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu,
pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar
tuba Derris eliptica (Ware,1983).
Pada tahun 1874 Othmar Zeidler
adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl
Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli
kimia Swiss, Paul Hermann Muller. Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan
produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas.
Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun
1950 dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo,
1987).
Petani selama ini tergantung
pada pengendalian secara kimiawi untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Untung (1996) mengemukakan bahwa aplikasi insektisida kimia sintetik yang
kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat
memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi hama,
resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran,
adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan, dan bahaya
pada pemakai (Gapoktan, 2009).
Pestisida nabati merupakan
pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki
fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Bahan aktif
pestisida nabati berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun,
batang atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk, antara
lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak yang merupakan hasil pengambilan
cairan dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya
dan digunakan sebagai pestisida. Karena terbuat dari bahan-bahan alami maka
jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah hilang, maka
relatif aman bagi manusia (Samsudin, 2008). Pestisida nabati memiliki beberapa
fungsi, antara lain:
Repelant,
yaitu menolak kehadiran serangga, misalnya dengan bau yang menyengat.
Antifidant,
mencegah serangga makan tanaman yang disemprot, merusak perkembangan telur,
larva, pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan
sistem syaraf di dalam tubuh serangga.
Atraktan,
yaitu pemikat serangga, yang dapat dipakai sebagai perangkap serangga,
mengendalian jamur atau bakteri (Gapoktan, 2009).
Pestisida nabati juga memiliki berbagai
macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti insektisisda,
bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida nabati dilakukan
sebagai alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia (Tohir, 2010).
Penggunaan rodentisida,
moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana
disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh
karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya
setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun
lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi
yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu
mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan
aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati
(Regnault-Roger 2005).
Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan pestisida
sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan
alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan seminimal
mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal tersebut telah
dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan
salah satu komponen adalah pengendalian hayati.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
adalah penggunaan pestisida nabati. Penggunaan pestisida nabati selain dapat
mengurangi pencemaran lingkungan, harganya lebih murah dibandingkan penggunaan
pestisida sintetis atau kimia (Murtidjo, 2003).
Menurut Kardinan (2002), pada
pertanian organik saat ini mulai banyak dikembangkan pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan pestisida nabati yang berasal dari
tumbuhan yang banyak terdapat di alam. Teknik pengendalian ini merupakan
alternatif pemecahan terhadap
permasalahan pestisida sintetis yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem
lingkungan. Selain relatif mudah dibuat dan tidak mahal, pestisida nabati
merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan karena
selain bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, pestisida nabati juga
memiliki sifat mudah terurai di alam.
Pemanfaatan pestisida nabati
diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa
tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies
tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama
dan penyakit tanaman.
Salah satu tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai pestisida nabati adalah daun gamal (Gliricidia sepium),
karena daun dan kulit batang gamal sejak lama sudah dikenal rodentisida di
Central Amerika dan ekstrak gamal bersifat anti jamur (Elevitch and Francis,
2006).
Tanaman gamal merupakan tanaman
dari genus Gliricidia dan sudah banyak manfaat dari tumbuhan ini yang diketahui
oleh masyarakat, beberapa laporan menyebukan bahwa ekstrak tanaman gamal
memiliki aktivitas biologi antara lain sebagai anti jamur, redontisida dan
insektisida nabati. Hal ini membuka peluang untuk ditemukannya senyawa kimia
bahan alam yang baru dari tanaman gamal (Siregar 2010). Gamal (Gliricidia
sepium) merupakan salah satu tanaman yang mengandung senyawa flavonoid yang
berpotensi sebagai insektisida nabati. Menurut Elevitch and Francis (2006),
gamal sudah lama digunakan sebagai insektisida. Hasil penelitian terakhir
diketahui daun gamal mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid.
Gamal (Gliricidia sepium) ada
juga yang menyebutnya sebagai lirisida, kelor laut atau cebreng. Nama Gamal
sendiri adalah akronim dari “Ganyang Mati Alang-alang”. Diberi julukan demikian
karena tanaman yang awalnya dijadikan pelindung tanaman teh ini mampu mematikan
alang-alang. Tanaman Gamal akan
mengeluarkan zat yang menyerang sistem akar alang-alang dan menghambat
pertumbuhan alang-alang. Hal tersebut pula yang menjadikan tanaman Gamal mulai dikenal
sebagai herbisida alami pembasmi alang-alang.
