Monday, 3 December 2018

Dampak Pencemaran Logam Berat Kadmium (Cd) Dalam Tanah


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...
Dampak Pencemaran Logam Berat Kadmium (Cd) Dalam Tanah


Pencemaran logam berat kadmium pada lahan pertanian merupakan masalah penting dalam mewujudkan ketersediaan bahan pangan yang aman bagi kesehatan manusia. Logam berat yang mencemari lingkungan pertanian akan terserap organ tanaman, tersimpan dalam akar, daun, dan biji, dimana bagian tanaman tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi manusia. Logam berat yang masuk dan mengendap di dalam tubuh manusia akan menjadi oksidan dan menjadi sumber awal timbulnya berbagai penyakit berbahaya seperti kanker, tulang rapuh, radang paru-paru, ginjal, dan kelainan genetik.

Menurut Charlena (2004), logam berat dalam tanah pada prinsipnya berada dalam bentuk bebas dengan sifat beracun serta dapat terserap tanaman maupun tidak bebas yaitu berikatan dengan bahan organik, anorganik, dan hara. Adanya logam berat dapat mempengaruhi ketersediaan hara tanaman serta mengkontaminasi tanaman. Ketika logam berat memasuki lingkungan tanah, maka akan terjadi keseimbangan dalam tanah, kemudian akan terserap oleh tanaman melalui akar, dan selanjutnya akan terdistribusi ke bagian tanaman lainnya (Charlena, 2004).

Logam Kadmium (Cd) bernomor atom 48 dan massa atom 112,41 termasuk dalam logam transisi pada periode V. Logam Cd juga dikenal sebagai unsur chalcophile, cenderung ditemukan dalam deposit sulfide (Manahan, 2001).  Kadmium (Cd) memiliki titik leleh 321oC, titik didih 767oC dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm3 (Widowati dkk, 2008). Kadmium adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan Kadmium Oksida bila dipanaskan. Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd Klorida) atau belerang (Cd Sulfit). Kadmium membentuk Cd2+  yang bersifat tidak stabil. Oleh karena sifat-sifatnya, Cd banyak dipakai sebagai stabilizer dalam pembuatan (polyvini dan clorida).

Umumnya Kadmium terdapat dalam kombinasi dengan elemen lain seperti Oxigen (Kadmium Oxide), Clorine (Kadmium Chloride) atau belerang (Kadmium Sulfide). Logam Cd terdapat dalam tanah secara alami dengan kandungan rata-rata rendah yaitu 0,4 mg Cd/kg tanah. Pada tanah yang bebas polusi kandungannya adalah 0,06 – 1,1 mg/kg. Peningkatan kandungan Cd dapat diperoleh dari asap kendaraan bermotor dan pupuk fosfat yang terakumulasi di tanah. Ion logam berat merupakan bentuk yang dapat diserap oleh tanaman diantara unsur mineral penting yang dibutuhkan tanaman. Pada umumnya tanaman menyerap hanya sedikit (1-5%) larutan Cd yang ditambahkan ke dalam tanah. Akumulasi dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan kandungan Cd dalam tanah dan tanaman yang sedang tumbuh. Sayuran mengakumulasi Cd lebih banyak dibandingkan tanaman pangan yang lain (Charlena, 2004).

Cadmium yang ada di dalam tanah dapat berasal dari alam dan antropogenik. Cadmium dapat masuk kedalam tanah karena adanya proses pelarutan batuan induk seperti batuan glasial dan alluvial. Manusia juga berkontribusi dalam proses masuknya cadmium kedalam lingkungan seperti penggunaan pupuk kimia, kotoran yang mengendap karena aktivitas manusia. Cadmium yang ada didalam tanah akan lebih lama terbawa atau terdistribusi dibandingkan cadmium yang ada pada udara dan air. Cadmium yang terakumulasi di dalam tanah akan menggangu organisme yang hidup di dalamnya seperti mikroorganisme, makroorganisme dan mollusca.

Penyerapan Cd dari tanah oleh tanaman dipengaruhi oleh total pemasukan Cd dalam tanah, pH tanah, kandungan Zn, jenis tanaman dan kultivar. Penyerapan Cd akan tinggi pada pH rendah dan menurun pada pH tinggi. Kandungan seng (Zn) yang tinggi dapat mengurangi penyerapan Cd. Jika Cd telah memasuki rantai makanan, maka pada akhirnya akan terakumulasi pada konsumen tingkat tinggi yaitu hewan dan manusia (Subowo dkk., 1999).

