Thursday 14 March 2019

Kreasi Usaha: Manfaat Tanaman Rimpang Jahe (Zingiber officinale) sebagai Pestisida Nabati


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...

Manfaat Tanaman Rimpang Jahe (Zingiber officinale) sebagai Pestisida Nabati


Indonesia merupakan negara yang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Hampir semua flora dan fauna dapat ditemukan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga memiliki hutan tropis yang sangat luas, sehingga pantas jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara paru-paru dunia. Selain itu, dari berbagai flora dan fauna di Indonesia juga memiliki banyak manfaat, baik di bidang ekonomi, budaya, maupun kesehatan.

Indonesia sebagai negara yang kaya Sumber Daya Alam seharusnya memiliki penduduk yang hidup secara makmur. Karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terjamin oleh Sumber Daya Alam yang melimpah. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya belum layak. Bahkan karena desakan ekonomi banyak penduduk Indonesia yang tidak memperhatikan kesehatannya. Sehingga sangat mudah untuk terserang penyakit. Bahkan karena SDM yang masih rendah, maka sebagian besar penduduk Indonesia belum mau untuk melakukan penelitian terhadap tanaman di lingkungan sekitarnya.

Peningkatan produksi tanaman juga merupakan salah tujuan dalam program pertanian. Agar tanaman tidak dirusak oleh hama dan penyakit salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan pestisida. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani semakin dituntut memaksimalkan potensi lahannya dengan meningkatkan penggunaan input usaha tani. Salah satu input penting adalah pestisida yang berguna untuk menekan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat pesat. Pada tahun 2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang terdaftar untuk dipasarkan, namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810 nama dagang (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2002; 2013).

Masalah pangan yang mencukupi dan bebas dari penyakit sudah menjadi pemikiran manusia sejak dahulu. Sebab, peningkatan derajat kesehatan tidak terlepas kaitannya dengan konsumsi bahan pangan yang berkualitas, bernilai gizi tinggi dan aman, yakni tidak terdapatnya benda asing yang dapat merusak kesehatan. Semakin meningkatnya kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan mendorong konsumen untuk selektif memilih bahan pangan (Naria, 1994).


Pemakaian pestisida sintesis berawal dari pelaksanaan program intensifikasi pertanian yang berorientasi pada peningkatan hasil panen yang sebesar- besarnya. Berkembangnya penggunaan pestisida sintesis yang dinilai praktis oleh para petani dan pecinta tanaman untuk mencegah tanamannya dari serangan hama, ternyata membawa dampak negatif yang cukup besar bagi manusia dan lingkungan. Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) tercatat bahwa di seluruh dunia terjadi keracunan pestisida antara 44.000 - 2.000.000 orang setiap tahunnya. Adanya dampak negatif dari penggunaan pestisida sintetis termasuk juga dapat meningkatkan daya tahan hama terhadap pestisida (resistansi hama itu sendiri), membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida dan penggunaan yang kurang tepat dapat mengakibatkan keracunan bagi manusia dan ekosistem lingkungan menjadi tidak stabil / tidak seimbang. Bahkan wadah bekas pestisida sering dibuang disembarang tempat. Pemakaian pestisida sering tidak bijaksana, dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang- kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan asumsi dosis yang rendah sudah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada dasarnya pestisida itu bersifata racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun itulah pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Setiap racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena itu, ketidak-bijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan dampak negatif.

Menurut Munarso et al., (2006), Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di dataran tinggi tergolong sangat intensif, hal ini terutama disebabkan kondisi iklim yang sejuk dengan kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi menciptakan kondisi yang baik untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman. Namun apabila penggunaan pestisida yang tidak tepat baik secara jenis, waktu, dosis, cara, dan sasaran akan menimbulkan pencemaran dan berdampak pada kesehatan.

Kendala yang sering dihadapi oleh petani adalah keberadaan hama yang menyerang tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman holtikultura adalah semua jenis organisme yang dapat menurunkan atau merusak hasil tanaman holtikultura. Organisme pengganggu tanaman ini umumnya dibedakan menjadi gulma, hama dan mikroorganisme patogenik yang menyebabkan penyakit tanaman. Hama pada prinsipnya adalah herbivora yang memangsa tanaman budidaya sehingga menyebabkan penurunan hasil atau mengurangi nilai estetika tanaman tersebut. Tidak semua herbivora tergolong hama, karena tidak semua herbivora memangsa tanaman budidaya. Hama kadangkala merupakan jenis serangga yang pada kondisi normal hanya menimbulkan kerusakan yang tidak serius pada tanaman budidaya, tetapi jika terjadi ledakan populasinya baru akan menyebabkan penurunan secara nyata. Ledakan populasi hama ini dapat terjadi karena keadaan iklim atau kesalahan pengelolaan oleh manusia.


Petani benar-benar dirangsang untuk menggunakan pestisida secara besar-besaran. Pada saat pelaksanaan program intensifikasi pertanian digiatkan, subsidi pemerintah terhadap pestisida mencapai 80%, sehingga harga pestisida menjadi sangat murah, terlebih lagi dengan adanya kemudahan memperoleh kredit. Program penyuluhan pertanian pun selalu merekomendasikan penyemprotan pestisida secara berkala tanpa melihat ada tidaknya hama yang menyerang tanaman, sehingga penyemprotan bisa dilakukan setiap minggu sepanjang musim tanam.

Pestisida yang terdapat pada tanaman dapat terserap bersama hasil panen berupa residu yang dapat terkonsumsi oleh konsumen. Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup juga senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi dan zat pengotor yang dapat bersifat toksik (Sakung, 2004). Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun.

Serangan merupakan bentuk aktifitas Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman, sedangkan kerusakan adalah efek dari aktifitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi fisiologi dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat beragam tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak dan tidak mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara permanen/keseluruhan pada tanaman dan bagian tanaman yang akan dipanen, misalnya kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, pembusukan ataupun rusaknya sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tersebut tidak produktif lagi. Sedangkan kerusakan yang dianggap tidak mutlak, yaitu kerusakan yang terjadi pada sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang, dan batang.

