Loading...
Ada banyak penyakit mental,
salah satu nama penyakitnya ialah Skizofrenia. Penyakit ini merupakan gangguan
mental di mana kondisi penderitanya susah membedakan antara realita dengan apa
yang mereka imajinasikan.
Pada umumnya orang yang kerap
disebut “gila” di jalanan atau yang dirawat di rumah sakit jiwa kemungkinan
besar didiagnosis menderita skizofrenia. Dalam bahasa percakapan sehari-hari,
kata “gila” seringkali merujuk ke kondisi skizofrenia. Penjelasan awam untuk
fenomena ini seringkali berbau spiritual dan magis. Berdasarkan pengalaman saya
menemui ODS sebagai klien, mereka semua sudah pernah dibawa oleh orang tuanya
atau saudaranya untuk bertemu ke “orang pintar” yang memberikan pelayanan tanpa
bukti ilmiah.
Pengalaman para ODS juga
beragam. Ada yang menganggap skizofrenia itu disebabkan oleh roh jahat,
sehingga ada yang ditangani dengan teknik penyiraman air untuk mengusir roh
jahat. Ada juga yang mungkin sama-sama menganggap skizofrenia disebabkan oleh
mekanisme roh jahat, tapi penanganannya dengan ritual pemotongan hewan
tertentu. Tapi sains punya penjelasan yang berbeda.
Orang dengan skizofrenia (ODS)
seringkali didiagnosis skizofrenia karena menderita gejala-gejala mengganggu
seperti mendengar bisikan-bisikan atau merasa dikejar-kejar oleh agen tertentu,
misalnya Badan Intelijen Negara (BIN). Diagnosis skizofrenia dapat diberikan
oleh dokter dengan spesialis kesehatan jiwa (psikiater) atau psikolog klinis
dewasa.
Penderita sering hidup dengan
penuh imajinasi di kepalanya. Hal tersebut membuat penderitanya kadang
tersenyum sendiri bahkan tertekan sendiri, tanpa didasari oleh suatu kejadian. Efek
dari penyakit ini bisa sangat fatal, karena penderita bisa saja mengalami
kematian di usia yang muda. Penyakit skizofrenia bisa dibilang sangat
berbahaya, karena bisa saja penderita akan lari ke obat-obatan terlarang
seperti narkoba.
Skizofrenia merupakan gangguan
jiwa berat yang ditandai dengan perubahan tingkah laku yang aneh, mengalami
halusinasi panca indera (mendengar, melihat, meraba, mengecap, mencium sesuatu
yang tidak ada) dan waham (merasa menjadi sesuatu yang tidak nyata seperti
diikuti, diawasi, dibicarakan).
Skizofrenia sering disamakan
dengan psikosis, padahal keduanya berbeda. Psikosis hanya salah satu gejala
dari beberapa gangguan mental, di antaranya skizofrenia. Penderita skizofrenia
juga berisiko 2-3 kali lebih tinggi mengalami kematian di usia muda. Di samping
itu, setengah penderita skizofrenia diketahui juga menderita gangguan mental
lain, seperti penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan.
Gangguan skizofrenia pertama
kali teridentifikasi oleh Emil Kraeplin (1856-1926) dan menggunakan istilah
Dementia praecox, karena dianggap sebagai degenerasi otak (dementia) yang
dimulai di usia muda (praecox) dan menyebabkan disintegrasi keseluruhan
kepribadian (Halgin dan Whitbourne, 2011). Pasien dengan Dementia praecox digambarkan
memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala
klinis umum berupa halusinasi dan waham. Namun oleh Bleuler (1857-1938)
menganjurkan lebih baik dipakai istilah “skizofrenia”, yaitu jiwa yang
terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berpikir,
perasaan, dan perbuatan (schizos = pecah-belah atau bercabang, phren = jiwa).
Dementia praecox tidak dapat disamakan dengan demensia pada gangguan otak
organik atau intelegensi pada retardasi mental, pada skizofrenia terdapat
keinginan dan pikiran berlawanan, terdapat suatu disharmoni serta tidak harus
memiliki perjalanan penyakit yang memburuk seperti Dementia praecox (Maramis
dan Maramis, 2009).
Skizofrenia berasal dari kata
Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi atau terpecah dan phrenia yang
berarti pikiran. Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak
dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang
aneh dan terganggu.(Videbeck, 2008 dalam Nuraenah, 2012). Stuart (2007)
menjelaskan bahwa skizofrenia merupakan penyakit otak yang persisten dan juga
serius yang bisa mengakibatkan perilaku psikotik, kesulitan dalam memproses
informasi yang masuk, kesulitan dalam hubungan interpersonal, kesulitan dalam
memecahkan suatu masalah.
Orang dengan skizofrenia tidak
bisa membedakan mana khayalan dan kenyataan. Itu sebabnya masyarakat Indonesia
sering menyebut skizofrenia dengan “gila”. Penyakit ini juga menyebabkan
pengidapnya tidak memiliki kemampuan untuk berpikir, mengingat, ataupun
memahami masalah tertentu.
Perilaku skizofrenia disebabkan
oleh perubahan kimia (neurotransmitter) di otak yang dipicu oleh berbagai macam
masalah seperti stress, masalah ekonomi, keluarga, dan sebagainya. Skizofrenia
diketahui pula bisa menjadi penyebab depresi, suasana hati menjadi tidak
tenang, dan neurotisisme (mengalami kecemasan, kemurungan, kekhawatiran yang
tinggi, mudah iri, frustasi, cemburuan, dan merasa kesepian).
Pada awal abad ke-20, seorang
psikiatrik yang bernama Kurt Schneider membuat daftar gejala psikotik yang
menurutnya dapat membedakan skizofrenia dari gangguan psikotik lainnya. Daftar
ini disebut first-rank symptoms (gejala peringkat pertama) atau Schneider's
first-rank symptoms. Gejala ini termasuk waham berada dalam kontrol suatu
kekuatan eksternal; kepercayaan bahwa pikiran dimasukkan atau keluar dari bawah
sadar; kepercayaan bahwa pikiran seseorang dipancarkan kepada orang lain; dan
mendengar suara halusinasi yang berkomentar tentang pikiran atau sikap seseorang
atau bercakap-cakap dengan suara halusinasi. Walaupun telah menyumbang pada
kriteria diagnostik secara signifikan, kespesifikan gejala peringkat pertama
masih dipertanyakan. Suatu tinjauan tentang penelitian diagnosis yang dilakukan
antara tahun 1970 dan 2005 menemukan bahwa mereka memperbolehkan untuk tidak
adanya konfirmasi ataupun menolak klaim Schneider, dan menyarankan bahwa gejala
tingkat pertama tidak harus mendapatkan penekanan untuk sistem diagnosis pada
masa mendatang.
Skizofrenia bisa menyerang
siapa saja. Penyakit mental yang mengganggu pikiran dan persepsi ini kerap
menyerang individu berusia 16-30 tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala awal
saat masih berusia muda, namun penyakit ini bisa terjadi pada semua tingkatan
usia dan mempengaruhi baik laki-laki maupun perempuan dengan tingkat risiko
yang sama. Banyak orang salah paham terhadap pasien skizofrenia. Mereka
dianggap memiliki kepribadian ganda, padahal sebenarnya penyakit ini mempengaruhi
emosi, persepsi, dan pemikiran mereka, yang menyebabkan perilaku abnormal
dengan tetap satu kepribadian tunggal.
Catatan sejarah mengenai
sindrom yang mirip seperti skizofrenia jarang ditemukan sebelum abad 19,
walaupun laporan mengenai tingkah laku yang tidak rasional, tidak bisa
dimengerti atau tidak terkendali biasa ditemukan. Sebuah laporan kasus
mendetail dalam tahun 1797 mengenai James Tilly Matthews, dan catatan oleh
Phillipe Pinel yang dipublikasikan tahun 1809, sering dianggap sebagai
kasus-kasus terawal dari penyakit ini dalam literatur medis dan psikiatrik.
Skizofrenia pertama kali dideskripsikan sebagai sindrom berbeda yang
mempengaruhi remaja dan kaum muda dewasa oleh Bénédict Morel pada tahun 1853,
yang disebut démence précoce (secara harafiah berarti 'demensia awal'). Istilah
demensia praekoks digunakan pada tahun 1891 oleh Arnold Pick dalam sebuah
laporan kasus mengenai gangguan psikotik. Pada tahun 1893 Emil Kraepelin
memperkenalkan perbedaan baru yang luas dalam klasifikasi gangguan jiwa antara
demensia praekoks dan gangguan suasana hati (yang disebut depresi manik dan
termasuk juga depresi unipolar dan bipolar). Kraepelin percaya bahwa pada
mulanya demensia praekoks adalah penyakit otak, dan sejenis demensia yang
khusus, yang dibedakan dari jenis demensia lain seperti penyakit Alzheimer yang
biasanya muncul di kemudian hari dalam hidup.
Berdasarkan data yang dirilis
WHO diperkirakan terdapat 21 juta orang di dunia yang menderita skizofrenia. Menurut
DSM-IV-TR, insiden tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per
10.000 dengan beberapa variasi geografik (insiden lebih tinggi di daerah
perkotaan di negara maju) (Sadock dan Sadock, 2014). Prevalensi seumur hidup
skizofrenia di Amerika serikat sekitar 1 persen, yang berarti bahwa kurang
lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama hidupnya. Angka
prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 permil
sampai dengan 1,4 persen (Kementrian kesehatan, 2013). Studi Epidemiologic
Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH)
melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,6 sampai 1,9 persen (Sadock dan
Sadock, 2014).
Sementara di Indonesia,
berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2013, bahwa dari 1.000 penduduk Indonesia ada 1 hingga 2 orang yang mengalami ganggunan
jiwa. Gangguan jiwa tersebut termasuk penyakit skizofrenia. Hasil Riset
Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas) menyatakan dari seluruh Rumah Tangga (RT) yang
dianalisis sebesar 294.959 yang terdiri dari 1.027.763 Anggota Rumah Tangga
(ART) yang berasal dari semua umur, Rumah Tangga yang menjawab memiliki ART
dengan gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) sebanyak 1.655, terdiri
dari 1.588 RT dengan 1 orang ART, 62 RT memiliki 2 orang ART, 4 RT memiliki 3
ART, dan 1 RT dengan 4 orang ART yang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah
seluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riskesdas 2013
adalah sebanyak 1.728 orang (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Skizofrenia terjadi pada
15-20/100.000 individu per tahun, dengan resiko morbiditas selama hidup 0,85%
(laki-laki/perempuan) (Katona dkk.,2012). Prevalensi psikosis tertinggi di
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh (masing- masing 2,7‰), diikuti oleh Sulawesi
Selatan, Bali, dan Jawa Tengah sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat
(0,7‰). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil (Kementrian
Kesehatan RI, 2013).
