Loading...
Penggunaan bahan kimiawi pertanian seperti pestisida
sintetik memang telah memberikan kontribusi yang sangat tinggi tehadap
keberhasilan pertanian. Akan tetapi, penggunaan pestisida sintetik secara terus
menerus telah menimbulkan terjadinya resistensi hama dan penyakit terhadap
pestisida tertentu.
Penggunaan pestisida kimia dalam jangka waktu yang lama akan
membahayakan baik manusia ataupun lingkungannya. Salah satu dampaknya adalah
dapat mengganggu keseimbangan ekologi pada lahan pertanian secara
berkelanjutan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perubahan komposisi serta
diversitas mahkluk hidup dalam tanah akibat bahan kimia (Handayanto dan Hairiah
(2007). Selain dampaknya terhadap ekosistem, pestisida juga membahayakan
kesehatan manusia. Apabila pestisida terakumulasi terus-menerus di dalam tubuh
maka dapat terjadi berbagai macam penyakit dan bahkan sampai pada kematian.
Hal diatas juga telah membangkitkan kesadaran manusia akan
pentingnya menjaga lingkungan dan mencegah kerusakan akibat pestisida buatan
tersebut. Oleh karena itu, senyawa alternatif pengganti pestisida sintetik
perlu di cari dan dioptimalkan penggunannya.
Salah satu alternatif yang ditawarkan untuk mengurangi
pencemaran lingkungan serta meningkatkan kesehatan manusia adalah penggunaan
pestisida nabati. Pestisida ini berasal dari tanaman yang ada di lingkungan
sekitar kita yang dapat mengganti pemakaian bahan kimia.
Arif dalam Irawati, 2010 mengatakan secara umum pestisida
nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang
terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/nabati maka jenis pestisida ini
bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari
lingkungan, dan relatif aman bagi manusia karena residu mudah hilang.
Arif dalam Achmad, 2009 mengatakan bahwa pengendalian hama
merupakan upaya manusia untuk mengusir, menghindari dan membunuh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap spesies hama. Pengendalian hama tidak
bermaksud memusnahkan spesies hama, melainkan hanya menekan sampai pada tingkat
tertentu saja sehingga secara ekonomi dan ekologi dapat dipertanggung-jawabkan.
Arif dalam Agus, 2011 mengatakan bahwa Indonesia merupakan
negara yang memiliki keanekaragaman hayati terluas kedua di dunia setelah
Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan
kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary
metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme tumbuhan kurang
jelas. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi,
termasuk melindungi diri dari gangguan pesaingnya (Kardinan dan Wikardi 1995a).
Produk metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida
nabati (Grainge dan Ahmed 1987; Kardinan dan Wikardi 1997a).
Indonesia memiliki keanekaragaman flora yang cukup tinggi
dan beberapa diantaranya merupakan sumber bahan pestisida nabati yang dapat
dimanfaatkan untuk pengendalian penyakit tanaman. Brotowali (Tinospora crispa
L. Miers) merupakan salah satu tanaman tropis yang banyak tersebar di Jawa,
Bali dan Maluku. Tanaman ini dilaporkan mempunyai sifat fungistatic dan
bacteriostatic (Limyati dkk., 1998). Penelitian Suryanti (2004) menyatakan
bahwa ekstrak kasar daun brotowali mempunyai aktivitas antimikroba pada
beberapa bakteri gram positif dan negatif pada perlakuan konsentrasi tertentu.
Arif dalam Atman, 2009 mengatakan bahwa hama dan penyakit
bersifat dinamis dan perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase
pertumbuhan tanaman, populasi organisme lain,dsb) dan abiotik (iklim, musim,
agroekosistem, dll). Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang
(terkendali) jika tidak terganggu keseimbngan ekologinya. Perubahan iklim,
budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian
mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan penyakit. Hal penting yang perlu
diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit adalah: jenis, kapan keberadaannya
di lokasi tersebut, dan apa yang mengganggu keseimbangannya sehingga
perkembangannya dapat diantisipasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman
(Makarim, et. al., 2003).
Arif dalam Achmad, 2009 mengatakan bahwa beberapa taktik
pengendalian hama yang dikenal meliputi: taktik pengendalian secara mekanis,
fisis, hayati, dengan varietas tahan, mengatur pola tanam, sanitasi dan
eradikasi, dan cara kimiawi.
Brotowali (Tiospora crispa) merupakan tumbuhan dari Famili
Menispermaceae yang serba guna karena dapat digunakan untuk obat berbagai
penyakit. Tumbuhan ini diketahui mengandung senyawa alkaloid, glikosida, dan
triterpenoid.
