Sunday, 13 January 2019

Kreasi Usaha: Hama Tungau Merah (Tetranychus spp.) pada Tanaman Ubikayu


Kredit Motor Baru

Loading...
Loading...

Hama Tungau Merah pada Tanaman Ubikayu

Perubahan iklim global berdampak pada perubahan musim. Perubahan  iklim  merupakan  salah  satu ancaman paling serius terhadap sektor pertanian, karena sensitivitas dan kerentanan komoditas pertanian terhadap perubahan suhu dan curah hujan. Suhu tinggi akan menurunkan hasil tanaman, mendorong perkembangbiakan hama, dan perubahan pola curah hujan meningkatkan kemungkinan gagal panen dan penurunan produksi. Hal ini merupakan tantangan besar di dalam produksi pangan (Ezekiel et al. 2012).

Produktivitas tanaman pangan sangat rentan terhadap perubahan iklim, termasuk tanaman ubikayu yang produktivitasnya sangat ditentukan oleh fluktuasi suhu dan curah hujan. Dampak perubahan iklim pada tanaman ubikayu adalah cekaman kekeringan dan serangan hama tungau merah.

Ubikayu merupakan tanaman semusim dengan umur lebih dari 6 bulan. Ubikayu banyak dibudi-dayakan di lahan kering dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah dan ketersediaan air terbatas. Umur ubikayu yang panjang, menyebabkan sebagian siklus hidup ubikayu berada pada musim kering dan berpeluang menghadapi cekaman kekeringan. Kondisi ini diperparah dengan adanya perubahan iklim global. Dampak perubahan iklim pada tanaman ubikayu adalah kekeringan dan gangguan hama.


Kerusakan tanaman ubikayu yang disebabkan oleh hama tungau T. urticae pada tahun 2010 mengalami peningkatan hampir merata di seluruh wilayah Indonesia seiring dengan adanya perubahan iklim berupa pemanasan global (Budianto dan Munadjat 2012). Populasi T. urticae yang tinggi menurut Budianto dan Praktinyo (2009) disebabkan karena hama tersebut lebih tahan  terhadap  perubahan  iklim termasuk pemanasan global dibandingkan predatornya.

Hama tungau merah pada kondisi kering perlu diwaspadai karena banyak menyerang tanaman ubikayu. Selain itu hama tungau bersifat polifag, sehingga peluang kejadian di lapang pada kondisi kekeringan sangat besar. Pada musim kering dan pada cuaca panas, tungau merah mampu berkembang dengan cepat. Penyebaran tungau merah secara cepat melalui bantuan angin dan aktivitas manusia. Serangan yang parah dapat menyebabkan pembentukan daun dan ruas batang terhambat, serta menurunkan produksi ubikayu.

Ubikayu di Indonesia ditanam pada awal musim hujan dan dipanen pada akhir musim kemarau, sehingga sebagian periode pertumbuhannya mengalami periode kering. Pada kondisi kering, tanaman ubikayu berpeluang besar mengalami gangguan hama tungau. Salah satu hama tungau yang menyebabkan kerusakan besar pada tanaman ubikayu di Indonesia adalah T. urticae (Widiarti 2012). Serangan parah dapat menyebabkan kematian pada tanaman ubikayu, tergantung durasi serangan dan umur tanaman (Rodriguez 1979). Hasil penelitian (Indiati 2011) menunjukkan bahwa penanaman ubikayu di Lampung pada bulan Februari hingga Juni 2010 mengalami serangan hama tungau merah dengan intensitas tinggi sehingga menyebabkan semua daun luruh, sedangkan di Kebun Percobaan (KP) Muneng, Probolinggo, Jawa Timur ubikayu yang ditanam pada musim kering mengalami serangan tungau merah dengan intensitas 54%, menyebabkan kehilangan hasil 25–54%.


