Loading...
Selama ini petani selalu mengandalkan pestisida kimia untuk
mengusir hama pada tanaman budidaya. Dilihat dari sisi efektifitasnya pestisida
kimia memang bisa diandalkan. Namun sadar atau tidak penggunaan pestisida kimia
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang memiliki efek yang sangat
berbahaya. Sifat beracun bahan pestisida kimia dapat menimbulkan berbagai
penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically Acquired
Deficiency Syndrom) dan sebagainya.
Penggunaan pestisida kimia sintetik yang intensif dan kurang
bijaksana telah menimbulkan pencemaran yang berdampak negatif terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan. Dampak negatif tersebut telah menstimulasi
pengembangan produk-produk turunan dari tanaman untuk menggantikan
produk-produk bahan kimia sintetik yang banyak digunakan untuk makanan,
kosmetik, obat-obatan, dan pestisida (Dubey et al., 2008; Dubey et al., 2010;
Koul et al, 2008; Isman, 2000).
Seiring dengan bertambahnya kesadaran dan pengetahuan
masyarakat terhadap efek penggunaan pestisida kimia, saat ini sudah mulai
banyak petani yang mempertimbangkan keamanan produk pertanian yang
diciptakannya. Segala cara dilakukan untuk menciptakan alternatif yang lebih
aman untuk menggantikan peran pestisida kimia. Petani mulai mempertimbangkan
keamanan bagi konsumen dan lingkungan. Beberapa komponen teknologi pengendalian
organisme penganggu tanaman (OPT) telah ditemukan antara lain varietas tahan,
musuh alami, dan beberapa jenis pestisida nabati yang aman bagi lingkungan dan
konsumen.
Berdasarkan pengalaman empirik dan hasil beberapa penelitian
menunjukkan, bahwa beberapa jenis minyak atsiri mempunyai aktivitas biologi
terhadap mikroba seperti bakteri, jamur, ragi, virus, dan nematoda maupun
terhadap serangga hama dan vektor patogen yang merugikan manusia, hewan, dan
tanaman (Isman, 2000; Upadhyay, 2010). Properti minyak atsiri tersebut
berhubungan dengan senyawa yang dikandungnya terutama dari golongan terpen,
alkohol, aldehid, dan fenol seperti karvakrol, eugenol, timol, sinamaldehid,
asam sinamat, dan perilaldehid (Burt, 2007).
Pada saat ini minyak atsiri telah banyak digunakan secara
luas di berbagai jenis industri bahan-bahan kebutuhan rumah tangga, kosmetik,
makanan dan minuman, farmasi obat-obatan, parfum, pestisida dan sebagainya
(Isman, 2000; Koul et al., 2008). Minyak atsiri juga mempunyai peluang untuk
dikembangkan menjadi produk-produk derivat lainnya seperti pestisida.
Pengembangan produk-produk derivat dari minyak atsiri diharapkan dapat
mengurangi atau menggantikan produk-produk yang berasal dari bahan kimia
sintetik.
Beberapa pestisida nabati yang diperoleh dari alam telah
banyak ditemukan. Pestisida nabati yang terbuat dari bahan-bahan alami tentu
lebih aman karena mudah terurai dan tidak menimbulkan residu. Salah satu bahan
alami yang bisa digunakan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
adalah minyak atsiri serei wangi (Cymbopogon nardus). Berdasarkan informasi
dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa minyak atsiri serei wangi bisa
digunakan untuk menghambat perkembangan bahkan membunuh hama tanaman.
Pestisida nabati yang banyak dimanfaatkan untuk pengendalian
penyakit tanaman pada saat ini adalah serai wangi (Nakahara, Alzoreky,
Yoshihashi, Nguyen and Trakoontivakom,
2003; Nurmansyah, 2010; Supriadi, 2011) karena mudah didapat dan bersifat
membunuh patogen (fungisidal). Pemanfaatan fungisida nabati serai wangi untuk
mengendalikan penyakit tanaman, dan penyakit pascapanen telah dilaporkan oleh
Nakahara et al. (2003), Nurmansyah (2010) dan Harni, Amaria dan Supriadi (2013).
