Monday, 25 March 2019

Cantik Sehat: Penggunaan Alumina dalam Kosmetik – Penjelasan serta Manfaatnya


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...

Penggunaan Alumina dalam Kosmetik

Alumina (Al2O3) adalah satu-satunya oksida yang terbentuk dari logam aluminium dan di alam terdapat dalam bentuk mineral korondum (Al2O3), gibbsite (Al2O3.3H2O) diaspore (Al2O3.H2O). Alumina merupakan salah satu biomaterial yang digunakan sebagai implant tulang disamping fungsinya sebagai katalis, adsorben,dan bermanfaat dalam industri katalisis . Hal ini disebabkan karena alumina toleran terhadap lingkungan biologisnya .

Alumina juga disebut sebagai aluminium oksida merupakan oksida amfoter, senyawa ini disebut juga korundum dalam bentuk kristalnya, serta banyak nama lainnya, mencerminkan kejadiannya secara luas di alam dan industri.

Biomaterial adalah material tidak hidup yang berasal dari alam dan dapat berinteraksi dengan suatu system biologi. Biomaterial ini dapat berfungsi untuk menggantikan fungsi-fungsi organ tubuh manusia yang rusak. Salah satu peranan biomaterial ini adalah sebagai implant tulang. Di Indonesia sendiri, kebutuhan akan biomaterial semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena banyaknya kasus penyakit yang membutuhkan adanya plat tulang. Seperti pada penyakit kanker tulang, patah tulang, trauma pada mata. Untuk mendapatkan biomaterial tersebut, di Indonesia sendiri harus melalukakn impor dari luar negeri dengan harga yang mahal yaitu sekitar $12 miliar per tahunnya. Oleh karena itu, pengembangan mengenai biomaterial sangat penting.

Aluminium oksida memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Rumus molekul: Al2O3
Berat molekul: 101,96 gr/mol
Penampilan: Zat padat putih sangat higroskopik
Bau: Tidak berbau
Densitas:  3,95-4,1 gr/cm3
Titik leleh: 2072 °C
Titik didih: 2977 ° C
Kelarutan dalam air: Larut
Kelarutan dalam pelarut lain: Larut dalam dietil eter; praktis tidak larut dalam etanol
Indeks bias (nD): ωn = 1,768-1,772; n ε = 1,760-1,763 ; Birefringens 0,008
Struktur: Trigonal, hR30, Gugus ruang = R-3c, Nomor 167; Geometri koordinasi, bersegi delapan
Entalpi pembentukan standar, Δ f H o 298: -1675,7 KJ · mol-1
Entropi molar standar, S 298 o:  50,92 J · mol -1K -1
Titik nyala: Tidak menyala

Aluminium oksida (alumina) adalah senyawa kimia dari aluminium dan oksigen, dengan rumus kimia Al2O3. Secara alami, alumina terdiri dari mineral korondum, dan memiliki bentuk kristal. Senyawa ini termasuk dalam kelompok material aplikasi karena memiliki sifat-sifat yang sangat mendukung pemanfaatannya dalam beragam peruntukan. Senyawa ini diketahui juga merupakan insulator listrik yang baik, sehingga digunakan secara luas sebagai bahan isolator suhu tinggi, karena memiliki kapasitas panas yang besar (Xu, et al., 1994). Alumina juga dikenal sebagai senyawa berpori sehingga dimanfaatkan sebagai adsorben (Ghababazade, et al., 2007). Sifat lain dari alumina yang sangat mendukung aplikasinya adalah daya tahan korosi (Mirjalili, et. al., 2011) dan titik lebur yang tinggi, yakni mencapai 2053-2072 °C (Budvari, 2001).

Aluminium oksida adalah isolator listrik tetapi memiliki konduktivitas termal yang relatif tinggi (30 Wm-1 K-1) untuk bahan keramik. Dalam bentuk kristal yang paling sering terjadi, disebut korundum atau α-aluminium oksida, kekerasannya membuat ia cocok untuk digunakan sebagai abrasif .