Tanaman gamal disebut juga
Gliricidia maculata merupakan tumbuhan asli daerah tropis Pantai Pasifik di
Amerika Tengah. Pada tahun 1600-an penyebaran tanaman ini terbatas pada hutan
musim kering gugur daun, tetapi banyak tumbuh di dataran rendah yang tersebar
di Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan bagian utara, Asia dan diperkirakan
masuk ke Indonesia pertama kali sekitar tahun 1900 (Elevitch and John, 2006).
Tanaman gamal merupakan tanaman
yang memiliki banyak manfaat. Tanaman ini sering digunakan sebagai tajar hidup
dalam penanaman lada, vanili, dan ubi jalar. Daunnya dapat dimanfaatkan sebagai
obat-obatan, rodentisida, pestisida, dan pakan ternak, sedangkan kayu tanaman
ini dapat dimanfaatkan sebagai alat pertanian dan kayu bakar (Elevitch and
John, 2006).
Rebusan daun dan akar Gamal juga
bisa dipakai sebagai obat penyakit reumatik, epilepsi, diuretikum, dan
gonorrhoea. Epilepsi penyakit yang terkait dengan syaraf, diuretikum adalah
kesulitan kencing sehingga ramuan rebusan daun Gamal bermanfaat sebagai peluruh
air seni, sedangkan gonorrhoea adalah penyakit kelamin. Air rebusan ini juga
bisa sebagai peluruh dahak atau riak, penyakit batuk, peluru haid, pelancar
ASI, pereda kejang.
Daun gamal juga dimanfaatkan
sebagai pakan ternak ruminansia sebagai makanan tunggal atau campuran dengan
rumput. Gamal merupakan tanaman sejenis perdu dari kerabat polong-polongan
(suku Fabaceae alias Leguminosae). Selama ini ia dikenal sebagai tanaman yang
baik untuk diberikan kepada ternak kambing karena mempunyai kandungan protein
yang tinggi 23,5%. Tanaman ini tumbuh subur sepanjang tahun dan produksinya
cukup tinggi. Pemberian daun gamal segar biasanya kurang disukai ternak
(Daniel, dkk 1998).
Daun gamal pun bermanfaat dalam
dunia kesehatan, contohnya ekstrak daun gamal mampu mengobati scabies pada
kambing, pemberian ekstrak dilakukan dengan cara mengoleskan ekstrak dengan
menggunakan kuas atau sabut kelapa pada seluruh permukaan kulit kambing yang
mengidap scabies (Litbang, 2011).
Sebagai jenis leguminoceae,
gamal mempunyai kandungan nitrogen yang cukup tinggi, menyebabkan biomasa
tanaman ini mudah mengalami dekomposisi, oleh karena itu baik digunakan sebagai
pupuk organik. Tanaman ini lebih mudah diperoleh dan berpeluang untuk tersedia
lebih banyak dalam lingkungan maupun lahan usaha tani umumnya, khususnya
tanaman semusim dengan penataan lahan yang lebih baik dan teratur.
Mol (Mikroorganisme lokal) daun
gamal juga digunakan sebagai penyubur tanaman karena dalam mol daun gamal
ternyata juga mengandung unsur N. Mol daun gamal umumnya digunakan sebagai
langkah awal pencegahan dan pengendalian hama serta penyakit pada tanaman, akan
tetapi jika masih terjadi serangan hama maupun penyakit sebaiknya segera
dilakukan pengendalian yang lain. Mol daun gamal bisa juga dikombinasikan dengan
pestisida nabati yang lain.
Jika Anda tertarik membuat mol dari
daun gamal, berikut ini adalah langkah pembuatannya :
Bahan :
2 kg daun gamal
400 gr gula merah
4 liter air beras
Cara membuat :
Daun gamal dipotong-potong lalu
ditumbuk sampai hancur.
Masukkan dalam jerigen.
Masukkan gula merah yang
sebelumnya diiris-iris halus.