Indonesia cukup kaya akan potensi tanaman penghasil minyak
atsiri berupa racun untuk memberantas organisme pengganggu tanaman atau yang
berfungsi sebagai insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama.
Tumbuhan yang dapat menghasilkan minyak atsiri untuk menanggulangi hama harus
memenuhi kriteria sebagai berikut; bukan merupakan tanaman inang dari hama dan
penyakit, bahan anti hama, serta dapat diambil tanpa mematikan tanaman yang
bersangkutan (Rukmana, 2002). Dan salah satu tanaman yang dapat diambil miyak
atsirinya dan dijadikan sebagai pestisida nabati yaitu tanaman serai wangi.
Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tanaman penghasil
minyak atsiri. Dengan tersedianya berbagai jenis tanaman penghasil minyak
atsiri tersebut, maka Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk
mengembangkan minyak atsiri sebagai pestisida nabati. Adanya larangan
penggunaan beberapa jenis pestisida kimia sintetis karna dapat merusak tanaman
tersebut dan lingkungannya, akan meningkatkan kesempatan produk pestisida
berbahan minyak atsiri untuk dikembangkan dan diproduksi secara komersial dan
diharapkan mampu bersaing dengan pestisida kimia sintetis. Pengembangan
pestisida berbasis minyak atsiri secara komersial juga sering dihadapkan pada
beberapa kendala, seperti kurang
tersedianya bahan baku dalam jumlah yang memadai karena pada umumnya tanaman
penghasil miyak atsiri di Indonesia belum dibudidayakan secara baik.
Aktivitas biologi minyak atsiri terhadap mikroba telah
banyak diteliti terutama terhadap bakteri patogen pada manusia dan hewan. Hasil
beberapa penelitian menunjukkan bahwa sejumlah minyak atsiri mempunyai
aktivitas terhadap bakteri patogen baik yang bersifat gram negatif maupun
positif. Beberapa jenis pestisida yang berbahan minyak atsiri pada saat ini
juga telah diproduksi secara komersial di luar negeri. Semua produk pestisida
berbahan aktif minyak atsiri tersebut telah lolos registrasi dari EPA
(Environmental Protection Agency) dan dinyatakan aman (GRAS = Generally
Recogniced As Safe) dan sering digunakan untuk bercocok tanam secara organik
(Koul et al., 2008).
Serai wangi (Cymbopogon nardus. L) merupakan salah satu
jenis tanaman minyak atsiri. Dari hasil penyulingan daunnya diperoleh minyak
serai wangi yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama Citronella Oil.
Minyak serai wangi Indonesia dipasaran dunia terkenal dengan nama “Citronella
Oil of Java”. Serai wangi (Cymbopogon nardus (L.) Rendle) tumbuhan ini ditanam
di pekarangan yang biasanya digunakan sebagai tanaman obat. Serai wangi dapat
berkhasiat sebagai obat sakit kepala, batuk, nyeri lambung, diare, penghangat
badan, penurun panas dan pengusir nyamuk (Fauzi, 2009). Dalam serai wangi
terkandung senyawa sitronellal sekitar 32 - 45%, geraniol 10 - 12%, sitronellol
11 - 15%, geranil asetat 3 - 8%, sitronellal asetat 2 - 4% dan sedikit mengandung
seskuiterpen serta senyawa lainnya (Masada, 1976).
Komponen kimia dalam minyak serai wangi sangat komplek,
namun komponen yang terpenting adalah citronellal dan geraniol. Kedua komponen
tersebut menentukan intensitas bau, harum, serta nilai harga minyak serai
wangi. Komposisi minyak serai wangi terdiri dari 30-40 komponen, yang termasuk
kelompok alkohol, hidrokarbon, ester, aldehid, keton, oxida, terpene dan sebagainya. Menurut Guenther
(2006), komponen utama penyusun minyak serai wangi adalah (1) citronellal
(C10H16O) atau rhodinal atau 3,7- dimethyloct-6-en-1-al (C10H18O) adalah
monoterpenoid, komponen utama dalam campuran
senyawa kimia terpenoid yang memberikan aroma lemon yang khas; (2) geraniol
(C10H18O) adalah monoterpenoid dan alkohol; dan (3) citronelol (C10H20O) atau
dihydrogeraniol, adalah monoterpenoid asiklik. Komposisi terbesar dalam minyak
serai wangi adalah citronellal, yaitu 32-45%, geraniol 12-18%, citronelol
11-15%, geranil asetat 3-8%, sitronelil asetat 2-4%. Menurut Wie andWee (2013)
terdapat 24 jenis komponen kimia yang menyusun minyak serai wangi (Tabel 1).
