Loading...
Indonesia merupakan
negara yang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan
fauna dapat ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan
tropis yang sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah
satu negara paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di
Indonesia juga memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun
kesehatan.
Indonesia sebagai negara
yang kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara
makmur. Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber
Daya Alam yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang
hidupnya belum layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia
yang tidak memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang
penyakit. Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk
Indonesia belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan
sekitarnya.
Peningkatan produksi tanaman juga merupakan
salah tujuan dalam program pertanian. Agar tanaman tidak dirusak oleh hama dan
penyakit salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan pestisida. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan sandang,
pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan potensi lahannya
dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu input penting
adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat
pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang terdaftar
untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810 nama
dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).
Pertanian merupakan sumber mata pecaharian penting
bagi masyarakat di Indonesia pada umumnya, terlebih Indonesia beriklimkan
tropis. Hal tersebut menjadikan tanah di Indonesia cocok digunakan untuk
bertani maupun bercocok tanam. Menjadi petani bukanlah hal yang mudah,
disamping harus sabar mengurus lahan persawahan ataupu ladang, para petani juga
harus berjuang mengusir hama-hama yang mengganggu ladang mereka.
Peran tanaman sangat penting bagi perekonomian
indonesia. Karena itulah, kesuburan tanaman sangat penting untuk diperhatikan
oleh masyarakat Indonesia. Produktivitas pertanian dapat terganggu oleh adanya
OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Organisme pengganggu tanaman inilah yang
dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis terhadap petani maupun masyarakat.
Banyak sekali petani mengeluhkan hama tanaman yang mengganggu proses
pertumbuhan tanaman.
Peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap hasil
pertanian pangan berupa beras, buah dan sayur semakin tinggi sejalan dengan
pertambahan penduduk. Hal ini menyebabkan meningkatnya penggunaan pestisida.
Pestisida merupakan salah satu hasil teknologi modern telah terbukti mempunyai
peranan yang penting dalam peningkatan produksi pertanian. Penggunaan
bahan-bahan beracun itu pada awalnya dianggap sebagai cara yang ampuh untuk
mematikan unsur-unsur penganggu tanaman pertanian, kemudian penyebaran racun ke
tanaman pangan justru menimbulkan masalah baru yang lebih berat. Penggunaan
pestisida yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia terutama bagi petani
yang terus menerus menggunakannya juga akan memberikan banyak dampak buruk.
Masalah pangan yang
mencukupi dan bebas dari penyakit sudah menjadi pemikiran manusia sejak dahulu.
Sebab, peningkatan derajat kesehatan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi
bahan pangan yang berkualitas, bernilai gizi tinggi dan aman, yakni tidak
terdapatnya benda asing yang dapat merusak kesehatan. Semakin meningkatnya
kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan mendorong konsumen untuk selektif
memilih bahan pangan (Naria, 1994).
Pemakaian pestisida sintesis berawal dari
pelaksanaan program intensifikasi pertanian yang berorientasi pada peningkatan
hasil panen yang sebesar- besarnya. Berkembangnya penggunaan pestisida sintesis
yang dinilai praktis oleh para petani dan pecinta tanaman untuk mencegah
tanamannya dari serangan hama, ternyata membawa dampak negatif yang cukup besar
bagi manusia dan lingkungan. Penelitian terbaru mengenai bahaya pestisida
terhadap keselamatan nyawa dan kesehatan manusia sangat mencengangkan. WHO
(World Health Organization) dan Program Lingkungan PBB memperkirakan ada 3 juta
orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena
racun pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya
(Miller, 2004). Di Cina diperkirakan setiap tahunnya ada setengah juta orang
keracunan pestisida dan 500 orang diantaranya meninggal (Lawrence, 2007). Adanya
dampak negatif dari penggunaan pestisida sintetis termasuk juga dapat
meningkatkan daya tahan hama terhadap pestisida (resistansi hama itu sendiri),
membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida dan penggunaan
yang kurang tepat dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia dan ekosistem
lingkungan menjadi tidak stabil / tidak seimbang. Bahkan wadah bekas pestisida
sering dibuang disembarang tempat. Pemakaian pestisida sering tidak bijaksana,
dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang- kadang ditingkatkan hingga melampaui
batas yang disarankan, dengan asumsi dosis yang rendah sudah tidak mampu lagi
mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Berbagai jenis pestisida terakumulasi tanah dan
air yang berdampak buruk terhadap keseluruhan ekosistem. Dampak yang sangat
berbahaya seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan, dan hepatitis dapat terjadi
akibat pengggunaan pestisida. WHO memperkirakan pada tahun 2009 kematian akibat
keracunan pestisida ada 5.000 kasus. Sebuah penelitian di India memperkirakan
lebih dari 1.000 orang pekerja di perkebunan telah terpapar pestisida dalam
kurun waktu antara Agustus hingga Desember tahun 2001 dengan CFR 50% sedangkan
di Kamboja setidaknya 88% petani mengalami dampak akut keracunan pestisida. Di
China, antara 53.000 sampai 123.000 orang keracunan pestisida setiap tahun.
Kasus keracunan pestisida juga banyak terjadi di Indonesia antara lain di Kulon
Progo, Jawa Tengah pada tahun 2008 ada 210 kasus keracunan dengan pemeriksaan
fisik dan klinis, 50 orang diantaranya diperiksa laboratorium dengan hasil 15
orang (30%) mengalami keracunan.
Pestisida merupakan
bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat
bioaktif. Pada dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya
sebagai racun itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT
(Organisme Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh
karena itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa
menimbulkan dampak negatif.
Di beberapa negara maju, penjualan dan
penggunaan pestisida diatur oleh pemerintah. Sebagai contoh pada tahun 1972 di
Amerika Serikat dibentuk Environmental Protection Agency (EPA) yang bertanggung
jawab atas regulasi pestisida (Willson, 1996). Akan tetapi dalam
implementasinya penggunaan pestisida sulit untuk dikontrol, maka pada tahun
1979 Presiden Carter mendirikan Interagency Integrated Pest Management
Coordinating Committe untuk memberi jaminan pengembangan dan penerapan
pengendalian hama terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM). PHT
merupakan sistem yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan
menggunakan taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang dikoordinasi
secara harmonis dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisa biaya dan
keuntungan yang berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan lingkungan
(Kogan, 1998).
Menurut Munarso et al., (2006), Penggunaan
pestisida pada tanaman sayuran di dataran tinggi tergolong sangat intensif, hal
ini terutama disebabkan kondisi iklim yang sejuk dengan kelembaban udara dan
curah hujan yang tinggi menciptakan kondisi yang baik untuk perkembangbiakan
hama dan penyakit tanaman. Namun apabila penggunaan pestisida yang tidak tepat
baik secara jenis, waktu, dosis, cara, dan sasaran akan menimbulkan pencemaran
dan berdampak pada kesehatan.
Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah
keberadaan hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu
tanaman holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau
merusak hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya
dibedakan menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan
penyakit tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman
budidaya sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika
tanaman tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua
herbivora memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga
yang pada kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada
tanaman budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan
penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan
iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.