Masukkan air beras dalam
jerigen.
Kocok-kocok supaya tercampur
merata.
Fermentasikan selama minimal 21
hari.
Cara aplikasi:
Sebagai pupuk daun dan
pestisida nabati, campurkan 1-4 liter mol daun gamal dalam tangki semprot 14-17
liter air.
Semprotkan secara merata ke
tanaman saat pagi atau sore hari.
Tanaman gamal merupakan salah
satu jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati. Daun gamal
banyak mengandung senyawa yang bersifat toksik seperti dikumarol, asam sianida
(HCN), tanin, dan nitrat (NO3). Dikumarol merupakan hasil konversi dari kumarin
yang disebabkan oleh bakteri ketika fermentasi. Kumarin merupakan senyawa
golongan flavonoid yang diduga dapat mengiritasi kulit dan menghambat
transportasi asam amino leusin (Robinson, 1995).
Sebagai pestisida nabati, gamal
diyakini ampuh mengendalikan hama ulat dan hama penghisap (kutu), sebagai
akarisida (pengendali tungau), juga sebagai fungisida dan insektisida karena ia
mengandung tanin yang bisa digunakan sebagai racun berbagai serangga.
Cara Membuat Pestisida dari Daun Gamal
-Pembuatan serbuk daun gamal
Daun gamal dipetik dan
diseleksi yang masih segar, selanjutnya dikering anginkan selama 7-10 hari
sampai benar-benar kering kemudian digiling sampai menjadi serbuk dan dibungkus
plastik dalam keadaan vacum lalu disimpan sampai saat digunakan.
-Isolasi dan pemurnian senyawa golongan flavonoid
a. Ekstrak metanol
Sebanyak 500 gram serbuk daun
gamal diekstraksi menggunakan metoda maserasi bertingkat, diawali dari pelarut
non polar Hexana, DCM, pelarut semi polar metanol dan diakhiri dengan pelarut
polar air (aquades). Filtrat metanol hasil ekstrasi dievaporasi sampai
kandungan metanolnya habis.
Sebanyak 500 ml hasil evaporasi
filtrat metanol dipekatkan menggunakan metode rekristalisasi dengan freezedryer
selama 72 jam hingga membentuk ekstrak kasar dalam bentuk pasta.
Ekstrak kasar metanol di
analisis KLT menggunakan plat KLT selulose (5x2 cm), dengan larutan
identifikasi CeSO4 10% dan H2SO4 15% dengan perbandingan 1 : 1. Eluen yang
digunakan yaitu DCM dan metanol dengan perbandingan 4 : 1, dengan metoda
landaian.
Pemurnian ekstrak metanol
dilakukan dengan cara fraksinasi menggunakan kromatografi kolom (KK) Amberlite
XAD-4. Fraksi- fraksi yang didapat dianalisis KLT dan dikelompokkan berdasarkan
warna, dan hasil KLT yang didapat lalu dievaporasi. Hasil evaporasi dianalisis
KLT kembali hingga didapatkan fraksi aktif kaya flavonoid yang dapat digunakan
untuk Bioassay.
Kandungan senyawa flavonoid
pada ekstrak daun gamal dapat dilihat dari analisis KLT dengan pelarut
visualisasi yaitu SeSO4 10 % dalam aquades, AlCl3 5 % dalam metanol 95 %, 1 %
NaOH 2M dalam metanol dan H3BO3 jenuh dalam metanol dan untuk menentukan
struktur digunakan analisis spektroskopis.
b. Ekstrak Air
Maserasi terakhir mengunakan
pelarut polar air (aquades). Endapan sisa penyaringan ekstrak metanol direndam
menggunakan aquades sebanyak 1,200 ml selama 1x24 jam dengan 6 kali pengulangan
hingga didapatkan filtrat air yang
mengandung senyawa-senyawa polar. Sebanyak 500 ml filtrat air serbuk daun gamal
dipekatkan dengan metode rekristalisasi menggunakan freezedryer selama 72 jam
hingga didapat ekstrak kasar air dalam bentuk pasta. Ekstrak kasar air di
analisis KLT menggunakan plat KLT selulose (5 x 2 cm) dengan larutan
identifikasi CeSO4 10% dan H2SO4 15% dengan perbandingan 1 : 1. Eluen yang
digunakan yaitu DCM dan metanol dengan perbandingan 4 : 1. Ekstrak kasar air
selanjutnya dihidrolisis. Hasil hidrolisis dipantau dengan KLT. Kandungan
senyawa flavonoid pada ekstrak daun gamal dapat dilihat dari analisis KLT
dengan pelarut visualisasi yaitu SeSO4 10% dalam aquades, AlCl3 5% dalam
metanol 95%, 1% NaOH 2M dalam metanol dan H3BO3 jenuh dalam metanol.