Pestisida adalah sebutan untuk semua jenis obat (zat/bahan kimia) pembasmi hama yang ditunjukkan untuk melindungi tanaman dari serangga-serangga, bakteri, virus, dan hama lainnya seperti tikus, bekicot, dan nematode (cacing) serta zat pengatur tumbuh pada tumbuhan di luar pupuk. Pestisida juga merupakan racun untuk memberantas atau untuk mencegah fungi, ulat dan hama penghisap yang menyerang tanaman, juga digunakan untuk memberantas tanaman pengganggu dan sebagainya. Pestisida tersusun dan unsur kimia yang jumlahnya tidak kurang dari 105 unsur. Namun yang sering digunakan sebagai unsur pestisida adalah 21 unsur. Unsur atau atom yang lebih sering dipakai adalah carbon, hydrogen, oxigen, nitrogen, phosphor, chlorine dan sulfur. Sedangkan yang berasal dari logam atau semi logam adalah ferum, cuprum, mercury, zinc dan arsenic. Setiap pestisida mempunyai sifat yang berbeda. Sifat pestisida yang sering ditemukan adalah daya, toksisitas, rumus empiris, rumus bangun, formulasi, berat molekul dan titik didih.

Pestisida tidak hanya berperan dalam mengendalikan jasad-jasad pengganggu dalam bidang pertanian saja, namun juga diperlukan dalam bidang kehutanan terutama untuk pengawetan kayu dan hasil hutan yang lainnya, dalam bidang kesehatan dan rumah tangga untuk mengendalikan vektor (penular) penyakit manusia dan binatang pengganggu kenyamanan lingkungan, dalam bidang perumahan terutama untuk pengendalian rayap atau gangguan serangga yang lain.


Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah campuran bahan kimia yang dapat digunakan untuk mencegah, membasmi, memusnahkan, menolak dan mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk serangga bentuk hewan atau tanaman dan mikroorganisme pengganggu dengan tujuan kesejahteraan manusia. Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu :
Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia.
Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Pestisida Biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur, bakteri atau virus.

Dengan melihat besarnya kehilangan hasil yang dapat diselamatkan berkat penggunaan pestisida, maka dapat dikatakan bahwa peranan pestisida sangat besar dan merupakan sarana penting yang sangat diperlukan dalam bidang pertanian. Usaha intensifikasi pertanian yang dilakukan dengan menerapkan berbagai teknologi maju seperti penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan dan pola tanam akan menyebabkan perubahan ekosistem yang sering diikuti oleh meningkatnya problema serangan jasad pengganggu. Demikian pula usaha ekstensifikasi pertanian dengan membuka lahan pertanian baru, yang berarti melakukan perombakan ekosistem, sering kali diikuti dengan timbulnya masalah serangan jasad pengganggu. Dan tampaknya saat ini yang dapat diandalkan untuk melawan jasad pengganggu tersebut yang paling manjur hanya pestisida. Memang tersedia cara lainnya, namun tidak mudah untuk dilakukan, kadang-kadang memerlukan tenaga yang banyak, waktu dan biaya yang besar, hanya dapat dilakukan dalam kondisi tertentu yang tidak dapat diharapkan efektifitasnya. Pestisida saat ini masih berperan besar dalam menyelamatkan kehilangan hasil yang disebabkan oleh jasad pengganggu.

Pengendalian hama secara kimia sintetis memang sering dilakukan oleh petani, karena dianggap memberikan hasil yang cepat terlihat. Namun, tanpa disadari penggunaannya mengakibatkan efek samping yang sangat membahyakan dalam jangka waktu yang lama.

Intensifikasi penggunaan pestisida kimia sintetis pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, antara lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian akibat terganggunya populasi flora dan fauna (Regnault-Roger 2005).


Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida kimia, maka telah dibuat kesepakatan internasional untuk memberlakukan pembatasan penggunaan bahan-bahan kimia pada proses produksi pestisida kimia sintetik. Berdasarkan kebijakan internasional, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan ditingkat nasional dalam perlindungan tanaman dengan menggalakkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Penggunaan insektisida yang beraneka ragam dengan konsentrasi tinggi serta interval penyemprotan yang terlalu dekat dapat menimbulkan efek residu pestisida sehingga dapat mengurangi harga saing ekspor. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana antara lain adalah terjadinya resistensi hama, resurgensi hama sasaran dan residu pestisida. Penggunaan insektisida secara terus menerus juga akan merusak lingkungan atau agroekosistem. Selain itu juga kandungan pestisida pada sayuran menjadi sangat tinggi sehingga sangat cukup membahayakan para konsumen.

Penggunaan insektisida sintetis yang tidak sesuai dengan fungsi dan ukurannya menimbulkan masalah berupa kandungan residu insektisida pada komoditi bahan pangan, yang pada akhir dapat membahayakan kesehatan masyarakat (Naria, 1994). Residu insektisida yang terdapat dalam rantai makanan dapat memberikan dampak negatif terhadap manusia yakni menyebabkan keracunan bahkan kematian. Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pestisida dapat memberikan efek jangka panjang yakni menyebabkan kanker, gangguan kesehatan reproduksi pria dan wanita, kelainan syaraf, merusak sistem kekebalan tubuh, dan Parkinson (Emmy L.S, 1995).

Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida sintesis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, tersembunyi bahaya yang mengerikan. Para ilmuwan telah menyadari bahwa dibalik kemudahan dan keunggulan pestisida sintesis, tersembunyi biaya mahal yang harus ditanggung oleh manusia di berbagai belahan bumi. Bahaya yang dimaksud adalah pencemaran lingkungan dan keracunan. Menurut WHO sekitar 5.000-10.000 orang per-tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan, dan penyakit liver. Berbagai jenis pestisida terakumulasi di tanah dan air yang berdampak buruk terhadap keseluruhan ekosistem, beberapa spesies katak jantan di Amerika Serikat dilaporkan mengalami perubahan genetic menjadi berkelamin ganda (hermaprodit) akibat keracunan Atrazin (bahan aktif herbisida yang sangat banyak dipakai di AS) dan telah terakumulasi pada tanah dan air (Intisari, Juli 2002). Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis.Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi insektisida sintesis.

Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang bebas residu pestisida mendorong para ahli mempelajari kemungkinan substitusi penggunaan pestisida sintetis dengan pestisida nabati. Penggunaan pestisida sintetis selain meninggalkan residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan, juga menyebabkan resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami baik serangga parasit maupun predator, dan mengakibatkan pencemaran air, tanah serta udara yang pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.

Awalnya, manusia menggunakan pestisida nabati dalam pembasmian hama namun sejak ditemukannya dikloro difenil trikloroetan (DDT) tahun 1939 yang telah memberikan hasil yang cepat dan efektif sehingga meningkatkan kepercayaan para petani terhadap pestisida sintetik yang akhirnya menimbulkan ketergantungan serta memberikan efek negatif terhadap kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan karena dapat mengakibatkan akumulasi bahan - bahan yang berbahaya di alam dan pada akhirnya akan berdampak pada organisme non target.


