Loading...
Dampak Pencemaran Logam Berat Kadmium (Cd) Dalam Tanah
Pencemaran logam berat kadmium
pada lahan pertanian merupakan masalah penting dalam mewujudkan ketersediaan
bahan pangan yang aman bagi kesehatan manusia. Logam berat yang mencemari
lingkungan pertanian akan terserap organ tanaman, tersimpan dalam akar, daun,
dan biji, dimana bagian tanaman tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi
manusia. Logam berat yang masuk dan mengendap di dalam tubuh manusia akan
menjadi oksidan dan menjadi sumber awal timbulnya berbagai penyakit berbahaya
seperti kanker, tulang rapuh, radang paru-paru, ginjal, dan kelainan genetik.
Menurut Charlena (2004), logam berat dalam tanah pada prinsipnya
berada dalam bentuk bebas dengan sifat beracun serta dapat terserap tanaman
maupun tidak bebas yaitu berikatan dengan bahan organik, anorganik, dan hara.
Adanya logam berat dapat mempengaruhi ketersediaan hara tanaman serta
mengkontaminasi tanaman. Ketika logam berat memasuki lingkungan tanah, maka
akan terjadi keseimbangan dalam tanah, kemudian akan terserap oleh tanaman
melalui akar, dan selanjutnya akan terdistribusi ke bagian tanaman lainnya
(Charlena, 2004).
Logam Kadmium (Cd) bernomor atom 48 dan massa atom 112,41
termasuk dalam logam transisi pada periode V. Logam Cd juga dikenal sebagai
unsur chalcophile, cenderung ditemukan dalam deposit sulfide (Manahan, 2001). Kadmium (Cd) memiliki titik leleh 321oC, titik didih 767oC dan memiliki masa jenis
8,65 g/cm3 (Widowati dkk, 2008). Kadmium adalah logam berwarna putih perak,
lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan
Kadmium Oksida bila dipanaskan. Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi
dengan klor (Cd Klorida) atau belerang (Cd Sulfit). Kadmium membentuk Cd2+ yang bersifat tidak stabil. Oleh karena
sifat-sifatnya, Cd banyak dipakai sebagai stabilizer dalam pembuatan (polyvini
dan clorida).
Umumnya Kadmium terdapat dalam
kombinasi dengan elemen lain seperti Oxigen (Kadmium Oxide), Clorine (Kadmium
Chloride) atau belerang (Kadmium Sulfide). Logam Cd terdapat dalam tanah
secara alami dengan kandungan rata-rata rendah yaitu 0,4 mg Cd/kg tanah. Pada
tanah yang bebas polusi kandungannya adalah 0,06 – 1,1 mg/kg. Peningkatan
kandungan Cd dapat diperoleh dari asap kendaraan bermotor dan pupuk fosfat yang
terakumulasi di tanah. Ion logam berat merupakan bentuk yang dapat diserap oleh
tanaman diantara unsur mineral penting yang dibutuhkan tanaman. Pada umumnya
tanaman menyerap hanya sedikit (1-5%) larutan Cd yang ditambahkan ke dalam
tanah. Akumulasi dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan kandungan Cd
dalam tanah dan tanaman yang sedang tumbuh. Sayuran mengakumulasi Cd lebih
banyak dibandingkan tanaman pangan yang lain (Charlena, 2004).
Cadmium yang ada di dalam tanah
dapat berasal dari alam dan antropogenik. Cadmium dapat masuk kedalam tanah
karena adanya proses pelarutan batuan induk seperti batuan glasial dan
alluvial. Manusia juga berkontribusi dalam proses masuknya cadmium kedalam
lingkungan seperti penggunaan pupuk kimia, kotoran yang mengendap karena
aktivitas manusia. Cadmium yang ada didalam tanah akan lebih lama terbawa atau
terdistribusi dibandingkan cadmium yang ada pada udara dan air. Cadmium yang
terakumulasi di dalam tanah akan menggangu organisme yang hidup di dalamnya
seperti mikroorganisme, makroorganisme dan mollusca.