Laki-laki dan perempuan
memiliki prevalensi yang sama, namun berbeda onset dan perjalanan penyakitnya.
Laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar menggembangkan gangguan tersebut
pada usia di antara 18 dan 25 tahun. Sedangkan perempuan paling banyak
mengembangkan di usia 25 tahun dan pertengahan 30 tahun. Pada 3 sampai dengan
10 persen perempuan yang mengalami gangguan tersebut, onsetnya terjadi setelah
usia 40 tahun dimana pada onset tersebut kurang umum pada laki-laki (Halgin dan
Whitbourne, 2011). Hampir 90 persen yang menjalani pengobatan skizofrenia
berusia antara 15 dan 55 tahun. (Sadock dan Sadock, 2014).
Skizofrenia merupakan penyakit
mental serius yang disebabkan oleh gangguan konsentrasi neurotransmiter otak,
perubahan reseptor sel-sel otak, dan kelainan otak struktural, dan bukan karena
alasan psikologis. Pasien akan memiliki pemikiran, perasaan, emosi, ucapan, dan
perilaku yang tidak normal, yang mempengaruhi kehidupan, pekerjaan, kegiatan
sosial, dan kemampuan untuk mengurus diri mereka sehari-hari. Beberapa pasien
bersifat rentan dan mencoba atau melakukan tindakan bunuh diri.
Skizofrenia di Indonesia
menjadi permasalahan yang semestinya segera dibenahi, baik dari segi medis
maupun sosial. Dalam segi medis, pelayanan kesehatan penyakit skizofrenia masih
minim. Ditambah lagi, di ranah sosial, penderita penyakit ini kerap mendapat
stigma negatif hingga diskriminasi. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita
skizofrenia menyebabkan mereka menjadi sasaran kekerasan psikologis dan fisik
di masyarakat.
Tingkat keparahan penderita
skizofrenia bervariasi. American Psychiatric Association menulis, ketika
penyakit ini kambuh, pasien tidak dapat membedakan antara pengalaman nyata dan
tidak nyata.
Ciri Fundamental dari gangguan
berdasarkan identifikasi oleh Bleuler (1911), yaitu Empat A dari Bleuler (Halgin
dan Whitbourne, 2011). :
-Asosisasi : gangguan berpikir,
dapat dibuktikan dari ucapan yang melantur dan tidak koheren.
-Afek : gangguan pengalaman dan
ekspresi emosi, misalnya tertawa secara tidak tepat dalam situasi sedih.
-Ambivalens : ketidakmampuan untuk membuat atau mengikuti
keputusan.
-Autisme : kecenderungan untuk
mempertahankan gaya eksentrik dari pemikiran dan prilaku yang egosentris.
Kemudian oleh Kurt Schneider
(1959) menerangkan harus ada gejala tingkat pertama (first rank symptom)
(Halgin dan Whitbourne, 2011). Gejala itu meliputi halusinasi pendengaran yang
spesifik (mendengar pikirannya sendiri dengan jelas (echo de la pensée);
penyerapan pikiran, penyisipan pikiran dan penyiaran pikiran (merasa bahwa
pikirannya dapat diserap oleh orang lain, dapat disisipi dengan pikiran orang
lain atau dapat dihapus); kepasifan/passivity berupa kepasifan somatik
(keyakinan bahwa tubuh pasien dibawah kendali orang lain (misalnya, orang lain
membuat pasien merasa panas atau sakit) dan persepsi delusional (menganggap
wahan sebagai persepsi yang nyata (misalnya, “ saat saya melihat bunga di tepi
jalan, saya tahu kalau teroris sedang mengejar saya”). (Katona dkk.,2012).
Secara lebih rinci, ciri serta gejala
skizofrenia adalah sebagai berikut:
Sulit konsentrasi
Penderita skizofrenia akan
mengalami kesulitan konsentrasi, hal ini dikarenakan pikirannya penuh dengan
hal-hal tidak nyata. Sulit konsentrasi yang dimaksud misalnya tidak nyambung
diajak ngobrol, sering mengulang pertanyaan seperti, "bicara apa
tadi".
Avolisi meliputi kurangnya
inisiatif dan ketidakmampuan untuk bertindak (Halgin dan Whitbourne, 2011).
Hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional
rapport) sehingga sulit untuk mengetahui perasaan penderita. Karena
terpecah-belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin timbul
bersamaan, misalnya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis
dan tertawa dengan hal yang sama (ambivalensi afektif) (Maramis dan Maramis,
2009).
Perilaku yang terganggu
Penderita skizofrenia paranoid
umumnya mengalami sebuah perilaku yang kacau atau biasa disebut dengan
disorganized behavior. Untuk penderitanya tersebut memang tidak bisa mengontrol
dirinya maupun lingkungan yang ada di sekitarnya sehingga hal tersebut membuat
seseorang menjadi berperilaku yang aneh, diantara perilaku yang sering terlihat
adalah:
-Sulit untuk mengontrol hasrat
dan juga keinginan.
-Sulit untuk melakukan
aktivitas rutin sehari- hari.
-Melakukan sesuatu yang tidak
normal dan juga tidak pantas.
-Tidak bisa menjaga kestabilan
emosinya.
Terkadang pasien skizofrenia
bergerak dengan cara yang aneh dan mengganggu, seperti gerakan memutar yang
aneh dari tangan (Halgin dan Whitbourne, 2011). Salah satu gangguan aktivitas
motorik pada skizofrenia adalah gejala katatonik yang dapat berupa stupor atau
gaduh gelisah (excitement) (Maramis dan Maramis, 2009). Stupor katatonik adalah
kondisi tidak merespons terhadap stimulus eksternal sampai titik tidak
menyadari keadaan sekitarnya, dapat
berupa tidak bergerak, tidak bicara, dan tidak berespon. Pada stupor katatonik
dapat di dapati fleksibilitas serea (bila anggota badan dibengkokkan terasa
suatu tahanan seperti pada lilin) dan kataplesi (suatu posisi badan
dipertahankan untuk waktu yang lama). Katatonik gaduh gelisah menunjukkan
aktivitas motorik yang tidak terkendali atau gerakan tubuh tanpa tujuan dan
berulang-ulang (Halgin dan Whitbourne, 2011; Maramis dan Maramis, 2009).
Perilaku yang terganggu lain
adalah stereotipi (berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap
badan tertentu) misalnya sebelum menyuap nasi mengetuk piring dulu beberapa
kali, dapat ditemukan verbigerasi (stereotipi pembicaraan) yaitu kalimat
diulang-ulangi, hal ini sering juga terdapat pada gangguan mental organik.
Sedangkan manerisme adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia yang bisa
dilihat dalam bentuk grimas pada wajah atau keanehan gaya berjalan (Maramis dan
Maramis, 2009).
Gerakan atau ekspresi tertentu
dapat diamati sejak tahap awal penyakit skizofrenia. Ekspresi wajah kosong,
ujung mulut yang kerap bergerak, dan jarang berkedip bisa menjadi tanda awal
penyakit skizofrenia. Selain itu, gerakan lain seperti kerap mondar-mandir dan
seolah bergetar ketakutan juga bisa jadi penanda awal skizofrenia.
Perilaku aneh merupakan “gejala
positif”, juga disebut sebagai “gejala akut” yang meliputi tindakan menangis
atau tertawa secara tidak terduga atau bahkan berpakaian dengan cara yang aneh.
Kadang-kadang emosi dan afek
serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan, misalanya setelah membunuh anaknya,
penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya tertawa. Kemudian ditemukan
parathimi yaitu apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada
penderita timbul rasa sedih atau marah. Sedangkan paramimi yaitu penderita
merasa senang dan gembira, akan tetapi dia menangis, parathimi dan paramimi
bersama-sama dinamakan incongruity of affect (Maramis dan Maramis, 2009).
Bahasa dan komunikasi yang terganggu
Penyakit skizofrenia
hebefrenik, jenis gangguan penyakit ini biasa dikenal dengan sebutan
skozofrenia tidak teratur atau disorganized skizofrenia. Jenis gangguanya
sebenarnya hampir sama dengan skizofrenia paranoid pada umumnya, salah satunya
adanya gangguan psikotik pada pasien dan juga adanya gangguan psikosomatis.
Jenis penyakit mental ini memang cukup kronis dan juga sangat komplek. Hal ini
terjadi karena akan mempengaruhi keseimbangan pada otak dan juga membuat
seseorang yang mengidap gangguan ini memiliki perilaku yang aneh dan memang
tidak normal. Istilah penyakit skizofrenia hebefrenik ini memang sudah cukup
lama ada yang memang lebih mengacu kepada sebuah kelainan kejiwaan yang terjadi
pada seseorang. Jenis penyakit ini muncul ketika seseorang sudah mulai memasuki
usia 15 sampai dengan 25 tahun.
Penyakit skizofrenia hebefrenik
ini muncul dikarenakan adanya sebuah sindrom heterogen yang mulai ditandai
dengan pola pikir yang memang tidak teratur. Untuk gejalanya sendiri memang
cukup mencolok dan juga akan sangat mengganggu cara ataupun proses berpikir
seseorang, dimana yang namanya halusinasi dan juga delusi memang cukup sering
terjadi pada seseorang yang mengalami penyakit skizofrenia ini.
Gejala yang muncul saat
seseorang terkena penyakit skizofrenia hebefrenik adalah; selalu berucap tidak
teratur. Seseorang yang mengalami gangguan jenis penyakit skizofrenia
hebefrenik ini selalu berucap yang tidak teratur dan juga tidak ada
relevansinya dengan apa yang sedang ditanyakannya. Bahkan ketika ditanya pun
biasanya tidak akan nyambung dan juga akan melompat dari satu topik ke topik
yang lainnya, dan terkadang apa yang dikatakannya selalu ada unsur delusi
ataupun khayalan.