Pestisida sebelum digunakan harus diformulasi terlebih dahulu. Pestisida dalam bentuk murni biasanya diproduksi oleh pabrik bahan dasar, kemudian dapat diformulasi sendiri atau dikirim ke formulator lain. Oleh formulator baru diberi nama. Berikut ini beberapa formulasi pestisida yang sering dijumpai:
Cairan
Pestisida yang berformulasi cairan emulsi meliputi pestisida yang di belakang nama dagang diikuti oleb singkatan ES (emulsifiable solution), WSC (water soluble concentrate). B (emulsifiable) dan S (solution). Biasanya di depan singkatan tersebut tercantum angka yang menunjukkan besarnya persentase bahan aktif. Bila angka tersebut lebih dari 90% berarti pestisida tersebut tergolong murni. Komposisi pestisida cair biasanya terdiri dari tiga komponen, yaitu bahan aktif, pelarut serta bahan perata. Pestisida golongan ini disebut bentuk cairan emulsi karena berupa cairan pekat yang dapat dicampur dengan air.

Butiran
Formulasi butiran biasanya hanya digunakan pada bidang pertanian sebagai insektisida sistemik. Dapat digunakan bersamaan waktu tanam untuk melindungi tanaman pada umur awal. Komposisi pestisida butiran biasanya terdiri atas bahan aktif, bahan pembawa yang terdiri atas talek dan kuarsa serta bahan perekat. Komposisi bahan aktif biasanya berkisar 2-25%, dengan ukuran butiran 20-80 mesh. Aplikasi pestisida butiran lebih mudah bila dibanding dengan formulasi lain. Pestisida formulasi butiran di belakang nama dagang biasanya tercantum singkatan G atauWDG (waterdispersiblegranule).

Debu
Komposisi pestisida formulasi debu ini biasanya terdiri atas bahan aktif dan zat pembawa seperti talek. Dalam bidang pertanian pestisida formulasi debu ini kurang banyak digunakan, karena kurang efisien. Hanya berkisar 10-40% saja apabila pestisida formulasi debu ini diaplikasikan dapat mengenai sasaran (tanaman).

Tepung
Komposisi pestisida formulasi tepung pada umumnya terdiri atas bahan aktif dan bahan pembawa seperti tanah hat atau talek (biasanya 50-75%). Untuk mengenal pestisida formulasi tepung, biasanya di belakang nama dagang singkatanWP (wettablepowder) atau WSP (watersolublepowder).

Oli
Pestisida formulasi oli biasanya dapat dikenal dengan singkatan SCO (solluble concentrate in oil). Biasanya dicampur dengan larutan minyak seperti xilen, karosen atau aminoester. Dapat digunakan seperti penyemprotan ULV (ultra low volume) dengan menggunakan atomizer. Formulasi ini sering digunakan pada tanaman kapas.

Fumigansia
Pestisida ini berupa zat kimia yang dapat menghasilkan uap, gas, bau, asap yang berfungsi untuk membunuh hama. Biasanya digunakan di gudang penyimpanan.

Penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi mikro-organisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan insektisida yang berlebihan. Timbulnya resistensi hama memaksa petani menambah dosis insektisida yang diaplikasikan sehingga semakin memperparah paparan residu insektisida pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan insektisida di Indonesia pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus keracunan, 3.789 orang dilaporkan meninggal dunia.

Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17 nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris eliptica (Ware,1983).

Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller. Kemudian pada tahun 1940 mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas. Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun 1950 dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya (Sudarmo, 1987).


Petunjuk penggunaan pestisida


Memilih pestisida
Di pasaran banyak dijual formulasi pestisida yang satu sama lain dapat berbeda nama dagangnya, walaupun mempunyai bahan aktif yang sama. Untuk memilih pestisida, pertama yang harus diingat adalah jenis jasad pengganggu yang akan dikendahikan. Hal tersebut penting karena masing-masing formulasi pestisida hanya manjur untuk jenis jasad pengganggu tertentu. Maka formulasi pestisida yang dipilih harus sesuai dengan jasad pengganggu yang akan dikendalikan. Untuk mempermudah dalam memilih pestisida dapat dibaca pada masing-masing label yang tercantum dalam setiap pestisida. Dalam label tersebut tercantumjenis-jenis jasad pengganggu yang dapat dikendahikan. Juga tercantum cara penggunaan dan bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan.

Untuk menjaga kemanjuran pestisida, maka sebaiknya belilah pestisida yang telah terdaftar dan diizinkan oleb Departemen Pertanian yang dilengkapi dengan wadah atau pembungkus asli dan label resmi. Pestisida yang tidak diwadah dan tidak berlabel tidak dijamin kemanjurannya.

Menyimpan pestisida
Pestisida senantiasa harus disimpan dalam keadaan baik, dengan wadah atau pembungkus asli, tertutup rapat, tidak bocor atau rusak. Sertakan pula label asli beserta keterangan yang jelas dan lengkap. Dapat disimpan dalam tempat yang khusus yang dapat dikunci, sehingga anak-anak tidak mungkin menjangkaunya, demikian pula hewan piaraan atau ternak. Jauhkan dari tempat minuman, makanan dan sumber api. Buatlah ruang yang terkunci tersebut dengan ventilasi yang baik. Tidak terkena langsung sinar matahari dan ruangan tidak bocor karena air hujan. Hal tersebut kesemuanya dapat menyebabkan penurunan kemanjuran pestisida.

Untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu pestisida tumpah, maka harus disediakan air dan sabun detergen, beserta pasir, kapur, serbuk gergaji atau tanah sebagai penyerap pestisida. Sediakan pula wadah yang kosong, sewaktu-waktu untuk mengganti wadah pestisida yang bocor.

