Loading...
Perubahan iklim global berdampak pada perubahan musim.
Perubahan iklim merupakan
salah satu ancaman paling serius
terhadap sektor pertanian, karena sensitivitas dan kerentanan komoditas pertanian
terhadap perubahan suhu dan curah hujan. Suhu tinggi akan menurunkan hasil
tanaman, mendorong perkembangbiakan hama, dan perubahan pola curah hujan
meningkatkan kemungkinan gagal panen dan penurunan produksi. Hal ini merupakan
tantangan besar di dalam produksi pangan (Ezekiel et al. 2012).
Produktivitas tanaman pangan sangat rentan terhadap
perubahan iklim, termasuk tanaman ubikayu yang produktivitasnya sangat
ditentukan oleh fluktuasi suhu dan curah hujan. Dampak perubahan iklim pada tanaman
ubikayu adalah cekaman kekeringan dan serangan hama tungau merah.
Ubikayu merupakan tanaman semusim dengan umur lebih dari 6
bulan. Ubikayu banyak dibudi-dayakan di lahan kering dengan tingkat kesuburan
tanah yang rendah dan ketersediaan air terbatas. Umur ubikayu yang panjang,
menyebabkan sebagian siklus hidup ubikayu berada pada musim kering dan
berpeluang menghadapi cekaman kekeringan. Kondisi ini diperparah dengan adanya
perubahan iklim global. Dampak perubahan iklim pada tanaman ubikayu adalah kekeringan
dan gangguan hama.
Kerusakan tanaman ubikayu yang disebabkan oleh hama tungau
T. urticae pada tahun 2010 mengalami peningkatan hampir merata di seluruh
wilayah Indonesia seiring dengan adanya perubahan iklim berupa pemanasan global
(Budianto dan Munadjat 2012). Populasi T. urticae yang tinggi menurut Budianto
dan Praktinyo (2009) disebabkan karena hama tersebut lebih tahan terhadap
perubahan iklim termasuk
pemanasan global dibandingkan predatornya.
Hama tungau merah pada kondisi kering perlu diwaspadai
karena banyak menyerang tanaman ubikayu. Selain itu hama tungau bersifat
polifag, sehingga peluang kejadian di lapang pada kondisi kekeringan sangat
besar. Pada musim kering dan pada cuaca panas, tungau merah mampu berkembang
dengan cepat. Penyebaran tungau merah secara cepat melalui bantuan angin dan
aktivitas manusia. Serangan yang parah dapat menyebabkan pembentukan daun dan
ruas batang terhambat, serta menurunkan produksi ubikayu.
Ubikayu di Indonesia ditanam pada awal musim hujan dan dipanen
pada akhir musim kemarau, sehingga sebagian periode pertumbuhannya mengalami
periode kering. Pada kondisi kering, tanaman ubikayu berpeluang besar mengalami
gangguan hama tungau. Salah satu hama tungau yang menyebabkan kerusakan besar pada
tanaman ubikayu di Indonesia adalah T. urticae (Widiarti 2012). Serangan parah
dapat menyebabkan kematian pada tanaman ubikayu, tergantung durasi serangan dan
umur tanaman (Rodriguez 1979). Hasil penelitian (Indiati 2011) menunjukkan
bahwa penanaman ubikayu di Lampung pada bulan Februari hingga Juni 2010
mengalami serangan hama tungau merah dengan intensitas tinggi sehingga
menyebabkan semua daun luruh, sedangkan di Kebun Percobaan (KP) Muneng,
Probolinggo, Jawa Timur ubikayu yang ditanam pada musim kering mengalami serangan
tungau merah dengan intensitas 54%, menyebabkan kehilangan hasil 25–54%.
Serangan dalam kategori berat oleh hama tungau merah dapat mengakibatkan
menurunya kuantitas dan kualitas bahan tanam (stek). Serangan tungau merah
dapat menyebabkan kehilangan hasil ubikayu 60–90%, dan pada tingkat serangan
yang parah dapat menyebabkan kematian tanaman ubikayu. Pengendalian tungau
merah pada tanaman ubikayu dapat dilakukan melalui kultur teknis, biologis, dan
kimia. Pengendalian secara kultur teknis dilakukan melalui penanaman varietas
tahan hama, pemupukan, dan pengairan. Pengendalian secara biologis dilakukan
dengan mengandalkan musuh alami (predator) antara lain: genus Amblyseius,
Metaseiulus, Phytoseiulus, Stethorus, dan Orius. Pengendalian secara kimiawi dilakukan
dengan aplikasi insektisida. Penanaman varietas unggul ubikayu yang toleran
tungau merah dapat meminimalisir dampak serangan hama tungau merah.