Bahasa pada pasien skizofrenia
terdistrosi parah sampai pada titik yang tidak dapat dipahami (Halgin dan
Whitbourne, 2011). Adanya gangguan pada asosiasi berupa asosiasi longgar yang
berarti tidak adanya hubungan antar ide. Kalimat-kalimatnya tidak saling
berhubungan. Terkadang satu ide belum selesai diutarakan, sudah dikemukakan ide
lain. Pada bentuk yang lebih parah adalah inkoherensi (Maramis dan Maramis,
2009) dapat ditemukan juga kata-kata yang bercampur aduk “word salad” (Katona
dkk.,2012) Atau terdapat asosiasi bunyi (clang association) oleh karena pikiran
sering tidak mempunyai tujuan tertentu (Maramis dan Maramis, 2009).
Neologisme (kata-kata baru
untuk menyatakan arti yang hanya dipahami oleh dirinya sendiri. Terkadang juga
terdapat blocking dimana pikiran seakan- akan berhenti, tidak timbul ide lagi
dapat berlangsung beberapa detik hingga beberapa hari (Maramis dan Maramis, 2009).
Contoh komunikasi yang terganggu pada pasien dengan skizofrenia, misalnya saat
ditanya tentang cuaca, ia berkata, “ Ini adalah hari yang baik untuk pesta di
rumput, namun awan kumulus berarakan diatas kita dan oh, sangat tidak
menyenangkan.” (Halgin dan Whitbourne, 2011).
Penderita Skizofrenia juga akan
mengalami bicara yang ngelantur tidak tentu arah. Hal ini dikarenakan apa yang
mereka rasakan akan mengacaukan pikirannya perihal imajinasi yang tidak real. Banyak
pikiran tersebut membuat carut marut pikiran penderita. Alhasil, terkadang menjadikan
penderita bicara sendiri dan bicara ngelantur. Hal ini mengindikasikan hal yang
tidak real sedang menguasai pikirannya.
Hal ini merupakan “gejala
positif”, juga disebut sebagai “gejala akut”, yang meliputi gangguan pikiran;
pikiran tidak jelas, kurangnya kontinuitas dan logika, bicara dengan tidak
teratur, berbicara dengan dirinya sendiri atau berhenti berbicara secara
tiba-tiba.
Seseorang yang mengalami jenis
penyakit atau gangguan skizofrenia hebefrenik ini memang akan terlalu aktif dan
juga tidak pernah fokus dengan apa yang sedang dilakukan serta dibicarakannya. Pada
sebagian orang yang menderita penyakit atau gangguan skizofrenia hebefrenik
juga bisa kita lihat dari raut wajah di penderita. Terkadang mereka akan
tertawa, diam, dan juga menunjukan berbagai raut wajah yang sebenarnya tidak
pantas dilakukannya, bahkan ekspresi yang dimunculkannya pun akan terlihat aneh
dan juga sangat konyol.
Diam terlalu lama bahkan sampai gelisah
Apabila pikiran sedang banyak
dikelilingi oleh imajinasi, akan membuat orang tersebut bingung. Efeknya orang
dengan penyakit skizofrenia, bisa saja diam di suatu tempat dan merenungi apa
yang telah ia alami.
Namun bisa saja orang tersebut
akan gelisah sekali, karena pikiran mereka carut marut sekali. Kegelisahan ini
sangat berbahaya, kadang melakukan hal diluar nalar, seperti memecahkan piring,
bahkan bisa saja sampai marah-marah tidak jelas kepada orang yang belum ia
kenal.
Halusinasi dan delusi
Literatur media telah menunjukkan
kaitan antara kepercayaan akan kekuatan supranatural dengan berbagai aspek
skizofrenia. "Penderita skizofrenia kerap mengalami delusi dan halusinasi
yang bersifat supranatural. Ada sebuah bukti yang membuktikan bahwa tingkat
kepercayaan memengaruhi level gangguan kejiwaan seseorang," tulis Indian J
Psychol Med dalam literaturnya. Gejala itu berbentuk paranoia dan semakin
menjauhkan penderita dengan kenyataan. Pada tahap awal, seseorang akan
memperlihatkan delusinya seperti merasa dihantui oleh kekuatan roh jahat.
Penderita skizofrenia akan
sangat akrab dengan mendengar hal-hal yang tidak real, melihat hal-hal tabu,
mencium aroma yang aneh hingga seperti berada di dimensi yang berbeda. Hal
tersebut sebenarnya hanyalah perihal apa yang sedang mereka pikirkan saja.
Mereka memikirkan hal yang bersifat fantasi, menyebabkan halusinasi dan delusi.
Efeknya bisa membuat penderita tidak nyaman. Hal terburuk yang sering terjadi
ialah penderita bisa bunuh diri.
Jenis gejala pada penderita skizofrenia
ini biasa dikategorikan “gejala positif”, juga disebut sebagai “gejala akut”,
merupakan pikiran dan indera yang tidak biasa, bersifat surreal, yang mengarah
ke perilaku pasien yang tidak normal, termasuk;
Delusi: memiliki keyakinan yang
kuat terhadap suatu hal tanpa dasar yang jelas, tetap teguh walaupun bukti
menyatakan sebaliknya dan tidak bisa dikoreksi dengan logika dan akal sehat,
misalnya berpikir bahwa dirinya dianiaya, seseorang sedang mengendalikan
pikiran dan perilakunya, atau berpikir bahwa orang lain sedang membicarakannya.
Delusi atau Waham adalah
keyakinan yang salah, merupakan gangguan pikiran yang paling umum berhubungan
dengan skizofrenia (Halgin dan Whitbourne, 2011). Waham pada skizofrenia sering
tidak logis sama sekali dan sangat bizar. Penderita tidak menyadari hal ini dan
baginya wahamnya merupakan fakta yang tidak dapat diubah oleh siapa pun
(Maramis dan Maramis, 2009).
Mayer dan Gross membagi waham
menjadi 2 kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder. Waham primer timbul
secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebabnya, misalnya waham seorang
penderita yang meyakini dunia akan kiamat setelah melihat seekor anjing
mengangkat kaki terhadap sebatang pohon untuk kencing. Waham primer agak jarang
terjadi dan lebih sulit ditentukan dengan pasti (Maramis dan Maramis, 2009).
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara
bagi penderita menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham dinamakan
menurut isinya; waham kebesaran (delusion of grandeur) misalnya, penderita yakin
bahwa ia adalah raja atau nabi, waham kejar (delusion of persecutory) yaitu
penederita yakin bahwa orang lain mencoba melukainya atau mencegahnya memenuhi
misinya. Waham referensi (delusion of reference) misalnya, penderita yakin
bahwa iklan ditelevisi ditunjukan kepadanya. (Halgin dan Whitbourne, 2011).
Penting untuk membedakannya dengan paranoid (Katona dkk.,2012).
Halusinasi: pasien merasakan
sesuatu yang sangat nyata, yang sebenarnya tidak ada, misalnya melihat beberapa
gambar yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, mendengar suara atau sentuhan
yang tidak ada.
Halusinasi yang timbul tanpa
penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak
dijumpai pada keadaan lain (Maramis dan Maramis, 2009). Halusinasi adalah
persepsi yang salah pada salah satu dari lima indera. Meskipun halusinasi tidak
sesuai dengan stimulus aktualnya, halusinasi tersebut nyata bagi orang
skizofrenia (Halgin dan Whitbourne, 2011). Paling sering pada skizofrenia
adalah halusinasi pendengaran (audiotorik atau akustik) dalam bentuk suara
manusia, bunyi barang-barang atau siulan. Sedangkan halusinasi penciuman
(olfaktorik) atau halusinasi rabaan (taktil) jarang dijumpai. Untuk halusinasi
penglihatan (optik) agak jarang pada skizofrenia, lebih sering pada psikosis
akut akibat gangguan mental organik. Bila ada, maka biasanya pada stadium awal,
misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang
menakutkan.(Maramis dan Maramis, 2009).
Halusinasi pada penderita
skizofrenia akan terjadi pada kelima indera manusia. Namun, indera pendengaran
adalah yang paling sering terganggu. Lebih dari 70 persen penderita skizofrenia
dilaporkan mendengarkan suara-suara 'gaib' yang tak jelas asalnya. Suara-suara
itu bisa berujung pada gangguan pikiran, menghilangnya konsentrasi, dan
melemahnya daya ingat seseorang.
Skizofrenia umumnya memiliki
dua jenis, yang pertama adalah skizofenia paranoid dan yang berikutnya adalah
skizofrenia hebefrenik. Untuk kedua jenis penyakit skizofrenia ini umumnya
memiliki persamaan yang hampir sama, namun bisa dikatakan cukup berbeda juga.
Untuk jenis penyakit skizofrenia paranoid merupakan sebuah penyakit yang memang
paling umum dan juga paling sering ditemukan di tengah masayarakat. Untuk
gejalanya sendiri hampir sama dengan jenis penyakit skizofrenia pada umumnya
dimana seseorang yang mengidap penyakit ini mengalami delusi dan juga khayalan
serta selalu mempersepsikan sebuah sesuatu dengan lingkungan di sekitarnya. Untuk
gejala umum penyakit skizofrenia paranoid ini adalah rasa halusinasi dan juga
delusi atau waham yang merupakan sebuah keyakinan kuat pada sesuatu yang salah.
Adapun hal- hal yang tidak bisa dibantah dan juga tidak bisa dibuktikan oleh
apapun. Adapun beberapa waham atau delusi yang bisa muncul pada si penderita
skizofrenia paranoid adalah.
-Waham kejar
Yang dimaksud disini adalah
sebuah kepercayaan dimana si penderita merasa dikejar- kejar oleh seseorang
ataupun banyak orang.
-Waham kendali
Dimana seseorang yang mengalami
hal ini lebih percaya pada sesuatu yang dikendalikannya.
-Waham rujukan
Adanya sebuah kepercayaan bahwa
si penderita memiliki sebuah benda yang penting yang menjadi ditujukan khusus
untuk dirinya sendiri.
-Waham kebesaran
Dimana yang dimaksud disini
adalah sebuah kemampuan yang memang luar biasa dan juga memiliki posisi penting
atau adanya sebuah kekayaan yang tidak terbatas.