Penyerapan Cd dari tanah oleh tanaman dipengaruhi oleh total
pemasukan Cd dalam tanah, pH tanah, kandungan Zn, jenis tanaman dan kultivar.
Penyerapan Cd akan tinggi pada pH rendah dan menurun pada pH tinggi. Kandungan
seng (Zn) yang tinggi dapat mengurangi penyerapan Cd. Jika Cd telah memasuki
rantai makanan, maka pada akhirnya akan terakumulasi pada konsumen tingkat
tinggi yaitu hewan dan manusia (Subowo dkk., 1999).
Kadmium sangat membahayakan kesehatan karena pengaruh racun
akut dari unsur tersebut sangat buruk dapat mempengaruhi system saraf dan
system ginjal manusia. Di antara penderita yang keracunan kadmium mengalami
tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, kerusakan jaringan testicular, dan
kerusakan sel-sel jaringan darah merah. Di Jepang kontaminasi Cd pada beras
yang berasal dari lahan sawah yang lama mengalami kekeringan telah menimbulkan
penyakit itai- itai dengan gejala nyeri pada pinggang dan otot kaki (Subowo
dkk., 1999).
Pengaruh Cd terhadap tumbuhan adalah dapat membuat tumbuhan
menjadi klorosis dan nekrosis bahkan bisa membuat mati tumbuhan tersebut yang
keracunan logam Cd (Sun dkk., 2009). Logam Cd juga berpengaruh terhadap proses
fotosintesis sehingga akan membawa dampak buruk terhadap pertumbuhan dari
tumbuhan tersebut (Olivares, 2003). Gejala keracunan lain yang ditunjukkan oleh
tumbuhan adalah tanaman terlihat tidak sehat , layu, akar menghitam, dan daun
menguning (Astrini dkk., 2014).
Saat ini telah dikembangkan metode adsorpsi logam berat
menggunakan biomassa tumbuhan, dikenal sebagai metode fitoremediasi (Nur,
2013). Penelitian yang telah dilakukan diperoleh informasi tentang adanya
kemampuan tumbuhan dalam mengikat logam dan mengakumulasikan dalam jaringan
tumbuhan, baik secara aktif melalui metabolisme tumbuhan maupun secara pasif
dengan mengikat logam dengan gugus fungsional dalam jaringan tumbuhan
(Gardea-Torresdey, dkk. 1998).
Ide dasar bahwa tumbuhan dapat digunakan untuk remediasi
lingkungan sudah dimulai dari tahun 1970-an. Seorang ahli geobotani di
Caledonia menemukan tumbuhan Sebertia acuminata yang dapat mengakumulasi hingga
20% Ni dalam tajuknya (Brown, 1995) dan pada tahun 1980-an beberapa penelitian
mengenai akumulasi logam berat oleh tumbuhan sudah mengarah pada realisasi
penggunaan tumbuhan untuk membersihkan polutan (Salt 2000).
Fitoremediasi didefinisikan sebagai “pencucian” polutan yang
dimediasi oleh tumbuhan, termasuk pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air.
“Pencucian” bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke
bentuk yang tidak berbahaya (Chaney, 1995). Fitoremediasi adalah upaya
penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan
masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan kolam buatan
atau reaktor maupun in-situ atau secara langsung di lapangan pada tanah atau
daerah yang terkontaminasi limbah (Subroto, 1996).
Menurut Priyanto dan Prayitno (2007) dalam Hardiani (2009)
mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tanaman dapat dibagi
menjadi tiga proses yang sinambung, sebagai berikut :
Penyerapan
oleh akar. Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam harus dibawa
ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung
pada spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diambil
oleh akar bersama air, sedangkan senyawa-senyawa hidrofobik diserap oleh
permukaan akar.
Translokasi
logam dari akar ke bagian tanaman lain. Setelah logam menembus
endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti aliran transpirasi ke
bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut (xilem dan floem) ke bagian
tanaman lainnya.
Lokalisasi
logam pada sel dan jaringan. Hal ini bertujuan untuk
menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman. Sebagai upaya untuk
mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman mempunyai mekanisme
detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti
akar.