Bellotti (2002), menyatakan bahwa penurunan hasil ubikayu
akibat serangan hama tungau merah mencapai 60%. Serangan parah mengakibatkan
kematian tanaman, tergantung pada durasi serangan dan umur tanaman (Rodriguez
1979).
Flechtmann dan Moraes (2008), menyatakan bahwa serangan
tungau terutama terjadi pada titik tumbuh dan tunas, yang parah menyebabkan
pembentukan daun berkurang, pengurangan ruas dan mengurangi produktivitas
tanaman, serta mempengaruhi kuantitas dan kualitas bahan tanam.
Serangan tungau merah pada tanaman ubikayu menyebabkan
klorosis dan kehilangan area fotosintesis hingga 90%, defoliasi, serta
menyebabkan penurunan hasil 60–90%, bahkan serangan yang parah dapat
mengakibatkan kematian tanaman, bergantung pada intensitas serangan, lama
serangan dan umur tanaman. Gejala awal serangan tungau merah adalah adanya
bintik-bintik berwarna kuning pada bagian dasar daun, berlanjut ke sekitar
tulang daun utama, dan daun berubah warna menjadi cokelat. Meskipun luka yang
disebabkan oleh individu tungau merah sangat kecil, namun apabila serangan
disebabkan oleh ratusan bahkan ribuan tungau merah akan dapat menyebabkan
gejala serangan yang parah.
Pada saat populasi berkembang, tungau menyebar ke seluruh
daun, termasuk permukaan atas daun, dan bintik-bintik kuning menyebar ke
seluruh daun, menyebabkan daun berwarna kemerahan seperti karat. Pada serangan
parah, daun bagian tengah dan bawah akan rontok, selanjutnya serangan mengarah
ke bagian pucuk, dimana tunas mengalami penyusutan ukuran dan banyak dijumpai
adanya jaring berwarna putih yang menyelimuti daun pada sepertiga bagian atas
tanaman.
Telur tungau merah berdiameter 0,14 mm terletak di bawah
daun ubikayu, berbentuk bulat tidak berwarna, dan berubah menjadi seperti
mutiara putih pada saat akan menetas. Tungau muda mengeluarkan exoskeleton tiga
kali sebelum menjadi dewasa (Hoover et al. 2002). Tungau muda yang baru menetas
berwarna merah jambu, mengalami beberapa kali pergantian kulit, selongsong
kulitnya menempel pada daun. Tungau muda berwarna putih kekuningan dan tungau
dewasa berwarna merah. Siklus hidup tungau merah diselesaikan dalam waktu
sekitar 15 hari. Tungau jenis ini juga sering menyerang tanaman cabai maupun
tomat.
Pengendalian hama tungau merah pada tanaman ubikayu hampir
tidak pernah dilakukan, meskipun pengendalian dapat dilakukan dengan cara
sederhana, seperti menyemprotkan air pada tanaman terserang. Upaya yang
dilakukan untuk mencegah kehilangan hasil akibat serangan tungau merah adalah
dengan menanam varietas tahan. Hasil penelitian Nukenine et al. (1999)
menunjukkan bahwa varietas ubikayu yang toleran kekeringan terindikasi juga
tahan terhadap tungau merah dan mempunyai kemampuan genetik untuk
mempertahankan jumlah daun hijau sebanyak mungkin selama musim kering.
Penelitian WeiXU et al. (2009) menyimpulkan bahwa ketahanan
varietas ubikayu terhadap T. urticae berbeda. Varietas SC 7 dan SC 8 memiliki
ketahanan terbaik, diikuti SC 5, SC 10, Nanzhi 199, dan SC 6. Ketahanan
terhadap T. urticae berhubungan dengan warna dan tekstur daun. Varietas ubikayu
yang warna daun hijau gelap dan lapisan lilin tebal menunjukkan ketahanan lebih
baik, dan varietas dengan warna hijau terang dan tanpa lapisan lilin
menunjukkan ketahanan yang lemah.
