Loading...
Utomo dkk (1992) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com (2012)
mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan
adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak
negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih
fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan,
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Menurut Kustiawan (1997) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com,
konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasinya lahan secara umum menyangkut
trnsformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu pengunaan ke
pengunaan lainnya.
Menurut Agus (2004) konversi lahan sawah adalah suatu proses
yang disengaja oleh manusia (anthropogenic), bukan suatu proses alami. Kita
ketahui bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya
konversi lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah system produksi
pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan merupakan
konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses
pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar
terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi
di atas lahan pertanian yang masih produktif.
Menurut Irawan (2005) Konnversi lahan pertanian pada
dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian
dengan non pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut
muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : a) keterbatasan
sumberdaya lahan, b) pertumbuhan penduduk, dan c) pertumbuhan ekonomi.
Sihaloho (2004) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com, membagi
konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:
-Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi
pelaku konversi.
-Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan
kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk
meningkatkan nilai tambah.
-Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk
(population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi
adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan
terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
-Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social
problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan
ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
-Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan
untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar
dari kampung.
-Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan
ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan
hasil pertanian.
-Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk ; konversi
dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk
perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak
dijelaskan dalam konversi demografi.
Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar
terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi
oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti
kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah
dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering.
Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk
padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah
tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah
konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah
tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konversi
lahan adalah berubahnya pengunaan lahan dari pengunaan semula, misalnya dari
lahan pertanian dikonversikan menjadi permukiman, dari hutan dikonversikan
menjadi lahan pertanian, perkebunan atau yang lainnya.
Pengolahan tanah dapat diartikan sebagai kegiatan manipulasi
mekanik terhadap tanah. Tujuannya adalah untuk mencampur dan menggemburkan
tanah, mengontrol tanaman pengganggu, dan menciptakan kondisi kegemburan tanah
yang baik untuk pertumbuhan akar tanaman. Sedangkan pengolahan tanah secara
konvesional yang biasa dilakukan oeh
masyarakat adalah sistem pengolahan tanah yang melakukan penggarapan tanah
secara maksimal, membalik-balikkan tanah hingga kedalaman + 20 cm, serta tanpa
adanya pemanfaatan residu tanaman dan gulma sebagai tutupan lahan yang
melindungi tanah dari erosi dan tingginya aliran permukaan tanah. Pengolahan
tanah seperti ini ditujukan untuk mendapatkan kondisi tanah yang baik yang
mendukung pertumbuhan akar tanaman, sehingga diperoleh hasil produksi yang
diinginkan. Namun tanpa disadari dalam jangka
panjang pengolahan tanah seperi ini akan menurunkan kualitas tanah,
seperti hilangnya bahan organik tanah, degradasi tanah, dan penurunan
produktivitas lahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu sistem pengolahan
tanah yang dapat mempertahankan bahkan meningkatkan produktivitas suatu lahan.
Sistem pengolahan tanah yang dapat diterapkan adalah sistem pengolahan tanah
konservasi (Sinukaban, 1990).
Selanjutnya Sinukaban (1990), juga menjelaskan bahwa pengolahan tanah konservasi
(conservation tillage) adalah setiap cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk
mengurangi besarnya erosi, aliran permukaan, dan dapat mempertahankan atau
meningkatkan produksi. Untuk memenuhi kriteria tersebut, pengolahan tanah harus
dapat menghasilkan permukaan tanah yang kasar sehingga simpanan aerasi dan
infiltrasi meningkat, serta dapat menghasilkan sisa-sisa tanaman dan gulma pada
permukaan tanah agar dapat menekan energi butir hujan yang jatuh.
Utomo (1995), mendefinisikan pengolahan tanah konservasi
sebagai suatu pengolahan tanah yang bertujuan untuk menyiapkan lahan agar
tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimum, namun tetap memperhatikan aspek
konservasi tanah dan air. Pengolahan
tanah seperti ini dicirikan oeh berkurangnya pembongkaran/pembalikan tanah,
penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa, dan kadang-kadang disertai dengan
penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu
lainnya. Utomo (1995), juga menambahkan
bahwa kelebihan dari penerapan sistem pengolahan tanah seperti ini dalam
penyiapan lahan adalah sebagai berikut : 1) menghemat tenaga dan waktu, 2)
meningkatkan kandungan BO tanah, 3) meningkatkan ketersediaan air di dalam
tanah, 4) memperbaiki kegemburan dan meningkatkan porositas tanah, 5)
mengurangi erosi tanah, 6) memperbaiki kualitas air, 7) meningkatkan kandungan
fauna tanah, 8) mengurangi penggunaan
alsintan seperti traktor, 9) menghematpenggunaan bahan bakar dan memperbaiki
kualitas udara.