Untuk mereka yang menderita
skizofrenia paranoid umumnya memiliki rasa yang lebih dominan untuk muncul,
misalnya saja dengan adanya sebuah cerminan dari rasa takut dan juga kecemasan
yang ada dan juga jauh lebih besar, serta adanya kemampuan yang bisa membedakan
dari hal nyata dengan sebuah hal yang tidak nyata. Dimana untuk gejala yang
dialami oleh penderita skizofrenia ini adalah:
Dia selalu merasa bahwa ada
seseorang yang sedang mematai- matainya dimanapun dia berada. Merasa bahwa
orang- orang di sekitarnya sedang mencelakakan dirinya dan ingin membuat
dirinya celaka, merasa ada yang ingin membunuh dirinya dan juga mencoba
mencelakakan, seperti salah satunya dengan merasa ada yang sedang meracuninya
dirinya melalui makanan, selalu merasa bahwa pasangannya tersebut sedang
berselingkuh dengan orang lain.
Sebenarnya mereka yang sedang
menderita penyakit skizofrenia paranoid ini memang tidak ada potensi yang ingin
bersikap kasar dan juga ingin melukai lingkungan yang ada di sekitarnya, namun
dengan adanya sikap delusi dan juga sisi paranoid tersebutlah yang membuatnya
merasa ada ancaman di dekatnya, padahal sebenarnya tidaklah seperti itu.
Meskipun termasuk ke dalam macam- macam gangguan jiwa, penyakit skozofrenia ini
memang bisa diatasi dengan pengobatan yang tepat.
Ketakutan pada tempat yang ramai
Terdapat kedangkalan respon
emosi (emotional blunting), misalnya penderita menjadi acuh tidak acuh terhadap
dirinya sendiri maupun keluarga. Perasaan halus sudah hilang, juga sering
didapati anhedonia (hilangnya ketertarikan atau kemampuan untuk merasakan
kesenangan dari aktivitas yang bagi banyak orang sangat menarik) (Maramis dan
Maramis, 2009). Banyak orang dengan skizofrenia memiliki gejala negatif
(negative symptom), yang paling umum adalah kedataran afek, alogia, avolisi.
Kedataran afek (affective flattening) individu terlihat tidak responsif dengan
bahasa tubuh yang relative tanpa gerak, reaksi wajah dan kontak mata yang
minimal (Halgin dan Whitbourne, 2011).
Seseorang yang menolak
interaksi dengan keluarga atau teman biasanya lebih senang untuk mengisolasi
diri. Kebiasaan ini bisa memengaruhi rutinitas harian mereka seperti bolos
sekolah atau kerja serta absen dari berbagai agenda sosial lainnya. Orang-orang
jenis ini merasa tidak tertarik dengan situasi-situasi ramai yang
ujung-ujungnya 'melenyapkan' gairah hidup mereka.
“Gejala negatif”, juga disebut
sebagai “gejala kronis”, lebih sulit untuk dikenali dan biasanya menjadi lebih
jelas setelah berkembang menjadi gejala positif. Jika kondisinya memburuk,
kemampuan kerja dan perawatan diri pasien akan terpengaruh. Penarikan sosial;
menjadi tertutup, dingin, egois, terasing dari orang lain, dll. Merupakan
kategori dari gejala kronis dari penderita skizofrenia.
Penderita skizofrenia akan
sangat takut dengan keramaian. Karena penderita akan merasa pikirannya penuh
dengan apa yang mereka lihat. Imajinasi saja sudah penuh apalagi ditambah
dikerumuni orang-orang di keramaian.
Hal ini bisa menyebabkan
penderita stres. Gejala ketakutan di tempat ramai akan menyebabkan penderita
menarik diri dari lingkungan sosial serta tidak responsif terhadap lingkungan
sekitar.
Penampilan diri tidak terurus dan minat terhadap hobi
berkurang
Tidak ada penampilan atau
prilaku yang khas pada skizofrenia, penampilan pasien skizofrenia berkisar dari
orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit dan teragitasi hingga orang yang
terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan imobil. Pada pasien skizofrenia
kronis cenderung menelantarkan penampilannya dimana kerapian dan higiene
pribadi juga terabaikan (Maramis dan Maramis, 2009).
Kondisi kebersihan pribadi yang
memburuk bisa menjadi tanda awal penyakit skizofrenia. Perlahan mereka akan
meninggalkan kebiasaan harian seperti mandi, menyikat gigi, atau mengganti
pakaian yang digunakan. Memburuknya kebersihan diri merupakan akar dari sikap
apatis, emosi datar, dan pengabaian diri. Dalam beberapa kasus, penderita
skizofrenia sama sekali tak peduli dengan kebersihan dan penampilan mereka.
Skizofrenia akan membuat
penderita acuh terhadap sekitar, bahkan sama dirinya sendiri. Hal ini
dikarenakan pikirannya penuh dengan hal-hal aneh yang tidak real. Sehingga
penampilan penderita sangat tidak terawat. Selain itu penderita akan kurang
meminati hobinya dulu. Apa yang dihobikan akan secara pelan-pelan terlupakan
dan digantikan imajinasi yang tiada henti.
Kurangnya motivasi, semisal;
hilangnya minat terhadap hal-hal di sekitarnya, bahkan kebersihan pribadi dan
perawatan diri, berpikir dan bergerak secara lambat, ekspresi wajah yang datar,
juga merupakan “gejala kronis” penyakit skizofrenia.
Jika Anda merasa bahwa
teman-teman atau keluarga Anda mengalami gejala di atas, Anda wajib mendorong
mereka untuk berkonsultasi kepada dokter keluarga, yang akan merujuk mereka ke
psikiater, bila diperlukan. Selain pemeriksaan tubuh secara normal, dokter
mungkin akan melakukan tes kesehatan untuk keperluan diagnosis skizofrenia,
tergantung pada kondisi pasien. Tes kesehatan ini dapat meliputi :
Evaluasi psikologis: melalui percakapan, kuesioner, dll,
dokter bisa memahami dan menganalisis gejala-gejala pasien, untuk mendiagnosis
apakah pasien menderita skizofrenia atau penyakit mental lainnya. Skizofrenia
bisa dibagi lagi menjadi jenis Paranoid, Katatonik, Tidak Terorganisir, dan
Residual. Dokter juga akan menanyakan apakah pasien mengonsumsi minuman
beralkohol atau narkoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap
kondisi diri pasien.
Analisis sampel darah, pemindaian
tomografi terkomputerisasi atau MRI (pencitraan resonansi magnetik - magnetic
resonance imaging) bisa membantu menyingkirkan diagnosis gangguan fisik lain
yang bisa menyebabkan gejala yang menyerupai penyakit skizofrenia.
Pada awal tahun 1970-an,
kriteria diagnostik untuk skizofrenia menimbulkan sejumlah kontroversi yang
akhirnya menghasilkan kriteria operasional yang digunakan sekarang. Setelah
dilakukannya Studi Diagnostik AS-Inggris 1971, menjadi jelas bahwa skizofrenia
didiagnosis jauh lebih banyak di Amerika dibandingkan di Eropa. Hal ini
sebagian disebabkan karena kriteria diagnostik yang lebih longgar di AS, yang
menggunakan manual DSM-II, berbeda dengan Eropa dan ICD-9 -nya. Penelitian 1972
oleh David Rosenhan's, yang dipublikasikan dalam jurnal Science dengan judul
" Menjadi waras di tempat tidak waras ", menyimpulkan bahwa diagnosis
skizofrenia di AS sering bersifat subyektif dan tidak bisa diandalkan. Hal-hal
tersebut merupakan beberapa faktor yang menyebabkan revisi pada tidak hanya diagnosis
skizofrenia, tetapi juga revisi keseluruhan buku petunjuk DSM, yang
menghasilkan publikasi DSM-III dalam tahun 1980. Istilah skizofrenia biasanya
disalahpahami sebagaia penderita yang memiliki “kepribadian terbelah”. Walaupun
beberapa orang yang didiagnosis dengan skizofrenia mungkin mendengar
suara-suara dan mungkin mengalami suara-suara sebagai kepribadian yang berbeda,
skizofrenia tidak melibatkan seseorang berubah menjadi kepribadian majemuk yang
berbeda. Kebingungan muncul, sebagian karena interpretasi literal dari istilah
skizofrenia menurut Bleuler (Bleuler semula mengasosiasikan Skizofrenia dengan
disosiasi dan memasukkan kepribadian terbelah dalam kategori Skizofrenia-nya).
Gangguan identitas disosiatif (memiliki “kepribadian terbelah”) juga sering
salah didiagnosis sebagai Skizofrenia berdasarkan kriteria yang longgar dalam
DSM-II. Penggunaan salah yang diketahui pertama kali dari arti skizofrenia
sebagai “kepribadian terbelah” adalah dalam sebuah artikel oleh penyair T. S.
Eliot pada tahun 1933.
Hal yang penting untuk
mendiagnosis skizofrenia adalah gangguan tersebut berlangsung minimal 6 bulan.
Selama periode 6 bulan tersebut, terdapat fase aktif (active phase) dari
gejala-gejala seperti delusi, halusinasi, bahasa yang tidak teratur, pikrian
terganggu, dan gejala negatif (ketidakmampuan berbicara atau kurangya
inisiatif) (Halgin dan Whitbourne, 2011).
Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM-IV-TR
Kriteria DSM-IV-TR digunakan di
Amerika Serikat dan seluruh dunia, dan sering digunakan dalam studi-studi
riset. Kriteria diagnosis ini meliputi :
-Gejala karakteristik: Dua (atau
lebih) poin berikut, masing-masing terjadi dalam porsi waktu yang signifikan
selama periode 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati) : Waham, Halusinasi,
Bicara kacau (contoh: sering melantur atau inkoherensi), Perilaku yang sangat
kacau atau katatonik, Gejala negatif yaitu; afek mendatar, alogia atau
kehilangan minat.
Catatan: Hanya dibutuhkan satu
gejala bila wahamnya bizar atau halusinasinya terdiri atas suara yang
terus-menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua
atau lebih suara yang saling bercakap-cakap.
-Disfungsi sosial/okupasional:
selama suatu porsi waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu
atau lebih area fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau
perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkatan yang telah dicapai sebelum
awitan (atau apabila awitan terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja,
kegagalan mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau okupasional
yang diharapkan).
-Durasi: tanda berkelanjutan
gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus
mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati)
yang memenuhi kriteria fase aktif dan dapat mencakup periode gejala prodromal
atau residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda
gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau dua atau lebih
gejala yang terdaftar dalam kriteria gejala karakteristik yang muncul dalam
bentuk yang lebih lemah (contoh: keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang
tidak lazim).
