Loading...
Tungau merah Tetranychus spp. (red spider mite) termasuk
hama yang tergolong dalam ordo Acari, famili Tetranychidae (Silva et.al., 2009;
Kalshoven 1981). Famili Tetranychidae terdiri dari dua spesies yaitu
Tetranychus urticae dan Tetranychus cinnabarius (= telarius, bimaculatus)
(Klashoven 1981). T. urticae memiliki tubuh berwarna hijau dengan bintik gelap
pada setiap sisi belakang, sedangkan T. cinnabarinus memiliki tubuh berwarna
merah (Álvarez et al. 2012) (Gambar 2). Imago T. cinnabarius berukuran 0,5 mm
dengan warna merah tua, serta dengan kaki dan mulut berwarna putih. T.
cinnabarinus dianggap sebagai sinonim dari polimorfik T. urticae yang berwarna
merah (Auger et al. 2013). Tungau dapat menyerang pada beberapa tanaman antara
lain; kapas, strowberi, tomat, kedelai, kacang panjang dan tanaman hias seperti
bunga ros (Silva et.al., 2009). Larva Tetranychus spp. berwarna kuning
kehijau-hijauan sedangkan yang dewasa berwarna hijau, kuning, oranye dan merah
cerah dan biasanya ditemukan diantara jala-jala sutera halus yang dijalin oleh
tungau ini dari kelenjar uniselular besar yang terletak di palpi. Tungau dewasa
berukuran ± 1 mm (Kalshoven (1981).
Tungau merah berasal dari Eropa dan Asia, saat ini menyebar
ke sebagian besar negara di dunia (Raworth et al. 2002) meliputi sebagian besar
negara di Eropa, Asia, Afrika, Australia, Pasifik dan Kepu- lauan Karibia,
Amerika Utara, Tengah dan Selatan (Gambar 1) (CABI 2015).
Tungau merah bergerak dengan cara merayap, penyebaran jarak
jauh dibantu oleh angin dan aktifitas manusia. Tungau merah memiliki mekanisme
penyebaran yang kompleks, yang menjadikan struktur populasi dan keragamannya
menjadi kompleks (Sun et al. 2012).
Tungau merah Tetranychus spp. merupakan hama yang banyak
merusak tanaman pangan maupun tanaman hias dan sering menyebabkan kerusakan
atau kematian pada tanaman inangnya. Serangan tungau merah dapat merusak tanaman
inang karena baik nimfa maupun imago mengisap cairan dari daun, cabang muda dan
buah dari inangnya. Tungau merah juga mengeluarkan toksin pada waktu makan
sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang berakibat pada pengurangan
serat, biji dan buah serta menyebabkan daun menjadi kuning, kering dan akhirnya
daun gugur. Pada serangan yang berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Cuaca
dengan kombinasi suhu tinggi dan kelembaban yang rendah berkorelasi dengan
meledaknya populasi tetranychid (Huffaker et.al., 1969). Tungau ini banyak
ditemukan pada bagian permukaan daun, hidup berkoloni di bawah jaring yang
dibuatnya (Silva et.al., 2009). Hama ini mengisap pada daun menyebabkan gejala
klorotik pada daun dan gugur daun sehingga menurunkan buah yang dihasilkan.
Tungau merah merusak sel-sel mesofil dan mengisap isi sel, termasuk
klorofil. Daun terluka akibat serangan tungau merah mempunyai laju fotosintesis
yang rendah, transpirasi meningkat, dan kadar klorofil rendah. Luka akibat
serangan tungau merah menyebabkan bintik-bintik pada daun, dan daun berubah warna
menjadi cokelat (Berry 2000). Meskipun luka yang disebabkan oleh individu
tungau merah sangat kecil, namun apabila serangan disebabkan oleh ratusan atau
ribuan tungau merah dapat menyebabkan ribuan luka, dengan demikian secara nyata
dapat mengurangi kemampuan tanaman untuk berfotosintesis (Fasulo dan Denmark
2009).