Teknik konversi adalah cara mengolah tanah yang mungkin
kurang begitu diminati petani. Hal ini dikarenakan pelaksanaannya hanya bisa
dilakukan satu tahun sekali untuk tanah dengan kepadatan tinggi dan dua tahun untuk
tanah berkepadatan sedang.
Menurut Suwardjo et al. (1989), olah tanah konservasi
merupakan alternatif penyiapan lahan yang dilaporkan dapat mempertahankan
produktivitas tanah tetap tinggi. Beberapa cara pengolahan tanah yang memenuhi
kriteria sebagai olah tanah konservasi diantaranya adalah tanpa olah tanah
(zero tillage), olah tanah seperlunya (reduced tillage), dan olah tanah strip
(strip tillage). Hal yang menentukan keberhasilan olah tanah konservasi adalah
pemberian bahan organik dalam bentuk mulsa yang cukup (Rachman et al., 2004).
Dimana mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma dan mengurangi laju pemadatan
tanah.
Cara yang dimaksud adalah :
-Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak
diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang
akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu
pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal. Gulma
diberantas dengan menggunakan herbisida
-Pengolahan tanah minimal (Minimum Tillage), tidak semua
permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian
sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
-Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan
memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang
menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan
lebih efektif jika diikuti, dengan penanaman menurut kontur juga yang
memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.
Sifat kimia tanah yang kurang menguntungkan bagi usaha
pertanian dapat dikarenakan kemasaman tanah yang sangat tinggi. Lahan sulfat
masam di mana kandungan besinya cukup tinggi dan ditemukan pada lapisan tanah yang
tidak terlalu dalam (Pirit tidak berbahaya apabila tidak terekspos ke permukaan
tanah dan tidak memgalami oksidasi, oleh karena itu pirit di dalam tanah di
upayakan tetap stabil dengan cara penerapan teknologi olah lahan konservasi.
Terjadinya oksidasi pirit akan memasamkan tanah sehingga pH tanah turun sampai
di bawah 3,0 dan menghasilkan besi ferro (Fe 2+) yang bersifat racun bagi
tanaman padi.
Penyiapan lahan sistem olah tanah konservasi merupakan
teknologi untuk dapat mengendalikan dan mengkonservasi pirit yang terdapat pada
lapisan tanah. Olah tanah konservasi merupakan salah satu teknologi yang dapat
menjawab atau mengatasi masalah yang berpeluang muncul dalam pengembangan
kawasan semisal lahan eks-PLG di Kalteng sebagai lahan produksi pangan
(Simatupang, 2006).
Olah tanah konservasi merupakan teknologi penyiapan lahan
yang menganut kepada prinsip konservasi tanah dan air. Bertujuan untuk
mengatasi dan mengendalikan terjadinya degradasi kesuburan tanah terutama pada
lahan-lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut sehingga produktivitas
lahan dapat dipertahankan dan berkelanjutan (Simatupang, 2006).
Sistem olah tanah konservasi dapat diterapkan sebagai
pengganti sistem olah tanah yang mengguanakan banyak tenaga kerja, dilain pihak
tenaga kerja sulit diperoleh (langka) dan upahnya relatif mahal. Di kawasan
lahan rawa pasang surut, tenaga kerja merupakan salah satu kendala dalam sistem
usaha tani sehingga untukk mengatasi masalah tersebut sistem penyiapan lahan
tanpa olah tanah merupakan cara yang lebih tepat (Simatupang, 2006).
Pengolahan tanah secara konservasi memberikan manfaat,
antara lain:
-Mencegah kerusakan
tanah oleh erosi dan aliran pemukaan.
