Loading...
Alumina (Al2O3) adalah satu-satunya oksida yang terbentuk
dari logam aluminium dan di alam terdapat dalam bentuk mineral korondum
(Al2O3), gibbsite (Al2O3.3H2O) diaspore (Al2O3.H2O). Alumina merupakan salah
satu biomaterial yang digunakan sebagai implant tulang disamping fungsinya
sebagai katalis, adsorben,dan bermanfaat dalam industri katalisis . Hal ini
disebabkan karena alumina toleran terhadap lingkungan biologisnya .
Alumina juga disebut sebagai aluminium oksida merupakan
oksida amfoter, senyawa ini disebut juga korundum dalam bentuk kristalnya,
serta banyak nama lainnya, mencerminkan kejadiannya secara luas di alam dan
industri.
Biomaterial adalah material tidak hidup yang berasal dari
alam dan dapat berinteraksi dengan suatu system biologi. Biomaterial ini dapat
berfungsi untuk menggantikan fungsi-fungsi organ tubuh manusia yang rusak. Salah
satu peranan biomaterial ini adalah sebagai implant tulang. Di Indonesia sendiri,
kebutuhan akan biomaterial semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena
banyaknya kasus penyakit yang membutuhkan adanya plat tulang. Seperti pada
penyakit kanker tulang, patah tulang, trauma pada mata. Untuk mendapatkan
biomaterial tersebut, di Indonesia sendiri harus melalukakn impor dari luar
negeri dengan harga yang mahal yaitu sekitar $12 miliar per tahunnya. Oleh
karena itu, pengembangan mengenai biomaterial sangat penting.
Aluminium
oksida memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Rumus molekul: Al2O3
Berat molekul: 101,96 gr/mol
Penampilan: Zat padat putih sangat higroskopik
Bau: Tidak berbau
Densitas: 3,95-4,1
gr/cm3
Titik leleh: 2072 °C
Titik didih: 2977 ° C
Kelarutan dalam air: Larut
Kelarutan dalam pelarut lain: Larut dalam dietil eter;
praktis tidak larut dalam etanol
Indeks bias (nD): ωn = 1,768-1,772; n ε = 1,760-1,763 ;
Birefringens 0,008
Struktur: Trigonal, hR30, Gugus ruang = R-3c, Nomor 167;
Geometri koordinasi, bersegi delapan
Entalpi pembentukan standar, Δ f H o 298: -1675,7 KJ · mol-1
Entropi molar standar, S 298 o: 50,92 J · mol -1K -1
Titik nyala: Tidak menyala
Aluminium oksida (alumina) adalah senyawa kimia dari
aluminium dan oksigen, dengan rumus kimia Al2O3. Secara alami, alumina terdiri
dari mineral korondum, dan memiliki bentuk kristal. Senyawa ini termasuk dalam
kelompok material aplikasi karena memiliki sifat-sifat yang sangat mendukung
pemanfaatannya dalam beragam peruntukan. Senyawa ini diketahui juga merupakan
insulator listrik yang baik, sehingga digunakan secara luas sebagai bahan
isolator suhu tinggi, karena memiliki kapasitas panas yang besar (Xu, et al.,
1994). Alumina juga dikenal sebagai senyawa berpori sehingga dimanfaatkan
sebagai adsorben (Ghababazade, et al., 2007). Sifat lain dari alumina yang
sangat mendukung aplikasinya adalah daya tahan korosi (Mirjalili, et. al.,
2011) dan titik lebur yang tinggi, yakni mencapai 2053-2072 °C (Budvari, 2001).
Aluminium oksida adalah isolator listrik tetapi memiliki
konduktivitas termal yang relatif tinggi (30 Wm-1 K-1) untuk bahan keramik.
Dalam bentuk kristal yang paling sering terjadi, disebut korundum atau
α-aluminium oksida, kekerasannya membuat ia cocok untuk digunakan sebagai
abrasif .