Gejala awal dari serangan tungau merah adalah adanya
bintik-bintik berwarna kuning pada bagian dasar daun, selanjutnya ke tulang
daun utama. Pada saat populasi
berkembang, tungau menyebar ke
seluruh daun, termasuk permukaan atas daun, dan bintik-bintik kuning menyebar
ke seluruh daun, yang menyebabkan daun berwarna kemerahan seperti karat. Pada
serangan parah, daun bagian tengah dan bawah akan rontok, selanjutnya serangan
mengarah ke bagian pucuk di mana tunas mengalami penyu- sutan ukuran dan banyak
dijumpai adanya jaring warna putih menyelimuti daun pada sepertiga bagian atas
tanaman, dan pada tahap ini dapat menyebabkan tanaman mati (Fasulo dan Denmark
2009). Kerusakan berat dapat menyebabkan daun kering dan luruh (Abdel-Wali et
al. 2012).
Populasi tungau juga dipengaruhi oleh spesies tanaman inang.
Spesies tanaman inang yang sesuai, dapat memacu perkembangan populasi tungau
merah hingga menyebabkan kerusakan tanaman inang (Razmjou et al. 2009). Tingkat
kerusakan lebih tinggi terjadi pada daun yang tidak berbulu dibandingkan dengan
daun yang berbulu (Reddal et al. 2011). Menurut Skorupska (2004), kepadatan
bulu pada permukaan atas daun berkorelasi negatif dengan daya tetas tungau
betina. Kerapatan bulu daun menentukan aktivitas pergerakan tungau. Pada
tingkat kerapatan bulu rendah, aktivitas pergerakan tungau lebih tinggi
dibandingkan pada kerapatan bulu yang tinggi (Warabieda 2003). Hasil penelitian
Skorupska (2003) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi ketahanan
tanaman terhadap tungau merah adalah kandungan polipenol, morfologi, dan
anatomi daun.
Serangan tungau merah dapat menyebabkan kehilangan hasil
secara nyata pada banyak tanaman dengan nilai ekonomis tinggi, seperti sayuran
dan pohon buah-buahan (Salman 2007), tanaman hias dan agronomi di seluruh dunia
(James dan Price 2002). Serangan tungau merah dapat menyebabkan perubahan
morfologi dan biokimia daun, serta komposisi buah (Sivretepe et al. 2009;
Farouk dan Osman 2012).
Tubuh tungau dibagi menjadi dua bagian yang berbeda: (1)
gnathosoma dan (2) idiosoma. Gna- thosoma mencakup bagian mulut, dan idiosoma
mencakup sisa tubuh yang sejajar dengan kepala, dada dan perut serangga. Tungau
merah betina memiliki tubuh berbentuk elips, dengan panjang 0,4 mm dan memiliki
12 pasang duri di punggung. Tungau merah jantan berbentuk elips dengan ujung
ekor runcing dan ukurannya lebih kecil dari tungau betina (Fasulo dan Denmark
2010).
Perkembangan Tetranychus spp. relatif cepat dan siklus
hidupnya relatif singkat, tetapi keperidiannya tidak tinggi untuk golongan
arthropoda. Oviposisi pada tetranychidae didahului oleh masa oviposisi yang
singkat dan mencapai puncaknya secara cepat dan diikuti penurunan oviposisi
secara perlahan (Huffaker et.al., 1969). Seekor betina akan menghasilkan
sekitar 15-20 telur per hari. Karena jumlah generasinya yang tinggi dalam satu
musim menyebabkan kerusakan yang ditimbulkannya juga besar.
Siklus hidup tungau terdiri dari telur, nimfa, dan dewasa.