-Ekslusi gangguan mood dan
skizoafektif: gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik
telah disingkirkan baik karena tidak ada episode depresif, manik atau campuran
mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif. Maupun jika episode mood
terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat dibanding
durasi periode aktif dan residual.
-Ekslusi kondisi medis umum/zat
: gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis suatu zat (contoh: obat
yang disalahgunakan, obat medis) atau kondisi medis umum.
-Hubungan dengan gangguan
perkembangan pervasif: jika terdapat gangguan autistik atau gangguan
perkembangan pervasif lainnya, diagnosis ditambahan skizofrenia hanya dibuat
bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu
bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).
Kriteria diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ-III
Persyaratan normal untuk
diagnosis skizofrenia adalah: dari gejala-gejala dibawah ini harus ada paling
sedikit satu atau gejala yang sangat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih
apabila gejala-gejala itu kurang jelas) dari salah satu kelompok (1) sampai (4),
atau paling sedikit dua dari kelompok (5) sampai (8), yang harus selalu ada
secara jelas pada sebagian besar waktu selama satu bulan atau lebih.
1.
Thought echo, thought
insertion atau thought withdrawal, dan thought broadcasting.
2.
Waham dikendalikan
(delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence), atau waham
pasivitas (delusion of passivity) yang jelas merujuk pada gerakan tubuh atau
gerakan ekstremitas, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensasi) khusus;
delusion of perception
3.
Suara halusinasi yang
berkomentar secara terus-menerus terhadap prilaku pasien, atau mendiskusikan
perihal pasien diantara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang
berasal dari salah satu bagian tubuh.
4.
Waham-waham menetap
jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali
mustahil, seperti mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan
kemampuan “manusia super” (mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain)
5.
Halusinasi yang yang
menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang
mengembang atau melayang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun ide-ide yang berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-
menerus.
6.
Arus pikiran yang
terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat inkoherensi
atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
7.
Perilaku katatonik,
seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing),
atau fleksibilitas serea (waxy flexibility), negativisme, mutisme, dan stupor.
8.
Gejala negatif, seperti
bersikap masa bodoh (apatis), pembicaraan terhenti, dan respons emosional yang
menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas, bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik.
9.
Suatu perubahan yang
konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku
perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tidak bertujuan, bersikap
malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara
sosial.
Apabila didapati kondisi yang
memenuhi kriteria gejala diatas tetapi baru dialami kurang dari satu bulan.
Maka harus dibuat diagnosis Gangguan Psikotik Lir-skizofrenia Akut (F23.2).
Apabila gejala-gejala berlanjut lebih dari satu bulan dapat dilakukan
klasifikasi ulang (Maramis dan Maramis, 2009).
Sampai saat ini para ahli belum
mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan seseorang mengalami penyakit
kejiwaan. Meski begitu, para peneliti percaya terhadap beberapa hal yang dapat
memicu penyakit skizofrenia.
Umumnya skizofrenia dianggap terkait
dengan lesi pada otak serta masalah genetika dan psikologis. Beberapa studi
menemukan bahwa struktur otak dan sistem saraf pusat dari pasien skizofrenia,
seperti yang ditunjukkan pada gambar hasil pemindaian, berbeda dengan orang
normal pada umumnya. Selain itu, sekresi dopamin, neurotransmitter di otak,
dari pasien skizofrenia lebih tinggi daripada orang normal pada umumnya.
Dibawah ini merupakan diagnosa
tentang beberapa penyebab penyakit skizofrenia secara lebih terperinci :
Faktor keturunan
Penyakit skizofrenia ternyata
disebabkan karena faktor genetik atau keturunan. Maksudnya penyakit ini dapat
diwariskan, misalnya orang tua mengalami gangguan mental, maka bisa jadi
anaknya mewarisi penyakit gangguan mental juga.
Bukti-bukti ilmiah sering merujuk
pada faktor genetik sebagai penyebab utamanya. Penelitian-penelitian yang
menggunakan anak kembar menunjukkan bahwa risiko seseorang mengalami
skizofrenia bila saudara kembarnya mengalami skizofrenia adalah sekitar 50 kali
lipat. Tetapi penelitian yang lebih mendalam dapat melihat beragam ekspresi gen
setiap individu dan menghitung hubungannya dengan diagnosis skizofrenia, tetapi
ekspresi gen terkuat hanya berkontribusi sekitar 1% untuk skizofrenia. Selain
itu, sebuah penelitian yang melibatkan seluruh populasi sebanyak 1,75 juta
orang di Kota Kopenhagen Denmark menunjukkan bahwa lebih dari 80% penderita
skizofrenia tidak memiliki saudara yang menderita skizofrenia.
Lingkungan
Hubungan antara faktor
lingkungan dan skizofrenia belum banyak diteliti. Bukti-bukti ilmiah yang sudah banyak direplikasi baru mengenai
perbedaan urban-rural, yaitu orang yang tinggal dan tumbuh besar di kota besar
itu lebih tinggi 2-3 kali risikonya mengalami skizofrenia dibandingkan dengan
orang yang tinggal di desa. Bukti-bukti lain masih belum banyak direplikasi.
Misalnya, ada banyak penelitian menunjukkan kalau pengalaman traumatik masa
kecil (seperti pernah mengalami kekerasan seksual) meningkatkan risiko
skizofrenia. Ada juga penelitian yang menunjukkan kalau mengalami perundungan
(bully) pada masa kecil dapat meningkatkan risiko skizofrenia. Akan tetapi,
bukti-bukti ilmiah untuk perundungan masih belum sekuat pengalaman traumatik.
Faktor lingkungan yang berhubungan
dengan timbulnya skizofrenia di antaranya adalah lingkungan tempat tinggal,
penggunaan obat dan stres masa kehamilan. Gaya pengasuhan tampaknya tidak
memberikan pengaruh besar, walaupun penderita yang mendapat dukungan dari orang
tua keadaannya lebih baik daripada penderita dengan orang tua yang suka mengkritik
dan kasar. Tinggal di lingkungan urban pada waktu masa kanak-kanak atau masa
dewasa secara konsisten tampaknya menaikkan risiko skizofrenia dua kali lipat,
bahkan setelah memperhitungkan faktor penggunaan obat, kelompok etnis, dan
ukuran dari kelompok sosial. Faktor lain yang memainkan peranan penting
termasuk isolasi sosial dan imigrasi yang berhubungan dengan kesulitan sosial,
diskriminasi rasial, disfungsi keluarga, pengangguran, dan kondisi perumahan
yang buruk.
Skizofrenia simpleks, sering
timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi
dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan.
Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan.
Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik
diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran
dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang
menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat”
(Maramis, 2008).
Penyalahgunaan obat
Sejumlah obat dihubungkan
dengan timbulnya skizofrenia, termasuk kanabis, kokain, dan amfetamin. Sekitar
sebagian dari penderita skizofrenia merupakan pengguna obat-obatan dan/atau
alkohol secara berlebihan. Peran kanabis dapat merupakan penyebab, tetapi obat
lainnya dapat digunakan hanya sebagai cara untuk mengatasi depresi, kecemasan,
kebosanan, dan rasa kesepian.
Ketergantungan dalam penggunaan
ganja dengan dosis tinggi berisiko berkembangnya gangguan psikotik yang
penggunaannya sering berkorelasi dengan dua kali peningkatan risiko psikosis
dan skizofrenia. Walaupun penggunaan ganja diterima sebagai sebab yang
berkontribusi terhadap skizofrenia oleh banyak pihak, hal itu tetaplah sebuah kontroversial.
Amfetamin, kokain, dan pada derajat tertentu yang lebih rendah, alkohol, dapat
menyebabkan psikosis yang bergejala sangat serupa dengan skizofrenia. Meskipun
tidak secara umum dipercaya sebagai satu-satunya sebab penyakit, penderita skizofrenia
yang menggunakan nikotin memiliki rata-rata yang jauh lebih besar dibandingkan
populasi pada umumnya.
Faktor perlakuan saat hamil dan di saat persalinan
Penyakit skizofrenia bisa
terjadi apabila saat ibu hamil kurang memberi nutrisi untuk kandungannya,
terinfeksi virus, preeklamsia, diabetes dan pendarahan saat masa kehamilan.
Sementara pada proses
persalinan yang kekurangan oksigen, berat badan sang bayi rendah, dan lahir
prematur bisa menjadi penyebab skizofrenia.
Neurologis, cidera otak, serta kurangnya sistem kekebalan
tubuh
Penderita skizofrenia bisa
dikarenakan cedera pada otak yang membuat struktur pada otak bergeser. Cidera
otak yang dimaksud bisa seperti akibat jatuh ataupun kecelakaan.
Kadar seratonin dan dopamine di
dalam otak yang tidak seimbang diyakini apara hli bisa menyebabkan penyakit skizofrenia.
Studi pemindai saraf otak juga menunjukkan perbedaan dalam struktur otak dan
sistem saraf pusat orang dengan penyakit skizofrenia. Para peneliti pun tidak
yakin mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Hipotesis dopamin menjelaskan
bahwa skizofrenia muncul karena masalah ketidakseimbangan dopamin, yaitu
senyawa kimia pengirim informasi yang ada di otak. Bukti-bukti teori ini dapat
dilihat dari obat-obatan skizofrenia yang intinya mengurangi absorpsi dopamin
ke sinaps-sinaps. Selain itu, penemuan dalam ranah genetik juga menunjukkan
bahwa gen yang terkait dengan fungsi dopamin memang berhubungan dengan
skizofrenia.
Pengidap skizofrenia juga
memiliki perbedaan struktur dan fungsi otak, bila dibandingkan dengan orang
yang tidak memiliki gangguan mental. Ventrikel otak pengidap skizofrenia
memiliki ukuran yang lebih besar. Ventrikel sendiri adalah bagian dalam otak
yang berisi cairan. Pengidap skizofrenia memiliki ukuran Lobus temporalis yang
lebih kecil. Ingatan dalam otak manusia berkaitan dengan lobus temporalis. Dan,
sel-sel pada otak memiliki koneksi yang lebih sedikit.
Selain itu penderita
skizofrenia bisa disebabkan kekurangan sistem kekebalan tubuh, seperti penyakit
autoimun atau peradangan. Karena itulah, tindakan pemberian vaksin dan juga
obat kekebalan tubuh merupakan sebuah upaya penting.