Secara umum alumina ditemukan dalam tiga fasa, Beta alumina
( -Al2O3) yang memiliki sifat tahan api yang sangat baik sehingga dapat
digunakan dalam berbagai aplikasi keramik seperti pembuatan tungku furnace
(Arribart and Vincent, 2001). Gamma alumina ( Al2O3) yang banyak digunakan
sebagai material katalis, contohnya dalam penyulingan minyak bumi (Knozinger
and Ratnasamy, 1978) dan digunakan dalam bidang otomotif (Satterfield, 1980;
Gate, 1995). Alfa alumina ( -Al2O3) yang mempunyai struktur kristal heksagonal
dengan parameter kisi a = 4, 7588 dan c = 12, 9910 nm. Alfa alumina banyak
digunakan sebagai salah satu bahan refraktori dari kelompok oksida, karena
bahan tersebut mempunyai sifat fisik, mekanik dan termal yang sangat baik
(Mirjalili, et al., 2011). Fasa paling stabil dari alumina adalah fasa Alfa
alumina ( -Al2O3), dalam proses perlakuan termal -Al2O3 diperoleh melalui
transformasi fasa yang diawali dari Boehmite AlO(OH) yaitu: Boehmite γ-alumina δ-alumina θ-alumina β-alumina α-alumina
(Beitollahi, et al., 2010).
Aluminium oksida diambil dari Daftar zat kimia Dewan
Perlindungan Lingkungan Amerikas Serikat tahun 1988. Aluminium oksida pada daftar TRI EPA jika itu
berbentuk serat.
Bentuk yang paling umum dari kristal alumina dikenal sebagai
korundum. Ion-ion oksigen hampir membentuk struktur heksagonal dengan ion
aluminium mengisi dua-pertiga dari celah oktahedralnya. Setiap pusat Al3+
oktahedral. Dalam istilah kristalografi, korundum mengadopsi kisi trigonal
Bravais dengan sebuah gugus ruang R-3c (nomor 167 Daftar Internasional). Sel
primitif mengandung dua unit rumus aluminium oksida. Alumina juga ada di fase
lain, yaitu γ-, δ-, η-, θ-, dan χ-alumina. Masing-masing memiliki struktur dan
sifat kristal yang unik. Yang disebut β-alumina terbukti NaAl11O17.
Produk alumina cenderung banyak-fase, yaitu terdiri dari
beberapa fase alumina bukan semata-mata korundum, sehingga proses produksi ini
dapat diotimalkan untuk menghasilkan produk-paroduk yang sesuai. Jenis fase
yang mempengaruhi ini, misalnya, kelarutan dan struktur pori dari produk
alumina yang pada gilirannya, mempengaruhi produksi aluminium dan kontrol
polusi.
Alumina menemui kegunaannya yang luas. Produksi alumina
dunia per tahun mencapai 45 juta ton, lebih dari 90% digunakan dalam pengolahan
logam aluminium. Penggunaan utama aluminium oksida sebagai cermin, keramik, dan
aplikasi-aplikasi polishing dan abrasif. Dalam jumlah besar juga digunakan
dalam pengolahan zeolit, pigmen pelapis titanium, dan sebagai pemadam
api/penekan asap. Karena memiliki aplikasi yang sangat luas, kebutuhan akan
alumina terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2013 kebutuhan alumina di
dunia mencapai 280 juta ton (U.S. Geological Survey, 2013).
Di alam, alumina terdapat dalam mineral bauksit yang
mengandung alumunium dalam bentuk hidroksida, yakni boehmet (γ-AlO(OH)) dan
gibsite Al(OH)3, dengan kadar sekitar 30-54%. Sebagai mineral alam, selain
aluminium, bauksit juga mengandung berbagai pengotor, misalnya oksida besi,
silika, dan mineral lempung. Karena komposisi tersebut, untuk mendapatkan
alumina murni, bauksit harus diolah, dan salah satu metode pengolahannya adalah
proses Bayer (Amira International, 2001).
Dalam proses Bayer, bauksit dilebur dengan cara melarutkan
bauksit dalam larutan natrium hidroksida (NaOH) panas, dengan suhu sekitar 175
°C. Hal ini dilakukan untuk mengubah oksida aluminium dalam bijih menjadi
natrium aluminat {2NaAl (OH)4}, menurut persamaan kimia:
Gibbsite : Al(OH)3 + Na+ + OH- → Al(OH)4- + Na+
Boehmite : AlO(OH) + Na+ + OH - + H2O → Al(OH)4- + Na+ Al(OH)4- + Na+ + Al(OH)4- + Na+ → 2NaAl (OH)4
Dalam proses di atas, komponen lain dari bauksit tidak ikut
larut, sehingga pengotor tersebut dapat dipisahkan dengan penyaringan. Campuran
kotoran padat disebut lumpur merah. Awalnya, larutan alkali didinginkan,
kemudian gas karbon dioksida dialirkan kedalamnya, untuk mendapatkan endapan
aluminium hidroksida berdasarkan reaksi:
2 NaAl (OH)4 + CO2 → 2 Al(OH)3 + Na2CO3 + H2O
Untuk mendapatkan alumina, endapan dipanaskan hingga 980°C
(kalsinasi), dimana aluminium hidroksida terurai melepaskan air sesuai dengan
reaksi (International Aluminium Institute, 2000):
2 Al(OH)3 → Al2O3 + 3H2O
Perkembangan lain dalam bidang alumina yang dewasa ini
banyak diteliti adalah pemanfaatan alumina berukuran nano (nanoalumina),
seiring dengan perkembangan nanoteknologi. Secara umum nano material adalah
material dengan ukuran partikel 1-100 nm, dan karenanya memiliki banyak
keunggulan dibanding dengan material berukuran makro. Keunggulan dari
nanoalumina antara lain memiliki nilai perbandingan antara luas
permukaan dan volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan partikel sejenis
dalam ukuran besar. Ini membuat nanopartikel lebih reaktif, misalnya untuk
digunakan sebagai reaktan dalam menghasilkan produk lain atau sebagai katalis.