Kadmium sangat membahayakan kesehatan karena pengaruh racun akut dari unsur tersebut sangat buruk dapat mempengaruhi system saraf dan system ginjal manusia. Di antara penderita yang keracunan kadmium mengalami tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, kerusakan jaringan testicular, dan kerusakan sel-sel jaringan darah merah. Di Jepang kontaminasi Cd pada beras yang berasal dari lahan sawah yang lama mengalami kekeringan telah menimbulkan penyakit itai- itai dengan gejala nyeri pada pinggang dan otot kaki (Subowo dkk., 1999).

Pengaruh Cd terhadap tumbuhan adalah dapat membuat tumbuhan menjadi klorosis dan nekrosis bahkan bisa membuat mati tumbuhan tersebut yang keracunan logam Cd (Sun dkk., 2009). Logam Cd juga berpengaruh terhadap proses fotosintesis sehingga akan membawa dampak buruk terhadap pertumbuhan dari tumbuhan tersebut (Olivares, 2003). Gejala keracunan lain yang ditunjukkan oleh tumbuhan adalah tanaman terlihat tidak sehat , layu, akar menghitam, dan daun menguning (Astrini dkk., 2014).

Saat ini telah dikembangkan metode adsorpsi logam berat menggunakan biomassa tumbuhan, dikenal sebagai metode fitoremediasi (Nur, 2013). Penelitian yang telah dilakukan diperoleh informasi tentang adanya kemampuan tumbuhan dalam mengikat logam dan mengakumulasikan dalam jaringan tumbuhan, baik secara aktif melalui metabolisme tumbuhan maupun secara pasif dengan mengikat logam dengan gugus fungsional dalam jaringan tumbuhan (Gardea-Torresdey, dkk. 1998).

Ide dasar bahwa tumbuhan dapat digunakan untuk remediasi lingkungan sudah dimulai dari tahun 1970-an. Seorang ahli geobotani di Caledonia menemukan tumbuhan Sebertia acuminata yang dapat mengakumulasi hingga 20% Ni dalam tajuknya (Brown, 1995) dan pada tahun 1980-an beberapa penelitian mengenai akumulasi logam berat oleh tumbuhan sudah mengarah pada realisasi penggunaan tumbuhan untuk membersihkan polutan (Salt 2000).

Fitoremediasi didefinisikan sebagai “pencucian” polutan yang dimediasi oleh tumbuhan, termasuk pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air. “Pencucian” bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya (Chaney, 1995). Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan kolam buatan atau reaktor maupun in-situ atau secara langsung di lapangan pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah (Subroto, 1996).

Menurut Priyanto dan Prayitno (2007) dalam Hardiani (2009) mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, sebagai berikut :

Penyerapan oleh akar. Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diambil oleh akar bersama air, sedangkan senyawa-senyawa hidrofobik diserap oleh permukaan akar.

Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain. Setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut (xilem dan floem) ke bagian tanaman lainnya.

Lokalisasi logam pada sel dan jaringan. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti akar.

Gugus fungsi dalam jaringan tanaman yang berfungsi sebagai pengikat logam adalah gugus amina (-NH2), gugus karboksil (-COOH), juga gugus sulfidril (-SH) yang terdapat dalam protein (Mohamad, 2012). Disamping itu dalam jaringan tanaman terdapat dinding sel yang tersusun atas selulosa, lignin dengan gugus hidroksil (-OH). Gugus-gugus polar ini diduga bereaksi dengan logam berat. Penyerapan kontaminan bersamaan dengan penyerapan nutrien dan air oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tumbuhan seperti akar, batang dan daun (Yang, dkk. 2005).

Secara alami tumbuhan memiliki beberapa keunggulan dalam meremediasi lingkungan terecemar jika dibanding dengan teknologi remediasi lainnya baik secara kimia maupun fisik, yaitu (Feller, 2000) :
-Beberapa famili tumbuhan memiliki sifat toleran dan hiperakumulator terhadap logam berat.
-Banyak jenis tumbuhan dapat merombak polutan.
-Pelepasan tumbuhan yang telah dimodifikasi secara genetik ke dalam suatu lingkungan relatif lebih dapat dikontrol dibandingkan dengan mikroba.
-Tumbuhan memberikan nilai estetika.
-Dengan perakarannya yang dapat mencapai 100 x 106 km akar per ha, tumbuhan dapat mengadakan kontak dengan bidang tanah yang sangat luas dan penetrasi akar yang dalam.
-Dengan kemampuan fotosintesis, tumbuhan dapat menghasilkan energi yang dapat dicurahkan selama proses detoksifikasi polutan.
-Asosiasi tumbuhan dengan mikrob memberikan banyak nilai tambah dalam memperbaiki kesuburan tanah.

Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi dalam jumlah yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti memiliki sifat hipertoleran karena memiliki perakaran yang mampu menyerap logam serta mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuknya, sehingga bersifat hiperakumulator (Hidayati, 2005). Sifat hiperakumulator berarti dapat mengakumulasi unsur logam tertentu dengan konsentrasi tinggi pada tajuknya dan dapat digunakan untuk tujuan fitoekstraksi. Dalam proses fitoekstraksi ini logam berat diserap oleh akar tanaman dan ditranslokasikan ke tajuk untuk diolah kembali atau dibuang pada saat tanaman dipanen (Chaney, 1995).

Logam Cd kemungkinan dapat dibawa keseluruh bagian tanaman biasanya akumulasi dapat ditemukan apada bagian akar karena akar merupakan gerbang awal masuknya zat-zat kimia. Zat- zat yang akan masuk kedalam tubuh tumbuhan akan terseleksi begitu juga dengan logam Cd. Apabila Cd yang diperlukan hanya sedikit maka akan lebih banyak Cd yang terakumulasi dibagian akar tumbuhan. Beberapa tanaman mempunyai kemampuan yang sangat tinggi untuk menghilangkan berbagai pencemaran yang ada (multiple uptake hyperaccumulator plant), dan memiliki kemampuan menghilangkan pencemaran yang bersifat tunggal (specific uptake hyperaccumulator). Tanaman hiperakumulator adalah spesis tanaman yang mampu mentranslokasikan pencemar atau logam pencemar ke bagian pucuk tanaman lebih banyak daripada ke bagian akar tanpa mengalami gejala toksisitas. Tanaman ini dapat mengakumulasi lebih dari 10 ppm Hg, 100 ppm Cd, 1000 ppm Co, Cr, Cu, dan Pb, 10.000 ppm Ni dan Zn (Aiyen, 2004; Baker, dkk,2000).

Mekanisme  biologis  dari  hiperakumulasi  unsur  logam  pada  dasarnya meliputi proses-proses (McGrath dkk., 1997):

Interaksi rizosferik, yaitu proses interaksi akar tanaman dengan media tumbuh (tanah dan air). Dalam hal ini tumbuhan hiperakumulator memiliki kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam bahkan dari fraksi tanah yang tidak bergerak sekali sehingga menjadikan penyerapan logam oleh tumbuhan hiperakumulator melebihi tumbuhan normal.

Proses penyerapan logam oleh akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih cepat dibandingkan tumbuhan normal, terbukti dengan adanya konsentrasi logam yang tinggi pada akar (Lasat dkk., 1996). Akar tumbuhan hiperakumulator memiliki daya selektifitas yang tinggi terhadap unsur logam tertentu.

Sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada tumbuhan hiperakumulator lebih efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh rasio konsentrasi logam tajuk/akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih dari satu.

Karakteristik tumbuhan hiperakumulator adalah:
-Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk.
-Tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang tinggi dibanding tanaman lain.
-Memiliki kemampuan mentranslokasi dan mengakumulasi unsur logam dari akar ke tajuk dengan laju yang tinggi. Pada kondisi normal konsentrasi Zn, Cd, atau Ni pada akar adalah 10 kali lebih tinggi dibanding konsentrasi pada tajuk, tetapi pada tumbuhan hiperakumulator, konsentrasi logam pada tajuk melebihi tingkat konsentrasi pada akar (Brown, 1995).
-Secara ideal memiliki potensi produksi biomassa yang tinggi (Reeves, 1992).

Menurut  Corseuil  dan  Moreno  (2000),  mekanisme  tumbuhan  dalam menghadapi bahan pencemar beracun adalah :

Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada tanaman musiman, tanaman dapat menyelesaikan daur hidupnya pada musim yang cocok.

Ekslusi, yaitu tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan mencegah penyerapan sehingga tidak mengalami keracunan.

Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi berusaha meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukan khelat (chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.

Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim.

Mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu penyerapan logam oleh akar, translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain, dan lokalisasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan tersebut (Connel dan Miller, 1995). Pembentukan reduktase di membran akar berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam membran akar. Setelah logam dibawa masuk ke dalam sel akar, selanjutnya logam harus diangkut melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem ke bagian tumbuhan lain oleh molekul khelat. Berbagai molekul khelat yang berfungsi mengikat logam dihasilkan oleh tumbuhan, misalnya histidin yang terikat pada Ni dan fitokhelatin-glulation yang terikat pada Cd (Salt dkk., 1998).