-Mengamankan dan memelihara produktifitas tanah agar
tercapai produksi yang setinggi tingginya dalam waktu yang tidak terbatas.
-Meningkatkan produksi lahan usahatani.
-Menghemat biaya pengolahan tanah, waktu dan tenaga kerja.
Pada pertanian lahan kering dengan jenis tanah podsolik yang
lapisan olahnya tipis dan peka akan erosi, bahan organik sangat berperan untuk
meningkatkan kesuburan dan produktifitas lahan. Hilangnya bahan organik, antara
lain karena pengolahan tanah yang terlalu sering, tanah menjadi terbuka
sehingga terjadi kenaikan suhu yang mempercepat hilangnya unsur hara dalam
tanah. Pada tanah yang tidak diolah biasanya akar tanaman hanya mampu menembus
sampai kedalaman 30 – 40 cm. Untuk mengatasi hal itu maka diperlukan pengolahan
tanah seperlunya saja yaitu disekitar lobang tanaman diikuti dengan pemberian
mulsa.
Mulsa adalah sisa-sisa tanaman (serasah) yang susah lapuk.
Penggunaan mulsa ini bermanfaat sebagai pengendali gulma, meningkatkan
aktivitas organisme tanah, mengurangi penguapan air tanah dan dapat menambah
bahan organik setelah mulsa tersebut mulai lapuk. Cara pemberiannya dengan
menghempaskan mulsa tersebut di atas permukaan lahan secara merata dengan tebal
3 – 5 cm sebanyak 5 ton/Ha. Namun, saat ini sudah tersedia mulsa buatan yang
terbuat dari plastik.
Sistem olah tanah konservasi di lahan sulfat masam sangat
erat hubungannya dengan terdapatnya lapisan sulfidik (pirit) di dalam tanah
hendaknya dipertahankan tetap dalam keadaan stabil, tadak terekspos (terangkat
ke permukaan tanah) sehingga pirit tidak mengalami oksidasi (Simatupang, 2006).
Teknologi olah tanah konservasi erat kaitannya dengan
pengelolaan gulma, dilain pihak gulma tumbuh cepat dan subur di lahan pasang
surut, oleh karenannya dalam penerapannya berkaitan dengan penggunaan herbisida
sebagai komponen utama untuk untuk mengendalikan gulma sehingga lahan menjadi
siap untuk ditanami. Herbisida digunakan bertujuan untuk lahan menjadi siap
untuk ditanam dan sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan gulma di areal
pertanaman sebagai lahan ditanami (Simatupang, 2006).
Tahapan kegiatan dalam penerapan sistem penyiapan tanpa olah
tanah: vegetasi (gulma dan sisa tanaman sebelumnya) disemprot dengan herbisida
(glyfostat, paraquat, dan sulfo sat). Selanjutnya, setelah gulma mati kemudian
direbabkan menggunakan alat bantu (seperti drum, batang pisang atau kelapa,
digilas dengan roda traktortanagn) sampai rata dengan permukaan tanah untuk
memudahkan pelaksanaan tanam padi (Simatupang, 2006).
Berdasarkan penelitian berlokasi SP-I Palingkau di kawasan
lahan eks-PLG, ternyata penerapan teknologi tanpa olah tanah menggunakan
herbisida dapat meningkatkan hasil padi 30-47% dibanding hasil padi yang
didapat dengan teknologi yang diterapkan oleh petani umumnya. R/C-ratio
1,24-1,28, meningkat pendapatan petani, mengurangi penggunaan tenaga kerja
sampai 28% dan teknologi tanpa olah tanah mampu mengendalikan keracunan besi
pada tanaman padi. Selain itu, teknologi TOT ini juga dapat mendukung sistem
usahatani yang berkelanjutan (Simatupang, 2006).
Maka untuk memacu usaha peningkatan produksi dan untuk
mengendalikan kegagalan usahatani padi karena timbulnya keracunan besi,
penerapan teknologi tanpa olah tanah merupakan langkah yang strategis. Melalui
penerapan teknologi ini revitalisasi pembangunan pertanian di kawasan lahan
eks-PLG diharapkan memberikan hasil yang optimal, dan memberikan kontribusi
yang besar dalam usaha peningkatan produksi dan penyediaan pangan nasional
(Simatupang, 2006).