Brotowali merupakan tumbuhan yang memiliki ciri berbentuk
semak, merambat dengan panjang mencapai 2,5 m atau lebih, tahunan. Batang bulat
sebesar jari kelingking, berkayu dengan bintil- bintil rapat, dan rasanya pahit, bercabang serta berwarna hijau. Daun tunggal,
bertangkai dan berbentuk seperti jantung atau agak membundar, berujung lancip
dengan panjang 7-12 cm dan lebar 5-10 cm, tersebar dengan tepi rata, pangkal
berlekuk, pertulangan menjari, tangkai daun menebal pada pangkal dan ujung, berwarna
hijau. Bunga majemuk, kecil, berwarna hijau muda atau putih kehijauan, bentuk
tandan, terletak pada batang, kelopak tiga, bulat telur, mahkota enam, bentuk
benang, bulat telur, benang sari enam. Tangkai hijau muda, kepala sari kuning,
hijau muda. Buah batu, kecil, hijau. Akar tunggang, putih kotor.
Brotowali merupakan tumbuhan yang biasa tumbuh liar dihutan,
ladang atau ditanam dihalaman dekat pagar. Tanaman ini menyebar merata hampir
diseluruh wilayah Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara dan India.
Brotowali tumbuh baik di hutan terbuka atau semak belukar didaerah tropis. Cara
perbanyakan tanaman ini sangat mudah yaitu dengan stek batang.
Menurut Kresnady dan Lentera (2003), brotowali mengandung
beberapa senyawa aktif pada bagian daun, batang dan akarnya. Senyawa tersebut
antara lain: alkaloid berberina, damar lunak, pati, glikosida, pikroretosid,
harsa, pikroretin, tinokrisposid, kolumbin dan kaokulin. Senyawa ini diduga
dapat menpengaruhi mikroorganisme patogen yang menyerang tanaman pertanian.
Limyati, dkk. (1998) menyatakan Brotowali bersifat
fungistatis pada konsentrasi 0,8 g/ml. Daunnya mengandung senyawa seperti:
Alkaloid, damar lunak, pati, glikosida pikroretosid, zat pahit pikroretin,
harsa, berberin dan palmatin sedangkan akarnya alkaloid berberin dan kolumbin.
Asmaliyah et al. (2010) melaporkan tanaman Brotowali
mengandung alkaloid, steroid dan flavonoid yang berpotensi sebagai bahan dalam
pembuatan pestisida nabati. Menurut Suprapta (2014) bahwa golongan senyawa
fenol, terpenoid dan saponin merupakan golongan senyawa yang dapat berfungsi
sebagai anti jamur. Diduga golongan senyawa ini dapat menghambat aktivitas
enzim dan merusak membran sel jamur.
Tanin merupakan salah satu zat aktif pada batang brotowali.
Tanin merupakan senyawa polifenol yang mempunyai bobot molekul cukup tinggi dan
mengandung gugus hidroksi fenolik dan gugus karboksil. Gugus karbolsil ini
membentuk kompleks bersama protein. Kompleks tanin protein umumnya terbentuk
adanya ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Zat ini mudah mengalami
oksidasi terutama oleh enzim folase yang terdapat pada tanaman. Tanaman
brotowali juga mengandung senyawa aktif tinokrisposid yang berkhasiat
mempercepat keluarnya glukosa melalui peningkatan metabolisme atau disimpan
secara langsung sebagai lemak (Haryanto, 2001).
Cara
pembuatan pestisida nabati dari brotowali:
Daun brotowali di cuci bersih dan dikering anginkan,
diblender sampai menjadi tepung, ditimbang 100 gram untuk dimaserasi dengan
ethil acetat pada suhu kamar selama 72 jam. Setelah itu dilakukan 2 kali
penyaringan, filtrat yang diperoleh melalui penyaringan diuapkan dengan vacum
rotary evaporator pada suhu 40oC dengan memisahkan solven dengan ekstrak.
Ekstrak kasar (crude extract) yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk
pengujian (Harborne, 1996).
Cara ekstraksi tanaman brotowali memiliki berbagai cara
dengan cara modern maupun konvensional. Adapun cara konvensional dengan bagian
dari tanaman brotowali baik daun maupun batang dtumbuk halus dan di rebus
dengan 1 liter air, setelah itu didinginkan kemudian disaring dan bahan siap
digunakan.
Arif dalam Sianny Suryawati, 2012 mengatakan dalam
penelitiannya, Bahan yang digunakan untuk mengekstrak brotowali yaitu sebanyak
200 gram serbuk batang Brotowali di bagi menjadi 6 bagian, masing-masing dalam
Erlenmeyer 500 ml, di rendam etanol 96 % dengan perbandingan serbuk dan pelarut
1:7. Serbuk di saring dengan metode penyaringan maserasi.
Tanaman Brotowali (Tinospora rumphii) mengandung zak aktif
berberin yang dapat digunakan untuk mengendalikan ulat daun, insectisida secara
umum, wereng, dan belalang. Metode pengaplikasian dari bio-insektisida ini
dengan mencampurkan hasil ekstraksi batang brotowali dengan air lalu aplikasikan
dengan melakukan penyemprotan langsung ke tanaman atau juga dapat dilakukan dengan
penyiraman.