Menggunakan pestisida
Untuk menggunakan pestisida harus diingat beberapa hal yang harus diperhatikan:
-Pestisida digunakan apabila diperlukan.
-Sebaiknya makan dan minum secukupnya sebelum bekerja dengan pestisida.
-Harus mengikuti petunjuk yang tercantum dalam label.
-Anak-anak tidak diperkenankan menggunakan pestisida, demikian pula wanita hamil dan orang yang tidak baik kesehatannya.
-Apabila terjadi luka, tutuplah luka tersebut, karena pestisida dapat terserap melalui luka.
-Gunakan perlengkapan khusus, pakaian lengan panjang dan kaki, sarung tangan, sepatu kebun, kacamata, penutup hidung dan rambut dan atribut lain yang diperlukan.
-Hati-hati bekerja dengan pestisida, lebih-lebih pestisida yang konsentrasinya pekat. Tidak boleh sambil makan dan minum.
-Jangan mencium pestisida, karena pestisida sangat berbahaya apabila tercium.
-Sebaiknya pada waktu pengenceran atau pencampuran pestisida dilakukan di tempat terbuka. Gunakan selalu alat-alat yang bersih dan alat khusus.
-Dalam mencampur pestisida sesuaikan dengan takaran yang dianjurkan. Jangan berlebih atau kurang.
-Tidak diperkenankan mencampur pestisida lebih dari satu macam, kecuali dianjurkan.
-Jangan menyemprot atau menabur pestisida pada waktu akan turun hujan, cuaca panas, angin kencang dan arah semprotan atau sebaran berlawanan arah angin. Bila tidak enak badan berhentilah bekerja dan istirahat secukupnya.
-Wadah bekas pestisida harus dirusak atau dibenamkan, dibakar supaya tidak digunakan oleh orang lain untuk tempat makanan maupun minuman.
-Pasanglah tanda peringatan di tempat yang baru diperlakukan dengan pestisida.
-Setelah bekerja dengan pestisida, semua peralatan harus dibersihkan, demikian pula pakaian-pakaian, dan mandilah dengan sabun sebersih mungkin.


Petani selama ini tergantung pada pengendalian secara kimiawi untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Untung (1996) mengemukakan bahwa aplikasi insektisida kimia sintetik yang kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi hama, resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran, adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan, dan bahaya pada pemakai (Gapoktan, 2009). Untuk mengoptimalkan dampak tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan alam yang ramah lingkungan sebagai alternatif, salah satunya penggunaan insektisida alami sebagai altrnatif (Listiyati dkk., 2012).

Pestisida nabati merupakan pestisida yang memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki fungsi sebagai pengendali hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Bahan aktif pestisida nabati berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak yang merupakan hasil pengambilan cairan dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida. Karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah hilang, maka relatif aman bagi manusia (Samsudin, 2008). Pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
Repelant, yaitu menolak kehadiran serangga, misalnya dengan bau yang menyengat.
Antifidant, mencegah serangga makan tanaman yang disemprot, merusak perkembangan telur, larva, pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan sistem syaraf di dalam tubuh serangga.
Atraktan, yaitu pemikat serangga, yang dapat dipakai sebagai perangkap serangga, mengendalian jamur atau bakteri (Gapoktan, 2009).

Cara kerja pestisida:
-Pestisida kontak, berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh  jasad terkena sasran.
-Pestisida fumigan, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran terkena uap atau gas.
-Pestisida sistemik, berarti dapat ditranslokasikan ke berbagai bagian tanaman melalui jaringan. Hama akan mati jika mengisap cairan tanaman.
-Pestisida lambung, berarti mempunyai daya  bunuh setelah jasad sasaran memakan pestisida.

Pestisida nabati juga memiliki berbagai macam jenis berdasarkan fungsi mengendalikan hama seperti insektisisda, bakterisida, akarisida dan lain-lain. Penggunaan insektisida nabati dilakukan sebagai alternatif untuk mengendalikan hama tanaman sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti penggunaan pestisida kimia (Tohir, 2010).

Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995 menyatakan bahwa pemanfaatan agens pengendali hayati atau biopestisida termasuk pestisida nabati sebagai komponen utama dalam sistem PHT. Pestisida nabati merupakan pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Tumbuhan banyak mengandung bahan kimia yang dapat digunakan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu.

Penggunaan rodentisida, moluskisida, akarisida, dan nematisida sintetis yang kurang bijaksana disinyalir mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi lingkungan. Oleh karena itu, sudah saatnya dicari bahan pengendali hama yang efektivitasnya setara dengan pestisida sintetis namun lebih aman bagi organisme hidup maupun lingkungan. Dengan demikian secara perlahan akan tercipta keseimbangan ekologi yang berkesinambungan. Selanjutnya, petani maupun pengusaha diharapkan mampu mengembangkan pestisida yang ramah lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan senyawa sekunder tanaman sebagai bahan aktif pestisida. Pestisida dengan bahan aktif yang bersumber dari tanaman dikenal sebagai pestisida nabati (Regnault-Roger 2005).

Kasumbogo untung menyatakan bahwa pengguanaan pestisida sintetis dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus di tekan seminimal mungkin. Indiyani dan Gothama melanjutakan untuk mengatasi hal tersebut telah dianjurkan untuk menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan salah satu komponen adalah pengendalian hayati. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah penggunaan pestisida nabati. Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya lebih murah dibandingkan penggunaan pestisida sintetis atau kimia (Murtidjo, 2003).

Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak essensial bagi pertumbuhan organisme, yang ditemukan dalam bentuk unik atau berbeda-beda antara spesies satu dengan spesies lainnya. Berbagai senyawa metabolit sekunder telah digunakan sebagai obat atau bahan untuk membuat obat, pestisida dan insektisida. Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif murah.


Menurut Kardinan (2002), pada pertanian organik saat ini mulai banyak dikembangkan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan pestisida nabati yang berasal dari tumbuhan yang banyak terdapat di alam. Teknik pengendalian ini merupakan alternatif  pemecahan terhadap permasalahan pestisida sintetis yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem lingkungan. Selain relatif mudah dibuat dan tidak mahal, pestisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan karena selain bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, pestisida nabati juga memiliki sifat mudah terurai di alam.

Pemanfaatan pestisida nabati diyakini mampu menjawab permasalahan tersebut karena tersusun dari senyawa tanaman yang mudah terurai. Hasil penelitian mengindikasikan spesies-spesies tanaman yang tumbuh di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Jahe (Zingiber officinale) merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Terna berbatang semu, tinggi 30 cm sampai 1 m, rimpang bila dipotong berwarna kuning jingga (Koswara, 2007).

Rimpang jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu tumbuhan sumber bahan pestisida nabati yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama thrips karena mengandung senyawa keton zingeron yang memiliki rasa pedas, menyebabkan tubuh serangga terasa panas, demam, dan mati (Duddy, 2009).

Jahe mengandung minyak atsiri (geraniol dan sitronelol) yang telah dibuktikan dalam beberapa penilitian berperan sebagai insektisida pada nyamuk Aedes aegypti dan hama gudang (Sitophilus zeamais Motsch).