Secara umum alumina ditemukan dalam tiga fasa, Beta alumina ( -Al2O3) yang memiliki sifat tahan api yang sangat baik sehingga dapat digunakan dalam berbagai aplikasi keramik seperti pembuatan tungku furnace (Arribart and Vincent, 2001). Gamma alumina ( Al2O3) yang banyak digunakan sebagai material katalis, contohnya dalam penyulingan minyak bumi (Knozinger and Ratnasamy, 1978) dan digunakan dalam bidang otomotif (Satterfield, 1980; Gate, 1995). Alfa alumina ( -Al2O3) yang mempunyai struktur kristal heksagonal dengan parameter kisi a = 4, 7588 dan c = 12, 9910 nm. Alfa alumina banyak digunakan sebagai salah satu bahan refraktori dari kelompok oksida, karena bahan tersebut mempunyai sifat fisik, mekanik dan termal yang sangat baik (Mirjalili, et al., 2011). Fasa paling stabil dari alumina adalah fasa Alfa alumina ( -Al2O3), dalam proses perlakuan termal -Al2O3 diperoleh melalui transformasi fasa yang diawali dari Boehmite AlO(OH) yaitu: Boehmite  γ-alumina δ-alumina θ-alumina β-alumina α-alumina (Beitollahi, et al., 2010).

Aluminium oksida diambil dari Daftar zat kimia Dewan Perlindungan Lingkungan Amerikas Serikat tahun 1988.  Aluminium oksida pada daftar TRI EPA jika itu berbentuk serat.

Bentuk yang paling umum dari kristal alumina dikenal sebagai korundum. Ion-ion oksigen hampir membentuk struktur heksagonal dengan ion aluminium mengisi dua-pertiga dari celah oktahedralnya. Setiap pusat Al3+ oktahedral. Dalam istilah kristalografi, korundum mengadopsi kisi trigonal Bravais dengan sebuah gugus ruang R-3c (nomor 167 Daftar Internasional). Sel primitif mengandung dua unit rumus aluminium oksida. Alumina juga ada di fase lain, yaitu γ-, δ-, η-, θ-, dan χ-alumina. Masing-masing memiliki struktur dan sifat kristal yang unik. Yang disebut β-alumina terbukti NaAl11O17.

Produk alumina cenderung banyak-fase, yaitu terdiri dari beberapa fase alumina bukan semata-mata korundum, sehingga proses produksi ini dapat diotimalkan untuk menghasilkan produk-paroduk yang sesuai. Jenis fase yang mempengaruhi ini, misalnya, kelarutan dan struktur pori dari produk alumina yang pada gilirannya, mempengaruhi produksi aluminium dan kontrol polusi.

Alumina menemui kegunaannya yang luas. Produksi alumina dunia per tahun mencapai 45 juta ton, lebih dari 90% digunakan dalam pengolahan logam aluminium. Penggunaan utama aluminium oksida sebagai cermin, keramik, dan aplikasi-aplikasi polishing dan abrasif. Dalam jumlah besar juga digunakan dalam pengolahan zeolit, pigmen pelapis titanium, dan sebagai pemadam api/penekan asap. Karena memiliki aplikasi yang sangat luas, kebutuhan akan alumina terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2013 kebutuhan alumina di dunia mencapai 280 juta ton (U.S. Geological Survey, 2013).

Di alam, alumina terdapat dalam mineral bauksit yang mengandung alumunium dalam bentuk hidroksida, yakni boehmet (γ-AlO(OH)) dan gibsite Al(OH)3, dengan kadar sekitar 30-54%. Sebagai mineral alam, selain aluminium, bauksit juga mengandung berbagai pengotor, misalnya oksida besi, silika, dan mineral lempung. Karena komposisi tersebut, untuk mendapatkan alumina murni, bauksit harus diolah, dan salah satu metode pengolahannya adalah proses Bayer (Amira International, 2001).

Dalam proses Bayer, bauksit dilebur dengan cara melarutkan bauksit dalam larutan natrium hidroksida (NaOH) panas, dengan suhu sekitar 175 °C. Hal ini dilakukan untuk mengubah oksida aluminium dalam bijih menjadi natrium aluminat {2NaAl (OH)4}, menurut persamaan kimia:
Gibbsite : Al(OH)3 + Na+ + OH- Al(OH)4- + Na+
Boehmite : AlO(OH) + Na+ + OH - + H2O Al(OH)4- + Na+ Al(OH)4- + Na+  + Al(OH)4- + Na+  2NaAl (OH)4
Dalam proses di atas, komponen lain dari bauksit tidak ikut larut, sehingga pengotor tersebut dapat dipisahkan dengan penyaringan. Campuran kotoran padat disebut lumpur merah. Awalnya, larutan alkali didinginkan, kemudian gas karbon dioksida dialirkan kedalamnya, untuk mendapatkan endapan aluminium hidroksida berdasarkan reaksi:
2 NaAl (OH)4 + CO2 2 Al(OH)3 + Na2CO3 + H2O
Untuk mendapatkan alumina, endapan dipanaskan hingga 980°C (kalsinasi), dimana aluminium hidroksida terurai melepaskan air sesuai dengan reaksi (International Aluminium Institute, 2000):
2 Al(OH)3 Al2O3 + 3H2O