Selain digunakan untuk mengendalikan hama ulat daun,
brotowali juga digunakan untuk mengendalikan hama lain yang menyerang tanaman
kedelai seperti Penggerek Polong (Etiella zinckenella Treit), Kepik Polong
(Riptortus linearis), Ulat Jengkal (Chrysodeixis chalcites), Kutu daun (Aphis
glycines Matsumura), dan Wereng Hijau Kedelai (Empoasca sp) dan juga dapat
mengusir hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) pada tanaman padi
(Adobpina et.al.,2008).
Alkaloid yang terkandung pada batang brotowali juga berperan
sebagai faktor pertumbuhan tanaman dan cadangan makanan serta sebagai antihama
karena dapat menyebabkan mortalitas pada hama. Alkaloid yang terkandung dalam brotowali
dapat mengganggu terbentuknya jembatan seberang silang komponen penyusun
petidoglikan pada sel hama, sehingga lapisan dinsing sel tidak terbentuk secara
utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. Alkaloid pada umumnya bersifat
basa, sifat ini dapat mempengaruhi tekanan osmotik antara hama wereng dan
lingkungan tempat hidupnya. Pemberian ekstrak pada media tumbuh hama
menyebabkan perbedaan tekanan osmotik tersebut, sehingga pertumbuhan hama
wereng semakin sedikit pada masing-masing perlakuan berbanding lurus dengan
konsentrasi ekstrak yang di berikan.
Brotowali sangat efektif ketika digunakan sebagai racun
perut yang meningkatkan mortalitas larva akibat kandungan alkaloid yang
dominan.
Adanya daya hambat ekstrak kasar daun Brotowali terhadap
jamur Fusarium sp. membuktikan bahwa tanaman Brotowali memiliki senyawa aktif
yang berpotensi dikembangkan sebagai fungisida nabati. Rata-rata diameter zone hambat
ekstrak kasar daun Brotowali terhadap Fusarium sp. sebesar 16,75 mm. Menurut
Ardiansyah (2005) Jika zone hambatan e” 20 mm (daya hambat sangat kuat), 10-20
mm (daya hambat kuat) dan < 5 mm (daya hambat kurang atau lemah).
Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan bahwa ekstrak kasar daun
Brotowali memiliki kemampuan cukup kuat dalam menghambat pertumbuhan Fusarium
sp.
Batang brotowali dapat berperan sebagai anti serangga.
Senyawa anti serangga tersebut adalah minyak atsiri yang terkandung dalam
fraksi glikosida. Hal inilah yang mendukung pernyataan bahwa brotowali tidak
perlu mendapatkan semprotan insektisida. Melihat begitu banyaknya manfaat dari
tanaman Brotowali disarankan agar petani bisa megolah brotowali menjadi bio-insektisida
dan mengurangi penggunaan pestisida kimiawi karena dapat memberikan dampak
buruk bagi kehidupan.
Senyawa terpenoid memiliki fungsi sebagai zat antimakan
(antifeedant) karena rasanya yang pahit sehingga serangga menolak untuk makan.
Pada brotowali senyawa terpenoid golongan triterpenoid banyak terdapat pada
bagian batang (Sukadana dkk, 2007). Bagi tumbuhan nilai ekologi dari senyawa
ini adalah sebagai insektisida dan antipemangsa (Robinson,1995).
Penggunaan bahan tanaman brotowali (Tinospora crispa) terbukti
dapat membunuh hama dan tentunya aman terhadap manusia ataupun organisme lain,
selain itu bahannya pun mudah di dapatkan, dan di harapkan memberikan dampak
positif bagi para petani.
Berdasarkan pemanfaatan dan pengelolaan bahan-bahan nabati
untuk pestisida dalam mengendaliakan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) oleh
masyarakat petani dapat dijadikan titik tolak petani dalam usaha pelestarian,
dan merupakan cara pendekatan tidak langsung masyarakat petani dalam ikut
mengembangkan teknik pelestarian lingkungan.
Di Indonesia pemanfaatan tanaman brotowali (Tinospora
crispa) belum dilakukan secara optimal. Masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui potensi-potensi yang dimiliki brotowali (Tinospora crispa).
Seringkali brotowali (Tinospora crispa) hanya dianggap sebagai tanaman obat
atau tanaman penghias di taman rumah. Kandungan senyawa kimia yang dimiliki
brotowali (Tinospora crispa) banyak memiliki potensi yang dapat menghasilkan
suatu inovasi terbaru dalam pembuatan pestisida alami untuk memberantas hama.
Dari paparan di atas maka hendaknya para petani memanfaatkan
pengembangan teknologi yang dapat menjadikan tumbuhan brotowali tersebut untuk
solusi pestisida alami yang ramah lingkungan karena budidaya tanaman ini cukup
mudah.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...