Proses penguraian logam menurut Mangkoedihardjo dan Samudro (2010) adalah tiga tahap fitoproses yang berlangsung dalam tumbuhan yaitu sebagai berikut:

Fitoekstraksi : proses penyerapan kontaminan dari medium tumbuhnya.
Kontaminan terserap tumbuhan selanjutnya terdistribusi ke dalam berbagai organ tumbuhan (translokasi).

Fitodegradasi  :  penguraian  kontaminan  yang  terserap  melalui  proses metabolik dalam tumbuhan.

Fitovolatilisasi : proses pelepasan kontaminan ke udara setelah terserap tumbuhan.


Cadmium yang masuk kedalam lingkungan, tumbuhan dan manusia memiliki batasan toleransi dan memiliki jalur pendedahan yang berbeda-beda. Pencemar logam berat tidak dapat didegradasi secara kimia maupun secara biologi. Oleh karena itu polutan logam berat di dalam tanah, air maupun udara harus dikurangi atau dihilangkan untuk menghindari terjadinya dampak negatif terhadap proses kehidupan.

Kadmium adalah logam yang sangat toksik dan dapat terakumulasi cukup besar pada organisme hidup karena mudah diadsorpsi dan mengganggu sistem pernapasan serta pencernaan. Jika teradsorpsi ke dalam sistem pencernaan dan sistem paru-paru, kadmium akan membentuk kompleks dengan protein sehingga mudah diangkut dan menyebar ke hati dan ginjal bahkan sejumlah kecil dapat sampai ke pankreas, usus, dan tulang. Selain  itu, kadmium juga akan mengganggu aktivitas enzim dan sel. Hal ini akan menimbulkan tetratogenik, mutagenik, dan karsinogenik (Szymczyk dan Zalewski,2003).

Menurut WHO jumlah Cd yang dapat diterima oleh tubuh manusia adalah sebanyak 400-500 mikrogram setiap kilogram berat badan setiap hari. Batasan toleransi Cd dalam ginjal pda manusia adalah 200 ppm, bila batas tersebut terlewati akan timbul efek-efek tertentu. Keracunan Cd pada hewan akan membuat Cd tertimbun didalam hati dan korteks ginjal. Apabila terjadi keracunan akut akan ditemukan penimbunan logan Cd di dalam hati. Keracunan kronis Cd akan ditimbun di dalam bermacam-macam organ tubuh terutama di dalam ginjal, hati, dan paru-paru, tetapi juga ditimbun di dalam pankreas, jantung, limpa, alat kelamin dan jaringan adiposa. Cadmium yang masuk ke dalam tubuh biasanya akan tertimbun di dalam organ target yang paling banyak menyerap Cd yaitu hati dan ginjal.

Efek Cadmium terhadap hepar
Kadmium (Cd) dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan terutama terikat sebagai metalotionein mengandung unsur sistein, dimana Kadmium (Cd) terikat dalam gugus sufhidril (-SH) dalam enzim seperti karboksil sisteinil, histidil, hidroksil, dan fosfatil dari protein purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas kadmium (Cd) disebabkan oleh interaksi antara kadmium (Cd) dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh (Darmono, 2001).

Efek Cadmium terhadap tulang
Efek keracunan kadmium (Cd) juga dapat mengakibatkan kerapuhan pada tulang. Gejala rasa sakit pada tulang sehingga menyulitkan untuk berjalan. Terjadi pada pekerja yang bekerja pada industri yang menggunakan kadmium (Cd). Penyakit tersebut dinamakan “itai-itai”. (Palar, 2004)

Penyakit itai-itai (ouch ouch sickness) adalah kasus massal keracunan kadmium yang didokumentasikan di Prefektur Toyama, Jepang. Nama penyakit ini berdasarkan kata dalam bahasa Jepang yaitu nyeri (痛いitai) yang disebabkan pada persendian dan tulang belakang Penyakit itai-itai disebabkan oleh keracunan kadmium akibat pertambangan di Prefektur Toyama. Meningkatnya permintaan terhadap bahan baku selama Perang Rusia-Jepang dan Perang Dunia I, serta teknologi pertambangan baru dari Eropa, meningkatkan output dari pertambangan, menempatkan Kamioka Pertambangan di Toyama terkenal pada pertambangan kelas atas. Hal ini kemudian meningkatkan pencemaran Sungai Jinzu dan anak-anak sungainya. Sungai ini digunakan terutama untuk pengairan sawah, tetapi juga untuk air minum, mencuci, memancing, dan kegunaan lain oleh penduduk hilir. Air ini kemudian digunakan untuk mengairi sawah. Beras menyerap logam berat, terutama kadmium. Kadmium pun akhirnya terakumulasi dalam tubuh orang-orang yang memakan nasi yang terkontaminasi. (Palar, 2004).