-Membuat pestisida daun gamal dengan tambahan EM4:
Bahan:
-Siapkan daun leguminosa (daun
gamal), terutama yang masih muda.
-EM4 sebanyak 20 ml/l air
Cara pembuatan:
Daun gamal dicincang halus
kemudian ditambahkan larutan EM4. Tempatkan formulasi bahan tersebut dalam
wadah yang tidak bocor, lalu ditutup dengan plastik hitam. Selanjutnya diamkan formula
selama 3-5 hari. Setelah lima hari larutan dapat digunakan sebagai pestisida.
Dosis:
Dosis pemakaian adalah 5 ml/l
air.
-Anda juga dapat membuat pestisida dari daun gamal dengan
cara yang paling sederhana yaitu:
Siapkan 100 – 200 gr daun gamal
kemudian ditumbuk halus, masukan ke dalam kantong plastik lalu diperas.
Tambahkan 10 liter air, 250 ml minyak tanah dan 50 gr detergen kemudian aduk
rata. Aplikasikan dengan menyemprotkan larutan yang telah dibuat pada tanaman
dan hama sasaran.
Komposisi tersebut dapat
disesuaikan dengan OPT sasaran dan berdasarkan pengalaman petani di lapangan.
Makin kecil OPT sasaran, porsi bahan aktif nabati dapat dikurangi. Hal penting
lainnya yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan efektivitas formula dalam
mengendalikan OPT adalah komposisi detergen di dalam formula harus sedemikian
rupa, sehingga formula dapat teremulsi sempurna di dalam air.
Peran penting minyak tanah
dalam formulasi pestisida nabati adalah untuk meningkatkan daya racun pestisida
karena minyak bumi juga bersifat insektisidal. Pada konsentrasi yang tepat,
minyak tanah dapat meningkatkan efektivitas formula pestisida nabati, namun
apabila digunakan terlalu banyak dapat mengakibatkan fitotoksisitas. Dengan
demikian, pemakaian minyak tanah di dalam formulasi pestisida nabati sebaiknya
dibatasi secukupnya.
Detergen bermanfaat
mengemulsikan komponen minyak dalam formula sehingga saat pestisida dicampur dengan
air, seluruh bahan yang terkandung dalam formula dapat teremulsi dengan
sempurna dan saat diaplikasikan dapat menyebar merata ke seluruh permukaan
tanaman. Detergen juga dapat mencuci lapisan lilin yang menyelimuti kulit
serangga, sehingga meningkatkan efektivitas formula karena bahan aktif
pestisida nabati lebih mudah menembus tubuh OPT sasaran.
Kemampuan daya bunuh ekstrak
metanol dan ekstrak air daun gamal disebabkan kareda adanya kandungan senyawa
metabolit sekunder yang bersifat toksik. Salah satunya adalah senyawa metabolit
sekunder golongan flavonoid. Dosis yang rendah akan memberikan efek toksisitas
yang rendah. Sedangkan dosis yang tinggi pada saat pemaparan awal akan memaksa
tubuh untuk terus mempertahankan diri dari zat yang bersifat toksik, akan
tetapi dengan lamanya waktu pemaparan akan membuat zat toksik tersebut
terakumulasi dalam tubuh sehingga berakibat keracunan kronik dan kematian
(Raini, 2007).