Petani benar-benar dirangsang untuk menggunakan
pestisida secara besar-besaran. Pada saat pelaksanaan program intensifikasi
pertanian digiatkan, subsidi pemerintah terhadap pestisida mencapai 80%,
sehingga harga pestisida menjadi sangat murah, terlebih lagi dengan adanya
kemudahan memperoleh kredit. Program penyuluhan pertanian pun selalu
merekomendasikan penyemprotan pestisida secara berkala tanpa melihat ada
tidaknya hama yang menyerang tanaman, sehingga penyemprotan bisa dilakukan
setiap minggu sepanjang musim tanam.
Pestisida yang terdapat pada tanaman dapat
terserap bersama hasil panen berupa residu yang dapat terkonsumsi oleh
konsumen. Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil
pertanian bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun
tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup juga senyawa
turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil
reaksi dan zat pengotor yang dapat bersifat toksik (Sakung, 2004). Residu
pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa
jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun.
Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan
kerusakan adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari
segi fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat
beragam tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak
dan tidak mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara
permanen/keseluruhan pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen,
misalnya kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya
sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak
produktif lagi. Sedangkan kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan
yang terjadi pada sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang,
dan batang.
Pestisida adalah sebutan untuk semua jenis obat
(zat/bahan kimia) pembasmi hama yang ditunjukkan untuk melindungi tanaman dari
serangga-serangga, bakteri, virus, dan hama lainnya seperti tikus, bekicot, dan
nematode (cacing) serta zat pengatur tumbuh pada tumbuhan di luar pupuk. Pestisida
juga merupakan racun untuk memberantas atau untuk mencegah fungi, ulat dan hama
penghisap yang menyerang tanaman, juga digunakan untuk memberantas tanaman
pengganggu dan sebagainya. Pestisida tersusun dan unsur kimia yang jumlahnya
tidak kurang dari 105 unsur. Namun yang sering digunakan sebagai unsur
pestisida adalah 21 unsur. Unsur atau atom yang lebih sering dipakai adalah
carbon, hydrogen, oxigen, nitrogen, phosphor, chlorine dan sulfur. Sedangkan
yang berasal dari logam atau semi logam adalah ferum, cuprum, mercury, zinc dan
arsenic. Setiap pestisida mempunyai sifat yang berbeda. Sifat pestisida yang sering
ditemukan adalah daya, toksisitas, rumus empiris, rumus bangun, formulasi,
berat molekul dan titik didih.
Pestisida tidak hanya berperan dalam
mengendalikan jasad-jasad pengganggu dalam bidang pertanian saja, namun juga
diperlukan dalam bidang kehutanan terutama untuk pengawetan kayu dan hasil
hutan yang lainnya, dalam bidang kesehatan dan rumah tangga untuk mengendalikan
vektor (penular) penyakit manusia dan binatang pengganggu kenyamanan
lingkungan, dalam bidang perumahan terutama untuk pengendalian rayap atau
gangguan serangga yang lain.
Pestisida berasal dari
kata pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh.
Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut
peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia
yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan
mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk
serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan
kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat
pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati,
yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi,
yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur,
bakteri atau virus.
Pestisida
Elemen (Elemental pesticide), yaitu pestisida yang bahan
aktifnya berasal dari alam, seperti; sulfur.
Dengan melihat besarnya kehilangan hasil yang
dapat diselamatkan berkat penggunaan pestisida, maka dapat dikatakan bahwa
peranan pestisida sangat besar dan merupakan sarana penting yang sangat
diperlukan dalam bidang pertanian. Usaha intensifikasi pertanian yang dilakukan
dengan menerapkan berbagai teknologi maju seperti penggunaan pupuk, varietas
unggul, perbaikan pengairan dan pola tanam akan menyebabkan perubahan ekosistem
yang sering diikuti oleh meningkatnya problema serangan jasad pengganggu.
Demikian pula usaha ekstensifikasi pertanian dengan membuka lahan pertanian
baru, yang berarti melakukan perombakan ekosistem, sering kali diikuti dengan
timbulnya masalah serangan jasad pengganggu. Dan tampaknya saat ini yang dapat
diandalkan untuk melawan jasad pengganggu tersebut yang paling manjur hanya
pestisida. Memang tersedia cara lainnya, namun tidak mudah untuk dilakukan,
kadang-kadang memerlukan tenaga yang banyak, waktu dan biaya yang besar, hanya
dapat dilakukan dalam kondisi tertentu yang tidak dapat diharapkan
efektifitasnya. Pestisida saat ini masih berperan besar dalam menyelamatkan
kehilangan hasil yang disebabkan oleh jasad pengganggu.
Pengendalian hama secara
kimia sintetis memang sering dilakukan oleh petani, karena dianggap memberikan
hasil yang cepat terlihat. Namun, tanpa disadari penggunaannya mengakibatkan
efek samping yang sangat membahyakan dalam jangka waktu yang lama.
Intensifikasi penggunaan
pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang
tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian
akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).
Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat
penggunaan pestisida kimia, maka telah dibuat kesepakatan internasional untuk
memberlakukan pembatasan penggunaan bahan-bahan kimia pada proses produksi
pestisida kimia sintetik. Berdasarkan kebijakan internasional, pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijakan ditingkat nasional dalam perlindungan tanaman
dengan menggalakkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan
konsentrasi tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat
menimbulkan efek residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor.
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak
bijaksana antara lain adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama
sasaran dan residu pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan
merusak lingkungan atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada
sayuran menjadi sangat tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.
Penggunaan insektisida
sintetis yang tidak sesuai dengan fungsi dan ukurannya menimbulkan masalah
berupa kandungan residu insektisida pada komoditi bahan pangan, yang pada akhir
dapat membahayakan kesehatan masyarakat (Naria, 1994). Residu insektisida yang
terdapat dalam rantai makanan dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia
yakni menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain itu, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pestisida dapat memberikan efek jangka panjang yakni
menyebabkan kanker, gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, kelainan
syaraf, merusak sistem kekebalan tubuh, dan Parkinson (Emmy L.S, 1995).
Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian
pestisida sintesis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi
peningkatan produksi pertanian, tersembunyi bahaya yang mengerikan. Para
ilmuwan telah menyadari bahwa dibalik kemudahan dan keunggulan pestisida
sintesis, tersembunyi biaya mahal yang harus ditanggung oleh manusia di
berbagai belahan bumi. Bahaya yang dimaksud adalah pencemaran lingkungan dan
keracunan. Menurut WHO sekitar 5.000-10.000 orang per-tahun mengalami dampak
yang sangat fatal, seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan, dan penyakit liver.
Berbagai jenis pestisida terakumulasi di tanah dan air yang berdampak buruk
terhadap keseluruhan ekosistem, beberapa spesies katak jantan di Amerika
Serikat dilaporkan mengalami perubahan genetic menjadi berkelamin ganda
(hermaprodit) akibat keracunan Atrazin (bahan aktif herbisida yang sangat
banyak dipakai di AS) dan telah terakumulasi pada tanah dan air (Intisari, Juli
2002). Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan
keras untuk produksi pestisida sintesis.Saat itu, bahan kimia metil isosianat
telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis
(Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih
dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah
terburuk dalam sejarah produksi insektisida sintesis.