Gugus fungsi dalam jaringan tanaman yang berfungsi sebagai
pengikat logam adalah gugus amina (-NH2), gugus karboksil (-COOH), juga gugus
sulfidril (-SH) yang terdapat dalam protein (Mohamad, 2012). Disamping itu
dalam jaringan tanaman terdapat dinding sel yang tersusun atas selulosa, lignin
dengan gugus hidroksil (-OH). Gugus-gugus polar ini diduga bereaksi dengan
logam berat. Penyerapan kontaminan bersamaan dengan penyerapan nutrien dan air
oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian
tumbuhan seperti akar, batang dan daun (Yang, dkk. 2005).
Secara alami tumbuhan memiliki beberapa keunggulan dalam
meremediasi lingkungan terecemar jika dibanding dengan teknologi remediasi
lainnya baik secara kimia maupun fisik, yaitu (Feller, 2000) :
-Beberapa famili tumbuhan memiliki sifat toleran dan
hiperakumulator terhadap logam berat.
-Banyak jenis tumbuhan dapat merombak polutan.
-Pelepasan tumbuhan yang telah dimodifikasi secara genetik
ke dalam suatu lingkungan relatif lebih dapat dikontrol dibandingkan dengan
mikroba.
-Tumbuhan memberikan nilai estetika.
-Dengan perakarannya yang dapat mencapai 100 x 106 km akar
per ha, tumbuhan dapat mengadakan kontak dengan bidang tanah yang sangat luas
dan penetrasi akar yang dalam.
-Dengan kemampuan fotosintesis, tumbuhan dapat menghasilkan
energi yang dapat dicurahkan selama proses detoksifikasi polutan.
-Asosiasi tumbuhan dengan mikrob memberikan banyak nilai
tambah dalam memperbaiki kesuburan tanah.
Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi
dalam jumlah yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti
memiliki sifat hipertoleran karena memiliki perakaran yang mampu menyerap logam
serta mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi pada jaringan akar
dan tajuknya, sehingga bersifat hiperakumulator (Hidayati, 2005). Sifat
hiperakumulator berarti dapat mengakumulasi unsur logam tertentu dengan
konsentrasi tinggi pada tajuknya dan dapat digunakan untuk tujuan
fitoekstraksi. Dalam proses fitoekstraksi ini logam berat diserap oleh akar
tanaman dan ditranslokasikan ke tajuk untuk diolah kembali atau dibuang pada
saat tanaman dipanen (Chaney, 1995).
Logam Cd kemungkinan dapat
dibawa keseluruh bagian tanaman biasanya akumulasi dapat ditemukan apada bagian
akar karena akar merupakan gerbang awal masuknya zat-zat kimia. Zat- zat yang
akan masuk kedalam tubuh tumbuhan akan terseleksi begitu juga dengan logam Cd.
Apabila Cd yang diperlukan hanya sedikit maka akan lebih banyak Cd yang
terakumulasi dibagian akar tumbuhan. Beberapa tanaman mempunyai kemampuan yang
sangat tinggi untuk menghilangkan berbagai pencemaran yang ada (multiple uptake
hyperaccumulator plant), dan memiliki kemampuan menghilangkan pencemaran yang
bersifat tunggal (specific uptake hyperaccumulator). Tanaman hiperakumulator
adalah spesis tanaman yang mampu mentranslokasikan pencemar atau logam pencemar
ke bagian pucuk tanaman lebih banyak daripada ke bagian akar tanpa mengalami
gejala toksisitas. Tanaman ini dapat mengakumulasi lebih dari 10 ppm Hg, 100
ppm Cd, 1000 ppm Co, Cr, Cu, dan Pb, 10.000 ppm Ni dan Zn (Aiyen, 2004; Baker,
dkk,2000).
Mekanisme
biologis dari hiperakumulasi unsur
logam pada dasarnya meliputi proses-proses (McGrath
dkk., 1997):
Interaksi
rizosferik, yaitu proses interaksi akar tanaman dengan
media tumbuh (tanah dan air). Dalam hal ini tumbuhan hiperakumulator memiliki
kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam bahkan
dari fraksi tanah yang tidak bergerak sekali sehingga menjadikan penyerapan
logam oleh tumbuhan hiperakumulator melebihi tumbuhan normal.