Tanaman serai dapat dikembangkan dengan memanfaatkan
kandungan minyak atsiri sebagai pengganti pestisida kimia yaitu untuk
insektisida, bakterisida, dan nematisida. Senyawa aktif dari tanaman ini
berbentuk minyak atsiri yang terdiri dari senyawa sitral, sitronella, geraniol,
mirsena, nerol, farnesol, metil heptenol dan dipentena. Tanaman ini dapat
mengendalikan kumbang beras (Tribolium sp), Sitophilus sp., Callosobruchus sp., Nematoda (Meloidogyne sp.),
Jamur Pseudomonas sp, kutu sisik, aphids, lalat buah, kutu kebul, thrips, kutu
dompolan dan penggerek buah jeruk.
Minyak serai wangi mengandung senyawa aktif yang dapat
digunakan sebagai bahan baku pestisida nabati untuk mengendalikan hama dan
penyakit tanaman. Hal ini berkaitan dengan sifatnya yang mampu membunuh, mengusir, dan
menghambat makan hama, serta mengendalikan penyakit tanaman yang bersifat
antijamur, antibakteri, antivirus, dan antinematoda.
Aktivitas minyak serai wangi sebagai anti bakteri telah
dilaporkan terutama untuk mengendalikan patogen manusia dan
hewan. Wei and Wee (2013) menguji minyak serai wangi pada bakteri Edwardsiella,
Vibrio, Aeromonas, Escherichia coli, Salmonela, Flavobacteria, Pseudomonas dan
Streptococcus yang berasal dari hewan laut. Penggunaan minyak serai wangi
dengan konsentrasi 0.244 μg/ml sampai 0.977 μg/ml dapat menghambat pertumbuhan
bakteri sehingga minyak serai wangi ini kemudian direkomendasikan sebagai
pengganti antibiotik untuk pengawetan hasil laut. Selanjutnya Luangnarumitchai
et al. (2007) melaporkan pengunaan minyak serai wangi untuk mengendalikan
Propionobacterium acnes pada manusia, dengan konsentrasi 1,25% dapat menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut.
Penggunaan minyak serai wangi untuk mengendalikan penyakit
tanaman yang disebabkan oleh bakteri telah dilaporkan oleh Pradhanang, Momol,
Olson, & Jones (2003) dan Hartati, Adhi, Asman, dan Karyani (1994), dimana
aplikasi serai wangi pada konsentrasi 10.000 ppm dapat menekan perkembangan
Ralstonia solanacearum yang merupakan patogen pada tanaman jahe, dan pengunaan
sebanyak 7 g daun/liter tanah dapat menekan R. solanacearum patogen pada tomat.
Aktivitas anti-jamur dari serai wangi telah banyak
dilaporkan untuk mengendalikan patogen penyebab penyakit tanaman baik pada
tanaman pangan, hortikultura maupun pada tanaman perkebunan. Pada tanaman
perkebunan terutama kakao minyak serai wangi telah digunakan untuk mengendalikan
penyakit busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan oleh P. palmivora pada tingkat
laboratorium dan lapangan (Nurmansyah, 2010; Harni et al., 2013 dan 2014). Nurmansyah
(2010) mengunakan sitronella dan fraksi sitronella terhadap P. palmivora,
dimana keduanya terbukti dapat menekan perkembangan dan biomassa jamur tersebut. Sementara Harni et al. (2013)
menguji formula minyak serai wangi dalam bentuk EC terhadap P. palmivora, yang
menunjukan bahwa formula dengan dosis 5 ml/l dapat menghambat 100% pertumbuhan
P. palmivora di laboratorium dan 66,25% pada fase bibit. Nakahara et al. (2003)
mengunakan minyak serai wangi untuk mengendalikan Aspergillus sp. dan
Penicillium sp pada biji kakao di penyimpanan karena salah satu sifat dari
pestisida nabati ini adalah sebagai fumigan (Istianto, 2009). Di samping itu
minyak serai wangi juga dapat digunakan untuk mengendalikan Phytophthora pada
tanaman durian.