Jahe mengandung senyawa keton bernama zingeron. Jahe merah memiliki potensi sebagai bahan pestisida nabati karena mengandung senyawa oleoresin yang memberikan rasa pedas pada jahe, serta senyawa minyak atsiri yang mengandung banyak komponen, diantaranya zingiberene, zingiberol, kaemferol, dan bisabolene (Kusumaningati, 2009). Kandungan lainnya yakni minyak dammar, pati, asam organik, asam aksolat dan gingerin. Kaemferol bertindak sebagai inhibitor pernafasan kuat bagi serangga dan mampu memblok organ olfactori dalam tubuh serangga, sehingga sistem pernafasan serangga terganggu (Rahajoe dkk., 2012). Senyawa keton zingeron, yang merupakan turunan dari senyawa zingiberene mampu memberikan penurunan aktivitas makan serangga.

Proses ekstraksi rimpang Jahe sebagai pestisida nabati
Rimpang jahe dipilih yang memiliki kondisi baik. Kemudian dibersihkan menggunakan air mengalir lalu ditiriskan.Rimpang kemudian diiris tipis-tipis, setelah itu diangin-anginkan di dalam ruangan tertutup tanpa terkena sinar matahari.

Rimpang yang telah kering diserbukkan dengan menggunakan blender. Serbuk kering jahe yang diperoleh, dimasukkan ke dalam botol, lalu ditambahkan etanol 96%, aduk hingga merata, kemudian didiamkan selama 24 jam.

Pisahkan ampas dengan cairan larutan dengan cara disaring menggunakan kain penyaring. Semua filtrat yang diperoleh dicampur dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator bertekanan rendah pada suhu 60°C dengan kecepatan putar 30 rpm (Suryani, dkk., 2012). Selanjutnya, filtrat pekat diuapkan pada suhu 60°C hingga menjadi pasta jahe dengan konsentrasi 100%. Setelah itu dilakukan prosedur pengenceran ekstrak jahe.

Cara pembuatan pestisida rimpang jahe sederhana dengan pelarut air:
Bahan dan Alat:
-50 gram jahe.
-12 ml deterjen.
10 ml minyak tanah.
-3 liter air.
-Alat Penumbuk/blender.
(Untuk luasan 0,4 ha dibutuhkan 1 kg jahe)
Cara Pembuatan:
-Hancurkan jahe sampai halus. Tambahkan air, deterjen, minyak tanah. Kemudian aduk sampai rata lalu saring.
Cara Penggunaan:
Semprotkan ke seluruh bagian tanaman yang terserang pada pagi atau sore hari.

Komposisi tersebut dapat disesuaikan dengan OPT sasaran dan berdasarkan pengalaman petani di lapangan. Makin kecil OPT sasaran, porsi minyak nabati dapat dikurangi. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan efektivitas formula dalam mengendalikan OPT adalah komposisi detergen di dalam formula harus sedemikian rupa, sehingga formula dapat teremulsi sempurna di dalam air.

Minyak tanah adalah cairan hidrokarbon C12 sampai C15 yang tidak berwarna dan mudah terbakar, diperoleh dengan cara distilasi fraksional petroleum pada 150 °C dan 275 °C. Di Indonesia minyak tanah dapat digunakan untuk mengusir koloni serangga sosial seperti semut dan kecoa. Peran penting minyak tanah dalam formulasi pestisida nabati adalah untuk meningkatkan daya racun pestisida karena minyak tanah juga bersifat insektisidal. Minyak tanah digunakan untuk membantu proses penguraian supaya hama sasaran cepat terbunuh. Pada konsentrasi yang tepat, minyak tanah dapat meningkatkan efektivitas formula pestisida nabati, namun apabila digunakan terlalu banyak dapat mengakibatkan fitotoksisitas. Dengan demikian, pemakaian minyak tanah di dalam formulasi pestisida nabati sebaiknya dibatasi secukupnya.

Detergen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Detergen merupakan garam Natrium dari asam sulfonat, yang mengandung surfaktan dan linier alkil benzene sulfonate yang bersifat karsinogenik yang dapat membunuh hama. Detergen bermanfaat mengemulsikan komponen minyak dalam formula sehingga saat pestisida dicampur dengan air, seluruh bahan yang terkandung dalam formula dapat teremulsi dengan sempurna dan saat diaplikasikan dapat menyebar merata ke seluruh permukaan tanaman. Detergen juga dapat mencuci lapisan lilin yang menyelimuti kulit serangga, sehingga meningkatkan efektivitas formula karena bahan aktif pestisida nabati lebih mudah menembus tubuh OPT sasaran.


Pestisida Ekstrak Jahe (Zingiber officinale) mampu digunakan untuk mengendalikan hama ulat buah tomat, kutu daun, belalang, trips, kutu kebul, Nematoda, antraknos. Selain itu juga memiliki fungsi sebagai penolak terhadap semut api (Solenopsis sp.). Semut merupakan hama rumah tangga yang dominan bagi seluruh belahan dunia dan merupakan hama rumah tangga ketiga setelah nyamuk dan kecoa (Lee, dkk., 2002). Semut api berperan dalam pengendalian hama tanaman dan dapat juga berpotensi sebagai vektor penyakit yang berasosiasi dengan beberapa mikroorganisme patogen yang menyebabkan penyakit bagi manusia, menyebabkan kontaminasi pada makanan, kontaminasi peralatan steril di laboratorium dan menyebabkan reaksi hipersensitivitas serta alergi kepada beberapa orang dikarenakan sengatannya yang cukup menyakitkan (Miller and Allen, 2010). Aroma yang ditimbulkan oleh minyak atsiri dari golongan geraniol dan sitronelol akan berikatan dengan Odorant Binding Protein (OBP) sehingga membentuk komplek bau OBP yang dapat menimbukan respon berupa penghindaran serangga dari bau tersebut.

Bau ekstrak jahe merupakan rangsangan awal yang diterima oleh reseptor kimiawi (chemoreceptors) pada antenna semut (sensilia) yang mengandung satu atau beberapa bipolar syaraf reseptor penciuman atau dikenal sebagai ORN (Olfactory Receptor Neurons). ORN berada pada ujung dendrit dalam cairan lymph sensilia yang berfungsi untuk mendeteksi bahan-bahan kimia (bau) pada ujung akson untuk implus syaraf kemudian menghantarkan bau ekstrak jahe tersebut. Melewati cairan lymph sensilia, bau ekstrak jahe berikatan dengan protein OBP (Odorant Binding Proteins). Selain sebagai pembawa, OBP juga bekerja melarutkan bau dan bertindak dalam seleksi informasi penciuman. Ketika kompleks bau OBP sampai di membran dendrit, bau berikatan dengan reseptor trans-membran, yaitu ORS (Olfactory Receptor Neurons). ORS mentransfer pesan kimia yang kemudian menimbulkan cascade sehingga memicu aktivasi syaraf. Impuls elektrik disampaikan ke pusat otak yang lebih tinggi dan berintegrasi untuk menimbulkan respon tingkah laku yang tepat misalnya menghindar dari bau tersebut.