Selain memilih bahan tanam, pengairan juga merupakan salah
satu cara untuk mengendalikan populasi tungau
merah. Tanaman ubikayu yang
terserang tungau merah diairi (digenangi) selama 30 menit, disemprot dengan air
menggunakan tekanan yang kuat dapat mengendalikan populasi tungau merah.
Menurut Godfrey (2011), irigasi yang memadai merupakan cara yang penting untuk
mengendalikan populasi tungau, karena tanaman yang tercekam kekeringan mudah terserang
tungau. Tanaman terserang dicabut dan dibakar untuk menghindari penyebaran
tungau yang lebih luas.
Tanaman yang segar akan jauh lebih toleran terhadap serangan
tungau daripada tanaman yang tercekam kekeringan. Serangan tungau merah dapat juga
diantisipasi melalui pemeliharaan tanaman dengan irigasi yang optimal dan
pemupukan, mengurangi kondisi berdebu di kebun melalui penyiraman dan
mempertahankan penutup tanah, terutama pada musim panas untuk mencegah tungau
naik ke pertanaman (Pickel et al. 2014).
Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan
menggunakan musuh alami (predator) yang ada di alam. Terdapat 32 jenis predator
yang telah dilaporkan menyerang tungau. Predator tungau yang paling penting
adalah: Oligota minuta untuk Mononychellus tanajoa, Stethorus tridens untuk T.
urticae dan T. cinnabarinus, dan Phytoseiidae. Terdapat 30 jenis predator dari
keluarga Phytoseiidae yang menjadi predator pada ubi kayu.
Musuh alami yang juga sering menjadi predator hama tungau
merah diantaranya genus Amblyseius, Metaseiulus, Phytoseiulus, Stethorus, dan
Orius, Thrips, Lepto thrips, dan larva Lacewing, Chrysopa. Predator lainnya
seperti Orius minutus, Coccinellla septempunctata, Stethorus gilvifrons, dan
Stethorus punctillum dinilai sebagai agen hayati yang potensial. Di Amerika
Serikat terdapat lima jenis predator tungau yang tersedia secara komersial,
yaitu: Phytoseiulus persimilis, Mesoseiulus longipes, Neoseiulus californicus,
Galendromus occidentalis dan Amblyseius fallicus.
Feltiella acarisuga merupakan salah satu predator tungau
yang mempunyai daya mangsa tinggi. Kemampuan F. acarisuga memangsa tungau merah
lebih tinggi dibandingkan dengan Neoseiulus californicus dan Amblyseius
swirskii,.
Pengendalian secara kimia dapat dilakukan melalui pemantauan
terhadap populasi tungau merah dan pemilihan insektisida yang digunakan harus
tepat, karena kesalahan pemilihan dan penggunaan insektisida dapat menyebabkan
kematian pada musuh alami tungau.
Aplikasi insektisida untuk pengendalian tungau merah harus
memperhatikan cara penyemprotan. Cakupan yang luas dari penyemprotan sangat
penting ketika melakukan aplikasi insektisida, bagian bawah daun harus menjadi
target penyemprotan supaya terjadi kontak antara insektisida yang diaplikasikan
dengan tungau sebanyak mungkin, karena sisi bawah daun merupakan tempat
berkumpulnya tungau merah. Aplikasi insektisida dilakukan pada interval 5‒10 hari. Telur tungau yang
belum menetas tidak terpengaruh oleh sebagian miticides. Hal yang sama
kemungkinan juga terjadi pada larva dan nimfa yang mengalami pergantian kulit
(molting). Selama molting, tungau tetap tidak aktif di bawah bekas kulit yang
berfungsi sebagai penghalang terhadap insektisida. Pada fase ini tungau juga
tidak makan, yang menyebabkan insektisida yang bersifat sistemik tidak
berpengaruh. Apabila aplikasi hanya dilakukan sekali, maka tungau dapat
bertahan hidup.
Pengendalian terhadap tungau merah berdampak pada
peningkatan rata-rata hasil umbi dari 22,56 t/ha menjadi 26,96 t/ha.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...