Nimfa terdiri dari dua tahap yaitu protonymph dan deutonymph. Siklus hidup
mulai dari telur hingga dewasa sangat bervariasi tergantung pada suhu. T.
urticae dapat berkembang dan bereproduksi pada kisaran suhu yang lebar, dan
suhu yang paling sesuai untuk perkembangan, kelangsungan hidup, dan reproduksi
tungau adalah 27–30 oC. Ambang batas suhu terendah untuk menyelesaikan
perkembangan T. urticae betina dan jantan masing-masing adalah 13,8 dan 12,1 °C
(Riahi et al. 2013). Suhu juga mempengaruhi tingkat kesuburan betina dan rasio
jenis kelamin. Kesuburan betina tertinggi dicapai pada suhu 30 oC, dengan
produksi telur mencapai 156,8 telur/betina, dengan proporsi betina lebih banyak
(El- Wahed dan El-Halawany 2012).
Perkembangan T. urticae dari telur hingga dewasa membutuhkan
waktu antara 7–24 hari, mortalitas dewasa tertinggi pada musim dingin mencapai
78,70%. Pada musim gugur tungau merah betina mampu menghasilkan 88 telur dan
pada musim panas menghasilkan 71 telur (Hoque et al. 2008). Tungau merah
memiliki pertumbuhan populasi yang sangat cepat, waktu perkembangan singkat,
tingkat kelahiran tinggi, dan kelangsungan hidup nimfanya panjang (Clotuche et
al. 2011).
Pada kondisi suhu optimum (sekitar 80 ºF), tungau
menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 5–20 hari. Betina dewasa hidup 2–4
minggu dan selama hidupnya mampu bertelur hingga ratusan butir. Telur menetas
menjadi larva dengan tiga pasang kaki, larva berkembang menjadi nimfa dan
dewasa dengan empat pasang kaki (Fasulo dan Denmark 2010).
Nimfa jantan dan betina dewasa berbentuk oval dan umumnya
berwarna kuning atau kehijauan. Terdapat satu atau lebih bintik-bintik gelap
pada setiap sisi tubuhnya dan bagian atas perut bebas dari bintik- bintik.
Tungau dewasa mempunyai ukuran antara 0,25 mm hingga 0,5 mm. Tungau betina dewasa
dapat berhenti bereproduksi selama musim dingin, pada tahap ini warna berubah
menjadi oranye terang.
Tungau bereproduksi secara cepat pada cuaca panas dan
populasi menjadi tinggi pada bulan Juni hingga September. Jika suhu dan
persediaan makanan menguntungkan, satu generasi dapat diselesaikan dalam kurun
waktu kurang dari seminggu. Tungau lebih suka kondisi panas, berdebu, dan biasa
ditemukan pada tanaman yang berdekatan dengan jalan raya yang berdebu atau di
pinggir kebun. Tanaman yang tercekam kekeringan lebih rentan terhadap tungau.
Populasi tungau akan mengalami penurunan yang cepat pada akhir musim panas,
ketika populasi predator tinggi, kondisi tanaman inang menjadi tidak
menguntungkan, dan cuaca berubah dingin serta hujan (Godfrey 2011).
Meskipun tungau merah lebih suka dengan kondisi panas, namun
rentan terhadap radiasi ultra violet (UV), untuk menghindari efek buruk dari
paparan langsung radiasi UV, hama ini tetap berada di bawah permukaan daun
(Otsuka dan Osakabe 2009). Komponen radiasi UV yang dapat menyebab- kan efek
merusak adalah ultraviolet-B (UVB: panjang gelombang 280–315 nm), sedangkan
ultraviolet-A (UVA: panjang gelombang 315–400 nm) tidak mempengaruhi
kelangsungan hidup dan fekunditas dari T. urticae (Suzuki et al. 2009; Ohtsuka
dan Osakabe 2009; Sakai dan Osakabe 2010).
Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan
memanfaatkan musuh alami (predator) yang ada di alam. Keberadaan predator
sangat penting dalam mengatur populasi tungau, sehingga kebera- daannya harus
dilindungi. Menurut Pickel et al. (2014), populasi predator di lapangan
dikategorikan menjadi tiga, yaitu: rendah (predator sulit dijumpai, pada setiap
enam daun dijumpai kurang dari satu predator), sedang (predator mudah dijumpai,
setiap tiga daun dijumpai satu predator), dan tinggi (pada setiap daun dijumpai
satu atau lebih predator). Terdapat beberapa tungau predator yang dinilai
efektif untuk mengendalikan T. urticae (Rhodes dan Liburd, 2006; Fraulo dan
Liburd, 2007; Cakmak et al. 2009). Menurut Fraulo et.al., (2007) pengendalian
hama tungau merah Tetranychus spp. Dapat menggunakan tungau predator yaitu;
Phytoscilus persimis dan Neoseiulus californis.
Terdapat 32 jenis predator yang telah dilaporkan menyerang
tungau. Predator tungau yang paling penting adalah:
-Oligota minuta untuk
Monony- chellus tanajoa.
-Stethorus tridens untuk T. urticae dan T. Cinnabarinus.
-Phytoseiidae. Terdapat 30 jenis predator dari keluarga
Phytoseiidae yang menyerang tungau (Belloty et al. 1986).
Yanagita et al. (2014) melaporkan bahwa Scolothrips
takahashii merupakan thrip predator yang dapat digunakan sebagai agen hayati
yang efektif terhadap T. urticae pada tanaman strawberry. Predator lainnya
seperti Orius minutus (Fathi 2013), Coccinellla septempunctata (Sirvi dan Singh
2014), Stethorus gilvifrons (Ahmad et al. 2010), dan Stethorus punctillum
(Gorski dan Eajfer 2003) dinilai sebagai agen hayati yang potensial. Di Amerika
Serikat terdapat lima jenis tungau predator yang tersedia secara komersial, yaitu:
Phytoseiulus persimilis, Mesoseiulus longipes, Neo- seiulus californicus,
Galendromus occidentalis dan Amblyseius fallicus.
Feltiella acarisuga merupakan salah satu predator yang
mempunyai daya mangsa tinggi. Kemampuan F. acarisuga memangsa tungau merah lebih
tinggi dibandingkan dengan Neoseiulus californicus dan Amblyseius swirskii.
Larva F. acarisuga mempunyai kemampuan memakan telur tungau merah sebanyak 50
telur/hari, diikuti N. californicus sebanyak 25,6 telur/hari, dan A. swirskii
sebanyak 15,1 telur/ hari. N. californicus betina mampu memproduksi telur lebih
banyak dibandingkan dengan A. swirskii betina (Xiao et al. 2013).
Untuk pengendalian tungau merah ini selain pengaturan
populasinya dengan musuh alami, juga melalui pengaturan faktor-faktor yang
mempengaruhi populasinya dengan memanipulasi lingkungan hidupnya yang kurang
disukai oleh tungau tersebut.
Penggunaan insektisida dalam spektrum luas sering
menyebabkan predator tungau mati, dan berakibat pada munculnya wabah tungau,
sehingga penggunaan pestisida perlu dihindari. Semprotan air, minyak,
insektisida, atau sabun dapat digunakan untuk pengendalian tungau merah.
Sebelum melakukan penyemprotan, pemantauan tingkat populasi tungau harus
dilakukan (Godfrey 2011).
Tungau merah (Tetranychus urticae Koch) merupakan jenis hama
yang paling penting dalam keluarga Tetranychidae, bersifat polifag dan dapat
menyerang sekitar 1.200 jenis tanaman (Xie et al. 2006, Naher et al. 2006),
termasuk sayuran (paprika, tomat, dan kentang), tanaman pangan (kacang-kacangan,
jagung, dan ubikayu), tanaman buah (strawberry), dan tanaman hias (bunga mawar)
(Fasulo dan Denmark 2009). Di India, hama ini banyak dijumpai pada tanaman
Withania somnifera (ginseng India) (Sharma dan Pati 2012). Serangan hama tungau
merah dapat menyebabkan kehilangan hasil dan kerugian secara ekonomi (Tehri et
al. 2014).