Serangan dalam kategori berat oleh hama tungau merah dapat mengakibatkan menurunya kuantitas dan kualitas bahan tanam (stek). Serangan tungau merah dapat menyebabkan kehilangan hasil ubikayu 60–90%, dan pada tingkat serangan yang parah dapat menyebabkan kematian tanaman ubikayu. Pengendalian tungau merah pada tanaman ubikayu dapat dilakukan melalui kultur teknis, biologis, dan kimia. Pengendalian secara kultur teknis dilakukan melalui penanaman varietas tahan hama, pemupukan, dan pengairan. Pengendalian secara biologis dilakukan dengan mengandalkan musuh alami (predator) antara lain: genus Amblyseius, Metaseiulus, Phytoseiulus, Stethorus, dan Orius. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan aplikasi insektisida. Penanaman varietas unggul ubikayu yang toleran tungau merah dapat meminimalisir dampak serangan hama tungau merah.

Bellotti (2002), menyatakan bahwa penurunan hasil ubikayu akibat serangan hama tungau merah mencapai 60%. Serangan parah mengakibatkan kematian tanaman, tergantung pada durasi serangan dan umur tanaman (Rodriguez 1979).

Flechtmann dan Moraes (2008), menyatakan bahwa serangan tungau terutama terjadi pada titik tumbuh dan tunas, yang parah menyebabkan pembentukan daun berkurang, pengurangan ruas dan mengurangi produktivitas tanaman, serta mempengaruhi kuantitas dan kualitas bahan tanam.

Serangan tungau merah pada tanaman ubikayu menyebabkan klorosis dan kehilangan area fotosintesis hingga 90%, defoliasi, serta menyebabkan penurunan hasil 60–90%, bahkan serangan yang parah dapat mengakibatkan kematian tanaman, bergantung pada intensitas serangan, lama serangan dan umur tanaman. Gejala awal serangan tungau merah adalah adanya bintik-bintik berwarna kuning pada bagian dasar daun, berlanjut ke sekitar tulang daun utama, dan daun berubah warna menjadi cokelat. Meskipun luka yang disebabkan oleh individu tungau merah sangat kecil, namun apabila serangan disebabkan oleh ratusan bahkan ribuan tungau merah akan dapat menyebabkan gejala serangan yang parah.


Pada saat populasi berkembang, tungau menyebar ke seluruh daun, termasuk permukaan atas daun, dan bintik-bintik kuning menyebar ke seluruh daun, menyebabkan daun berwarna kemerahan seperti karat. Pada serangan parah, daun bagian tengah dan bawah akan rontok, selanjutnya serangan mengarah ke bagian pucuk, dimana tunas mengalami penyusutan ukuran dan banyak dijumpai adanya jaring berwarna putih yang menyelimuti daun pada sepertiga bagian atas tanaman.

Telur tungau merah berdiameter 0,14 mm terletak di bawah daun ubikayu, berbentuk bulat tidak berwarna, dan berubah menjadi seperti mutiara putih pada saat akan menetas. Tungau muda mengeluarkan exoskeleton tiga kali sebelum menjadi dewasa (Hoover et al. 2002). Tungau muda yang baru menetas berwarna merah jambu, mengalami beberapa kali pergantian kulit, selongsong kulitnya menempel pada daun. Tungau muda berwarna putih kekuningan dan tungau dewasa berwarna merah. Siklus hidup tungau merah diselesaikan dalam waktu sekitar 15 hari. Tungau jenis ini juga sering menyerang tanaman cabai maupun tomat.

Pengendalian hama tungau merah pada tanaman ubikayu hampir tidak pernah dilakukan, meskipun pengendalian dapat dilakukan dengan cara sederhana, seperti menyemprotkan air pada tanaman terserang. Upaya yang dilakukan untuk mencegah kehilangan hasil akibat serangan tungau merah adalah dengan menanam varietas tahan. Hasil penelitian Nukenine et al. (1999) menunjukkan bahwa varietas ubikayu yang toleran kekeringan terindikasi juga tahan terhadap tungau merah dan mempunyai kemampuan genetik untuk mempertahankan jumlah daun hijau sebanyak mungkin selama musim kering.

Penelitian WeiXU et al. (2009) menyimpulkan bahwa ketahanan varietas ubikayu terhadap T. urticae berbeda. Varietas SC 7 dan SC 8 memiliki ketahanan terbaik, diikuti SC 5, SC 10, Nanzhi 199, dan SC 6. Ketahanan terhadap T. urticae berhubungan dengan warna dan tekstur daun. Varietas ubikayu yang warna daun hijau gelap dan lapisan lilin tebal menunjukkan ketahanan lebih baik, dan varietas dengan warna hijau terang dan tanpa lapisan lilin menunjukkan ketahanan yang lemah.