Sistem mekanisasi pada pengolahan tanah akan menyebabkan
pengusikan tanah yang juga akan memperlancar difusi oksigen ke dalam tanah.
Difusi oksigen akan memperbaiki aerasi tanah yang berdampak pada perubahan
suasana tanah. Tata air yang berfungsi sebagai saluran pengatus tanpa
keberadaan sistem pengatur muka air tanah dapat menyebabkan tanah rawa menjadi
over drain sehingga status tanah yang semula reduktif berubah menjadi
oksidatif. Proses perubahan suasana ini selalu menyebabkan pemasaman pada
tanah, terlebih lagi bila dalam tanah tersebut terkandung bahan sulfidik. Untuk
itu perlu dilakukanlah penelitian hubungan antara potensi kemasaman dengan laju
pengeluaran asam pada berbagai ayunan kondisi air oleh Sutanto (2001), guna
mengurangi kontak antara asam yang timbul dengan tanah, maka pembilasan perlu
segera dilaksanakan. Pembilasan dapat dikerjakan dengan air biasa ataupun air
yang mengandung ion.
Status hara pada tanah sulfat masam tergolong rendah bahkan
sangat rendah. Gejala kekurangan hara N, P, K, dan terutama P dan B sering
dialami tanaman budidaya (lahan kering) merana dan kerdil akibat kemasaman dan
keracunan ion Al3+ dan Fe3+ yang tinggi. Pada kondisi tergenang tanaman
(seperti padi) mengalami keracunan Fe2+, H2S, CO2, dan asam-asam organik. Hasil-hasil
pertanian di tanah sulfat masam menunjukkan pemberian pupuk berpengaruh positif
terhadap hasil tanaman. Keragaan tanaman yang diberi pupuk lengkap (N, P, dan
K) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik. Pengaruh pupuk lebih signifikan apabila
dikombinasikan dengan pemberian bahan amelioran seperti kapur, dolomit, batuan
fosfat alam, atau sejenis lainnya.
Prinsip dasar pemberian kapur pada tanah sulfat masam adalah
untuk menekan kemasaman tanah terutama akibat kelarutan Al3+ yang tinggi dan
juga untuk memaksimalkan fungsi dari pemupukan. Pemberian kapur, dolomit, atau
batuan fosfat alam banyak disarankan untuk menetralisir kondisi kemasaman dan
keracunan oleh H+, Al3+, dan atau Fe3+. Pemberian dolomit atau kapur tidak harus
untuk mencapai angka pH 5,5, karena apabila ditujukan untuk menaikkan pH
mencapai 5,5 diperlukan jumlah kapur yang besar sekali antara 15-20 ton
kapur/ha.
Berdasarkan kadar pirit, untuk menetralkan 1 % pirit yang
apabila terdegradasi menghasilkan potensi kemasaman setara dengan 35 cmol
(+)/kg, diperlukan sekitar 50 ton kapur/ha. Padahal kadar pirit tertinggi di
tanah sulfat masam antara 5-7 % sehingga untuk menetralkannya diperlukan
200-400 ton kapur (Sutrisno, 1990; Maas, 2000).
Hasil Simposium internasional tanah sulfat masam kedua yang
dilakukan di bangkok, Thailand (1982) merekomendasikan bahwa pemberian kapur
cukup hanya beberapa ton saja untuk perbaikan kondisi kemasaman dan tahanan
hara tanah yang rendah. Laporan penelitian tentang pengaruh kapur pun menunjukkan
hasil yang beragam.
Rangkaian penelitian di lahan sulfat masam kalimantan tengah
menunjukkan pemberian kapur 1,5 ton CaO/ha dapat meningkatkan hasil padi
sebesar 30 % berturut-turut hasil pada MH 89/90, MK 90, MK 90/91 mencapai 3,14;
2,00 dan 3,28 ton GKG/ha). Penelitian lain di lahan sulfat masam tipe C,
Barambai, kalimantan Selatan dengan pemberian kapur 2 ton CaCO3/ha dapat
meningkatkan hasil padi sebesar 20 % (4,65 ton GKG/ha) yang apabila dipadukan
dengan pelumpuran hasil padi meningkat 52 % (5,83 ton GKG/ha). Dalam rangkaian
penelitian tersebut juga ditunjukkan bahwa pengaruh residu kapur dapat
diperoleh sampai masa tanam ketiga. Dengan kata lain, pemberian kapur tidak
diperlukan setiap musim tanam (Noor, 1996; Noor dan Saragih, 1997).