Dewasa ini telah dikembangkan beberapa cara untuk
menghasilkan alumina dengan metode yang berbeda dan dikategorikan dalam metode
fisika dan metode kimia. Metode fisika meliputi mechanical milling (Wu, 2001),
laser ablation (Mamun, et al., 2010), dan flame spray (Tok et al., 2006). Metode
kimia meliputi sol–gel processing (Rogajan et al., 2011), solution combustion
decomposition (Pathak et al., 2002) dan vapour deposition (Wei et al., 2006).
Kebanyakan dari metode fisika di atas berlaku hanya pada material tertentu saja serta ukuran
partikel nano tidak dapat dikontrol dengan baik, sehingga metode kimia dianggap
lebih baik dalam menghasilkan produk dengan homogenitas yang tinggi, meskipun
membutuhkan biaya yang relatif lebih mahal (Halim, 2010).
Berikut ini adalah beberapa contoh dari metode kimia yang
sering digunakan untuk menghasilkan alumina:
Metode
sol gel
Metode pertama adalah dengan metode sol gel, metode ini
didasarkan pada transformasi fase sol yang diperoleh dari alkoksida logam.
Sol merupakan sistim koloid dimana suatu zat padat
tersuspensi dalam zat cair mengandung partikel dalam suspensi dipolimerisasi
pada suhu rendah, untuk membentuk gel basah. Pelarut dihilangkan dengan
pengeringan gel dilanjutkan dengan perlakuan panas untuk mengubah gel menjadi
padatan (Rogajan et al., 2011, Mirjalili, et al., 2011).
Metode
solution combustion decomposition
Metode kedua adalah dengan metode solution combustion
decomposition atau teknik dekomposisi larutan asam pada suhu tinggi. Teknik ini diterapkan untuk menghasilkan
nanoalumina dari prekursor Alumunium nitrat, yang dilarutkan dalam asam sitrat,
sehingga metode ini dikenal juga sebagai proses sitrat (Pathak et al., 2002).
Metode
vapour deposition
Metode ketiga adalah vapour deposition yang merupakan metode
untuk menghasilkan nanopartikel menggunakan fasa gas, maka yang paling penting
adalah kondensasi gas inert. Prinsip dasar dari proses kondensasi gas inert
adalah bagaimana logam diintroduksi dan diuapkan. Pada metode ini digunakan
prekursor alumunium pentanedionat yang dilarutkan dalam butanol untuk membentuk
larutan dengan konsentrasi tertentu (Wei et al., 2006).
Terdapat juga metode elektrokimia yang merupakan metode
alternatif untuk pembuatan alumina langsung dari logam aluminium. Metode ini
digagas karena memiliki sejumlah keuntungan dibanding metode konvensional yang
dipaparkan di atas. Keuntungan pertama adalah tidak memerlukan senyawa
alumunium sebagai bahan baku, sehingga lebih murah dari sudut pandang bahan
baku yang diperlukan. Keuntungan lainnya adalah prosesnya yang sangat
sederhana, yakni hanya memerlukan perangkat elektrokimia yang sederhana untuk
melangsungkan reaksi elektrolisis logam aluminium menghasilkan ion aluminium
(Natter et al., 2003).
Metode elektrokimia adalah metode yang didasarkan pada
reaksi redoks, yakni gabungan dari reaksi reduksi dan oksidasi, yang
berlangsung pada elektroda yang sama atau berbeda dalam suatu sistem
elektrokimia. Sistem elektrokimia meliputi sel elektrokimia dan reaksi
elektrokimia. Sel elektrokimia yang menghasilkan listrik karena terjadinya
reaksi spontan di dalamnya disebut sel galvani. Sedangkan sel elektrokimia di
mana reaksi tak-spontan terjadi di dalamnya di sebut sel elektrolisis.
