Thursday, 7 February 2019

Kreasi Usaha: Manfaat Brotowali Sebagai Pestisida Nabati


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...

Manfaat Brotowali Sebagai Pestisida Nabati

Penggunaan bahan kimiawi pertanian seperti pestisida sintetik memang telah memberikan kontribusi yang sangat tinggi tehadap keberhasilan pertanian. Akan tetapi, penggunaan pestisida sintetik secara terus menerus telah menimbulkan terjadinya resistensi hama dan penyakit terhadap pestisida tertentu.

Penggunaan pestisida kimia dalam jangka waktu yang lama akan membahayakan baik manusia ataupun lingkungannya. Salah satu dampaknya adalah dapat mengganggu keseimbangan ekologi pada lahan pertanian secara berkelanjutan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perubahan komposisi serta diversitas mahkluk hidup dalam tanah akibat bahan kimia (Handayanto dan Hairiah (2007). Selain dampaknya terhadap ekosistem, pestisida juga membahayakan kesehatan manusia. Apabila pestisida terakumulasi terus-menerus di dalam tubuh maka dapat terjadi berbagai macam penyakit dan bahkan sampai pada kematian.

Hal diatas juga telah membangkitkan kesadaran manusia akan pentingnya menjaga lingkungan dan mencegah kerusakan akibat pestisida buatan tersebut. Oleh karena itu, senyawa alternatif pengganti pestisida sintetik perlu di cari dan dioptimalkan penggunannya.

Salah satu alternatif yang ditawarkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan serta meningkatkan kesehatan manusia adalah penggunaan pestisida nabati. Pestisida ini berasal dari tanaman yang ada di lingkungan sekitar kita yang dapat mengganti pemakaian bahan kimia.

Arif dalam Irawati, 2010 mengatakan secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia karena residu mudah hilang.

Arif dalam Achmad, 2009 mengatakan bahwa pengendalian hama merupakan upaya manusia untuk mengusir, menghindari dan membunuh secara langsung maupun tidak langsung terhadap spesies hama. Pengendalian hama tidak bermaksud memusnahkan spesies hama, melainkan hanya menekan sampai pada tingkat tertentu saja sehingga secara ekonomi dan ekologi dapat dipertanggung-jawabkan.

Arif dalam Agus, 2011 mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati terluas kedua di dunia setelah Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme tumbuhan kurang jelas. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan pesaingnya (Kardinan dan Wikardi 1995a). Produk metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati (Grainge dan Ahmed 1987; Kardinan dan Wikardi 1997a).


Indonesia memiliki keanekaragaman flora yang cukup tinggi dan beberapa diantaranya merupakan sumber bahan pestisida nabati yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian penyakit tanaman. Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) merupakan salah satu tanaman tropis yang banyak tersebar di Jawa, Bali dan Maluku. Tanaman ini dilaporkan mempunyai sifat fungistatic dan bacteriostatic (Limyati dkk., 1998). Penelitian Suryanti (2004) menyatakan bahwa ekstrak kasar daun brotowali mempunyai aktivitas antimikroba pada beberapa bakteri gram positif dan negatif pada perlakuan konsentrasi tertentu.

Arif dalam Atman, 2009 mengatakan bahwa hama dan penyakit bersifat dinamis dan perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan tanaman, populasi organisme lain,dsb) dan abiotik (iklim, musim, agroekosistem, dll). Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak terganggu keseimbngan ekologinya. Perubahan iklim, budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan penyakit. Hal penting yang perlu diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit adalah: jenis, kapan keberadaannya di lokasi tersebut, dan apa yang mengganggu keseimbangannya sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman (Makarim, et. al., 2003).

Arif dalam Achmad, 2009 mengatakan bahwa beberapa taktik pengendalian hama yang dikenal meliputi: taktik pengendalian secara mekanis, fisis, hayati, dengan varietas tahan, mengatur pola tanam, sanitasi dan eradikasi, dan cara kimiawi.

Brotowali (Tiospora crispa) merupakan tumbuhan dari Famili Menispermaceae yang serba guna karena dapat digunakan untuk obat berbagai penyakit. Tumbuhan ini diketahui mengandung senyawa alkaloid, glikosida, dan triterpenoid.