Penelitian di lahan sulfat masam, Vietnam menunjukkan
pemberian kapur hingga sebesar 3 ton kapur/ha tidak berpengaruh terhadap pH
tanah, Al dapat ditukar, serapan N, P dan Ca pada tanam ke 1, tetapi sebaliknya
pada tanam ke 2 terjadi peningkatan pH, penurunan Al, peningkatan serapan
serapan N, P, dan Ca dan penurunan serapan Fe. Pengaruh pemberian kapur hingga
takaran 3 ton/ha berhasil meningkatkan hasil padi sampai tanam ke empat, tetapi
pada takaran 6-10 ton/ha hanya dapat meningkatkan hasil sampai pada tanam kedua,
selanjutnya menurun untuk tanam ketiga dan keempat. Tambahan kapur
susulan/ulangan sampai takaran 10 ton/ha setiap musim tanam secara
terus-menerus berhasil meningkatkan hasil padi hingga mencapai 4,8 ton
gabah/ha. Pemberian kapur susulan/ulangan lebih efektif dibandingkan menggunakan
cara tunggal dalam jumlah kapur yang sama.
Banyak laporan yang menyatakan munculnya gejala kekurangan
unsur P pada tanaman yang dibudidayakan di lahan sulfat masam. Hal ini
sebagaimana dikemukakan diatas, terkait dengan sifat kimia tanah sulfat masam
yang tinggi dalam menyemat (fixation) P, terutama oleh Al3+, Fe3+.
Hasil penelitian di lahan sulfat masam pada sistem reklamasi
Kalimantan Tengah menunjukkan tanggapan P muncul secara jelas pada pemberian
bersama dengan kapur, teapi pada takaran >2 ton kapur/ha pengaruh pemberian
P tidak muncul secara jelas. Pemberian 90 kg P2O5/ha yang dikombinasikan dengan
1,50 ton kapur/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 90 % (2,38 ton GKG/ha)
dibandingkan dengan kontrol (1,22 ton GKG/ha). Pemberian P saja hanya
meningkatkan hasil padi sebesar 25 % (1,50 ton GKG/ha) dan kapur saja hanya
meningkatkan hasil padi sebesar 60 % (2,06 ton KG/ha). Hasil penelitia
menunjukkan juga bahwa pengaruh residu P masih tampak sampai dengan tanam
ketiga (Noor, 1996).
Hasil penelitian di lahan sulfat masam pada sistem jaringan
tata air Samuda Kedah, Semenanjung Malaysia menunjukkan pemberian fosfat alam
setara 100 kg P2O5/ha yang dikombinasikan dengan kapur 2 ton/ha dapat
meningkatkan hasil padi sebesar 15 % (4,09 GKG/ha) dan tanpa kapur meningkatkan
hasil padi hanya sebesar 5 % (3,76 ton GKG/ha) (Arulando dan Pheng, 1982).
Pemberian P dalam bentuk fosfat alam menunjukkan lebih
unggul dibandingkan dengan bentuk superfosfat (TSP atau SP-36). Pupuk fosfat alam
adalah bahan galian yang sebagian besar mengandung kalsium fosfat yang disebut
apatit (Ca10(PO4)6F2) berbentuk serbuk (prill) yang dapat digunakan langsung.
Selain kandungan unsur ikutan yang tinggi seperti Ca, Mg, dan sebagainya,
fosfat alam bersifat pelepas P lambat (slow release) sehingga cocok untuk
tanah-tanah masam. Pengaruh fosfat alam selain tergantung pada mutu dan kadar
P-nya, juga sifat reaksi yang ditimbulkannya. Berdasarkan kuat lemahnya reaksi,
fosfat alam dapat dipilah antara yang bereaksi lemah (soft), sedang dan kuat
(strong). Dalam simposium internasional tanah sulfat masam di Bangkok, Thailand
(1982) banyak dikemukakan tentang pengaruh pemberian fosfat alam terhadap
perubahan kimia dan hasil padi di lahan sulfat masam.
loading...