Proses
penyerapan logam oleh akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih cepat
dibandingkan tumbuhan normal, terbukti dengan adanya
konsentrasi logam yang tinggi pada akar (Lasat dkk., 1996). Akar tumbuhan
hiperakumulator memiliki daya selektifitas yang tinggi terhadap unsur logam
tertentu.
Sistem
translokasi unsur dari akar ke tajuk pada tumbuhan hiperakumulator lebih
efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh rasio
konsentrasi logam tajuk/akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih dari satu.
Karakteristik
tumbuhan hiperakumulator adalah:
-Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada
jaringan akar dan tajuk.
-Tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang tinggi
dibanding tanaman lain.
-Memiliki kemampuan mentranslokasi dan mengakumulasi unsur
logam dari akar ke tajuk dengan laju yang tinggi. Pada kondisi normal
konsentrasi Zn, Cd, atau Ni pada akar adalah 10 kali lebih tinggi dibanding
konsentrasi pada tajuk, tetapi pada tumbuhan hiperakumulator, konsentrasi logam
pada tajuk melebihi tingkat konsentrasi pada akar (Brown, 1995).
-Secara ideal memiliki potensi produksi biomassa yang tinggi
(Reeves, 1992).
Menurut Corseuil
dan Moreno (2000),
mekanisme tumbuhan dalam menghadapi bahan pencemar beracun
adalah :
Penghindaran
(escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada tanaman
musiman, tanaman dapat menyelesaikan daur hidupnya pada musim yang cocok.
Ekslusi, yaitu
tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan mencegah penyerapan
sehingga tidak mengalami keracunan.
Penanggulangan
(ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi
berusaha meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukan khelat
(chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
Toleransi.
Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat berfungsi pada
konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim.
Mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tumbuhan
dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu penyerapan logam oleh
akar, translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain, dan lokalisasi logam
pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme
tumbuhan tersebut (Connel dan Miller, 1995). Pembentukan reduktase di membran
akar berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus
di dalam membran akar. Setelah logam dibawa masuk ke dalam sel akar,
selanjutnya logam harus diangkut melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan
floem ke bagian tumbuhan lain oleh molekul khelat. Berbagai molekul khelat yang
berfungsi mengikat logam dihasilkan oleh tumbuhan, misalnya histidin yang
terikat pada Ni dan fitokhelatin-glulation yang terikat pada Cd (Salt dkk.,
1998).
Proses
penguraian logam menurut Mangkoedihardjo dan Samudro (2010) adalah tiga tahap
fitoproses yang berlangsung dalam tumbuhan yaitu sebagai berikut:
Fitoekstraksi
:
proses penyerapan kontaminan dari medium tumbuhnya.
Kontaminan terserap tumbuhan selanjutnya terdistribusi ke
dalam berbagai organ tumbuhan (translokasi).
Fitodegradasi : penguraian
kontaminan yang terserap
melalui proses metabolik dalam
tumbuhan.
Fitovolatilisasi
:
proses pelepasan kontaminan ke udara setelah terserap tumbuhan.
Cadmium yang masuk kedalam
lingkungan, tumbuhan dan manusia memiliki batasan toleransi dan memiliki jalur
pendedahan yang berbeda-beda. Pencemar logam berat tidak dapat didegradasi
secara kimia maupun secara biologi. Oleh karena itu polutan logam berat di
dalam tanah, air maupun udara harus dikurangi atau dihilangkan untuk
menghindari terjadinya dampak negatif terhadap proses kehidupan.
Kadmium adalah logam yang
sangat toksik dan dapat terakumulasi cukup besar pada organisme hidup karena
mudah diadsorpsi dan mengganggu sistem pernapasan serta pencernaan. Jika
teradsorpsi ke dalam sistem pencernaan dan sistem paru-paru, kadmium akan membentuk
kompleks dengan protein sehingga mudah diangkut dan menyebar ke hati dan ginjal
bahkan sejumlah kecil dapat sampai ke pankreas, usus, dan tulang. Selain itu, kadmium juga akan mengganggu aktivitas
enzim dan sel. Hal ini akan menimbulkan tetratogenik, mutagenik, dan
karsinogenik (Szymczyk dan Zalewski,2003).