Brotowali merupakan tumbuhan yang memiliki ciri berbentuk semak, merambat dengan panjang mencapai 2,5 m atau lebih, tahunan. Batang bulat sebesar jari kelingking, berkayu dengan bintil- bintil rapat, dan rasanya pahit,  bercabang serta berwarna hijau. Daun tunggal, bertangkai dan berbentuk seperti jantung atau agak membundar, berujung lancip dengan panjang 7-12 cm dan lebar 5-10 cm, tersebar dengan tepi rata, pangkal berlekuk, pertulangan menjari, tangkai daun menebal pada pangkal dan ujung, berwarna hijau. Bunga majemuk, kecil, berwarna hijau muda atau putih kehijauan, bentuk tandan, terletak pada batang, kelopak tiga, bulat telur, mahkota enam, bentuk benang, bulat telur, benang sari enam. Tangkai hijau muda, kepala sari kuning, hijau muda. Buah batu, kecil, hijau. Akar tunggang, putih kotor.

Brotowali merupakan tumbuhan yang biasa tumbuh liar dihutan, ladang atau ditanam dihalaman dekat pagar. Tanaman ini menyebar merata hampir diseluruh wilayah Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara dan India. Brotowali tumbuh baik di hutan terbuka atau semak belukar didaerah tropis. Cara perbanyakan tanaman ini sangat mudah yaitu dengan stek batang.

Menurut Kresnady dan Lentera (2003), brotowali mengandung beberapa senyawa aktif pada bagian daun, batang dan akarnya. Senyawa tersebut antara lain: alkaloid berberina, damar lunak, pati, glikosida, pikroretosid, harsa, pikroretin, tinokrisposid, kolumbin dan kaokulin. Senyawa ini diduga dapat menpengaruhi mikroorganisme patogen yang menyerang tanaman pertanian.

Limyati, dkk. (1998) menyatakan Brotowali bersifat fungistatis pada konsentrasi 0,8 g/ml. Daunnya mengandung senyawa seperti: Alkaloid, damar lunak, pati, glikosida pikroretosid, zat pahit pikroretin, harsa, berberin dan palmatin sedangkan akarnya alkaloid berberin dan kolumbin.

Asmaliyah et al. (2010) melaporkan tanaman Brotowali mengandung alkaloid, steroid dan flavonoid yang berpotensi sebagai bahan dalam pembuatan pestisida nabati. Menurut Suprapta (2014) bahwa golongan senyawa fenol, terpenoid dan saponin merupakan golongan senyawa yang dapat berfungsi sebagai anti jamur. Diduga golongan senyawa ini dapat menghambat aktivitas enzim dan merusak membran sel jamur.

Tanin merupakan salah satu zat aktif pada batang brotowali. Tanin merupakan senyawa polifenol yang mempunyai bobot molekul cukup tinggi dan mengandung gugus hidroksi fenolik dan gugus karboksil. Gugus karbolsil ini membentuk kompleks bersama protein. Kompleks tanin protein umumnya terbentuk adanya ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Zat ini mudah mengalami oksidasi terutama oleh enzim folase yang terdapat pada tanaman. Tanaman brotowali juga mengandung senyawa aktif tinokrisposid yang berkhasiat mempercepat keluarnya glukosa melalui peningkatan metabolisme atau disimpan secara langsung sebagai lemak (Haryanto, 2001).

Cara pembuatan pestisida nabati dari brotowali:
Daun brotowali di cuci bersih dan dikering anginkan, diblender sampai menjadi tepung, ditimbang 100 gram untuk dimaserasi dengan ethil acetat pada suhu kamar selama 72 jam. Setelah itu dilakukan 2 kali penyaringan, filtrat yang diperoleh melalui penyaringan diuapkan dengan vacum rotary evaporator pada suhu 40oC dengan memisahkan solven dengan ekstrak. Ekstrak kasar (crude extract) yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk pengujian (Harborne, 1996).

Cara ekstraksi tanaman brotowali memiliki berbagai cara dengan cara modern maupun konvensional. Adapun cara konvensional dengan bagian dari tanaman brotowali baik daun maupun batang dtumbuk halus dan di rebus dengan 1 liter air, setelah itu didinginkan kemudian disaring dan bahan siap digunakan.

Arif dalam Sianny Suryawati, 2012 mengatakan dalam penelitiannya, Bahan yang digunakan untuk mengekstrak brotowali yaitu sebanyak 200 gram serbuk batang Brotowali di bagi menjadi 6 bagian, masing-masing dalam Erlenmeyer 500 ml, di rendam etanol 96 % dengan perbandingan serbuk dan pelarut 1:7. Serbuk di saring dengan metode penyaringan maserasi.

Tanaman Brotowali (Tinospora rumphii) mengandung zak aktif berberin yang dapat digunakan untuk mengendalikan ulat daun, insectisida secara umum, wereng, dan belalang. Metode pengaplikasian dari bio-insektisida ini dengan mencampurkan hasil ekstraksi batang brotowali dengan air lalu aplikasikan dengan melakukan penyemprotan langsung ke tanaman atau juga dapat dilakukan dengan penyiraman.