Hasil dari suatu penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian filtrat rimpang jahe (Zingiber officinale) berpengaruh terhadap tingkat mortalitas dan penghambatan aktivitas makan larva Plutella xylostella. Rusaknya saluran pencernaan pada tubuh larva dan terhambatnya organ olfaktori sehingga tidak dapat membau keberdaan makanan akan mengakibatkan menurunya aktivitas makan larva. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wahyuningsih (1998) yang menyatakan bahwa berkurangnya aktivitas makan larva akan berakibat pada berkurangnya tingkat aktivitas makan larva yang akan mengakibatkan larva menjadi lemas dan mati secara perlahan. Plutella xylostella merupakan hama utama tanaman anggota Brassicaceae dan menjadi faktor penyebab turunnya hasil produksi. Plutella xylostella merusak tanaman dengan cara menggerek bagian permukaan epidermis daun. Gejala serangan ditandai dengan adanya lubang-lubang menyerupai jala yang menerawang pada permukaan daun dengan hanya tinggal urat daunnya saja (Herlinda, 2003). Serangan P. xylostella dapat dikategorikan berbahaya karena dapat menurunkan jumlah maupun kualitas hasil panen. Potensi kerusakan yang disebabkan oleh hama ini dapat mencapai 58-99 % (Sastrowijoyo dkk., 2005).

Mekanisme masuknya senyawa aktif yang terdapat pada jahe adalah dengan bereaksi pada membran sel sebagai racun kontak dengan cara merusak membran sel sehingga permiabilitas membran plasma terganggu dan mengakibatkan lisis. Kerusakan membran sel ini disebabkan oleh ion H+ dari senyawa gingerol akan berikatan dengan gugus fosfat sehingga molekul fosfolipida akan terurai menjadi asam karboksilat, gliserol, dan asam fosfat. Hal ini mengakibatkan fosfolipida tidak dapat mempertahankan bentuk membran sitoplasma, sehingga membran sitoplasma bocor (Robinson, 1995).

Dadang dan Kanju (2000) mengatakan bahwa membran sel yang tersusun atas lipid dan protein sangat rentan terhadap zat kimia yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan tegangan permukaan membran plasma. Kerusakan membran plasma menyebabkan terganggunya transport nutrisi (senyawa dan ion) melalui membran sel sehingga sel Plutella xylostella mengalami kekurangan nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhannya.

Selain mengakibatkan keluarnya materi dalam sel, dan mengganggu proses transport nutrisi oleh sel, kerusakan membran sitoplasma akan mengakibatkan senyawa lain yang terdapat pada jahe lebih leluasa melakukan penetrasi ke dalam tubuh larva. Masuknya senyawa lain kedalam tubuh larva secara leluasa akibat dari rusaknya jaringan membran akan mengakibatkan terganggunya fungsi fisiologis dalam tubuh larva. Senyawa tersebut akan mengganggu sistem pernafasan, mengganggu kerja hormonal dan merusak saluran pencernaan. Terganggunya sistem fisiologis larva akan berakibat pada terganggunya sistem respirasi, mengganggu kerja hormonal dan merusak saluran pencernaan (Rahajoe, 2012).

Penetrasi kaemferol pada jaringan pernapasan larva akan merusak kerja mitokondria. Kerusakan mitokondria akan mengganggu proses metabolisme energi pada mitokondria, dengan menghambat proses pengangkutan elektron, yang berakibat pada terganggunya  proses pembentukan adenosine triphospate (ATP). Berkurangnya ATP pada tubuh larva akan mengakibatkan larva menjadi lemas dan tidak memiliki cukup energi untuk melakukan aktivitas makan (Rahajoe, 2012). Kaempferol juga bekerja secara fisiologis sebagai racun pencernaan dengan mengakibatkan kerusakan saluran pencernaan pada tubuh larva yang berakibat pada penurunan aktivitas kelenjar pencernaan.  Penurunan aktivitas kelenjar pencernaan akan memengaruhi proses pencernaan secara kimiawi  dalam saluran pencernaan akibat rusaknya sel-sel epitel penghasil enzim pencernaan dan rusaknya sel regeneratif yang berfungsi untuk memperbaharui sel epitel yang telah mati atau rusak.


Jenis pestisida nabati berkaitan erat dengan perannya dalam mengendalikan OPT. Beberapa jenis pestisida nabati yang mulai dikenal luas adalah insektisida, nematisida, fungisida (Wiratno et al. 2008), bakterisida (Sumastuti dan Pramono 2002), moluskisida (Wiratno et al. 2011), dan leismanisida nabati (Chan Bacab dan Pena Rodriguez 2001). Saat ini Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) sedang mengembangkan herbisida nabati untuk mengendalikan gulma yang banyak mengganggu tanaman budi daya.

Pestisida nabati memiliki spektrum pengendalian yang luas dan dapat mengendalikan hama yang telah resisten terhadap insektisida sintetis. Karena tingkat toksisitasnya terhadap mamalia relatif rendah, pestisida nabati aman bagi kehidupan.

Cara penggunaan pestisida yang tepat merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan pengendalian hama. Walaupun jenis obatnya manjur, namun karena penggunaannya tidak benar, maka menyebabkan sia-sianya penyemprotan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida, di antaranya adalah keadaan angin, suhu udara, kelembapan dan curah hujan. Angin yang tenang dan stabil akan mengurangi pelayangan partikel pestisida di udara. Apabila suhu di bagian bawah lebih panas, pestisida akan naik bergerak ke atas. Demikian pula kelembapan yang tinggi akan mempermudah terjadinya hidrolisis partikel pestisida yang menyebabkan kurangnya daya racun. Sedang curah hujan dapat menyebabkan pencucian pestisida, selanjutnya daya kerja pestisida berkurang. Hal-hal teknis yang juga perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah ketepatan penentuan dosis. Dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemborosan pestisida, di samping merusak lingkungan. Dosis yang terlalu rendah menyebabkan hama sasaran tidak mati. Di samping berakibat mempercepat timbulnya resistensi.