Functional magnetic resonance
imaging (fMRI) dan teknologi pencitraan otak lainnya memungkinkan studi
perbedaan aktivitas otak pada orang-orang yang didiagnosis menderita
skizofrenia. Gambar terkait menunjukkan dua tingkat otak dengan daerah otak
yang lebih aktif pada responden kontrol yang sehat dibandingkan dengan pasien
skizofrenia yang ditunjukkan dengan warna merah, dalam satu studi fMRI tentang
kerja memori.
Skizofrenia diasosiasikan
dengan perbedaan samar dalam struktur otak, ditemukan dalam 40 sampai 50%
kasus, dan dalam kimiawi otak selama keadaan psikotik akut. Studi menggunakan
tes neuropsikologi dan teknologi pencitraan otak seperti fMRI dan PET untuk
memeriksa perbedaan fungsional aktivitas otak telah menunjukkan bahwa perbedaan
sepertinya lebih sering terjadi pada bagian lobus frontal, hipokampus dan lobus
temporal. Berkurangnya volume otak, lebih kecil daripada yang ditemukan pada penyakit
Alzheimer, telah dilaporkan pada daerah korteks frontal dan lobus temporal.
Belum jelas apakah perubahan volumetrik ini adalah progresif atau sudah ada
sebelum menderita penyakit. Perbedaan ini dikaitkan dengan defisit
neurokognitif yang sering diasosiasikan dengan skizofrenia. Karena
sirkuit-sirkuit saraf berubah, sebagai alternatif telah diajukan bahwa
skizofrenia seharusnya dianggap sebagai suatu gabungan dari gangguan-gangguan
perkembangan saraf.
Perhatian khusus diberikan pada
fungsi dopamin di dalam jalur mesolimbik otak. Hal ini berfokus sebagian besar
pada penemuan secara tidak sengaja bahwa obat-obatan golongan fenotiazin, yang
menghambat fungsi dopamin, dapat mengurangi gejala-gejala psikotik. Hal ini
juga dikuatkan dengan fakta bahwa amfetamin, yang memicu pelepasan dopamin,
dapat menguatkan gejala-gejala psikotik pada skizofrenia.
Hipotesis dopamin sekarang
dianggap terlalu menyederhanakan, sebagian karena pengobatan antipsikotik yang
lebih baru (pengobatan antipsikotik atipikal ) dapat sama efektifnya dengan
pengobatan yang lebih lama (pengobatan antipsikotik tipikal ), tetapi juga
mempengaruhi fungsi serotonin dan mungkin memiliki efek penghambatan dopamin
yang sedikit lebih kecil. Perhatian juga difokuskan pada neurotransmiter
glutamat dan berkurangnya fungsi reseptor glutamat NMDA dalam skizofrenia,
sebagian besar karena tingkat reseptor glutamat yang sangat rendah secara tidak
wajar yang ditemukan pada otak pascakematian pada orang-orang yang didiagnosis
menderita skizofrenia, dan penemuan obat-obatan penghambat glutamat seperti
fensiklidin dan ketamin dapat meniru gejala-gejala dan masalah kognitif yang
diasosiasikan dengan kondisi tersebut. Fungsi glutamat yang berkurang terkait
dengan buruknya performa pada tes-tes yang membutuhkan fungsi lobus frontal dan
hipokampus, dan glutamat dapat mempengaruhi fungsi dopamin, keduanya berakibat
dalam skizofrenia, menunjukkan suatu peran penting dalam menghubungkan (dan
kemungkinan menyebabkan) jalur glutamat dalam kondisi tersebut.
Stres dan depresi
Banyak mekanisme psikologis
yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan skizofrenia. Bias kognitif
telah diidentifikasi pada orang-orang yang didiagnosis atau berisiko menderita
skizofrenia, terutama ketika dalam keadaan stres atau situasi yang
membingungkan. Beberapa fitur kognitif dapat mencerminkan defisit neurokognitif
global seperti hilangnya memori, sementara beberapa fitur lain dapat
berhubungan dengan masalah atau pengalaman tertentu.
Meskipun penampilan yang tampak
adalah tumpulnya emosi, studi terbaru menunjukkan bahwa banyak individu yang
didiagnosis menderita skizofrenia memiliki emosi yang responsif, khususnya
terhadap stimulus stres atau negatif, dan bahwa sensitivitas tersebut dapat
menimbulkan kerentanan terhadap gejala maupun gangguan tersebut. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa muatan waham dan pengalaman psikotik dapat mencerminkan
penyebab emosional dari gangguan tersebut, dan bagaimana seseorang menafsirkan
pengalaman tersebut dapat mempengaruhi simtomatologi. Penggunaan "perilaku
aman" untuk menghindari ancaman imajinatif dapat berkontribusi terhadap
kekronisan waham.
Stres bisa menjadi biang keladi
seseorang menderita skizofrenia. Stres bisa disebakan oleh penceraian,
pemerkosaan, dan kasus-kasus psikologis lainnya. Akibat stres tersebut bisa
menjadikan orang lari ke obat-obatan terlarang seperti napza, kokain, amfetamin
dan lain-lain.
Sebuah penelitian juga membuktikan
depresi dapat mempengaruhi seseorang terserang skizofrenia atau pun sebaliknya,
terlebih jika dia memiliki resiko skizofrenia secara genetik. Hasil penelitian
itu dibuktikan oleh tim peneliti dari The University of Edinburgh dan
diterbitkan dalam jurnal Translational Psychiatry.
Peneliti dari Edinburg
menggunakan sampel yang disediakan oleh Generation Scotland, sebuah organisasi
kemanusiaan yang memiliki sejumlah relawan dalam mencari tahu penyebab depresi.
Lembaga tersebut memeriksa apakah seseorang memikiki gen yang menempatkan
mereka pada resiko terserang skizofrenia sehingga menyebabkan seseorang mudah terserang
depresi. Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa mungkin ada kelompok orang
yang mengalami depresi dan berakibat pada peningkatan resiko terserang
skizofrenia.
Skizofrenia bisa diobati,
tetapi penyakit ini memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Semakin cepat
dideteksi dan diobati, semakin baik prognosis untuk pemulihannya.
Jika tidak dilakukan pengobatan
yang tepat, emosi, perilaku serta kehidupan sehari-hari pasien bisa sangat
terpengaruh secara negatif. Pasien mungkin menjadi depresi, menyakiti diri
sendiri atau bahkan melakukan upaya bunuh diri.
Deteksi dini skizofrenia amat
diperlukan untuk menemukan pengobatan yang tepat. Deteksi dini ini biasanya
bisa dilakukan bila ditemukan sejumlah gejala seperti seseorang tidak bisa
menyampaikan ide secara runtut, konsentrasi terganggu, berhalusinasi atau
memiliki persepsi inderawiah palsu dan pergolakan emosi.
Spesialis kesehatan jiwa
mengungkapkan, penderita skizofrenia (ODS) berpeluang tidak perlu mengonsumsi
obat dalam jangka panjang bila gejala penyakitnya terdeteksi di episode awal.
"Orang dengan skizofrenia perlu mengonsumsi obat jangka panjang. Tetapi
bila gangguan ditemukan pada episode awal, pengobatan bisa saja hanya dua tahun,
lalu dievalusi apakah obat benar-benar dihentikan," ujar dr. A.A. A. Agung
Kusumawardhani, SpKJ(K) (dilansir dari Antara). Lebih lanjut, bila penderita
masih mengalami kekambuhan, maka dokter perlu mengevaluasi setelah lima tahun
masa pengobatan penderita. Obat-obatan di sini dibutuhkan untuk mengatasi
kelebihan dopamin tersebut. Selain obat, penderita juga memerlukan terapi
psikososial misalnya pemberian bekal keterampilan agar ia siap kembali ke
lingkungan sosialnya.
Ada berbagai macam terapi yang
bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu
sama lain dan dengan jangka waktu yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia
terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi
psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi
keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen
kasus (Hawari, 2009). Dibawah ini merupakan penjelasan terperinci cara
pengobatan penderita skizofrenia.
Merawat penderita di rumah sakit jiwa
Hidup serumah dengan orang yang
memiliki penyakit ini memang bukan hal yang mudah. Anda membutuhkan sejumlah
strategi untuk membimbing dan menghadapi pasien agar mempercepat proses
pemulihannya.
Rumah sakit jiwa bisa menjadi
opsi alternatif untuk mengobati penderita. Hal ini dikarena penderita akan
dirawat dan diperhatikan secara khusus. Kebersihan, nutrisi dan keamanan
penderita akan terjaga oleh rumah sakit jiwa.
Rehabilitasi akan bisa membantu
dan melatih pasien untuk menghadapi dan mengelola kehidupan mereka sehari-hari.
Tergantung pada kondisi tiap individu, para ahli medis profesional akan
menetapkan program pengobatan yang sesuai bagi diri pasien, misalnya pelatihan
perawatan diri (termasuk kebersihan diri, memasak, keselamatan rumah tangga, adaptasi
terhadap masyarakat, dan penggunaan uang), pelatihan kemampuan kerja, manajemen
stres, dan keterampilan interpersonal dengan anggota keluarga lainnya.
Antipsikotik
Obat bisa mengurangi atau
menghilangkan gejala positif dari pasien secara efektif, misalnya delusi,
halusinasi, dan pikiran yang tidak teratur. Obat juga bisa mengendalikan
kecemasan dan membantu pasien untuk kembali ke kehidupan nyata. Namun terdapat
efek samping dari obat yang dikonsumsi, misalnya kekakuan otot, gerakan yang
lambat, tangan gemetar, mulut kering, sembelit, kelelahan, detak jantung yang
cepat, dan peningkatan berat badan.
Sangat dianjurkan bagi
penderita skizofrenia supaya mengkonsumsi obat antipsikotik. Obat antipsikotik
ini akan membuat penderita lebih tenang dan mengurangi imajinasi. Obat
antipsikotik sendiri terdapat dua macam yakni generasi pertama dan kedua.
Indikasi pemberian pada pasien
skizofrenia karena antipsikotik efektif mengendalikan “gejala postitif” pada
episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity) dan mencegah
kekambuhan. Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah diagnosis,
sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (Katona dkk.,2012;
Maramis dan Maramis, 2009). Pada pasien dengan serangan psikosis yang
multiepisode, terapi pemeliharaan (maintenace) diberikan selama 5 tahun, dan
dapat menurunkan derajat kekambuan 2,5 sampai dengan 5 kali (Maslim, 2007).