Aktivitas dari minyak serai wangi terhadap serangga adalah
sebagai penolak (repelent), menarik (attractant), racun kontak, racun
pernafasan, mengurangi nafsu makan, menghambat peletakkan telur, menghambat
pertumbuhan, menurunkan fertilitas dan sebagai anti serangga vektor (Isman,
2000). Sitronella yang berasal dari serai wangi pada konsentrasi 5 ml/l mampu
mengendalikan hama penggerek buah kakao C. cramerella Snell. sebesar
46,26-65,01% pada tingkat serangan berat (Laba et al., 2011). Selanjutnya
Nurmansyah (2011) menguji serai wangi untuk mengendalikan hama Helopeltis
antonii pada tanaman kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rajangan daun
serai wangi sebanyak 50 g/tabung memperlihatkan sifat menolak (repelent)
terhadap serangga H. antonii dengan persentase rendah, yaitu 53,33%. Demikian
juga dengan pemberian minyak serai wangi dan fraksi sitronellal pada dosis 0,1
ml/tabung, juga menunjukkan penolakan dengan persentase 53,33-73,33%. Pada
dosis 0,30 ml/tabung pestisida nabati serai wangi bersifat membunuh
(insektisida), dengan persentase kematian serangga H. antonii sebesar 76,67%
pada pemberian minyak serai wangi dan 80% pada penggunaan fraksi sitronella di
laboratorium. Penyemprotan minyak serai wangi dan fraksi sitronellal pada
konsentrasi 2.000 ppm mampu membunuh serangga H. antonii sebesar 91,62%,
sedangkan pada konsentrasi 4.000 ppm dapat mencapai 100%.
Cara
pembuatan:
-Daun dan batang ditumbuk lalu direndam dalam air dengan
konsentrasi 25 – 50 gram/l.
-Endapkan selama 24 jam kemudian disaring agar didapat larutan
yang siap diaplikasikan.
-Aplikasi dilakukan dengan cara disemprotkan atau
disiramkan.
-Untuk pengendalian hama gudang dilakukan dengan cara
membakar daun atau batang hingga
didapatkan abu, lalu sebarkan / letakkan didekat sarang atau dijalur
hama tersebut mencari makan.
Mekanisme
minyak atsiri serai wangi sebagai pestisida:
-Sebagai bahan penolak, minyak atsiri serai wangi mampu
mengacaukan aroma penarik yang dikeluarkan tanaman inang sehingga penggerakan
hama menuju tanaman inang dapat dialihkan.
-Sabagai bahan penghambat makan, minyak atsiri serai wangi
yang diaplikasikan pada tanaman inang mampu menekan peran bahan perangsang
makan yang dihasilkan tanaman tersebut dan menimbulkan ketidaksukaan pada hama sehingga
konsumsi hama pada tanaman inang menjadi jauh berkurang. Akibatnya pertumbuhan
hama dan perkembangan populasi menjadi terhambat..
-Sebagai pembunuh hama. Minyak atsiri mempunyai efek
iritasi. Efek ini menyebabkan kerusakan pada integumen hama sehingga terjadi
proses transpirasi tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan kematian pada hama
tersebut.
Keuntungan menggunakan minyak atsiri sebagai pestisida nabati:
-Merupakan bahan alami yang mudah terurai sehingga aman
terhadap lingkungan dan produk pertanian.
-Mudah didapatkan di pasar karena banyak usaha rumah tangga
yang bergerak dalam bidang produksi minyak atsiri serai wangi.
-Harga yang relative lebih murah dibandingkan pestisida
sintetik.
-Aplikasi yang relative mudah sehingga dapat dilakukan oleh
setiap orang.
Selain sebagai pengendali hama tanaman, minyak atsiri serei
wangi juga mampu digunakan untuk mengusir nyamuk. Aroma minyak atsiri serei
wangi tidak sisukai oleh nyamuk dan serangga lainnya.