Menurut WHO jumlah Cd yang
dapat diterima oleh tubuh manusia adalah sebanyak 400-500 mikrogram setiap
kilogram berat badan setiap hari. Batasan toleransi Cd dalam ginjal pda manusia
adalah 200 ppm, bila batas tersebut terlewati akan timbul efek-efek tertentu. Keracunan
Cd pada hewan akan membuat Cd tertimbun didalam hati dan korteks ginjal.
Apabila terjadi keracunan akut akan ditemukan penimbunan logan Cd di dalam
hati. Keracunan kronis Cd akan ditimbun di dalam bermacam-macam organ tubuh
terutama di dalam ginjal, hati, dan paru-paru, tetapi juga ditimbun di dalam
pankreas, jantung, limpa, alat kelamin dan jaringan adiposa. Cadmium yang masuk
ke dalam tubuh biasanya akan tertimbun di dalam organ target yang paling banyak
menyerap Cd yaitu hati dan ginjal.
Efek Cadmium terhadap hepar
Kadmium (Cd) dalam tubuh
terakumulasi dalam hati dan terutama terikat sebagai metalotionein mengandung
unsur sistein, dimana Kadmium (Cd) terikat dalam gugus sufhidril (-SH) dalam
enzim seperti karboksil sisteinil, histidil, hidroksil, dan fosfatil dari
protein purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas kadmium (Cd) disebabkan
oleh interaksi antara kadmium (Cd) dan protein tersebut, sehingga menimbulkan
hambatan terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh (Darmono, 2001).
Efek Cadmium terhadap tulang
Efek keracunan kadmium (Cd)
juga dapat mengakibatkan kerapuhan pada tulang. Gejala rasa sakit pada tulang
sehingga menyulitkan untuk berjalan. Terjadi pada pekerja yang bekerja pada
industri yang menggunakan kadmium (Cd). Penyakit tersebut dinamakan
“itai-itai”. (Palar, 2004)
Penyakit itai-itai (ouch ouch
sickness) adalah kasus massal keracunan kadmium yang didokumentasikan di
Prefektur Toyama, Jepang. Nama penyakit ini berdasarkan kata dalam bahasa
Jepang yaitu nyeri (痛いitai) yang disebabkan pada
persendian dan tulang belakang Penyakit itai-itai disebabkan oleh keracunan
kadmium akibat pertambangan di Prefektur Toyama. Meningkatnya permintaan
terhadap bahan baku selama Perang Rusia-Jepang dan Perang Dunia I, serta
teknologi pertambangan baru dari Eropa, meningkatkan output dari pertambangan,
menempatkan Kamioka Pertambangan di Toyama terkenal pada pertambangan kelas
atas. Hal ini kemudian meningkatkan pencemaran Sungai Jinzu dan anak-anak
sungainya. Sungai ini digunakan terutama untuk pengairan sawah, tetapi juga
untuk air minum, mencuci, memancing, dan kegunaan lain oleh penduduk hilir. Air
ini kemudian digunakan untuk mengairi sawah. Beras menyerap logam berat,
terutama kadmium. Kadmium pun akhirnya terakumulasi dalam tubuh orang-orang yang
memakan nasi yang terkontaminasi. (Palar, 2004).
Salah satu efek utama yang
ditimbulkan dari keracunan kadmium adalah lemah dan rapuh tulang. Umumnya
tulang belakang dan kaki sakit, dan gaya berjalan pincang karena cacat tulang
yang disebabkan oleh kadmium. Rasa sakit kemudian melemahkan, dengan patah
tulang yang lebih umum dibandingkan tulang yang melemah. Komplikasi lain yang
tejadi adalah batuk, kanker, anemia, dan gagal ginjal, yang kemudian
menyebabkan kematian. Penderita penyakit ini banyak terjadi pada wanita pasca menopause.