Meningkatnya kesadaran
masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong
para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis
dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan residu
yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan resistensi
dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit maupun
predator, meningkatnya residu pada hasil, mencemari
lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna (Oka 1995; Schumutterer, 1995), mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara
yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, bahkan
beberapa pestisida disinyalir memiliki kontribusi pada fenomena pemanasan
global (global warming) dan penipisan lapisan ozon (Reynolds,1997).
Awalnya, manusia
menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya
dikloro difenil trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang
cepat dan efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap
pestisida sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan
efek negatif terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat
mengakibatkan akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya
akan berdampak pada organisme non target.
Pestisida sebelum digunakan harus diformulasi
terlebih dahulu. Pestisida dalam bentuk murni biasanya diproduksi oleh pabrik
bahan dasar, kemudian dapat diformulasi sendiri atau dikirim ke formulator
lain. Oleh formulator baru diberi nama. Berikut ini beberapa formulasi
pestisida yang sering dijumpai:
Cairan
Pestisida yang berformulasi cairan emulsi
meliputi pestisida yang di belakang nama dagang diikuti oleb singkatan ES
(emulsifiable solution), WSC (water soluble concentrate). B (emulsifiable) dan
S (solution). Biasanya di depan singkatan tersebut tercantum angka yang
menunjukkan besarnya persentase bahan aktif. Bila angka tersebut lebih dari 90%
berarti pestisida tersebut tergolong murni. Komposisi pestisida cair biasanya
terdiri dari tiga komponen, yaitu bahan aktif, pelarut serta bahan perata.
Pestisida golongan ini disebut bentuk cairan emulsi karena berupa cairan pekat
yang dapat dicampur dengan air.
Butiran
Formulasi butiran biasanya hanya digunakan pada
bidang pertanian sebagai insektisida sistemik. Dapat digunakan bersamaan waktu
tanam untuk melindungi tanaman pada umur awal. Komposisi pestisida butiran
biasanya terdiri atas bahan aktif, bahan pembawa yang terdiri atas talek dan
kuarsa serta bahan perekat. Komposisi bahan aktif biasanya berkisar 2-25%,
dengan ukuran butiran 20-80 mesh. Aplikasi pestisida butiran lebih mudah bila
dibanding dengan formulasi lain. Pestisida formulasi butiran di belakang nama
dagang biasanya tercantum singkatan G atauWDG (waterdispersiblegranule).
Debu
Komposisi pestisida formulasi debu ini biasanya
terdiri atas bahan aktif dan zat pembawa seperti talek. Dalam bidang pertanian
pestisida formulasi debu ini kurang banyak digunakan, karena kurang efisien.
Hanya berkisar 10-40% saja apabila pestisida formulasi debu ini diaplikasikan
dapat mengenai sasaran (tanaman).
Tepung
Komposisi pestisida formulasi tepung pada
umumnya terdiri atas bahan aktif dan bahan pembawa seperti tanah hat atau talek
(biasanya 50-75%). Untuk mengenal pestisida formulasi tepung, biasanya di
belakang nama dagang singkatanWP (wettablepowder) atau WSP
(watersolublepowder).
Oli
Pestisida formulasi oli biasanya dapat dikenal
dengan singkatan SCO (solluble concentrate in oil). Biasanya dicampur dengan
larutan minyak seperti xilen, karosen atau aminoester. Dapat digunakan seperti
penyemprotan ULV (ultra low volume) dengan menggunakan atomizer. Formulasi ini
sering digunakan pada tanaman kapas.
Fumigansia
Pestisida ini berupa zat kimia yang dapat
menghasilkan uap, gas, bau, asap yang berfungsi untuk membunuh hama. Biasanya
digunakan di gudang penyimpanan.
Penggunaan pestisida
sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun
setelah pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya
populasi mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah.
Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan
insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah
dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan
residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan
insektisida di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus
keracunan, 3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.
Risiko bagi keselamatan pengguna yang berupa
kontak langsung terhadap pestisida, yang dapat mengakibatkan keracunan, baik
akut maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejalan sakit kepala,
mual, muntah dan sebagainya, bahkan beberapa pestisida dapat menimbulkan
iritasi kulit dan kebutaan. Keracunan kronis tidak selalu mudah diprediksi dan
dideteksi karena efeknya tidak segera dirasakan, walaupun akhirnya juga
menimbulkan gangguan kesehatan.
Penggunaan pestisida
kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu
pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan
kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai
digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17
nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai
insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu,
pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar
tuba Derris eliptica (Ware,1983).
Pada tahun 1874 Othmar
Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl
Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli
kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939 yang dengan
penemuannya ini dia dianugrahi hadiah nobel dalam bidang Physiology atau
Medicine pada tahun 1948 (NobelPrize.org).
Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam
jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Daly
et al., 1998). Beberapa literatur
menyebutkan bahwa tahun 1940an dan 1950an sebagai “era pestisida”
(Murphy, 2005). Penggunaan pestisida
terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun 1950 dan sekarang
sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo, 1987).
Dari seluruh pestisida yang diproduksi di seluruh dunia saat ini, 75% digunakan
di negara-negara berkembang (Miller, 2004). Pestisida kimia yang mengandung DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) sangat
membahayakan karena mengandung sifat apolar dan sifat DDT yang stabil dan
persisten.
Beberapa pestisida yang memiliki sifat
karsinogenik dapat memicu terjadinya kanker. Berdasarkan penelitian terbaru
dalam Environmental Health Perspctive menemukan adanya kaitan kuat antara
pencemaran DDT pada masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa tuanya
(Barbara and Mary, 2007). Menurut NRDC (Natural Resources Defense Council)
tahun 1998, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan penderita kanker
otak, leukemia dan cacat pada anak-anak awalnya disebabkan tercemar pestisida
kimia.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Harvard
School of Public Health di Boston, menemukan bahwa resiko terkena penyakit
parkinson meningkat sampai 70% pada orang yang terekspose pestisida meski dalam
konsentrasi sangat rendah (Ascherioetal.,2006).
Memilih
pestisida
Di pasaran banyak dijual formulasi pestisida
yang satu sama lain dapat berbeda nama dagangnya, walaupun mempunyai bahan
aktif yang sama. Untuk memilih pestisida, pertama yang harus diingat adalah
jenis jasad pengganggu yang akan dikendahikan. Hal tersebut penting karena
masing-masing formulasi pestisida hanya manjur untuk jenis jasad pengganggu
tertentu. Maka formulasi pestisida yang dipilih harus sesuai dengan jasad
pengganggu yang akan dikendalikan. Untuk mempermudah dalam memilih pestisida
dapat dibaca pada masing-masing label yang tercantum dalam setiap pestisida.
Dalam label tersebut tercantumjenis-jenis jasad pengganggu yang dapat
dikendahikan. Juga tercantum cara penggunaan dan bahaya-bahaya yang mungkin
ditimbulkan.
Untuk menjaga kemanjuran pestisida, maka
sebaiknya belilah pestisida yang telah terdaftar dan diizinkan oleb Departemen
Pertanian yang dilengkapi dengan wadah atau pembungkus asli dan label resmi.