Lama minimum pengobatan antipsikotik adalah 4 sampai dengan 6 minggu pada dosis
adekuat. Bila terdapat reaksi yang buruk pada dosis pertama, berkorelasi kuat
dengan respon yang buruk dan ketidakpatuhan dalam pengobatan (Sadock dan
Sadock, 2014).
Dosis antipsikotik disesuaikan
sehingga tercapai dosis terapeutik, dapat dimulai dengan dosis rendah lalu
perlahan dinaikkan, dapat juga langsung diberi dosis tinggi tergantung keadaan
pasien dan kemungkinan timbulnya efek samping (Maramis dan Maramis, 2009) Antipsikotik
potensi rendah (dosis terapeutik tinggi) meliputi Chlorpromazine (Thorazin) dan
Thioridazine (Mellaril) rupanya lebih baik pada pasien yang sangat terganggu
seperti hiperaktivitas motorik, kegelisahan, kegaduhan, agitasi, agresif dan
destruktif karena obat potensi rendah ini memiliki efek yang lebih menengangkan
daripada obat antipsikotik potensi tinggi (Halgin dan Whitbourne, 2011).
Antipsikotik potensi tinggi seperti Trifluoperazine (Stelazine), Fluphenazine
(Proxilin), Haloperidol (Haldol) efektif untuk gangguan proses berpikir
(non-realistik, waham dan sebagainya) dan gangguan persepsi (Maramis dan
Maramis, 2009).
Obat antipsikotik tipikal
(conventional) memberikan dampak pada “gejala positif” skizofrenia seperti
halusinasi, merespon lebih baik dibandingkan “gejala negatif” seperti alogia
dan afek tumpul (Oltmanns dan Emery, 2013). Obat yang sering digunakan saat ini
adalah golongan fenotiazin (Chlorpromazin, Thioridazine, Fluphenazine dan
Trifluoperazine), golongan butirofenon (Haloperidol), gologan thioxantin
(Flupentiksol, Zuklopentiksol), golongan difenilbutilpiperidin (Pimozide),
golongan subtitusi benzamid (Sulpiride) (Katona dkk.,2012). Mekanisme kerja
obat antipsikotik tipikal adalah menghambat reseptor dopamin postsinaps neuron
di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal, sehingga efektif
untuk gejala postif.
Sedangkan kelompok obat yang
termasuk antipsikotik atipikal yaitu; Risperidone (Risperdal), olanzapine
(Zyprexa), Quetiapine (Seroquel), Clonzapine (Clozaril) dan Ziprasidone
(Zeldox), yang terbaru Aripriprazole (Abilify) (Oltmanns dan Emery, 2013). Obat
antipsikotik atipikal selain berafinitas terhadap reseptor dopamin juga
terhadap 5-HT2 (serotonin) reseptor, sehingga efektif untuk gejala negatif.
(Maslim, 2007) . Tidak hanya bekerja pada daerah tersebut namun antipsikotik
bekerja pada daerah lain di otak, seperti striatum yang akan menyebabkan efek
samping berupa extrapiramidal syndrome seperti parkinson, sedangkan apabila
menghambat reseptor D2 pada sel lactotroph menyebabkan hiperprolaktinemia, akibat
inhibitor utama yang bekerja pada sel lactotroph yaitu dopamin tidak tersedia
(Chisea dkk., 2013).
Obat antipsikotik juga
mempengaruhi sejumlah neurotransmiter lain, tidak hanya dopamin dan serotonin,
termasuk norephineprin dan asetilkolin (Oltmanns dan Emery, 2013). Dengan kata
lain, obat antipsikotik menimbulkan dua hasil, yaitu tercapainya hasil
terapeutik dengan berkurangnya frekuensi dan intensitas gejala psikotik, namun
juga memberikan konsekuensi negatif karena obat antipsikotik juga mempengaruhi
fungsi endokrin pada individu yang menggunakannya (Halgin dan Whitbourne,
2011).
Obat antipsikotik menghasilkan
efek samping yang tidak menyenangkan dan muncul dengan derajat yang beragam
(Oltmanns dan Emery, 2013). Efek yang ditimbulkan sebagai antidopaminergik,
antikolinergik, antiadrenergik, antihistaminergik, efek samping pada jantung
dan bersifat toksik. Karena efek yang poten sebagai antidopaminergik, terutama
golongan tipikal akan menyebabkan gangguan ekstrapiramidal (Katona dkk.,2012).
Ekstrapyramidal syndrome (EPS) merupakan gangguan neurologis, berupa kaku otot,
tremor, agitasi, postur yang tidak stabil, dan inersia motorik (Oltmanns dan
Emery, 2013). akatisia (tidak dapat duduk lama di satu tempat atau restless leg
syndrome) (Maramis dan Maramis, 2009). Suatu efek neurologis yang paling
menimbulkan masalah akibat penggunaan jangka panjang adalah gangguan saraf yang
tidak dapat diperbaiki yang disebut diskinesia tardif (tardive dyskinesia)
ditandai dengan pergerakan yang tidak terkontrol pada mulut dan lidah
(mastikator- bukolingual), bibir, jari-jari, lengan kaki dan tubuh hingga
kesulitan menelan (Halgin dan Whitbourne, 2011).
Sedangkan antipsikotik golongan
atipikal atau Second Generation Antipsychotic (SGA) memiliki efek yang kurang
terhadap gangguan motorik bila dibandingkan dengan antipsikotik tipikal.
Beberapa studi hasil melaporkan bahwa13 persen pasien yang menggunakan
antipsikotik atipikal (Olanzapine, Risperidone) mengembangkan tardive
dyskinesia bila dibandingkan dengan antipsikotik tipikal sebesar 32 persen.
Namun antipsikotik atipikal tidak lebih efektif dibandingkan antipsikotik
tipikal dalam menangani gangguan negatif (Oltmanns dan Emery, 2013).
Efek antikolinergik mencakup
mulut kering, konfusi, retensi urin. Efek samping antiadrenergik mencangkup
hipotensi postural terutama antipsikotik potensi rendah (Maramis dan Maramis,
2009). Apabila terjadi syok karena antipsikotik, tidak boleh diberikan
adrenalin karena bersifat alfa and beta andrenergic stimulator sehingga dapat
memperparah syok (adrenalin reversal) sehingga sebaiknya diberikan noradrenalin
(Maslim, 2007). Efek antikolinergik lain akibat antipsikotik yang dilaporkan
adalah impotensi (Katona dkk.,2012).
Antihistaminergik pada
antipsikotik menimbulkan efek sedasi apabila setelah mengkonsumsinya (Katona
dkk.,2012). Efek yang lain yang ditimbulkan selain sedasi adalah inhibisi
psikomotor berupa kewaspadaan yang berkurang, kinerja psikomotor menurun dan
kemampuan kognitif menurun (Maslim, 2007). Antipsikotik juga terkait gangguan
jantung berupa pemanjangan interval QT pada EKG dan aritmia (Katona dkk.,2012).
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) merupakan salah satu efek samping
antipsikotik yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi khususnya pada
obat potensi tinggi. Kondisi dehidrasi, kelelahan, atau manultrisi menjadi
resiko untuk tejadinya SNM (Maslim, 2007).
Gejala Sindrome Neuroleptik Maligna
meliputi hiperpireksia, ketidakstabilan otonomik, konfusi dan peningkatan tonus
otot, peningkatan serum kreatinin fosfokinase, dan dengan phenotiazine
menyebabkan diskrasia darah, pigmentasi retina, fotosensitivitas dan ikterus
kolestatik (Katona dkk.,2012).
Tidak hanya itu, antipsikotik
menyebabkan gangguan endokrin dan metabolik terutama pada pemakaian jangka
panjang (Maslim, 2007). Efek metabolisme yang dilaporkan adalah penambahan
berat badan (terutama dengan Clozapine dan Olanzapine), hiperlipidemia,
hiperglikemia hingga gangguan toleransi glukosa (Katona dkk.,2012; Halgin dan
Whitbourne, 2011). sehingga masalah ini meningkatkan resiko untuk masalah medis
tambahan seperti, diabetes, hipertensi, dan penyakit arteri koroner (Oltmanns
dan Emery, 2013). Penggunaan antipsikotik tipikal maupun atipikal jangka
panjang dapat menyebabkan diabetes tipe II (Sadock dan Sadock, 2014).
Efek endokrin mencakup
hiperprolaktinemia dan sebagai akibatnya amenorea, galaktorea, dan disfungsi
seksual (Katona dkk.,2012). Pada antipsikotik tipikal, hambatan reseptor
dopamin pada jaras tuberoinfudibular mengakibatkan peningkatan prolaktin yang
dapat menimbulkan pembesaran payudara, galaktorea dan impotensi pada laki-laki
dan hambatan orgasme pada perempuan, sebaliknya antipsikotik atipikal sedikit
hingga tidak disertai peningkatan kadar prolaktin, kecuali risperidone memiliki
potensi menyebabkan hiperprolaktinemia (Sadock dan Sadock, 2014).
Para pasien melaporkan bahwa
ganguan pergerakan, mengantuk, penambahan berat badan dan disfungsi seksual
merupakan efek samping antipsikotik yang paling menyulitkan (Katona dkk.,2012).
Penggunaan dua atau lebih antipsikotik (antipsychotic polypharmacy) dapat
meningkatkan efek samping berupa parkinsonisme, efek antikolinergik serta
peningkatan kadar prolaktin bila dibandingkan dengan antipsikotik tunggal. Hal
tersebut dikarenakan meningkatnya dosis total dan hambatan pada reseptor
dopamin (Gallego dkk., 2012).
Skizofrenia memiliki tingkat
kekambuhan yang sangat tinggi, pasien harus berkonsultasi kepada dokter secara
berkala dan minum obat dengan dosis dan interval waktu seperti yang ditetapkan
oleh dokter. Bagi sebagian besar pasien, pengobatan jangka panjang bisa
mengurangi kemungkinan kambuh secara signifikan dan menjaga diri pasien dalam
keadaan rehabilitasi. Selain itu, pasien harus menjalani pelatihan
rehabilitasi, kembali ke masyarakat secara bertahap untuk pemulihan yang lebih
cepat.