Perkembangan lain dalam bidang alumina yang dewasa ini banyak diteliti adalah pemanfaatan alumina berukuran nano (nanoalumina), seiring dengan perkembangan nanoteknologi. Secara umum nano material adalah material dengan ukuran partikel 1-100 nm, dan karenanya memiliki banyak keunggulan dibanding dengan material berukuran makro. Keunggulan  dari  nanoalumina antara lain memiliki nilai perbandingan antara luas permukaan dan volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan partikel sejenis dalam ukuran besar. Ini membuat nanopartikel lebih reaktif, misalnya untuk digunakan sebagai reaktan dalam menghasilkan produk lain atau sebagai katalis.

Dewasa ini telah dikembangkan beberapa cara untuk menghasilkan alumina dengan metode yang berbeda dan dikategorikan dalam metode fisika dan metode kimia. Metode fisika meliputi mechanical milling (Wu, 2001), laser ablation (Mamun, et al., 2010), dan flame spray (Tok et al., 2006). Metode kimia meliputi sol–gel processing (Rogajan et al., 2011), solution combustion decomposition (Pathak et al., 2002) dan vapour deposition (Wei et al., 2006). Kebanyakan dari metode fisika di atas berlaku hanya  pada material tertentu saja serta ukuran partikel nano tidak dapat dikontrol dengan baik, sehingga metode kimia dianggap lebih baik dalam menghasilkan produk dengan homogenitas yang tinggi, meskipun membutuhkan biaya yang relatif lebih mahal (Halim, 2010).

Berikut ini adalah beberapa contoh dari metode kimia yang sering digunakan untuk menghasilkan alumina:

Metode sol gel
Metode pertama adalah dengan metode sol gel, metode ini didasarkan pada transformasi fase sol yang diperoleh dari alkoksida logam. Sol  merupakan  sistim koloid dimana suatu zat padat tersuspensi dalam zat cair mengandung partikel dalam suspensi dipolimerisasi pada suhu rendah, untuk membentuk gel basah. Pelarut dihilangkan dengan pengeringan gel dilanjutkan dengan perlakuan panas untuk mengubah gel menjadi padatan (Rogajan et al., 2011, Mirjalili, et al., 2011).

Metode solution combustion decomposition
Metode kedua adalah dengan metode solution combustion decomposition atau teknik dekomposisi larutan asam pada suhu tinggi.  Teknik ini diterapkan untuk menghasilkan nanoalumina dari prekursor Alumunium nitrat, yang dilarutkan dalam asam sitrat, sehingga metode ini dikenal juga sebagai proses sitrat (Pathak et al., 2002).

Metode vapour deposition
Metode ketiga adalah vapour deposition yang merupakan metode untuk menghasilkan nanopartikel menggunakan fasa gas, maka yang paling penting adalah kondensasi gas inert. Prinsip dasar dari proses kondensasi gas inert adalah bagaimana logam diintroduksi dan diuapkan. Pada metode ini digunakan prekursor alumunium pentanedionat yang dilarutkan dalam butanol untuk membentuk larutan dengan konsentrasi tertentu (Wei et al., 2006).

Terdapat juga metode elektrokimia yang merupakan metode alternatif untuk pembuatan alumina langsung dari logam aluminium. Metode ini digagas karena memiliki sejumlah keuntungan dibanding metode konvensional yang dipaparkan di atas. Keuntungan pertama adalah tidak memerlukan senyawa alumunium sebagai bahan baku, sehingga lebih murah dari sudut pandang bahan baku yang diperlukan. Keuntungan lainnya adalah prosesnya yang sangat sederhana, yakni hanya memerlukan perangkat elektrokimia yang sederhana untuk melangsungkan reaksi elektrolisis logam aluminium menghasilkan ion aluminium (Natter et al., 2003).

Metode elektrokimia adalah metode yang didasarkan pada reaksi redoks, yakni gabungan dari reaksi reduksi dan oksidasi, yang berlangsung pada elektroda yang sama atau berbeda dalam suatu sistem elektrokimia. Sistem elektrokimia meliputi sel elektrokimia dan reaksi elektrokimia. Sel elektrokimia yang menghasilkan listrik karena terjadinya reaksi spontan di dalamnya disebut sel galvani. Sedangkan sel elektrokimia di mana reaksi tak-spontan terjadi di dalamnya di sebut sel elektrolisis.