Pestisida yang tidak diwadah dan tidak berlabel tidak dijamin kemanjurannya.
Menyimpan
pestisida
Pestisida senantiasa harus disimpan dalam
keadaan baik, dengan wadah atau pembungkus asli, tertutup rapat, tidak bocor
atau rusak. Sertakan pula label asli beserta keterangan yang jelas dan lengkap.
Dapat disimpan dalam tempat yang khusus yang dapat dikunci, sehingga anak-anak
tidak mungkin menjangkaunya, demikian pula hewan piaraan atau ternak. Jauhkan
dari tempat minuman, makanan dan sumber api. Buatlah ruang yang terkunci
tersebut dengan ventilasi yang baik. Tidak terkena langsung sinar matahari dan
ruangan tidak bocor karena air hujan. Hal tersebut kesemuanya dapat menyebabkan
penurunan kemanjuran pestisida.
Untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu
pestisida tumpah, maka harus disediakan air dan sabun detergen, beserta pasir,
kapur, serbuk gergaji atau tanah sebagai penyerap pestisida. Sediakan pula
wadah yang kosong, sewaktu-waktu untuk mengganti wadah pestisida yang bocor.
Menggunakan
pestisida
Untuk menggunakan pestisida harus diingat
beberapa hal yang harus diperhatikan:
-Pestisida digunakan apabila diperlukan.
-Sebaiknya makan dan minum secukupnya sebelum
bekerja dengan pestisida.
-Harus mengikuti petunjuk yang tercantum dalam
label.
-Anak-anak tidak diperkenankan menggunakan
pestisida, demikian pula wanita hamil dan orang yang tidak baik kesehatannya.
-Apabila terjadi luka, tutuplah luka tersebut,
karena pestisida dapat terserap melalui luka.
-Gunakan perlengkapan khusus, pakaian lengan
panjang dan kaki, sarung tangan, sepatu kebun, kacamata, penutup hidung dan
rambut dan atribut lain yang diperlukan.
-Hati-hati bekerja dengan pestisida, lebih-lebih
pestisida yang konsentrasinya pekat. Tidak boleh sambil makan dan minum.
-Jangan mencium pestisida, karena pestisida sangat
berbahaya apabila tercium.
-Sebaiknya pada waktu pengenceran atau pencampuran
pestisida dilakukan di tempat terbuka. Gunakan selalu alat-alat yang bersih dan
alat khusus.
-Dalam mencampur pestisida sesuaikan dengan
takaran yang dianjurkan. Jangan berlebih atau kurang.
-Tidak diperkenankan mencampur pestisida lebih
dari satu macam, kecuali dianjurkan.
-Jangan menyemprot atau menabur pestisida pada
waktu akan turun hujan, cuaca panas, angin kencang dan arah semprotan atau
sebaran berlawanan arah angin. Bila tidak enak badan berhentilah bekerja dan
istirahat secukupnya.
-Wadah bekas pestisida harus dirusak atau
dibenamkan, dibakar supaya tidak digunakan oleh orang lain untuk tempat makanan
maupun minuman.
-Pasanglah tanda peringatan di tempat yang baru
diperlakukan dengan pestisida.
-Setelah bekerja dengan pestisida, semua peralatan
harus dibersihkan, demikian pula pakaian-pakaian, dan mandilah dengan sabun
sebersih mungkin.
Reaksi terhadap bahaya penggunaan pestisida
kimia terutama DDT mulai nampak setelah Rachel Carson menulis buku paling laris
yang berjudul “Silent Spring” tentang pembengkakan biologi (biological
magnification) tahun 1962. Sehingga minimal ada 86 negara melarang penggunaan
DDT, meskipun masih digunakan di beberapa negara berkembang untuk memberantas
nyamuk malaria (Willson and Harold, 1996).
Petani selama ini tergantung
pada pengendalian secara kimiawi untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Untung (1996) mengemukakan bahwa aplikasi insektisida kimia sintetik yang
kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat
memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi hama,
resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran,
adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan, dan bahaya
pada pemakai (Gapoktan, 2009). Untuk mengoptimalkan dampak
tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan alam yang ramah lingkungan
sebagai alternatif, salah satunya penggunaan insektisida alami sebagai
altrnatif (Listiyati dkk., 2012).
Pestisida nabati
merupakan pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan
memiliki fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman.
Bahan aktif pestisida nabati berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti
akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi berbagai
bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak yang merupakan hasil
pengambilan cairan dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk
diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida. Karena terbuat dari bahan-bahan
alami maka jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah
hilang, maka relatif aman bagi manusia (Samsudin, 2008). Pestisida nabati
memiliki beberapa fungsi, antara lain:
Repelant,
yaitu menolak kehadiran serangga, misalnya dengan bau yang menyengat.
Antifidant,
mencegah serangga makan tanaman yang disemprot, merusak perkembangan telur,
larva, pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan
sistem syaraf di dalam tubuh serangga.
Atraktan,
yaitu pemikat serangga, yang dapat dipakai sebagai perangkap serangga,
mengendalian jamur atau bakteri (Gapoktan, 2009).
Cara kerja pestisida:
-Pestisida
kontak (Contact pesticide), berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh jasad terkena sasran, baik ketika makan
ataupun sedang berjalan. Jika tanaman telah diserang oleh hama, lebih baik menggunakan
jenis pestisida ini.
-Pestisida
fumigan, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad
sasaran terkena uap atau gas.
-Pestisida
sistemik, berarti dapat ditranslokasikan ke berbagai
bagian tanaman melalui jaringan. Hama akan mati jika mengisap cairan tanaman. Pestisida
sistemik (Systemic Pesticide) merupakan pestisida yang diserap dan dialirkan
keseluruh bagian tanaman sehingga akan menjadi racun bagi hama yang memakannya.
Keunggulan pestisida jenis ini yaitu tidak
hilang karena disiram.
Kelemahannya, ada bagian tanaman yang dimakan
hama supaya pestisida ini bekerja.
Pestisida jenis ini digunakan untuk mencegah
tanaman dari serangan hama.
-Pestisida
lambung, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan
pestisida.
Pestisida nabati juga memiliki
berbagai macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti
insektisisda, bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida
nabati dilakukan sebagai alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga
tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia
(Tohir, 2010).
Beberapa tanaman telah diketahui mengandung
bahan- bahan kimia yang dapat membunuh, menarik, atau menolak serangga.
Beberapa tumbuhan menghasilkan racun, ada juga yang mengandung senyawa-senyawa
kompleks yang dapat mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan,
atau mengubah perilaku serangga (Supriyatin dan Marwoto, 2000).
Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan
ke tanaman yang terinfeksi organisme pengganggu tidak berpengaruh terhadap
fotisintesa, pertumbuhan atau aspek fisiologis tanama lainnya, namun
berpengaruh terhadap sistem saraf otog, keseimbangan hormon, reproduksi,
perilaku berupa penolak, penarik, “anti makan” dan sistem pernafasan OPT (Hidayat,
2001).
Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995 menyatakan
bahwa pemanfaatan agens pengendali hayati atau biopestisida termasuk pestisida
nabati sebagai komponen utama dalam sistem PHT. Pestisida nabati merupakan
pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Tumbuhan banyak mengandung
bahan kimia yang dapat digunakan sebagai alat pertahanan dari serangan
organisme pengganggu.