Selain memilih bahan tanam, pengairan juga merupakan salah satu cara untuk mengendalikan populasi tungau  merah. Tanaman  ubikayu yang terserang tungau merah diairi (digenangi) selama 30 menit, disemprot dengan air menggunakan tekanan yang kuat dapat mengendalikan populasi tungau merah. Menurut Godfrey (2011), irigasi yang memadai merupakan cara yang penting untuk mengendalikan populasi tungau, karena tanaman yang tercekam kekeringan mudah terserang tungau. Tanaman terserang dicabut dan dibakar untuk menghindari penyebaran tungau yang lebih luas.

Tanaman yang segar akan jauh lebih toleran terhadap serangan tungau daripada tanaman yang tercekam kekeringan. Serangan tungau merah dapat juga diantisipasi melalui pemeliharaan tanaman dengan irigasi yang optimal dan pemupukan, mengurangi kondisi berdebu di kebun melalui penyiraman dan mempertahankan penutup tanah, terutama pada musim panas untuk mencegah tungau naik ke pertanaman (Pickel et al. 2014).

Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami (predator) yang ada di alam. Terdapat 32 jenis predator yang telah dilaporkan menyerang tungau. Predator tungau yang paling penting adalah: Oligota minuta untuk Mononychellus tanajoa, Stethorus tridens untuk T. urticae dan T. cinnabarinus, dan Phytoseiidae. Terdapat 30 jenis predator dari keluarga Phytoseiidae yang menjadi predator pada ubi kayu.

Musuh alami yang juga sering menjadi predator hama tungau merah diantaranya genus Amblyseius, Metaseiulus, Phytoseiulus, Stethorus, dan Orius, Thrips, Lepto thrips, dan larva Lacewing, Chrysopa. Predator lainnya seperti Orius minutus, Coccinellla septempunctata, Stethorus gilvifrons, dan Stethorus punctillum dinilai sebagai agen hayati yang potensial. Di Amerika Serikat terdapat lima jenis predator tungau yang tersedia secara komersial, yaitu: Phytoseiulus persimilis, Mesoseiulus longipes, Neoseiulus californicus, Galendromus occidentalis dan Amblyseius fallicus.

Feltiella acarisuga merupakan salah satu predator tungau yang mempunyai daya mangsa tinggi. Kemampuan F. acarisuga memangsa tungau merah lebih tinggi dibandingkan dengan Neoseiulus californicus dan Amblyseius swirskii,.

Pengendalian secara kimia dapat dilakukan melalui pemantauan terhadap populasi tungau merah dan pemilihan insektisida yang digunakan harus tepat, karena kesalahan pemilihan dan penggunaan insektisida dapat menyebabkan kematian pada musuh alami tungau.

Aplikasi insektisida untuk pengendalian tungau merah harus memperhatikan cara penyemprotan. Cakupan yang luas dari penyemprotan sangat penting ketika melakukan aplikasi insektisida, bagian bawah daun harus menjadi target penyemprotan supaya terjadi kontak antara insektisida yang diaplikasikan dengan tungau sebanyak mungkin, karena sisi bawah daun merupakan tempat berkumpulnya tungau merah. Aplikasi insektisida dilakukan pada interval 510 hari. Telur tungau yang belum menetas tidak terpengaruh oleh sebagian miticides. Hal yang sama kemungkinan juga terjadi pada larva dan nimfa yang mengalami pergantian kulit (molting). Selama molting, tungau tetap tidak aktif di bawah bekas kulit yang berfungsi sebagai penghalang terhadap insektisida. Pada fase ini tungau juga tidak makan, yang menyebabkan insektisida yang bersifat sistemik tidak berpengaruh. Apabila aplikasi hanya dilakukan sekali, maka tungau dapat bertahan hidup.

Pengendalian terhadap tungau merah berdampak pada peningkatan rata-rata hasil umbi dari 22,56 t/ha menjadi 26,96 t/ha.



*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.

pasang iklan disini




loading...