Serai wangi (Cymbopogon nardus L.) yang termasuk dalam
famili Graminae merupakan salah satu jenis tanaman penghasil minyak atsiri yang
banyak ditanam sebagai tanaman konservasi dan sela pada perkebunan kopi maupun
kakao. Tanaman ini dapat hidup dengan baik di daerah beriklim panas maupun
basah, sampai ketinggian 1200 m di atas permukaan laut (dpl) namun berproduksi
optimum pada 250 m dpl, dengan intensitas cahaya 75-100% (Sukamto dan Djazuli,
2011). Di samping itu, serai wangi juga dapat tumbuh di tempat yang kurang
subur bahkan di daerah yang tandus karena mampu beradaptasi baik dengan
lingkungannya. Cara berkembang biaknya adalah dengan anakan atau akarnya yang
bertunas.
Selain minyak, bagian lain yang dapat dimanfaatkan adalah
limbah serai wangi (ampas hasil penyulingan). Limbah serai wangi dapat
digunakan sebagai pakan ternak karena mutunya yang lebih baik dibanding dengan
jerami. Limbah serai wangi mengandung 7% protein sedangkan limbah jerami hanya
mengandung 3,9%. Kadar proteinnya dapat ditingkatkan dengan perlakuan
fermentasi, yaitu menambahkan probion dan molase sehingga protein dapat
meningkat sampai 11,2% (Sukamto & Djazuli, 2011).
Limbah serai wangi sisa pakan ternak dapat dijadikan kompos
sehingga dapat dimanfaatkan untuk pemupukan tanaman kakao sehingga biomassa
yang berasal dari kebun kakao dapat dikembalikan ke dalam kebun. Hal ini sesuai
dengan konsep pertanian bioindustri,
yaitu sistem pertanian yang mengelola dan/atau memanfaatan secara optimal
seluruh sumberdaya hayati termasuk biomassa dan/atau limbah organik pertanian,
bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara harmonis.
Serai wangi sebagai pestisida nabati mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Kelebihannya adalah aktivitas biologinya berspektrum luas (dapat
dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman, seperti telah diuraikan sebelumnya), tidak toksik, sistemik,
kompatibel dengan teknik pengendalian lain (seperti pengendalian dengan
agens hayati), mudah terurai dan lebih ramah lingkungan. Serai wangi tidak
bersifat toksik terhadap mamalia, burung, dan ikan. Di samping itu serai wangi
juga bersifat tidak persisten karena mudah terurai secara alami sehingga tidak
tahan lama dalam air, udara, di dalam tanah dan tubuh mamalia (Hartati, 2012).
Kelemahan
dari pestisida berbahan aktif minyak serai wangi adalah:
-keefektifannya kurang meyakinkan, terutama apabila dibuat pada skala rumah tangga.
-Sulitnya standarisasi mutu produk akibat besarnya keragaman
genetik tanaman dan tempat tumbuhnya,
serta pemanenan yang masih dilakukan secara tradisional.
-Kesulitan dalam pendaftaran dan paten.
-Nilai usaha tani belum pasti karena pengaruh musim, sumber
bahan baku, dan tingkat keefektifannya.
-Stabilitas bahan aktif rendah karena bahan aktifnya
bersifat volatil, yaitu tidak tahan terhadap sinar matahari (mudah terdegradasi
oleh sinar ultraviolet).
-Tidak kompetitif terhadap pestisida sintetis (harga dan
spektrum kerja).
-Terbatasnya data keamanan terhadap mamalia dan lingkungan
(Rajashekar et al. (2012) cited in Supriadi (2013).
Serai wangi mempunyai peluang yang sangat besar untuk
dikembangkan menjadi produk-produk pestisida, karena bahan aktif dari tanaman
ini mempunyai spektrum luas baik sebagai pengendali hama yang bersifat menolak
(repellent), menarik (attractant), racun kontak, racun pernafasan, mengurangi
nafsu makan, menghambat peletakkan telur, menghambat pertumbuhan, menurunkan
fertilitas. Sebagai pengendali penyakit tanaman yang bersifat antibakteri, antijamur,
antivirus dan antinematoda. Serai wangi juga dapat digunakan sebagai bahan
pengawet pada produk - produk makanan dan hasil laut sebagai pengganti
antibiotik seperti telah diuraikan di atas.
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...