Penggunaan rodentisida,
moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana
disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh
karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya
setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun
lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi
yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu
mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan
aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati
(Regnault-Roger 2005).
Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan
pestisida sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
merupakan alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan
seminimal mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal
tersebut telah dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu
(PHT) dengan salah satu komponen adalah pengendalian hayati. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah tersebut adalah penggunaan pestisida nabati. Penggunaan
pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya lebih
murah dibandingkan penggunaan pestisida sintetis atau kimia (Murtidjo, 2003).
Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang
tidak essensial bagi pertumbuhan organisme, yang ditemukan dalam bentuk unik
atau berbeda-beda antara spesies satu dengan spesies lainnya. Dan dimungkinkan
juga bahwa dalam satu jenis senyawa metabolit sekunder hanya ditemukan pada
satu spesies dalam suatu kingdom. Senyawa ini juga tidak selalu dihasilkan,
tetapi hanya pada saat dibutuhkan saja atau pada fase-fase tertentu. Fungsi
metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan, misalnya untuk mengatasi hama dan penyakit, menarik
polinator, dan sebagai molekul sinyal. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa metabolit
sekunder digunakan oleh suatu organisme untuk berinteraksi dengan
lingkungannya.
Senyawa
metabolit sekunder diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama, yaitu:
-Terpenoid (Sebagian besar senyawa terpenoid
mengandung karbon dan hidrogen serta disintesis melalui jalur metabolisme asam
mevalonat.) Contohnya monoterpena, seskuiterepena, diterpena, triterpena, dan
polimer terpena.
-Fenolik (Senyawa ini terbuat dari gula
sederhana dan memiliki cincin benzena, hidrogen, dan oksigen dalam struktur
kimianya.) Contohnya asam fenolat, kumarina, lignin, flavonoid, dan tanin.
-Senyawa yang mengandung nitrogen. Contohnya
alkaloid dan glukosinolat.
Sebagian besar tanaman penghasil senyawa
metabolit sekunder memanfaatkan senyawa tersebut untuk mempertahankan diri dan
berkompetisi dengan makhluk hidup lain di sekitarnya. Tanaman dapat menghasilkan
metabolit sekunder yang membuat tanaman lain tidak dapat tumbuh di sekitarnya.
Hal ini disebut sebagai alelopati. Berbagai senyawa metabolit sekunder telah
digunakan sebagai obat atau model untuk membuat obat baru, contohnya adalah
aspirin yang dibuat berdasarkan asam salisilat yang secara alami terdapat pada
tumbuhan tertentu. Manfaat lain dari metabolit sekunder adalah sebagai
pestisida dan insektisida, contohnya adalah rotenon dan rotenoid. Beberapa
metabolit sekunder lainnya yang telah digunakan dalam memproduksi sabun,
parfum, minyak herbal, pewarna, permen karet, dan plastik alami adalah resin,
antosianin, tanin, saponin, dan minyak volatil.
Secara evolusi tumbuhan telah mengembangkan
bahan kimia yang merupakan bahan metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan alami bioaktif. Lebih dari 2 400 jenis tumbuhan yang
termasuk kedalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida, oleh karena
itu apabila tumbuhan tersebut dapat diolah menjadi bahan pestisida, maka
masyarakat petani tersebut akan sangat terbantu dengan memanfaatkan sumberdaya
yang ada di sekitarnya.
Ada 4
kelompok insektisida nabati yang telah lama dikenal yaitu:
-Golongan nikotin dan alkaloid lainnya, bekerja
sebagai insektisida kontak, fumigan atau racun perut, terbatasnya pada serangga
yang kecil dan bertubuh lunak.
-Piretrin, berasal dari Chrysanthemum
cinerarifolium , bekerja menyerang urat syaraf pusat, dicampur dengan minyak wijen,
talk atau tanah lempung digunakan untuk lalat, minyak, kecoa, hama gudang dan
hama penyerang daun.
-Rotenone dan rotenoid, berasal dari tanaman
Derris sp dan bengkuang (Pachyrrzus eroses) aktif sebagai racun kontak dan
racun perut untuk berbagai serangga hama, tapi bekerja sangat lambat.
-Azadirachta indica, bekerja sebagai
“antifeedant” dan selektif untuk serangga pengisap sejenis wereng dan
penggulung daun, baru terurai setelah satu minggu. (Info Tek, 2008).
Senyawa bioaktif diatas dapat dimanfaatkan
seperti layaknya sintetik, perbedaannya bahan aktif pestisida nabati disintesa
oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu macam (campuran). Bagian
tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, batang dan sebagainya dapat
digunakan dalam bentuk utuh, bubuk ataupun ekstrak (air atau senyawa pelarut
organik). Bila senyawa (ekstrak) ini akan digunakan di alam, maka tidak boleh
mengganggu kehidupan hewan lain yang bukan sasarannya (Hidayat, 2001).
Senyawa -senyawa bioaktif yang terdapat tumbuhan
pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai hidrokarbon, asam-asam organik dan
aldehid, asam-asam aromatik, lakton-lakton tidak jenuh sederhana, kemarin,
kwinon, Flavonoid, Tanin, Alkaloid, Terpenoid dan steroid serta macam-macam
senyawa lain yang tidak dikenal.
Senyawa-senyawa kimia baru secara terus-menerus
diisolasi dari tumbuhan dan mikroorganisme dari hari ke hari. Swain (Putnam,
1985) akhir-akhir ini melaporkan bahwa lebih dari 10.000 produk berbobot
molekul rendah dan sudah diisolasi dari tumbuhan tinggi dan jamur-jamuran.
Ditambahkannya bahwa kemungkinan jumlah total mendekati 400.000 senyawa kimia.
Beberapa dari senyawa-senyawa kimia ini atau analoginya dapat menjadi sumber
baru senyawa kimia pertanian (agrochemicals) yang penting untuk masa yang akan
datang (Putnam, 1985).
Menurut Kardinan (2002),
pada pertanian organik saat ini mulai banyak dikembangkan pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan pestisida nabati yang
berasal dari tumbuhan yang banyak terdapat di alam. Teknik pengendalian ini
merupakan alternatif pemecahan terhadap
permasalahan pestisida sintetis yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan
ekosistem lingkungan. Selain relatif mudah dibuat dan tidak mahal, pestisida
nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan
karena selain bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, pestisida nabati
juga memiliki sifat mudah terurai di alam.
Pemanfaatan pestisida
nabati diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa
tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies
tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama
dan penyakit tanaman.
Jeringau / dringo (Acorus calamus L.) tanaman
ini berasal dari Asia yang beriklim sedang, meliputi India, sekitar Laut Hitam
dan Laut Kaspia. Dari daerah tersebut tanaman menyebar ke seluruh penjuru
dunia. Di Jawa tanaman jeringau (Acorus calamus L.) terdapat di ketinggian
antara 275 - 2050 meter dari permukaan laut. Tanaman ini biasanya tumbuh secara
liar, tetapi ada juga yang dibudidayakan.