Secara sederhana proses yang berlangsung dapat dirangkum dalam reaksi redoks di bawah ini.
Reaksi anodik:
Al     Al3+ + 3 e
Reaksi katodik:
H2O +  e                           H2  + OH-
Ion Al3+  yang selanjutnya bereaksi dengan OH-  menghasilkan Al(OH)3  sesuai dengan persamaan reaksi:
Al3+  + 3OH- Al(OH)3
Al(OH)3 jika dipanaskan akan menghasilkan alumina berdasarkan reaksi: 2 Al(OH)3 Al2O3 + 3H2O

Secara umum telah diketahui bahwa proses elektrokimia dipengaruhi oleh sejumlah variabel, dua diantaranya adalah potensial dan pH. Atas dasar tersebut, dalam suatu penelitian telah dipelajari pengaruh pH dan potensial terhadap proses elektrokimia yang berlangsung serta kaitannya dengan karaktersitik perubahan fasa alumina yang dihasilkan. Perubahan fasa merupakan sifat khas dari alumina, dimana senyawa ini ditemukan dalam tiga fasa, yakni gamma , beta, dan alfa alumina. Menurut suatu penelitian diketahui bahwa fasa gamma alumina terjadi pada suhu 300 -500°C (Kim, et al., 2005),  kemudian mengalami perubahan fasa menjadi beta alumina pada suhu 1000°C (Zyl, et al., 1993). Dari suhu 1000°C terus terjadi perubahan fasa dari beta alumina menjadi fasa alfa alumina yang merupakan fasa yang stabil dan terbentuk secara sempurna pada suhu 1200°C (Rogajan, et al., 2011).

Metode elekrokimia telah banyak digunakan untuk menghasilkan material yang berukuran nano atau nanomaterial. Secara umum metode ini dikenal sebagai metode elektrosintesis. Teknik atau metode elektrosintesis adalah suatu cara untuk mensintesis atau membuat dan atau memproduksi suatu bahan yang didasarkan pada teknik elektrokimia. Pada metode ini terjadi perubahan unsur atau senyawa kimia menjadi senyawa yang sesuai dengan yang diinginkan. Penggunaan metode ini oleh para peneliti dalam mensintesis bahan didasarkan oleh berbagai keuntungan yang ditawarkan seperti peralatan yang diperlukan sangat sederhana. Dari keuntungan yang ditawarkan menyebabkan teknik elektrosintesis lebih menguntungkan dibandingkan metode sintesis secara konvensional, yang sangat dipengaruhi oleh tekanan, suhu, katalis dan konsentrasi (Suwarso, dkk, 2003).

Alumina mengkatalisis berbagai reaksi yang berguna secara industri. Alumina berfungsi sebagai pendukung katalis untuk katalis industri, seperti yang digunakan dalam hidrodesulfurisasi dan beberapa polimerisasi Ziegler-Natta. Zeolit dihasilkan dari alumina. Alumina juga berguna untuk dehidrasi alkohol menjadi alkena.

Aluminium oksida digunakan karena kekerasan dan kekuatannya. Sebagai mineral aloxite tepung kasar, alumina adalah komponen utama, bersama dengan silika, dari cue tip “kapur tulis” yang digunakan dalam biliar. Polishing kualitas alumina juga berada di balik penggunaannya dalam pasta gigi. Dalam kedokteran gigi, alumina digunakan sebagai bahan polishing untuk menghilangkan noda. Ini adalah sebuah alternatif untuk natrium bikarbonat, untuk pasien yang memiliki tekanan darah tinggi.

Al2O3 (Aluminium Oksida) sering dimanfaatkan sebagai filler dalam berbagai bahan plastik, dan juga digunakan sebagai formulasi dalam beberapa macam kosmetik. Bahkan diyakini bahwa Al2O3 ini juga digunakan sebagai serbuk intan putih.

Alumina sebagai pengisi banyak digunakan untuk produksi plastik. Namun, alumina diklasifikasikan memiliki bukti kuat neurotoksisitas pada manusia dan tercantum dalam Daftar Zat Domestik Lingkungan Kanada. Alumina adalah suatu bahan yang umum digunakan dalam produk tabir surya dan terkadang terdapat dalam kosmetika seperti blush, lipstik, dan cat kuku.



*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.

pasang iklan disini




loading...