Tungau merah (Tetranychus urticae) muncul pada musim
kemarau, pada periode musim panas dan kering yang panjang mampu memintal
benang-benang jaring (web) (Knapp et al. 2003). Menurut Wright et al. (2006),
cuaca kering dan panas mendukung reproduksi dan kelangsungan hidup tungau
merah, karena pada kondisi demikian pengendalian secara biologis oleh cendawan
entomopatogen hampir tidak ada. Budianto dan Praktinyo (2009), menyatakan bahwa
populasi tungau laba-laba (T. urticae) lebih tahan terhadap perubahan iklim termasuk
pemanasan global dibandingkan tungau predatornya. Zundel et al. (2009)
mengemukakan bahwa kondisi lingkungan seperti kelembaban udara yang rendah dan
suhu yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peningkatan populasi tungau hama
dan menurunkan biodiversitas tungau predator.
Populasi tungau merah menurun pada awal musim hujan dan
tetap pada tingkat yang sangat rendah di musim dingin. Suhu maksimum dan
minimum memiliki korelasi nyata positif dengan serangan tungau (Meena et al.
2013). Pada kondisi yang tidak menguntungkan, tungau betina dewasa berada pada
kondisi diam (diapause) yang disebabkan oleh periode penyinaran yang pendek,
penurunan suhu dan suplai makanan yang tidak menguntungkan. Pada kondisi
demikian, tungau betina dewasa berhenti makan dan bertelur, serta meninggalkan
tanaman inang untuk bersembunyi di tempat-tempat yang terlindung, dan
melanjutkan aktivitasnya di musim semi (CABI 2015).
Tungau merah mempunyai kemampuan untuk mengembangkan
ketahanan terhadap pestisida (Van Leeuwen et al. 2010). Pengendalian kimia
sering menyebabkan resistansi silang yang luas di dalam dan di antara kelas
pestisida, sehingga menyebabkan resistensi terhadap pestisida yang baru dalam
kurun waktu 2–4 tahun. Banyak aspek biologi tungau merah yang menyebabkan
terjadinya perubahan resistensi yang cepat terhadap pestisida, di antaranya
perkembangan yang pesat, daya tetas tinggi, dan penentuan seks haplodiploid.
Pengendalian tungau multi-resisten terhadap pestisida menjadi semakin sulit
dengan terbatasnya pemahaman dasar genetik resistensi (Khajehali et al. 2011).
Aplikasi insektisida dalam pengendalian tungau merah harus
memperhatikan cara penyemprotan. bagian bawah daun harus menjadi target
penyemprotan supaya terjadi kontak antara insektisida yang diaplikasikan dengan
tungau sebanyak mungkin, karena sisi bawah daun merupakan tempat berkumpulnya
tungau merah. Aplikasi insektisida dilakukan pada interval 5–10 hari. Telur
tungau yang belum menetas tidak terpengaruh oleh sebagian insektisida, kelakuan
yang sama kemungkinan juga terjadi pada larva dan nimfa yang mengalami
pergantian kulit (molting). Selama molting, tungau tetap tidak aktif di bawah
bekas kulit yang berfungsi sebagai penghalang terhadap insektisida. Pada fase
ini tungau juga tidak makan, yang menyebabkan insektisida yang bersifat
sistemik tidak berpengaruh. Apabila aplikasi hanya dilakukan sekali, maka
tungau dapat bertahan hidup (Potter 2013).
*Tombol-tombol diatas mengandung iklan. Untuk menuju artikel yang diinginkan silahkan tunggu 5 detik hingga muncul tombol "skip ad" kemudian klik tombolnya, jika tidak muncul tombol "skip ad" harap refresh halaman tersebut (dimohon keikhlasannya demi eksistensi website ini). Iklan-iklan yang muncul bukanlah virus, Apabila terbuka jendela iklan yang baru (POP UP) silahkan tutup halaman tersebut (tekan tombol kembali untuk pengguna android). Jika tombol tidak bisa diklik silahkan refresh halaman ini.
loading...