Salah satu efek utama yang ditimbulkan dari keracunan kadmium adalah lemah dan rapuh tulang. Umumnya tulang belakang dan kaki sakit, dan gaya berjalan pincang karena cacat tulang yang disebabkan oleh kadmium. Rasa sakit kemudian melemahkan, dengan patah tulang yang lebih umum dibandingkan tulang yang melemah. Komplikasi lain yang tejadi adalah batuk, kanker, anemia, dan gagal ginjal, yang kemudian menyebabkan kematian. Penderita penyakit ini banyak terjadi pada wanita pasca menopause. Penyebabnya belum sepenuhnya dapat dipahami, dan kemudian diselidiki. Hingga penelitian akhirnya menemukan bahwa hal ini berhubungn dengan gizi umum, serta metabolisme kalsium yang miskin yang berkaitan dengan usia perempuan.

Penelitian terhadap hewan telah menunjukkan bahwa keracunan kadmium saja tidak cukup untuk menimbulkan gejala penyakit itai-itai. Penelitian ini menunjukkan kerusakan mitokondria sel ginjal oleh kadmium sebagai faktor kunci dari penyakit ini. (Palar, 2004).

Efek Cadmium terhadap paru-paru
Emphysema , yaitu penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. (Palar, 2004).

Edema, yaitu  pembengkakan yang diakibatkan kelebihan cairan di dalam tubuh (Palar, 2004).

Efek Cadmium (Cd) terhadap sistem reproduksi
Daya racun yang dimiliki oleh kadmium (Cd) juga mempengaruhi sistem reproduksi dan organ-organya. Pada konsentrasi tertentu kadmium (Cd) dapat mematikan sel-sel sperma pada laki-laki. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa akibat terpapar oleh uap logam kadmium (Cd) dapat mengakibatkan impotensi. (Palar, 2004).

Efek Cadmium (Cd) terhadap ginjal
Logam kadmium (Cd) dapat menimbulkan gangguan dan bahkan mampu menimbulkan kerusakan pada sistem yang bekerja di ginjal. Kerusakan yang terjadi pada sistem ginjal dapat terjadi pada tubulus tubulus ginjal. Petunjuk kerusakan yang dapat terjadi pada ginjal akibat logam kadmium (Cd) yaitu terjadinya asam amniouria dan glokosuria, dan ketidaknormalan kandungan asam urat kalsium dan fosfor dalam urin (Palar, 2004).

Efek Cadmium terhadap Pankreas
Keracunan Cd dapat menyebabkan penurunan fungsi pankreas. Efek pemberian Cd pada hewan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, menyebabkan terjadinya hiperglikemia, pengurangan toleransi terhadap glukosa dan menghambat aktivitas sekresi insulin  (Palar, 2004).

Efek Cadmium terhadap Jantung
Hipertrofi ventrikular adalah membesarnya ukuran ventrikel jantung. Perubahan ini sangat baik untuk kesehatan jika merupakan respon atas latihan aerobik, akan tetapi hipertropi ventrikular juga dapat muncul akibat penyakit seperti tekanan darah tinggi. (Palar, 2004).

Pengunaan pupuk anorganik terutama phosphat yang berlebihan juga dapat meningkatkan kandungan kadmium dalam tanah dan tanaman. Pupuk phosphat ditengarai mengandung kadmium 0,1-170 mg/kg (Setyorini et al, 2003). Kadmium termasuk hara mikro nonesensial bagi tanaman dan dapat bersifat toksik yang ditunjukkan dengan gejala khlorosis dan pertumbuhan terhambat pada tanaman (Prasad, 2008).

Pencegahan dan pengelolaan lahan tercemar logam berat dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya penggunaan bahan organik. Pemberian bahan organik pada lahan tercemar dapat mengurangi translokasi logam berat ke dalam tanaman. Logam berat akan terikat oleh senyawa yang terkandung dalam bahan organik sehingga lebih stabil dalam tanah. Pemberian bahan organik sebaiknya diaplikasikan setiap awal musim tanam. Semakin tinggi pemberian bahan organik maka semakin cepat pengelolaan lahan tercemar. Pemberian kapur pada lahan tercemar logam berat kadmium juga dapat mengurangi tingkat kelarutan logam berat ke dalam tanaman. Pemberian kapur mengurangi kemasaman tanah sehingga pH tanah meningkat. Peningkatan pH menyebabkan laju kelarutan logam berat kedalam tanaman semakin rendah.



*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.

pasang iklan disini




loading...