Tanaman jeringau (Acorus calamus L.) merupakan
tumbuhan herba, tahunan dengan ketinggian ± 75 – 100 cm dengan perakaran kuat,
daun basah dan berbentuk garis pendek. Tumbuhan ini menghasilkan rimpang. Daun
tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal memeluk batang, memanjang
hingga ± 60 cm serta lebar ± 5 cm, pertulangan sejajar serta berwarna hijau.
Tulang tengah daun kuat dan ujungnya lancip agak miring, baunya sangat harum. Tanaman
ini memiliki perbungaan majemuk, bentuk bongkol, ujung meruncing, panjang 20-2
5 cm, di ketiak daun. Bunga-bunganya kecil, berwarna kuning kehijauan dan
berbau harum, tangkai sari panjang ± 2,75 mm, kepala sari panjang ± 2,75 mm,
kepala sari panjang ± 0,5 mm, putik 1-1,5 mm, kepala putik meruncing, panjang ±
0,5 mm, mahkota bulat panjang, panjang 1-1,5 mm dan berwarna putih. Jeringau
(Acorus calamus L.) menghasilkan buah berwarna coklat. Buahnya adalah buah
buni, berbentuk gasing yang berlendir dan jatuh bila telah masak. Serta rimpang
berwarna merah jambu dengan bagian dalamnya putih. Tumbuhan ini tersebar di
wilayah Indonesia dan didapati tumbuh liar di hutan-hutan. Jeringau (Acorus
calamus L.) menyukai tempat yang lembab seperti di tepi danau ataupun sungai. Di
Jawa tanaman yang berbuah belum pernah dijumpai.
Jeringau / dringo (Acorus calamus L.) tumbuhan
ini memiliki daun yang menyerupai daun bunga Iris, dan merupakan salah satu
jenis Araceae. Di Indonesia jenis ini mempunyai beberapa nama daerah seperti
dringo, dlingo, deringo, jarangau, jariangau, jeringau, dan areango. Tanaman
ini merupakan terna (tumbuhan yang batangnya lunak karena tidak membentuk kayu).
Jeringau / dringo (Acorus calamus L.) berkembang
biak dengan pecahan rumpun atau potongan
rimpangnya. Dapat pula memperbanyak diri dengan biji, tetapi biji-biji ini
jarang sekali dihasilkan. Tumbuhan ini biasa ditanam di tepi kolam dan umumnya
berbunga pada bulan Oktober.
Tanaman jeringau (Acorus calamus L.)
menghasilkan minyak daringo yang mengandung asaron, saponin dan tanin Asaron,
kolamenol, kolamen, kolameon, metileugenol dan eugenol. Bagian tanaman yang
digunakan sebagai pestisida adalah rimpang. Tumbuhan ini juga berguna untuk
mengobati keracunan makanan ataupun sakit otot. Rimpang jeringau / dlingo
(Acorus calamus L.) juga berkhasiat sebagai obat penenang, obat lambung, obat
limpa, bahan baku kosmetik (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), insektisida,
demam nifas (Depkes RI, 1978), antijamur, antibakteri, anthelmintik, antidiare,
antiulkus, antisekretori, sitoprotektif, antikonvulsan, antihepatotoksik,
antioksidan (Anonim, 2010), allelopathic, anticellular dan immunosuppressive
(Asha and Deepak, 2009).
Semua bagian dari tanaman jeringau (Acorus
calamus L.) memiliki manfaat. Rimpangnya mengandung senyawa kimia yang dipakai
untuk bermacam-macam obat, juga untuk campuran beberapa minuman keras. Rimpang
dlingo mengandung minyak atsiri, flavonoid, saponin (Syamsuhidayat dan Hutapea,
1991), polifenol (Afita, 2005), gula, kolin, amilum (Anonim, 2010).Kandungan
minyak atsirinya terutama α-asarone dan β-asarone. Kandungan lain dari minyak
atsiri adalah caryophyllene, isoasarone, methyl isoeugenol dan safrol (Asha and
Deepak, 2009). Tinggi rendahnya kualitas minyak atsiri tergantung pada daerah
asal jeringau itu sendiri. Tanaman rimpang jeringau (Acorus calamus L.) mengandung
zat etanol yang memiliki struktur kimia C2H5OH dan merupakan sejenis alkohol
yang paling sering digunakan pada kehidupan sehari-hari, walaupun banyak orang
memandang bahwa etanol yang kebanyakan dikenal dengan nama alkohol mempunyai
efek yang buruk bagi kesehatan manusia. Namun, sebenarnya etanol atau alkohol
ini apabila dikonsumsi tidak berlebihan berfungsi untuk meredamkan rasa sakit,
menutupi dan membersihkan luka, membersihkan badan, serta melancarkan aliran
darah.
Rimpang tanaman jeringau (Acorus calamus L.)
memiliki bau yang sangat harum dan memiliki rasa yang agak pahit. Akar tanaman
jeringau (Acorus calamus L.) digunakan sebagai bahan ramuan obat, juga untuk
insektisida. Tepung akarnya dapat digunakan dalam bumbu dapur sebagai pengganti
pala, jahe atau kulit manis. Juga dipergunakan untuk memberi aroma pasta gigi.
Minyaknya dapat digunakan untuk minyak wangi. Bunganya yang masih muda dapat
dimakan. Di India, tepung rimpang dlingo digunakan sebagai obat cacing dan
jamu-jamuan. Didalam obat-obatan timur asli, rimpang jeringau banyak dipakai
untuk dyspepsia (obat anak-anak yang mengalami diare), bronchitis dan lozenge
(obat kunyah untuk sakit tenggorokan).
Air rebusan rimpang dlingo disebut teh jeringau
(calamus), baik sekali dipakai untuk obat menguatkan badan dan menghangatkan
perut. Dlingo dapat pula membangkitkan nafsu makan serta mendorong dan membuang
kotoran-kotoran dalam perut. Teh jeringau ini pun sangat manjur untuk mengobati
reumatik, demam, penyakit kuning, sakit empedu, memperlancar haid bagi wanita,
dan lain-lain (Indo, M., 1972). Dalam dosis rendah dlingo dapat memberikan efek
relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem
saraf pusat karena senyawa asaron memiliki struktur kimia mirip senyawa
golongan amfetamin dan ekstasi. Namun, jika digunakan dalam dosis yang tinggi
dan dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan aktivitas mental
(psikoaktif) bahkan potensial sebagai karsinogen jika antibodi yang ada di
dalam tubuh tidak bisa mengeliminasi efek karsinogen dlingo (Agusta, 2008).
Di beberapa Negara tanaman jeringau telah
dikembangkan secara luas sebagai tanaman perdagangan, industri, maupun
obat-obatan, bahkan sampai di ekspor. Minyak yang dihasilkan dari bahan baku
rimpang jeringau melalui proses penyulingan disebut Calamus Oil. Minyak dlingo dibutuhkan untuk industri
makanan sebagai penambah cita rasa, industri minuman sebagai campuran bir,
limun, anggur, dan lain-lain, karena bau dlingo yang lembut, warnanya yang
kuning dan aromanya yang mendekati bau nilam, serta pada bahan industri pasta
gigi dimanfaatkan sebagai dental cream.