Penyebabnya belum sepenuhnya dapat dipahami, dan kemudian diselidiki. Hingga
penelitian akhirnya menemukan bahwa hal ini berhubungn dengan gizi umum, serta
metabolisme kalsium yang miskin yang berkaitan dengan usia perempuan.
Penelitian terhadap hewan telah
menunjukkan bahwa keracunan kadmium saja tidak cukup untuk menimbulkan gejala
penyakit itai-itai. Penelitian ini menunjukkan kerusakan mitokondria sel ginjal
oleh kadmium sebagai faktor kunci dari penyakit ini. (Palar, 2004).
Efek Cadmium terhadap paru-paru
Emphysema , yaitu penyakit yang
gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung
udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang
luas. (Palar, 2004).
Edema, yaitu pembengkakan yang diakibatkan kelebihan
cairan di dalam tubuh (Palar, 2004).
Efek Cadmium (Cd) terhadap sistem reproduksi
Daya racun yang dimiliki oleh
kadmium (Cd) juga mempengaruhi sistem reproduksi dan organ-organya. Pada
konsentrasi tertentu kadmium (Cd) dapat mematikan sel-sel sperma pada
laki-laki. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa akibat terpapar oleh uap logam
kadmium (Cd) dapat mengakibatkan impotensi. (Palar, 2004).
Efek Cadmium (Cd) terhadap ginjal
Logam kadmium (Cd) dapat
menimbulkan gangguan dan bahkan mampu menimbulkan kerusakan pada sistem yang
bekerja di ginjal. Kerusakan yang terjadi pada sistem ginjal dapat terjadi pada
tubulus tubulus ginjal. Petunjuk kerusakan yang dapat terjadi pada ginjal
akibat logam kadmium (Cd) yaitu terjadinya asam amniouria dan glokosuria, dan
ketidaknormalan kandungan asam urat kalsium dan fosfor dalam urin (Palar,
2004).
Efek Cadmium terhadap Pankreas
Keracunan Cd dapat menyebabkan
penurunan fungsi pankreas. Efek pemberian Cd pada hewan mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, menyebabkan terjadinya hiperglikemia, pengurangan
toleransi terhadap glukosa dan menghambat aktivitas sekresi insulin (Palar, 2004).
Efek Cadmium terhadap Jantung
Hipertrofi ventrikular adalah
membesarnya ukuran ventrikel jantung. Perubahan ini sangat baik untuk kesehatan
jika merupakan respon atas latihan aerobik, akan tetapi hipertropi ventrikular
juga dapat muncul akibat penyakit seperti tekanan darah tinggi. (Palar, 2004).
Pengunaan pupuk anorganik
terutama phosphat yang berlebihan juga dapat meningkatkan kandungan kadmium dalam
tanah dan tanaman. Pupuk phosphat ditengarai mengandung kadmium 0,1-170 mg/kg
(Setyorini et al, 2003). Kadmium termasuk hara mikro nonesensial bagi tanaman
dan dapat bersifat toksik yang ditunjukkan dengan gejala khlorosis dan pertumbuhan
terhambat pada tanaman (Prasad, 2008).
Pencegahan dan pengelolaan
lahan tercemar logam berat dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya
penggunaan bahan organik. Pemberian bahan organik pada lahan tercemar dapat
mengurangi translokasi logam berat ke dalam tanaman. Logam berat akan terikat
oleh senyawa yang terkandung dalam bahan organik sehingga lebih stabil dalam
tanah. Pemberian bahan organik sebaiknya diaplikasikan setiap awal musim tanam.
Semakin tinggi pemberian bahan organik maka semakin cepat pengelolaan lahan
tercemar. Pemberian kapur pada lahan tercemar logam berat kadmium juga dapat
mengurangi tingkat kelarutan logam berat ke dalam tanaman. Pemberian kapur
mengurangi kemasaman tanah sehingga pH tanah meningkat. Peningkatan pH
menyebabkan laju kelarutan logam berat kedalam tanaman semakin rendah.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...