Insektisida nabati kembali mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik karena relatif aman, murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak mencemari lingkungan, residunya relatif pendek (Oka, 1994), aman terhadap hewan bukan sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh samping (Kardinan 2002).


Cara yang tepat dalam aplikasi pestisida harus disesuaikan dengan bentuk atau formulasi suatu pestisida. Dalam mengaplikasikan pestisida haruslah ada penyesuaian terhadap hama/penyakit sasaran, yaitu dengan mengetahui bagaimana cara hidupnya, apa kelemahan hama /penyakit tersebut serta cara kerja pestisida tersebut (kontak atau sistemik). Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djojosumarto bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengendalian OPT adalah hubungan antara jenis pestisida yang digunakan dengan OPT, karena tidak ada satu jenis pestisida untuk semua jenis OPT serta teknik aplikasi yang meliputi kepekaan sasaran dan waktu aplikasi. Pengguanaan dosis dibawah anjuran juga dapat mengakibatkan hama/ penyakit tidak mati serta mengakibatkan hama menjadi resisten, sedangkan waktu penyemprotan yang baik hendaknya dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10 dan sore hari setelah jam 3, karena disaat-saat tersebut dipastikan belum banyak angin serta sinar matahari belum terik sehingga hama masih enggan bergerak.

Kelebihan maupun keunggulan pestisida nabati dibandingkan dengan pestisida sintetik menyebabkan minat terhadap pencarian dan pemanfaatan sumber senyawa pestisida dari tumbuhan semakin besar. Hal ini dimungkinkan selain karena tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif pestisida nabati, studi biokimia juga telah semakin berkembang serta didukung oleh sarana dan prasarana yang semakin canggih. Oleh karena itu, pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida tidak hanya sekedar meracik secara sederhana tetapi berkembang ke arah teknologi yang lebih maju.

Kelebihan pestisida alami :
-Bahan baku murah, ekonomis dan mudah didapat serta dibuat sendiri oleh petani.
-Relatif aman terhadap lingkungan, manusia dan ternak karena residunya mudah hilang.
-Mudah terurai di alam dan ramah lingkungan.
-Tidak menyebabkan keracunan pada tanaman.
-Dapat membunuh hama/penyakit tanaman.
-Sebagai pengumpul/perangkap hama tanaman.
-Dosis yang digunakan tidak mengikat dan beresiko dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintetis.
-Sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama.
-Kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain.
-Menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.            
-Merupakan pemecahan masalah hama jangka pendek/cepat.

Pestisida alami dapat membunuh atau mencegah serangan hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik, yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal.
Cara kerja pestisida alami sangat spesifik, yaitu :
-Merusak perkembangan telur, larva dan pupa.
-Menghambat pergantian kulit.
-Mengganggu komunikasi serangga.
-Menyebabkan serangga menolak makan.
-Menghambat reproduksi serangga betina.
-Mengurangi nafsu makan.
-Memblokir kemampuan makan serangga.
-Mengusir serangga.
-Menghambat perkembangan patogen penyakit.

Pestisida nabati juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain yaitu bahan aktif yang dimilikinya mudah terurai sehingga pestisida jenis ini tidak tahan untuk disimpan dalam jangka waktu lama. Selain itu, daya kerja pestisida nabati relatif lambat sehingga aplikasinya harus lebih sering dibanding pestisida sintetis. Umumnya pestisida nabati mempunyai tingkat toksisitas rendah sehingga tidak langsung mematikan hama sasaran.

Pemanfaatan pestisida nabati di Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan, karena selain bahan bakunya melimpah di alam, proses pembuatannya tidak membutuhkan teknologi tinggi, cukup dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada. Di lain pihak, karena bahan aktifnya berasal dari alam, pestisida nabati mudah terurai (bio-degradable) sehingga relatif aman bagi kehidupan.

Cara pengendalian OPT yang ramah lingkungan memang sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Upaya jangka pendek dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada petani mengenai:
-Keunggulan dan kekurangan pestisida nabati sehingga petani menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan pestisida nabati tidak memberikan efek langsung, namun mengendalikan OPT secara perlahan.
-Jenis-jenis tanaman di sekitar kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pestisida nabati.
-Cara menyiapkan dan mengolah bahan tanaman sehingga siap diekstrak menjadi bahan aktif pestisida nabati.
-Cara memformulasi pestisida nabati yang murah dan mudah sehingga secara ekonomis terjangkau oleh petani.
-Cara memanfaatkan pestisida nabati yang benar sesuai dengan arahan para ahli demi tercapainya tingkat keberhasilan pengendalian OPT yang optimal.

Upaya jangka panjang memerlukan dukungan serius dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis yang beredar di pasaran. Secara bertahap perizinan pendaftaran pestisida baru perlu dibatasi dan semua pestisida yang beredar di pasaran dievaluasi ulang terkait dengan resistensinya terhadap hama sasaran. Insektisida yang menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin edarnya dipertimbangkan kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat efek domino dari penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada konsentrasi yang lebih tinggi.

Pemberlakuan ekolabeling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas membuat produk pertanian di Indonesia belum mampu bersaing di pasar global, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali hama. Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti India dan Sri Lanka yang telah mulai memasuki pasaran Negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dengan produk pertanian yang bebas residu pestisida (Sutanto, 2000).

Para praktisi pertanian Indonesia mau tidak mau harus mempelajari dan mencoba alternative pestisida alami, jika tidak ingin tergilas oleh kecenderungan global yang menginginkan bahan-bahan hasil pertanian yang bebas dari residu pestisida.

Upaya yang tidak kalah penting adalah membantu penyuluh pertanian dalam mendampingi petani memproduksi dan memanfaatkan pestisida nabati. Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan pemanfaatan pestisida nabati kepada petani menjadi sangat penting mengingat penyuluh adalah ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh petani. Melalui pendampingan terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian ramah lingkungan dapat segera menyebar luas kepada petani.

Dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan pengendalian hama dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu evaluasi biologis dan evaluasi fisik. Evaluasi dikatakan berhasil bila sesudah pengaplikasian pestisida populasi OPT menurun, serangan OPT terhenti (tidak meluas) atau tanaman tidak lagi diserang OPT sama sekali dibandingkan dengan tanaman yang tidak diaplikasi, sedangkan evaluasi fisik yaitu untuk menilai tingkat keberhasilan penyemprotan yang telah dilakukan misalnya evaluasi parameter penyemprotan seperti penutupan (coverage), ukuran droplet, dan volume aplikasi.