Jeringau / dringo (Acorus calamus L.) yang dapat
dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah pada akarnya (rimpang), karena
mengandung minyak atsiri. Rimpang dlingo dapat digunakan dalam dua bentuk,
yaitu berbentuk tepung dan minyak. Untuk membuat tepung, rimpang dlingo
diiris-iris, dikeringkan, lalu ditumbuk. Sedangkan cara pengolahan rimpang
dlingo menjadi minyak atsiri adalah melalui penyulingan dengan metode Destilasi
(Kardinan, 2004).
Berdasarkan cara kerja minyak dari rimpang
jeringau sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan serangga dapat
dinyatakan sebagai racun kontak, dan racun pernafasan. Sebagai racun kontak,
apabila minyak dlingo yang disemprotkan dapat langsung mengenai bagian tubuh
serangga sasaran yang menyebabkan serangga tersebut jatuh dan akhirnya mati
ditandai dengan tubuh serangga mengering karena dehidrasi. Dinyatakan sebagai
racun kontak apabila insektisida dapat masuk kedalam tubuh serangga sasaran
lewat kulit/bersinggungan langsung (Djojosumarto, 2000). Sebagai racun
pernafasan, apabila serangga menghirup minyak rimpang jeringau yang menyebabkan
serangga tersebut tergelepar hingga akhirnya mengalami kematian. Racun
pernafasan bekerja lewat saluran pernafasan. Kebanyakan racun pernafasan berupa
gas (Djojosumarto, 2000).
Rimpang dlingo dapat digunakan untuk
mengendalikan beberapa serangga pengganggu disekitar kita. Rimpang yang
ditumbuk halus (bentuk tepung) dapat digunakan untuk mengendalikan rayap dan
membunuh kutu, dapat juga digunakan untuk memusnahkan anai-anai, dengan cara
menaburkan tepung dlingo di sekeliling kayu yang diserang oleh anai-anai (Indo,
M., 1972). Serangga lain yang dapat dikendalikan adalah nyamuk, ngengat dan
kecoa (Naria, 2005). Sebagai bahan insektisida, minyak rimpang jeringau / dlingo
(Acorus calamus L.) akan bekerja sebagai repellent (penolak serangga),
antifeedant (penurun nafsu makan), dan antifertilitas/chemosterilant
(pemandul).
Tepung rimpang dlingo dapat digunakan untuk
melindungi hasil panen yang disimpan di gudang, yaitu dengan mencampurkannya
pada biji-bijian dengan konsentrasi 1-2 % atau 1-2 kg tepung dlingo dicampur
dengan 100 kg biji-bijian. Tepung rimpang dlingo dengan konsentrasi 3-5%
berpengaruh terhadap mortalitas serangga sitophilus sp. Di Tiongkok dan India
rimpang jeringau ini dimanfaatkan untuk membasmi beberapa jenis kutu, di
Malaysia dimanfaatkan untuk membasmi rayap, dan di Filipina untuk mengusir
walang sangit (Kardinan, 2004).
Jenis pestisida nabati
berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis pestisida
nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida, fungisida
(Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002), moluskisida
(Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena Rodriguez
2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) sedang
mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak mengganggu
tanaman budi daya.
Efektivitas
tumbuhan sebagai pestisida
nabati sangat tergantung dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu
jenis tumbuhan yang sama tetapi berasal dari daerah yang berbeda dapat
menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau sifat
racunnya tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tumbuhan tersebut. Pestisida
botani atau pestisida nabati merupakan pestisida alami yang bahannya diambil
langsung dari tanaman atau hasil tanaman.
Pestisida nabati
memiliki spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang
telah resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya
terhadap mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.
Cara penggunaan pestisida yang tepat merupakan
salah satu faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan pengendalian hama.
Walaupun jenis obatnya manjur, namun karena penggunaannya tidak benar, maka
menyebabkan sia-sianya penyemprotan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan pestisida, di antaranya adalah keadaan angin, suhu udara, kelembapan
dan curah hujan. Angin yang tenang dan stabil akan mengurangi pelayangan
partikel pestisida di udara. Apabila suhu di bagian bawah lebih panas,
pestisida akan naik bergerak ke atas. Demikian pula kelembapan yang tinggi akan
mempermudah terjadinya hidrolisis partikel pestisida yang menyebabkan kurangnya
daya racun. Sedang curah hujan dapat menyebabkan pencucian pestisida,
selanjutnya daya kerja pestisida berkurang. Hal-hal teknis yang juga perlu
diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah ketepatan penentuan dosis. Dosis
yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemborosan pestisida, di samping merusak
lingkungan. Dosis yang terlalu rendah menyebabkan hama sasaran tidak mati. Di
samping berakibat mempercepat timbulnya resistensi.
Insektisida nabati
kembali mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik karena
relatif aman, murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak
mencemari lingkungan, residunya relatif pendek (Oka, 1994), aman terhadap hewan
bukan sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh
samping (Kardinan 2002).
Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus
disesuaikan dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan
pestisida haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan
mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta
cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang
digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis
OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan
dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta
mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya
dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat
tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga
hama masih enggan bergerak.
Kelebihan maupun
keunggulan pestisida nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan
minat terhadap pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan
semakin besar. Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang
bahan kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi
biokimia juga telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana
yang semakin canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida
tidak hanya sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah
teknologi yang lebih maju.
Kelebihan pestisida alami :
-Bahan
baku murah, ekonomis dan mudah didapat serta dibuat sendiri oleh petani.
-Relatif aman terhadap
lingkungan, manusia dan ternak karena residunya mudah
hilang.
-Mudah terurai di alam dan ramah lingkungan.
-Tidak menyebabkan
keracunan pada tanaman.
-Dapat membunuh hama/penyakit tanaman.
-Sebagai pengumpul/perangkap hama tanaman.
-Dosis yang digunakan tidak mengikat dan
beresiko dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintetis.
-Sulit menimbulkan
kekebalan terhadap hama.
-Kompatibel digabung
dengan cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian
yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
-Merupakan pemecahan masalah hama jangka
pendek/cepat.
Pestisida alami dapat membunuh atau mencegah serangan
hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu dapat melalui perpaduan
berbagai cara atau secara tunggal.
Cara
kerja pestisida alami sangat spesifik, yaitu :
-Merusak perkembangan telur, larva dan pupa.
-Menghambat pergantian kulit.
-Mengganggu komunikasi serangga.
-Menyebabkan serangga menolak makan.
-Menghambat reproduksi serangga betina.
-Mengurangi nafsu makan.
-Memblokir kemampuan makan serangga.
-Mengusir serangga.
-Menghambat perkembangan patogen penyakit.
Pestisida nabati juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah
terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka
waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga
aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida
nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan
hama sasaran.
Pemanfaatan pestisida
nabati di Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan
bakunya melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi
tinggi, cukup dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena
bahan aktifnya berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai
(bio-degradable) sehingga relatif aman bagi kehidupan.
Cara pengendalian OPT
yang ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi
percepatan pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka
panjang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.
Upaya jangka pendek
dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan
kekurangan pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa
penggunaan pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan
OPT secara perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di
sekitar kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan
mengolah bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida
nabati.