Afryorawan (2013) telah
membuktikan bahwa ekstrak metanol daun gamal mengandung senyawa flavonoid yang
mampu mematikan hama kutu putih pada tanaman pepaya. Hasil penelitian Nukmal
dkk., (2009) juga membuktikan bahwa ekstrak polar (air dan etanol) daun gamal
dapat menyebabkan kematian 100% pada imago hama bisul dadap (Quadrastichus
erythrinae) setelah 72 jam perlakuan pada skala laboratorium. Ekstrak air daun
gamal hasil maserasi bertingkat dengan konsentrasi terendah 2,19% dapat
mematikan 50% hama penghisap buah lada (Dasynus Piperis) setelah perlakuan uji
bioassay pada skala laboratorium (Nukmal dkk., 2010). Senyawa metabolit
sekunder yang terkandung dalam daun gamal memang berpotensi sebagai zat racun
bagi serangga hama sehingga layak untuk dijadikan sebagai pestisida nabati.
Menurut Neldawati dkk, (2013)
ekstrak polar (metanol dan air) dari serbuk daun gamal mengandung senyawa
flavonoid jenis flavon. Tapas dkk, (2008) menjelaskan bahwa karakteristik
senyawa flavon memiliki kerangka struktural dasar hampir sama seperti senyawa
flavonoid. Diduga senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun gamal
kering memberikan sifat insektisida nabati dari ekstrak tersebut. Isolasi
senyawa flavonoid dari ekstrak metanol daun gamal pun pernah dilakukan Utami
dan Nismah, (2011) serta uji insektisida nabati terhadap hama kutu putih
tanaman pepaya.
Sebuah penelitian juga
menghasilkan kesimpulan bahwa pemberian ekstrak daun gamal (Gliricidia sepium)
pada tanaman kubis putih dapat mengurangi intensitas serangan serangga hama
pada tanaman tersebut dan semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun gamal yang
diberikan pada tanaman kubis putih maka semakin rendah pula serangan hama pada
tanaman kubis putih.
Daun Gamal selain dimanfaatkan
sebagai pestisida juga telah banyak difungsikan untuk rodentisida alami sebagai
racun tikus. Daun (bersama akar) ditumbuk dengan lumpang, haluskan kemudian
dicampurkan dengan air. Air bisa disiramkan ke tanah di setiap sudut tertentu.
Ekstrak (daun, kulit batang, serta biji) Gamal bila dicampur dengan umpan akan mampu
membunuh tikus.
Jenis pestisida nabati
berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis
pestisida nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida,
fungisida (Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002),
moluskisida (Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena
Rodriguez 2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro)
sedang mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak
mengganggu tanaman budi daya.
Pestisida nabati memiliki
spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah
resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap
mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Insektisida nabati kembali
mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik karena relatif aman,
murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak mencemari
lingkungan, residunya relatif pendek (Oka, 1994), aman terhadap hewan bukan
sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping
(Kardinan 2002).
Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus disesuaikan
dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan pestisida
haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan
mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta
cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang
digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis
OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan
dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta
mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya
dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat
tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga
hama masih enggan bergerak.
Kelebihan maupun keunggulan pestisida
nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap
pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar.
Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga
telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin
canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya
sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih
maju.
Kelebihan pestisida alami :
-Murah dan mudah dibuat sendiri
oleh petani.
-Relatif aman terhadap
lingkungan.
-Tidak menyebabkan keracunan
pada tanaman.
-Sulit menimbulkan kekebalan
terhadap hama.
-Kompatibel digabung dengan
cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian
yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
Pestisida nabati juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah
terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka
waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga
aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan
hama sasaran.
Pemanfaatan pestisida nabati di
Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya
melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup
dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya
berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga
relatif aman bagi kehidupan.
Cara pengendalian OPT yang
ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan
pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu
mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Upaya jangka pendek dilakukan
dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan
pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan
pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara
perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar
kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah
bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida
nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida
nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat
keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.
Upaya jangka panjang memerlukan
dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis
yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru
perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang
terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang
menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan
kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari
penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih
tinggi.
Upaya yang tidak kalah penting
adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan
memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan
menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat
penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh
petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian
ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.
Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan pengendalian hama
dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan evaluasi fisik.
Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian pestisida populasi OPT
menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau tanaman tidak lagi diserang
OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang tidak diaplikasi, sedangkan
evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat keberhasilan penyemprotan yang telah
dilakukan misalnya evaluasi parameter penyemprotan seperti penutupan
(coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.
Pestisida memang bukan pilihan
utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, jika
pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara legal, benar,
dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan menjadi pedang
bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa membahayakan
pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas staf
argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat
informasi yang jujur dan seimbang.
Saat ini teknik atau cara
pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati
dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan
terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT
sasaran. Toksisitas menurut Durham (1975) dalam Tandjung (1995) adalah
kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia menimbulkan perusakan pada bagian
yang peka didalam maupun diluar mahluk hidup. Organisme tersebut dapat
mengalami berbagai tingkat kerusakan alat dan sistem organ. Tingkat racun
(toksin) suatu bahan kimia diukur dengan besarnya kadar atau konsentrasi bahan
yang dapat menimbulkan efek pada organisme. Uji toksisitas dipakai untuk
menentukan tingkat racun tersebut. Setiap toksikan dalam tubuh dapat
menimbulkan suatu efek toksik. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ
sasaran maupun mekanisme kerjanya. Tidak terjadinya respon toksik tergantung
pada sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut, situasi pemaparan dan
kerentanan sistem biologis dari subyek. Faktor utama yang mempengaruhi
toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan tehadap bahan kimia
tertentu adalah jalur masuk kedalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan
(Ahmad 2004).
Efek toksik sangat bervariasi
dalam sifat, organ sasaran dan mekanisme kerjanya karena adanya beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Antara lain yaitu:
Fisiologis dari organismenya
Proses fisiologis yag terjadi
pada setiap organisme turut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida dalam
tubuh organisme. Ada organisme yang mempunyai kemampuan menetralisir pestisida
sampai pada konsentrasi tertentu. Sementara itu, ada pula organisme lain yang
tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir daya racun dari pestisida yang
masuk kedalam tubuhnya. Adanya perbedaan kemampuan dalam menetralisir daya
toksik tersebut, disebabkan masing- masing spesies memiliki batas kisaran
toleransi yang berbeda-beda antara satu spesies dengan lainnya.
Kondisi organismenya
Masing-masing individu memiliki
daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin,
status nutrient dan ada tidaknya stress. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap
daya toksik pestisida tergantung dari kondisi organisme yang bersangkutan.
Kemampuan beraklimasi terhadap bahan
Kemampuan setiap organisme
dalam beraklimasi terhadap adanya perubahan lingkungan berbeda satu dengan
lainya. Ada organisme yang mampu menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan
sehingga mampu bertahan hidup. Dan, organisme yang tidak mampu beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan akan mengalami kematian.
Uji persintensi formula aktif
pestisida nabati juga perlu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan
keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan
ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan
beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan
memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati
sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal
maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya
serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.
Penggunaan pestisida nabati harus
merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti
musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Penggunaan pestisida nabati harus
merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir
dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti
musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Potensi pestisida nabati
apabila dikembangkan akan memperoleh hasil pengendalian OPT yang murah dan
tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan baik bagi pekerja,
hewan, maupun lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan potensi pestisida
nabati tersebut diperlukan usaha keras dari semua pihak antara lain lembaga
penelitian dan perguruan tinggi yang berkewajiban untuk melakukan penelitian
dasar mulai aspek kimia sampai formulasinya dan komitmen dari industri bahan
perlindungan tanaman dalam membantu mengembangkan pestisida nabati.
Ketergantungan kita terhadap
bahan-bahan kimia (pupuk kimia) apalagi bahan yang bersifat sebagai racun
(insektisida, fungisida dan bakterisida) harus segera kita tinggalkan. Kita
harus menggali bahan-bahan disekitar kita yang bisa kita manfaatkan untuk
mengganti bahan-bahan kimia tersebut. Sudah saatnya kita kembali ke alam.
Banyak mikro-organisme yang dapat kita manfaatkan untuk proses kelestarian
lingkungan kita.
Indonesia merupakan negara yang
memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil
(Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di
dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi
menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia.
Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat
menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran
serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...