Terapi kognitif
Teori kognitif yang menjadi
landasan dari terapi kognitif perilaku untuk skizofrenia. Dalam teori ini,
skizofrenia dianggap muncul karena adanya interpretasi yang salah pada
pengalaman anomali. Pengalaman anomali tersebut bisa seperti salah dengar ada
orang yang memanggil. Kesalahan interpretasi ini umumnya mudah terjadi bila orang
tersebut memiliki konsep diri yang buruk dan sering mengalami perasaan negatif
seperti depresi dan cemas.
Pikiran yang carut marut
nyatanya bisa ditata dengan terapi kognitif. Terapi kognitif merupakan
pengobatan yang dilakukan untuk merapikan konsep pemikiran penderita. Dengan
terapi kognitif, penderita akan dituntun untuk menemukan kebiasaan alam bawah
sadarnya, sehingga akan menyadari apa yang ia lakukan salah.
Apabila cara pikirnya sudah
sesuai logika, maka akan dilakukan terapi perilaku untuk membiasakan
berperilaku yang baik dan menghilangkan pemikiran negatif. Penderita
pelan-pelan akan dikenalkan dengan aktivitas-aktivitas bermanfaat seperti
membuat suatu kerajinan. Hal ini akan mendorong penderita menjadi normal
seperti manusia lainnya.
Dukungan keluarga
Meski pasien sudah keluar dari
rawat inap, mereka juga butuh didampingi agar teta berada di jalur pemulihan
yang benar. Dorongan dan dukungan Anda serta orang-orang di sekitarnya adalah
hal yang penting baginya untuk melanjutkan terapi.
Aspek dukungan keluarga juga memiliki
peran penting pasien. Jika keluarganya menghadapi pasien skizofrenia dengan
cara dan sikap yang benar, mendukung pasien dengan mengikuti program pengobatan
dengan benar, dan mengawasi perubahan kondisi dan gejalanya, maka pasien akan
mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, anggota keluarganya juga harus
memperhatikan kesehatan fisik dan mental mereka sendiri, belajar bagaimana cara
untuk bersantai, dan mencari bantuan jika diperlukan saat merawat pasien.
Anggota keluarga harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan komentar secara
kritis, membuat sikap bermusuhan, dan menumbuhkan perasaan ikut campur secara
berlebihan kepada diri pasien. Menurut penelitian yang dilakukan, sikap-sikap
yang tidak diinginkan ini (emosi yang dikeluarkan secara negatif) telah
terbukti meningkatkan tingkat kekambuhan penyakit skizofrenia.
Dalam banyak kasus, orang yang
memiliki penyakit ini sering diasingkan atau bahkan dipasung karena banyak
orang menganggap mereka berbahaya. Ingat, seseorang dengan penyakit ini sering
tidak menyadari bahwa mereka tidak sehat, sampai mereka mendapatkan perawatan.
Oleh karena itu, memotivasinya untuk mendapatkan bantuan medis guna mengelola
gejala adalah landasan perawatan yang tepat.
Belajar tentang penyebab,
faktor pemicu, gejala, hingga pengobatannya akan membantu Anda dalam membuat
keputusan bagaimana cara terbaik merawat pasien.
Saat ini belum disimpulkan
adanya bukti efektivitas intervensi dini untuk mencegah skizofrenia. Meski
terdapat bukti bahwa intervensi dini pada orang dengan episode psikotik dapat
memperbaiki hasil jangka pendek, hanya sedikit manfaat upaya ini setelah lima
tahun. Usaha untuk mencegah skizofrenia pada fase prodromal/awal belum jelas
manfaatnya dan karena itu sejak tahun 2009 tidak disarankan. Pencegahan sulit
dilakukan karena tidak ada petanda yang tepercaya untuk terjadinya penyakit di
kemudian hari. Namun, beberapa kasus skizofrenia dapat ditunda atau mungkin
dicegah dengan mencegah pemakaian ganja, khususnya pada remaja. Seorang dengan
riwayat skizofrenia dalam keluarga mungkin lebih rentan terhadap psikosis yang
dipicu ganja. Dan, satu studi menemukan bahwa gangguan psikotik yang dipicu
ganja diikuti oleh terjadinya kondisi psikotik persisten pada sekitar setengah
kasus.
Faktor risiko atas terjadinya
skizofrenia bisa dilakukan dengan diagnosis sedari dini jika ada anggota
keluarga yang memiliki indikasi akan adanya gejala skizofrenia. Keharmonisan
keluarga juga menjadi hal yang penting untuk dijaga, serta melakukan kegiatan
positif dan rutin berolahraga juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan mental
seseorang. Jika seseorang terdiagnosis mengidap skizofrenia, penanganan medis
dan pemberian resep dokter akan sangat berguna. Hal tersebut tentu saja bertujuan
untuk menghindari gejala skizofrenia semakin parah.
Penelitian teoretis berlanjut
pada strategi yang mungkin dapat menurunkan angka kejadian skizofrenia. Salah
satu pendekatan berusaha memahami apa yang terjadi pada tingkat genetik dan
neurologis yang dapat menyebabkan penyakit, sehingga dapat dikembangkan
intervensi biomedis. Namun, efek genetik yang bermacam-macam dan bervariasi,
masing-masing dalam skala kecil, yang berinteraksi dengan lingkungan, membuat
hal ini menjadi sulit. Kemungkinan lain, strategi kesehatan masyarakat dapat
secara selektif mengatasi faktor sosioekonomi yang dikaitkan dengan angka
kejadian skizofrenia yang lebih tinggi pada beberapa kelompok, misalnya terkait
imigrasi, etnisitas, atau kemiskinan. Strategi berskala populasi dapat
menyediakan layanan untuk memastikan kehamilan yang aman dan pertumbuhan yang
sehat, termasuk di area perkembangan psikologis seperti kecerdasan sosial.
Namun, belum cukup bukti untuk menerapkan ide yang demikian untuk saat ini, dan
sejumlah masalah yang lebih luas memang tidak spesifik pada skizofrenia.
Meskipun tidak ada tindakan
pencegahan yang memiliki tingkat keberhasilan 100%, namun kemungkinan
morbiditas dan kambuhnya penyakit ini bisa dikurangi dengan menghindari
penyalahgunaan narkoba. Pilih metode yang sesuai untuk menghilangkan stres,
menjaga pola pikir positif, dan luangkan waktu istirahat yang cukup untuk
membantu menjaga kesehatan mental Anda.
Menurut Suryani dalam
Hendriyana (2013), stigma terhadap penderita gangguan jiwa di Indonesia masih
sangat kuat. Dengan adanya stigma ini, orang yang mengalami gangguan jiwa
terkucilkan, dan dapat memperparah gangguan jiwa yang diderita. Pada umumnya
penderita gangguan jiwa berat dirawat dan diberi pengobatan di rumah sakit.
Setelah membaik dan dipulangkan dari rumah sakit, tidak ada penanganan khusus
yang berkelanjutan bagi penderita. Pengobatan penderita gangguan jiwa merupakan
sebuah journey of challenge atau perjalanan yang penuh tantangan yang harus
berkelanjutan. Penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu
kali perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan. Karena
itu, dibutuhkan pendampingan yang terus menerus sampai pasien benar-benar
sembuh dan bisa bersosialisasi dengan orang lain secara normal. Ketika di
rumah, dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar sangat dibutuhkan agar
penderita bisa menjalani proses penyembuhannya.
Penderita gangguan jiwa
seringkali mendapat stigma dari lingkungan sekitarnya. Stigma tersebut melekat
pada penderita sendiri maupun keluarganya. Hal ini karena penderita gangguan
jiwa sendiri sudah dinamakan secara berbeda dari penderita penyakit fisik
lainnya. Beberapa orang percaya bahwa gangguan jiwa merupakan hasil dari
pilihan-pilihan yang buruk, dalam penelitian Tyas (2008), Wardhani, dkk (2011)
dan Colucci (2013) disebutkan bahwa gangguan jiwa terjadi akibat sebab
supranatural dan ada pula yang mempercayai akibat keturunan dari orang tua atau
kerabat terdekatnya. Selain itu, orang dengan gangguan jiwa dipercaya sebagai
orang yang berbahaya dan tidak bisa diprediksi, kurang kompeten, tidak dapat
bekerja, harus dirawat di RSJ, dan tidak akan pernah sembuh. Stigma terhadap
penderita gangguan jiwa akan semakin kompleks apabila penanganannya tidak
berlanjutan. Sikap pasrah keluarga penderita gangguan jiwa, yang membiarkan
penderita gangguan jiwa untuk dipasung karena tidak ada biaya untuk pengobatan
lebih lanjut.
Selain itu rasa malu yang
ditanggung oleh keluarga merupakan stigma yang dibuat sendiri oleh keluarga
terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Sehingga bantuan dari
lingkungan sekitar untuk mengobati penderita tidak diperhatikan lagi. Rasa malu
tersebut menyebabkan keluarga penderita gangguan jiwa menutup diri dari
lingkungan. Stigma pada penderita gangguan jiwa berat menyangkut pengabaian,
prasangka dan diskriminasi. Pengabaian merupakan masalah pengetahuan dari
masyarakat terkait gangguan jiwa itu sendiri. Prasangka merupakan masalah dari
sikap, baik itu dari penderita yang mengarah pada stigma diri maupun dari
masyarakat yang menimbulkan stigma terhadap penderita gangguan jiwa. Sedangkan
diskriminasi merupakan masalah dari perilaku, baik itu dari penyedia layanan
penanganan kesehatan jiwa maupun dari masyarakat terhadap penderita gangguan
jiwa berat (Thornicroft, et al, 2008).
Penanganan untuk skizofrenia
yang paling sesuai dengan hasil penelitian mutakhir ada di Inggris. Di sana,
Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan bahwa penanganan untuk skizofrenia
pada dasarnya adalah terapi obat antipsikotik. Pada saat yang sama, pasien
skizofrenia selalu diberikan tawaran untuk mendapatkan terapi kognitif perilaku
untuk skizofrenia dari psikolog klinis dewasa.
Dari penjelasan di atas, Anda
bisa memahami apa yang dirasakan oleh penderita skizofrenia. Dengan begitu, Anda
bisa tahu cara terbaik untuk menanggapi mereka. Dan, jika Anda ternyata pernah
mengalami gejala-gejala di atas, segeralah menghubungi psikiater untuk
mendapatkan bantuan.
loading...