-Cara memformulasi
pestisida nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh
petani.
-Cara memanfaatkan pestisida
nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat
keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.
Upaya jangka panjang
memerlukan dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida
kimia sintetis yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran
pestisida baru perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran
dievaluasi ulang terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran.
Insektisida yang menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya
dipertimbangkan kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek
domino dari penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi
yang lebih tinggi.
Pemberlakuan ekolabeling dan ISO 14000 dalam era
perdagangan bebas membuat produk pertanian di Indonesia belum mampu bersaing di
pasar global, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat
pengendali hama. Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, seperti India dan Sri Lanka yang telah mulai memasuki
pasaran Negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dengan produk pertanian yang
bebas residu pestisida (Sutanto, 2000).
Para praktisi pertanian Indonesia mau tidak mau
harus mempelajari dan mencoba alternative pestisida alami, jika tidak ingin
tergilas oleh kecenderungan global yang menginginkan bahan-bahan hasil
pertanian yang bebas dari residu pestisida.
Upaya yang tidak kalah
penting adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi
dan memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan
menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat
penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh
petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian
ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.
Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan
pengendalian hama dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan
evaluasi fisik. Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian
pestisida populasi OPT menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau
tanaman tidak lagi diserang OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang
tidak diaplikasi, sedangkan evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat
keberhasilan penyemprotan yang telah dilakukan misalnya evaluasi parameter
penyemprotan seperti penutupan (coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.
Pestisida memang bukan
pilihan utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Namun, jika pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara
legal, benar, dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan
menjadi pedang bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa
membahayakan pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas
staf argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat
informasi yang jujur dan seimbang.
Saat ini teknik atau
cara pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida
nabati dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang
dilakukan terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap
OPT sasaran. Toksisitas menurut Durham (1975) dalam Tandjung (1995) adalah
kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia menimbulkan perusakan pada bagian
yang peka didalam maupun diluar mahluk hidup. Organisme tersebut dapat
mengalami berbagai tingkat kerusakan alat dan sistem organ. Tingkat racun (toksin)
suatu bahan kimia diukur dengan besarnya kadar atau konsentrasi bahan yang
dapat menimbulkan efek pada organisme. Uji toksisitas dipakai untuk menentukan
tingkat racun tersebut. Setiap toksikan dalam tubuh dapat menimbulkan suatu
efek toksik. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran maupun
mekanisme kerjanya. Tidak terjadinya respon toksik tergantung pada sifat kimia
dan fisik dari bahan tersebut, situasi pemaparan dan kerentanan sistem biologis
dari subyek. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan
situasi pemaparan tehadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk kedalam
tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan (Ahmad 2004).
Efek toksik sangat
bervariasi dalam sifat, organ sasaran dan mekanisme kerjanya karena adanya beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Antara lain yaitu:
Fisiologis dari organismenya
Proses fisiologis yag
terjadi pada setiap organisme turut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida dalam
tubuh organisme. Ada organisme yang mempunyai kemampuan menetralisir pestisida
sampai pada konsentrasi tertentu. Sementara itu, ada pula organisme lain yang
tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir daya racun dari pestisida yang
masuk kedalam tubuhnya. Adanya perbedaan kemampuan dalam menetralisir daya
toksik tersebut, disebabkan masing- masing spesies memiliki batas kisaran
toleransi yang berbeda-beda antara satu spesies dengan lainnya.
Kondisi organismenya
Masing-masing individu
memiliki daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis
kelamin, status nutrient dan ada tidaknya stress. Faktor-faktor tersebut
berpengaruh terhadap daya toksik pestisida tergantung dari kondisi organisme
yang bersangkutan.
Kemampuan beraklimasi terhadap bahan
Kemampuan setiap
organisme dalam beraklimasi terhadap adanya perubahan lingkungan berbeda satu
dengan lainya. Ada organisme yang mampu menyesuaikan terhadap perubahan
lingkungan sehingga mampu bertahan hidup. Dan, organisme yang tidak mampu
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan akan mengalami kematian.
Uji persintensi formula aktif
pestisida nabati juga perlu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan
keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan
ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan
beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan
memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati
sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal
maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya
serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.
Penggunaan pestisida
nabati harus merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk
meminimalisir dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan
seperti musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.
Menggunakan musuh alami dari hama merupakan salah
satu cara pengendalian yang cukup bagus untuk diterapkan di Indonesia. Walaupun
butuh waktu yang lama supaya gulma mati/terkendali, tetapi musuh alami termasuk
pengendali yang ramah terhadap lingkungan. Secara alami tiap spesies memiliki
musuh alami (predator, parasit, dan patogen) yang dapat dimanfaatkan untuk
pengendalian hama tanaman.
Potensi pestisida nabati
apabila dikembangkan akan memperoleh hasil pengendalian OPT yang murah dan
tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan baik bagi pekerja,
hewan, maupun lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan potensi pestisida
nabati tersebut diperlukan usaha keras dari semua pihak antara lain lembaga
penelitian dan perguruan tinggi yang berkewajiban untuk melakukan penelitian
dasar mulai aspek kimia sampai formulasinya dan komitmen dari industri bahan
perlindungan tanaman dalam membantu mengembangkan pestisida nabati.
Ketergantungan kita
terhadap bahan-bahan kimia (pupuk kimia) apalagi bahan yang bersifat sebagai
racun (insektisida, fungisida dan bakterisida) harus segera kita tinggalkan.
Kita harus menggali bahan-bahan disekitar kita yang bisa kita manfaatkan untuk
mengganti bahan-bahan kimia tersebut. Sudah saatnya kita kembali ke alam.
Banyak mikro-organisme yang dapat kita manfaatkan untuk proses kelestarian
lingkungan kita.
Indonesia merupakan tempat yang sangat potensial
bagi pengembangan dan pemanfaatan pestisida alami. Prospek pengembangan
pestisida alami di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Banyak hal yang dapat
dihemat dengan menggantikan pestisida sintesis dengan pestisida alami yang di
produksi sendiri. Contohnya di Thailand, International Development Research
Center yang berpusat di Kanada melaporkan bahwa pemakaian pestisida botani di
Thailand meningkat dengan mengesankan. Pada tahun 1988 dengan pestisida botani,
Thailand telah mampu mengurangi import pestisida sintesis, sehingga berhasil
menghemat devisanya sebesar 70 juta dolar AS per tahun. Pada tingkat petani
produsen, biaya produksi dapat diturunkan secara signifikan.
Selain ramah lingkungan, pestisida alami
merupakan pestisida yang relatif aman dalam penggunaannya dan ekonomis. Dalam
hal ini komitmen pemerintah untuk lebih memasyarakatkan pestisida alami sangat
diperlukan. Indonesia merupakan Negara agraris yang tidak dapat menghindari
kecenderungan global untuk secara bertahap menurunkan pemakaian pestisida
sintesis. Oleh karena itu, prospek yang sangat menjanjikan untuk pengembangan
dan pemanfaatan pestisida alami di Indonesia.
Indonesia merupakan
negara yang memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah
Brasil (Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal
di dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki
potensi menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia.
Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat
menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran
serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...