Pestisida memang bukan pilihan utama dalam upaya mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Namun, jika pestisida terpaksa digunakan, pestisida harus dilakukan secara legal, benar, dan bijaksana. Jika ketentuan ini dilanggar, pestisida akan menjadi pedang bermata dua. Bagaimanapun pestisida merupakan racun yang bisa membahayakan pengguna dan lingkungan. Oleh karena itu, petani pengguna, petugas staf argokimia, siswa dan mahasiswa pertanian, serta masyarakat harus mendapat informasi yang jujur dan seimbang.

Saat ini teknik atau cara pengujian juga telah disesuaikan dengan daya kerja bahan aktif pestisida nabati dan OPT sasaran. Penelitian dan pengujian pestisida nabati yang dilakukan terhadap isolasi dan formulasi bahan aktif, uji toksisitas terhadap OPT sasaran. Toksisitas menurut Durham (1975) dalam Tandjung (1995) adalah kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia menimbulkan perusakan pada bagian yang peka didalam maupun diluar mahluk hidup. Organisme tersebut dapat mengalami berbagai tingkat kerusakan alat dan sistem organ. Tingkat racun (toksin) suatu bahan kimia diukur dengan besarnya kadar atau konsentrasi bahan yang dapat menimbulkan efek pada organisme. Uji toksisitas dipakai untuk menentukan tingkat racun tersebut. Setiap toksikan dalam tubuh dapat menimbulkan suatu efek toksik. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran maupun mekanisme kerjanya. Tidak terjadinya respon toksik tergantung pada sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut, situasi pemaparan dan kerentanan sistem biologis dari subyek. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan tehadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk kedalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan (Ahmad 2004).

Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran dan mekanisme kerjanya karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya. Antara lain yaitu:
Fisiologis dari organismenya
Proses fisiologis yag terjadi pada setiap organisme turut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida dalam tubuh organisme. Ada organisme yang mempunyai kemampuan menetralisir pestisida sampai pada konsentrasi tertentu. Sementara itu, ada pula organisme lain yang tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir daya racun dari pestisida yang masuk kedalam tubuhnya. Adanya perbedaan kemampuan dalam menetralisir daya toksik tersebut, disebabkan masing- masing spesies memiliki batas kisaran toleransi yang berbeda-beda antara satu spesies dengan lainnya.

Kondisi organismenya
Masing-masing individu memiliki daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin, status nutrient dan ada tidaknya stress. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap daya toksik pestisida tergantung dari kondisi organisme yang bersangkutan.

Kemampuan beraklimasi terhadap bahan
Kemampuan setiap organisme dalam beraklimasi terhadap adanya perubahan lingkungan berbeda satu dengan lainya. Ada organisme yang mampu menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan sehingga mampu bertahan hidup. Dan, organisme yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan akan mengalami kematian.

Uji persintensi formula aktif pestisida nabati juga perlu dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan keefektifannya terhadap OPT sasaran, ekonomis, mempunyai nilai tambah, dan ketersediaan teknologi. Hasil penelitian dan pengujian tersebut, menghasilkan beberapa produk formulasi pestisida nabati yang dilisensi. Produk ini akan memudahkan petani dalam memilih, mendapatkan dan menggunakan pestisida nabati sesuai dengan OPT sasaran. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal maka penggunaan pestisida nabati sebaiknya ditujukan untuk mencegah terjadinya serangan OPT bukan untuk tindakan pengendalian.

Penggunaan pestisida nabati harus merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.

Penggunaan pestisida nabati harus merupakan bagian terintegrasi dari usaha pengendalian hama untuk meminimalisir dampak negatif terhadap kesehatan manusia, serangga yang menguntungkan seperti musuh alami, penyerbuk, organisme bukan sasaran dan lingkungan.

Potensi pestisida nabati apabila dikembangkan akan memperoleh hasil pengendalian OPT yang murah dan tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan baik bagi pekerja, hewan, maupun lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan potensi pestisida nabati tersebut diperlukan usaha keras dari semua pihak antara lain lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang berkewajiban untuk melakukan penelitian dasar mulai aspek kimia sampai formulasinya dan komitmen dari industri bahan perlindungan tanaman dalam membantu mengembangkan pestisida nabati.

Ketergantungan kita terhadap bahan-bahan kimia (pupuk kimia) apalagi bahan yang bersifat sebagai racun (insektisida, fungisida dan bakterisida) harus segera kita tinggalkan. Kita harus menggali bahan-bahan disekitar kita yang bisa kita manfaatkan untuk mengganti bahan-bahan kimia tersebut. Sudah saatnya kita kembali ke alam. Banyak mikro-organisme yang dapat kita manfaatkan untuk proses kelestarian lingkungan kita.

Indonesia merupakan tempat yang sangat potensial bagi pengembangan dan pemanfaatan pestisida alami. Prospek pengembangan pestisida alami di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Banyak hal yang dapat dihemat dengan menggantikan pestisida sintesis dengan pestisida alami yang di produksi sendiri. Contohnya di Thailand, International Development Research Center yang berpusat di Kanada melaporkan bahwa pemakaian pestisida botani di Thailand meningkat dengan mengesankan. Pada tahun 1988 dengan pestisida botani, Thailand telah mampu mengurangi import pestisida sintesis, sehingga berhasil menghemat devisanya sebesar 70 juta dolar AS per tahun. Pada tingkat petani produsen, biaya produksi dapat diturunkan secara signifikan.

Selain ramah lingkungan, pestisida alami merupakan pestisida yang relatif aman dalam penggunaannya dan ekonomis. Dalam hal ini komitmen pemerintah untuk lebih memasyarakatkan pestisida alami sangat diperlukan. Indonesia merupakan Negara agraris yang tidak dapat menghindari kecenderungan global untuk secara bertahap menurunkan pemakaian pestisida sintesis. Oleh karena itu, prospek yang sangat menjanjikan untuk pengembangan dan pemanfaatan pestisida alami di Indonesia.

Indonesia merupakan negara yang memiliki keaneka- ragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil (Hitipeuw 2011). Sebanyak 10% dari seluruh tanaman berbunga yang dikenal di dunia dapat ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi menjadi salah satu negara produsen pestisida nabati terbesar di dunia. Kesadaran dalam memanfaatkan pestisida nabati di Indonesia diharapkan dapat menekan kasus keracunan pada petani, konsumen, dan organisme bukan sasaran serta menghasilkan produk pertanian yang bebas residu pestisida.



*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.

pasang iklan disini




loading...