Secara sederhana proses yang berlangsung dapat dirangkum dalam
reaksi redoks di bawah ini.
Reaksi anodik:
Al → Al3+ + 3
e
Reaksi katodik:
H2O + e → H2 + OH-
Ion Al3+ yang
selanjutnya bereaksi dengan OH-
menghasilkan Al(OH)3 sesuai
dengan persamaan reaksi:
Al3+ + 3OH- → Al(OH)3
Al(OH)3 jika dipanaskan akan menghasilkan alumina
berdasarkan reaksi: 2 Al(OH)3 → Al2O3 + 3H2O
Secara umum telah diketahui bahwa proses elektrokimia
dipengaruhi oleh sejumlah variabel, dua diantaranya adalah potensial dan pH.
Atas dasar tersebut, dalam suatu penelitian telah dipelajari pengaruh pH dan
potensial terhadap proses elektrokimia yang berlangsung serta kaitannya dengan
karaktersitik perubahan fasa alumina yang dihasilkan. Perubahan fasa merupakan
sifat khas dari alumina, dimana senyawa ini ditemukan dalam tiga fasa, yakni
gamma , beta, dan alfa alumina. Menurut suatu penelitian diketahui bahwa fasa
gamma alumina terjadi pada suhu 300 -500°C (Kim, et al., 2005), kemudian mengalami perubahan fasa menjadi
beta alumina pada suhu 1000°C (Zyl, et al., 1993). Dari suhu 1000°C terus
terjadi perubahan fasa dari beta alumina menjadi fasa alfa alumina yang
merupakan fasa yang stabil dan terbentuk secara sempurna pada suhu 1200°C
(Rogajan, et al., 2011).
Metode elekrokimia telah banyak digunakan untuk menghasilkan
material yang berukuran nano atau nanomaterial. Secara umum metode ini dikenal
sebagai metode elektrosintesis. Teknik atau metode elektrosintesis adalah suatu
cara untuk mensintesis atau membuat dan atau memproduksi suatu bahan yang
didasarkan pada teknik elektrokimia. Pada metode ini terjadi perubahan unsur
atau senyawa kimia menjadi senyawa yang sesuai dengan yang diinginkan.
Penggunaan metode ini oleh para peneliti dalam mensintesis bahan didasarkan
oleh berbagai keuntungan yang ditawarkan seperti peralatan yang diperlukan
sangat sederhana. Dari keuntungan yang ditawarkan menyebabkan teknik
elektrosintesis lebih menguntungkan dibandingkan metode sintesis secara
konvensional, yang sangat dipengaruhi oleh tekanan, suhu, katalis dan
konsentrasi (Suwarso, dkk, 2003).
Alumina mengkatalisis berbagai reaksi yang berguna secara
industri. Alumina berfungsi sebagai pendukung katalis untuk katalis industri,
seperti yang digunakan dalam hidrodesulfurisasi dan beberapa polimerisasi Ziegler-Natta.
Zeolit dihasilkan dari alumina. Alumina juga berguna untuk dehidrasi alkohol
menjadi alkena.
Aluminium oksida digunakan karena kekerasan dan kekuatannya.
Sebagai mineral aloxite tepung kasar, alumina adalah komponen utama, bersama
dengan silika, dari cue tip “kapur tulis” yang digunakan dalam biliar. Polishing
kualitas alumina juga berada di balik penggunaannya dalam pasta gigi. Dalam
kedokteran gigi, alumina digunakan sebagai bahan polishing untuk menghilangkan
noda. Ini adalah sebuah alternatif untuk natrium bikarbonat, untuk pasien yang
memiliki tekanan darah tinggi.
Al2O3 (Aluminium Oksida) sering dimanfaatkan sebagai filler
dalam berbagai bahan plastik, dan juga digunakan sebagai formulasi dalam
beberapa macam kosmetik. Bahkan diyakini bahwa Al2O3 ini juga digunakan sebagai
serbuk intan putih.
Alumina sebagai pengisi banyak digunakan untuk produksi plastik.
Namun, alumina diklasifikasikan memiliki bukti kuat neurotoksisitas pada
manusia dan tercantum dalam Daftar Zat Domestik Lingkungan Kanada. Alumina
adalah suatu bahan yang umum digunakan dalam produk tabir surya dan terkadang
terdapat dalam kosmetika seperti blush, lipstik, dan cat kuku.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...