Selain digunakan untuk mengendalikan hama ulat daun, brotowali juga digunakan untuk mengendalikan hama lain yang menyerang tanaman kedelai seperti Penggerek Polong (Etiella zinckenella Treit), Kepik Polong (Riptortus linearis), Ulat Jengkal (Chrysodeixis chalcites), Kutu daun (Aphis glycines Matsumura), dan Wereng Hijau Kedelai (Empoasca sp) dan juga dapat mengusir hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) pada tanaman padi (Adobpina et.al.,2008).

Alkaloid yang terkandung pada batang brotowali juga berperan sebagai faktor pertumbuhan tanaman dan cadangan makanan serta sebagai antihama karena dapat menyebabkan mortalitas pada hama. Alkaloid yang terkandung dalam brotowali dapat mengganggu terbentuknya jembatan seberang silang komponen penyusun petidoglikan pada sel hama, sehingga lapisan dinsing sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. Alkaloid pada umumnya bersifat basa, sifat ini dapat mempengaruhi tekanan osmotik antara hama wereng dan lingkungan tempat hidupnya. Pemberian ekstrak pada media tumbuh hama menyebabkan perbedaan tekanan osmotik tersebut, sehingga pertumbuhan hama wereng semakin sedikit pada masing-masing perlakuan berbanding lurus dengan konsentrasi ekstrak yang di berikan.

Brotowali sangat efektif ketika digunakan sebagai racun perut yang meningkatkan mortalitas larva akibat kandungan alkaloid yang dominan.

Adanya daya hambat ekstrak kasar daun Brotowali terhadap jamur Fusarium sp. membuktikan bahwa tanaman Brotowali memiliki senyawa aktif yang berpotensi dikembangkan sebagai fungisida nabati. Rata-rata diameter zone hambat ekstrak kasar daun Brotowali terhadap Fusarium sp. sebesar 16,75 mm. Menurut Ardiansyah (2005) Jika zone hambatan e” 20 mm (daya hambat sangat kuat), 10-20 mm (daya hambat kuat) dan < 5 mm (daya hambat kurang atau lemah). Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan bahwa ekstrak kasar daun Brotowali memiliki kemampuan cukup kuat dalam menghambat pertumbuhan Fusarium sp.

Batang brotowali dapat berperan sebagai anti serangga. Senyawa anti serangga tersebut adalah minyak atsiri yang terkandung dalam fraksi glikosida. Hal inilah yang mendukung pernyataan bahwa brotowali tidak perlu mendapatkan semprotan insektisida. Melihat begitu banyaknya manfaat dari tanaman Brotowali disarankan agar petani bisa megolah brotowali menjadi bio-insektisida dan mengurangi penggunaan pestisida kimiawi karena dapat memberikan dampak buruk bagi kehidupan.

Senyawa terpenoid memiliki fungsi sebagai zat antimakan (antifeedant) karena rasanya yang pahit sehingga serangga menolak untuk makan. Pada brotowali senyawa terpenoid golongan triterpenoid banyak terdapat pada bagian batang (Sukadana dkk, 2007). Bagi tumbuhan nilai ekologi dari senyawa ini adalah sebagai insektisida dan antipemangsa (Robinson,1995).

Penggunaan bahan tanaman brotowali (Tinospora crispa) terbukti dapat membunuh hama dan tentunya aman terhadap manusia ataupun organisme lain, selain itu bahannya pun mudah di dapatkan, dan di harapkan memberikan dampak positif bagi para petani.

Berdasarkan pemanfaatan dan pengelolaan bahan-bahan nabati untuk pestisida dalam mengendaliakan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) oleh masyarakat petani dapat dijadikan titik tolak petani dalam usaha pelestarian, dan merupakan cara pendekatan tidak langsung masyarakat petani dalam ikut mengembangkan teknik pelestarian lingkungan.


Di Indonesia pemanfaatan tanaman brotowali (Tinospora crispa) belum dilakukan secara optimal. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui potensi-potensi yang dimiliki brotowali (Tinospora crispa). Seringkali brotowali (Tinospora crispa) hanya dianggap sebagai tanaman obat atau tanaman penghias di taman rumah. Kandungan senyawa kimia yang dimiliki brotowali (Tinospora crispa) banyak memiliki potensi yang dapat menghasilkan suatu inovasi terbaru dalam pembuatan pestisida alami untuk memberantas hama.

Dari paparan di atas maka hendaknya para petani memanfaatkan pengembangan teknologi yang dapat menjadikan tumbuhan brotowali tersebut untuk solusi pestisida alami yang ramah lingkungan karena budidaya tanaman ini cukup mudah.



*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.

pasang iklan disini




loading...